Skip to main content

Kamar 733

by The_Dalek_Emperor
[ permit ]

Kamar Bunuh Diri. Begitulah mereka menyebut kamar 733—seolah aku tak cukup khawatir di hari pertamaku kuliah.

Kami ditempatkan di kamar asrama no 733 yang, ternyata, bukanlah salah satu kamar tambahan yang menyenangkan di gedung selatan. Tidak, kami menemukan diri kami di sayap sebuah bangunan tua di lantai 7. Meski tidak parah2 amat sih; paling tidak mereka menghargai keinginanku untuk satu kamar dengan sohibku.

Aku dan Lydia menghabiskan waktu pagi kami untuk pindahan. Hingga kemudian Penasehat Asrama kami masuk ketika aku sedang menempel poster dan Lydia sedang membaca.

“Hai cewek-cewek, aku Beth!” cicit seorang cewek pirang menggelembung seraya berjalan berkeliling kamar. “Aku akan jadi Penasehat Asrama kalian tahun ini.”

“Hai,” aku mengangguk padanya.

“Wow, kalian cekatan sekali,” katanya, mengambil tempat di ranjang dan menggantung beberapa pakaian.

Beth mengambil gambar Cthulhu yang diselesaikan Lydia selama musim panas, memutarnya ke samping, mempelajarinya.

“Apa ini kraken dari Pirates of the Caribbean?”

Lydia hanya melotot padanya dari puncak bukunya.

“Jadi, omong-omong,” si Penasehat Asrama melanjutkan, “Aku tahu gedung kita tidak baru seperti gedung selatan, tapi percaya deh, ada banyak sejarah di sini. Bangunan ini hampir 60 tahun umurnya.”

“Ya, bisa kulihat.” Kataku melihat berkeliling. “Kamarnya begitu kecil.”

“Yah, orang-orang lebih kecil di tahun 50-an.” Beth mengangkat bahu.

“Sungguh?” Lydia menyahut datar.

“Yap, benar.” Beth mengerutkan bibir dan masih berdiri di sana sementara ruangan diisi keheningan yang canggung.

“Jadi,” kataku, “ruangan di sebelah kita, yang di pojok—733 ya? Kelihatan lebih besar dari kamar kami. Apa sudah ada yang menempati atau bisakah jika kami—“

“Oh, kau tak mau ruangan itu.” Beth memotong. “Pernah ada dua kali bunuh diri di sana. Gantung diri dan melompat jika ingatanku benar. Mereka tidak menempatkan siapapun di kamar itu. Dan omong-omong, aku hanya ingin mengingatkan kalian jika ini adalah lantai wanita dan laki-laki tidak diizinkan di atas jam 11.”

Sebelum kami bisa menjawab, Beth sudah mengatupkan tangannya dan dengan “senang bertemu kalian” singkat dia berjalan keluar kamar.

Lydia menjatuhkan bukunya ke tempat tidur dan memandang ke kamar. “Aku tak suka dia.”

“Kau dengar ancamannya barusan?”

“Aku akan memanggilnya si Bodoh Beth.”

“Lydia, yang benar saja. Bunuh diri?”

“Oh, Becca, tenang. Setiap kampus punya cerita bunuh diri.”

“Yah, tapi di kamar yang sama?”

Lydia mendesah. “Siapa peduli? Itu bukan kamar kita.”

“Yeah, kirain.” Aku ganti mengamati jendela kecil di kamar kami. “Kau bisa membayangkan keluar dari sana dan melompat? Kau akan hidup paling tidak lima detik sebelum menghantam tanah.”

“Oh sial, Becca, bisa tidak sih?” Lydia melirik ke jendela dan bergidik. “Kau tahu aku paling benci ketinggian dan membicarakannya saja membuat tekanan darahku naik.”

“Kita bisa pindah ke kamar bunuh diri,” aku menggodanya, “Di sana ada jendelanya di masing-masing dinding.”

“Sialan kau.”

“Oke, oke. Tapi serius, coba pikirkan lagi. Pasti butuh usaha yang sangat keras untuk menyelip di jendela kecil itu.”

“Yah, kau lupa, orang-orang pada zaman dahulu lebih kecil.” Lydia menggerutu sambil mendorong ranjangnya menjauhi jendela.

**

Mengingat Lydia orang yang asyik dan supel, kami segera mendapat teman dalam waktu singkat. Ada begitu banyak pesta hanya dalam beberapa minggu awal, dan salah satunya adalah saat Lydia bertemu dengan seorang cowok. Aku kenal cewek ini sejak masih pakai popok jadi aku sudah bersiap dia akan punya pacar paling tidak sebelum akhir September. Namanya Mike dan tak ada yang spesial darinya; hanya tukang gombal standarmu lah.

Setelah sekitar satu bulan di kampus, kesenangan-kesenangan kuliah mulai berkurang. Aku dan Lydia mulai melangkah dan kami lebih sering menghabiskan akhir pekan dengan belajar ketimbang minum-minum.  Ujian midsemester akan tiba dalam beberapa minggu dan aku bertekad untuk dapat IPK 4.0 di tahun pertamaku.

Suatu malam di awal Oktober aku terbangun oleh suara derit yang begitu keras. Aku duduk tegak di ranjang dan menajamkan telinga dengan tegang. Lydia juga sudah terbangun dan mendengarkan.

BLAR

Apa-apaan itu? dia menggerakkan mulut ke arahku.

Tidak biasanya ada kebisingan di lorong mengingat orang-orang selalu datang setiap malam. Tapi suara ini jelas datang dari kamar sebelah—kamar di pojok.

KRIEET

“Apa itu—“

“Yeah,” Lydia berbisik, “jendela di kamar sebelah.”

Atas desakan Lydia, kami membiarkan jendela kamar kami tertutup setiap saat. Bagaimanapun tak ada yang salah dengan suara jendela di kamar 733 yang kadang terbuka dan tertutup di waktu tertentu.

BLAR

“Siapa itu?”

Lydia mengangkat bahu.

“Apa ada yang bersama kita? apa kita sedang diplonco?”

Lydia mengangkat alisnya. “Diplonco untuk apa?”

“Tak tahu. Fakultas? Mungkin mereka mengerjai anak-anak baru?”

KRIEET (terbuka)

“Siapa yang mengerjai anak baru?”

Aku mengangkat bahu.

BLAR (tertutup)

“Becca, aku menyukaimu, tapi itu bodoh sekali.”

Aku melempar bantal padanya. “Yah, siapapun itu, suruh mereka berhenti.”

“Aku?! Aku tak mau ambil resiko dilempar dari jendela.”

KRIEET

“Aku juga tak mau.”

“Aku kuliah seni. Kau yang ilmu politik. Pergi dan gunakan undang-undangmu sana.”

“Bodo amat.”

“Kalau begitu panggil si Bodoh Beth. Bukannya ini omong kosong yang harus dia kerjakan?”

BLAR

“Aku tak akan memanggilnya. Jangan kau lempar si setan itu padaku.”

“Baik,” Lydia berbisik keras, “kita biarkan saja kalau begitu.”

“Aku ada kelas jam 7.30!” aku menggeram.

KRIEET

“Makanya lakukan sesuatu.”

“Ugh!” Aku turun dari tempat tidur dan melangkah ke pintu, membukanya lebar-lebar dan pergi ke koridor untuk kemudian menggedor pintu kamar 733 yang berbunyi ‘Ruang Penyimpanan’.

“Orang-orang mau tidur. Tolong dong berhenti.” Aku berkata dan tak ada jawaban.

BLAR

“Tolong deh, ya...” Aku mendesah.

Aku melangkah mundur dari pintu dan mendadak menyadari ada yang tak beres. Kamar 733 ternyata digembok dari luar. Segera saja aku tunggang-langgang kembali ke kamar.

“Ada apa?” tanya Lydia.

“Aku tak akan pernah dekat-dekat kamar sialan itu lagi, tak akan. Kamarnya terkunci dari luar; bagaimana bisa ada orang di dalam sana.”

“Jadi, menurutmu itu hantu?” dia tertawa.

“Tidak, menurutku ada hal mengerikan yang sedang terjadi di dalam ruang yang sehari-harinya disebut ‘Kamar Bunuh Diri’ itu.”

Lydia mencemooh dan berguling untuk kembali tidur. “Kau harusnya ambil jurusan drama.”

Kami tidak mendengar jendela kamar sebelah lagi malam itu, tapi pagi harinya kau dapat melihat dengan jelas dari luar bahwa kedua jendela di kamar pojok sekarang terbuka lebar.

**

Aku mengamati jendela kamar 733 di sepanjang minggu tapi mereka tetap terbuka. Kadang di malam hari aku merasa mendengar bunyi seperti kelereng yang jatuh dan menggelinding melewati ruangan. Selama itu tidak membangunkan Lydia, aku tidak mau repot-repot mengatakannya.

Suatu sore aku sedang sendirian di asrama mengedit catatan di laptopku. Aku memakai headphone tapi musiknya tidak terlalu keras untuk menutupi suara seseorang yang mengetuk pintu.

“Masuk,” aku berkata tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Beberapa saat berlalu dan aku mendengar ketukan lagi. Aku mencabut earbudku dan membanting tertutup laptop.

Aku menoleh, “Ma—“

Apa-apaan ini? Pintu ke koridor terbuka lebar. Aku membiarkannya terbuka dengan tujuan karena Ian (seorang junior gebetanku) berkata ingin mampir. Kudengar lagi ketukannya dan aku benar-benar melompat dari kursi.

Ketukannya datang dari sisi lain ruangan—pintu lemari. Lemari itu berbagi dinding dengan kamar 733.

“Lydia, tidak lucu tahu.”

Tak ada apa-apa.

“Lydia, sumpah, akan kutonjok wajahmu.”

Hening. Aku berjalan ke pintu lemari dan menggenggam handelnya.

“Lydia, kau ini—“

“Aku apa?”

Suaranya datang dari koridor—di belakangku.  Aku melepas pegangan pintu dan tersandung ke belakang dengan mata melebar. Lydia melempar barang-barangnya ke ranjang dan berbalik padaku, menyilangkan lengan.

“Aku ini apa?”

“Aku... kukira kau yang bersembunyi di dalam lemari.” Kataku lemah.

“Apa? Kenapa?”

“Karena seseorang baru saja mengetuk pintunya.”

“Astaga, Becca.” Lydia mengusap keningnya dan berjalan ke lemari, melempar pintunya terbuka. Tak ada apapun di sana selain pakaian dan kotak. Dia membuat gerakan tangan yang berkata: ‘apa lagi sekarang?’

“Sumpah—“

“Becca tak ada siapa-siapa di sini.”

“Aku tahu apa yang kudengar.”

Kami saling melotot sampai kemudian dipotong oleh kunjungan Ian yang tepat waktu.

Dia langsung merasakan tensi di dalam ruangan. “Hai, nona-nona... ada apa?”

Aku melempar pandangan tak bersahabat pada teman sekamarku. “Ada yang aneh di kamar sebelah. Tapi itu bukan hal baru.”

“Yang mana? 735? Atau yang kosong?”

“Yang kosong.” Lydia menekankan.

“733. Yah, tidak kaget sih. Itu kamar bunuh diri.”

“Benar, kami sudah dengar ceritanya.” Aku duduk di tempat tidurku.

“Yeah, kacau banget. Tiga bunuh diri sekaligus di satu kamar yang sama.”

“Tiga?” Lydia mengangkat alisnya. “Kami diberitahu ada dua.”

“Dulu ada dua orang di tahun 70-an lalu seorang laki-laki sekitar sepuluh tahun lalu. Dia melompat dari jendela.”

Aku dan Lydia bergidik. Meski dia lebih parah kami berdua sama-sama takut ketinggian. Terjun adalah penyebab kematian terburuk yang bisa kami pikirkan.

“Aku akan mengakui kalau tiga bunuh diri di kamar yang sama benar-benar mengganggu.” Lydia berkata dengan nada menyesal.

“Yeah, kudengar ada sesuatu di dalam sana.” kata Ian.

“Seperti apa?”

“Tak ada yang tahu, tapi tiap tahun seseorang akan punya teori, biasanya mendekati Halloween akan ada yang dipublikasikan di koran kampus. Apapun itu, yang jelas dia tidak bersahabat.”

“Jadi, pernahkah ada yang bunuh diri juga di kamar sekitarnya? Seperti di kamar ini?”

“Tidak, hanya di 733. Jujur aku terkejut ketika mendengar mereka membuka gedung utara tahun ini.”

“Mereka bilang kita adalah angkatan terbanyak selama dua puluh tahun terakhir.” Kataku menerawang.

“Kudengar juga begitu. Kau tahu, kau bisa minta pindah kamar.” Ian duduk di sebelahku dan aku bersandar di bahunya.

“Yah, tapi mereka tak akan membiarkan kami tetap bersama.” Lydia memotong. “Aku dan Becca sudah berteman selama 15 tahun. Kami tak bisa sekamar dengan orang lain.”

“Jadi haruskah kita tetap di sini, bertetangga dengan setan?” aku melirik ke pintu lemari lagi.

Lydia mengangkat bahu. “Paling tidak kita punya kisah untuk diceritakan setelah lulus.”

“Ini bukan jenis kisah yang ingin kuceritakan.”

**

Beberapa hari berikutnya akhirnya Lydia percaya dengan cerita lemari-ku. Aku terbangun di tengah malam karena suara seseorang yang berbisik. Aku memandang Lydia yang sudah menatapku dengan mata lebar. Perlahan dia mengangkat jari ke bibirnya.

Aku mendengarkan seksama, mencoba menangkap apa yang suara itu katakan dan darimana asalnya, namun tetap tak bisa kumengerti sepatahpun. Aku turun dari tempat tidur dan berjingkat ke tempat Lydia. Suaranya jelas lebih terdengar dari sini karena dia yang berbagi dinding dengan kamar 733. Aku mendengarkan lebih seksama lagi.

...jangan pernah...terambil...mulut...orang bodoh...

Apa-apaan ini? Lydia bersandar lebih rapat lagi dan menempelkan telinganya ke dinding. Bisikannya berhenti dan aku bersandar lebih dekat. Tiba-tiba terdengar pukulan keras dari sisi lain. Lydia langsung mundur sambil mencengkeram telinganya kesakitan.

Seseorang ada di sana. Dengan cepat, lebih ke marah daripada takut, sekali lagi aku membuka pintu kami dan berjalan ke ruangan yang harusnya adalah ruang penyimpanan yang kosong. Kugedor pintunya kencang-kencang, tak peduli siapa saja yang akan terbangun kali ini.

“Mau main-main denganku ya?!” aku berteriak ke pintu. “Sudah tak lucu lagi, tahu. Keluar dari ruangan, kau brengsek.”

Hening. Lalu kenop pintunya mulai berputar.

Aku tak tahu apa yang kuharapkan tapi yang jelas bukan ini. Aku mundur begitu jauh dari pintu, berlari ke dinding seberang. Ketika handel pintu sudah sepenuhnya turun, sesuatu mulai mendorongnya dari sisi lain. Pintunya menggerung keras tapi kuncinya menahannya.

Aku menahan napas hingga dorongan di pintu mereda dan handel pintu dengan perlahan kembali ke posisi normal.

Aku memperhatikan puncak kepala Lydia keluar dari pintu kamar. Dia mengangkat tangannya dengan gestur: ada apa?

“Seseorang pikir dirinya lucu.” Aku menjawab keras. Dia menggelengkan kepala dan kembali hilang ke dalam kamar.

Aku mendekat, berlutut dan menempelkan wajahku ke karpet, mengintip dari celah pintu. Itu pertama kalinya aku melihat bagian dalam kamar pojok.

Kamar 733 benar-benar ruang penyimpanan. Ada bertumpuk-tumpuk kursi di sepanjang dinding dan rangka ranjang di sisi yang lain. Beberapa kasur rusak ditumpuk jadi satu di bawah salah satu jendela dan selapis debu menyelimuti seisi ruangan. Dan jendelanya benar-benar besar, yang mana adalah sesuatu yang tak bisa dijelaskan kecuali kau melihatnya sendiri. Jendela itu terbuka lebar seperti biasanya dan dapat kulihat betapa mudah seseorang bisa memanjatnya untuk tiba di langkan luar.

Ruangannya terlihat seperti tak pernah tersentuh selama dua dekade, dan memikirkannya saja membuatku bergidik ngeri.

Cahaya bulan yang sebelumnya memberi penerangan cukup hingga aku bisa melihat seisi ruangan mendadak padam dan aku hanya bisa melihat kegelapan pekat. Aku berkedip cepat, berusaha menyesuaikan penglihatan. Aku memejamkan mataku beberapa saat dan ketika kubuka kembali, sepasang mata kuning besar balik memandangku dari sisi lain pintu, hanya beberapa inchi dari wajahku.

Aku menjerit dan membangunkan separuh asrama.

**

Tak bisa disangkal bahwa hal-hal mulai meningkat. Pagi berikutnya Lydia dan aku mengajukan permohonan pindah asrama kepada Layanan Asrama dan berharap yang terbaik. Untuk sementara, kami setuju untuk tidak tinggal sendirian di dalam kamar pada malam hari. Jadi kami akan bersama-sama di dalam kamar saat malam hari, atau bersama-sama tidak di sana. Kami mulai menghabiskan sebagian besar malam dengan pacar kami masing-masing.

Aku memberitahu Ian semua yang terjadi dan dia menyarankan mungkin aku bisa berbicara pada Perhimpunan Paranormal kampus. Dengan ragu-ragu aku membuat janji, kemudian aku dan Lydia bertemu dengan seorang anak bertubuh kecil dan berpakaian necis bernama Craig beserta empat “kolega”-nya di hari Selasa.

Kami menjelaskan kepadanya apa saja yang kami ingat, setiap kejadian, tak masalah seberapa kecilnya. Craig dan keempat anggota Perhimpunan Paranormal lain duduk tenang dan mencatat selama setengah jam. Tidak ada yang bicara sampai kami menyelesaikan cerita.

“Sudah semua?” tanya Craig.

“Ya...” kataku perlahan.

“Apa kalian keberatan menunggu di luar sementara aku berdiskusi bersama kolegaku?”

“Tentu,” Lydia tersenyum ramah dan bangkit. “Apapun yang kalian butuhkan.”

Pintu baru saja tertutup di belakang kami ketika Lydia mendengus dan memutar matanya.

“Ayo pergi.”

“Pergi kemana?” tanyaku.

“Kau serius?”

“Lydia, ayolah, kita butuh bantuan, aku ketakutan. Kita belum bermalam di kamar sejak Kamis dan ini bukanlah sesuatu yang bisa kita abaikan.”

“Oke.” Dia mengangkat tangan. “Kita coba dengarkan apa yang akan mereka katakan lalu kita bisa lanjut ke Layanan Asrama dan mengecek permohonan pindah kita.”

Kami mondar-mandir di koridor selama 15 menit sebelum akhirnya Craig keluar dan meminta kami untuk masuk dan duduk.

Dengan kemegahan dan suasana seperti rapat parlemen, Craig membersihkan tenggorokan dan menyatakan diagnosanya.

“Apa yang kalian hadapi, Nona, adalah hantu yang sangat murka.”

“Itukah pendapat profesionalmu, Craig?” kata Lydia. Aku memberinya tatapan peringatan.

“Y-Ya,” dia tergagap. “Arwah pendend—“

“Arwah?” aku bertanya. Aku sangat meragukan jika itu yang kami hadapi selama ini.

“Ya,” jawab salah satu yang bukan Craig. “Itu adalah hantu bagi orang awam.”

“Ya ampun,” Lydia mengerang dan mengusap pelipisnya.

Menyalahartikan kejengkelan Lydia sebagai keputusasaan, Craig meneruskan pidatonya dengan menggebu.

“Tak perlu risau, Nona, kami akan menjaga kalian. Benar sekali bahwa para arwah bisa menyebabkan sakit kepala jika kau tidak tahu bagaimana cara mengusirnya, yang mana adalah keputusan tepat kalian mendatangi kami. Bunuh diri hampir selalu disebabkan karena hantu yang marah, mereka butuh balas dendam.”

“Balas dendam pada siapa?” tanyaku.

“Pada siswa lain. Mungkin arwah yang ini dulunya sering dibully hingga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dan sekarang dia ingin menyiksa siswa lain.”

“Ah, dengar—“

“Kami bisa menyelesaikan ini semua untuk kalian, yang kami minta hanya sedikit donasi untuk perkumpulan kami,” Craig melanjutkan. “Sejujurnya kami tidak menyadari kamar itu punya aktifitas yang begitu besar. Ini benar-benar menarik.”

“Bagus, yah, terima kasih atas waktunya,” kata Lydia seraya menyambar tanganku dan menarikku berdiri dari kursi.

“Kalian mau mengatur sesuatu untuk minggu ini?” tanya Craig.

“Begini saja, kami akan menghubungimu.”

Lydia menggiringku keluar ruangan dengan pandangan lelah dan kami tidak bicara lagi sampai kami hampir tiba di gedung Admin.

“Buang-buang waktu saja,” katanya.

“Dengar, aku tak ingin berdebat denganmu, tapi—“

“Becca, kau tidak benar-benar termakan itu tadi kan?”

“Jadi kau pikir itu bukan...” Aku bahkan kesulitan mengatakannya, kedengaran begitu konyol. “...hantu?”

“Yah, aku tak tahu, tapi mereka juga tidak. Cowok tadi tidak mengerti omong kosong apa yang sedang dia katakan.”

Aku menurunkan kerudungku begitu kami melangkah ke barisan menuju meja Layanan Asrama.

“Biar aku luruskan.” Lydia melanjutkan. “Mereka sedang bermain Ghostbusters dan kita adalah obyek upacara pengusiran setan.”

“Baik,” desahku. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Menginap di tempat Mike dan Ian sampai kita dipindahkan?”

“Aku hanya ingin ini segera berakhir.” Lydia menyilangkan tangan dan memandang lurus ke depan. Kami sama-sama ingin ini segera berakhir. Bahkan jika tinggal bersebelahan dengan kamar itu bukanlah hal yang menakutkan, tetap saja itu adalah hal yang amat sangat mengganggu.

“Baiklah, yah, maksudku mungkin aman-aman saja kita di sana saat siang--asalkan tidak menghabiskan malam di sana kurasa kita akan baik-baik saja. Bagaimanapun kamar kita hanya bersebelahan dengan hantu, dan kita akan pindah tak lama lagi.” Aku melihat arlojiku. “Sial, hampir jam 2.”

“Sial, yang benar? Aku harus pergi. Mike diterima di Sigma Chi dan akan dilantik hari ini.”

“Oh yeah, aku lupa dia buru-buru.”

Gadis di meja melambai menyuruh kami maju. Aku sampai tak sadar kami sudah di barisan depan.

“Beritahu aku apa yang mereka katakan,” kata Lydia saat dia mulai berlari keluar pintu.

Si gadis di meja melihatku dengan curiga saat aku mendekat.

“Hai, aku—“

“Kau gadis yang ingin pindah dari kamar 734 di Reilly, benar kan?”

Dia sudah tahu. “Yeah, salah satunya. Bagaimana kau tahu?”

“Maaf, aku sudah mendengarnya. Aku juga melihat berkasmu di mejaku beberapa hari lalu dan aku ingin tanya: apa tepatnya yang membuatmu ingin pindah kamar?”

Aku lelah. Aku kalah. Aku sudah tak punya energi untuk mengarang kebohongan.

“Karena semua hal yang terjadi di kamar kosong sebelah, dan itu benar-benar membuat kami ketakutan. Suara, bisikan, ketukan, di malam lain aku melihat seseorang...”

“Kau lihat seseorang?”

“Yeah.”

“Di kamar 733?”

“Yeah. Aku melihat dari bawah pintu. Jelas sekali ada seseorang di sana.”

Gadis itu menyipitkan matanya untuk sesaat kemudian mengangguk tanpa alasan yang jelas.

“Yah, kamarmu belum siap tapi aku akan berusaha memprioritaskannya. Meskipun kau terjebak sekarang, tapi memang tidak ada tempat lain yang bisa kau tempati.”

Aku menghela napas. Aku sudah menduganya.

“Aku Alice,” dia melanjutkan, “dan, dengar, sebenarnya aku sudah melakukan banyak riset untuk kasus bunuh diri Reilly dan kukira aku bisa membantumu. Atau paling tidak aku bisa memberimu beberapa pengetahuan tambahan.”

“Benarkah?” tanyaku, ragu-ragu.

“Tentu. Aku di Taylor Hall, kamar 310. Aku kembali ke asrama jam 4 hari ini.”

“Trims. Kami baru saja dari Perhimpunan Paranormal di kampus.”

“Ugh, jangan diteruskan,” Alice memutar matanya.

“Yeah, jadi... aku akan menemuimu jam 4.”

“Bagus,” kata Alice, tersenyum.

**

Aku terlalu cepat tiba di Taylor, tapi ternyata begitu juga dengan Alice. Aku menceritakan kisah kami untuk kedua kalinya di hari itu dan Alice tidak takut untuk memotong meski pertanyaannya tidak berlawanan dengan pikirannya.

Ketika aku selesai dia menyandarkan punggungnya ke kursi dan mendesah dalam.

“Aku tak mempercayainya,” dia menggelengkan kepala. “Aku selalu dengar desas desus tapi jujur saja tak pernah benar-benar percaya.”

“Aku bisa memastikan untukmu—semua yang kuceritakan benar-benar nyata.”

“Dan bagaimana sekarang? ketika kalian ada di sana?”

“Kami tidak akan di sana saat malam, tapi saat siang kami mendengar cakaran di dinding, bisikan yang sangat pelan dan kadang kami masih mendengar jendelanya terbuka dan tertutup--di siang bolong. Bagaimanapun setiap kali aku melihat dari jalan jendela 733 pasti terbuka.”

Alice mengangguk. “Yah, sebagai catatan, kukira kalian tidak sedang dalam bahaya. Semenjengkelkan apapun, kalian hanya kebetulan jadi korban. Jauh-jauh saja dari kamar 733.”

Aku mendengus. “Kau bercanda? Aku tak akan pernah mau masuk ke sana.”

“Aku percaya kau akan begitu. Tapi yang ada di sana, apapun itu, licik. Manipulatif. Pembohong. Dan lebih pintar darimu.”

“Akan kucoba untuk tidak tersinggung.”

“Sudah semestinya.”

“Menurutmu itu apa?”

“Sesuatu yang sangat tua dan jahat.”

Aku memperhatikan dengan skeptis lalu kubiarkan mataku melihat berkeliling. Aku belum benar-benar memperhatikan dekornya sebelumnya, tapi menyebut Alice suka hal-hal gaib bisa disebut meremehkan.

“Aku tidak menemukan alasan kenapa aku akan masuk ke ruangan itu.”

“Aku tahu. Tapi kau harus bersiap jika suatu saat kau akan dihadapkan pada pilihan yang mengharuskanmu masuk ke ruangan itu. Karena apapun yang sedang kau hadapi, itu sudah membunuh lima orang.

“Lima?! Kupikir tiga.”

“Yah, tidak semua orang mau melakukan riset seperti yang kulakukan. Kita lihat, ada Ellen Burnham di 1961—dia melompat dari jendela. Dia yang paling pertama. Dan kemudian Tad Collinsworth di 1968—lompat juga. Marissa Grigg di 1975, dia gantung diri. Erin Murphy di 1979—lompat. Dan kemudian Erik Dousten di 1992—gantung diri.”

“Lima bunuh diri. Bagaimana bisa universitas tetap membiarkan orang tinggal di sana?”

“Sebenarnya tidak. Itulah kenapa sekarang jadi ruang penyimpanan.”

“Dan sebelumnya?”

“Setiap tahun, sekali setiap habis kelulusan, ruangannya akan dipakai lagi. Itu sebelum internet, kau tahu, dan para mahasiswa baru tak banyak tahu. Tapi setelah yang terakhir—Erik Dousten—mereka menutup seluruh lantai 7 gedung utara dan membangun lebih banyak kamar di gedung selatan.”

“Jadi, apa yang dia inginkan?”

Alice mengangkat bahu. “Kekacauan. Kematian. Tumbal. Siapa yang tahu? tak ada yang tahu dia itu apa.”

“Oke, jadi apa yang kita tahu?”

“Yang kita tahu adalah terkadang, entah bagaimana, kita akan merasa terikat ke ruangan itu, meski dari luar kita hanya akan sedikit terpengaruh olehnya. Kita tahu bahwa semua yang tewas sedang sendirian saat kejadian. Dan kita tahu dia penuh tipu daya. Itu yang kita tahu.”

Aku belum puas. “Kau pikir kenapa mereka melakukannya?” aku bertanya pelan.

“Para korban?”

Aku mengangguk.

“Yang kutahu hanyalah rumor yang ada di berkas barang bukti. Semua korban ditemukan bersama dengan gambar atau tulisan yang dianggap ‘takterkatakan’ pada saat itu. Mereka bilang barang-barang yang mengandung hal mengerikan, jahat, yang akan secara fisik membuatmu sakit saat membaca atau melihatnya.”

“Dan orang-orang ini, mereka menggambarnya? Mereka sendiri yang menulisnya?”

“Yap. Apapun yang ada di dalam ruangan itu membuat mereka gila.”

“Mengerikan sekali.”

“Pernahkah kalian mempertimbangkan seseorang untuk memberkati ruangannya?”

“Jesus.” Aku mendesis.

“Yah, kau akan sedikit kesulitan untuk menemukan dia tapi mungkin beberapa orang suci lain.”

“Tidak, maksudku, astaga, kau bicara tentang pengusiran setan.”

Alice mengangkat bahu. “Barangkali saja kan. Menurut rumor di tahun 70-an semua ini bermula dari permainan papan Ouija yang keliru di tahun 1961.”

“Yang benar? Benda itu buatan Hasbro.”

“Tidak di tahun 60-an. Lagipula itu hanya rumor. Satu-satunya orang kampus yang mengetahuinya adalah Tom Moen di Admin. Aku sudah coba untuk bicara padanya sebelumnya tapi dia menolak menemuiku.”

“Apa dia di sini tahun 1961?”

“Ya. Dan dia tinggal di Reilly.”

“Kita harus bicara padanya. Aku harus tahu apa yang terjadi atau aku tak akan bisa menghabiskan sisa hidupku jadi orang normal.”

“Kukira kita harus mengejarnya di dalam kampus.”

“Bisa kita bicara padanya besok?”

“Bisa kita coba.”

**

Mr. Moen tidak mau menemui kami hari itu ataupun hari selanjutnya. Kami mencoba menemuinya saat jam makan siang dan lagi ketika pulang kerja, tapi dia selalu berputar-putar saja. Sudah jelas bahwa laki-laki tua itu sedang berusaha keras menghindari kami.

Aku dan Lydia semakin jarang bertemu sejak kami terus bermalam di asrama yang berbeda. Aku kembali ke kamar kami dua kali sehari—sekali di pagi hari dan sekali di sore hari. Biasanya ruang sebelah sepi tapi tetap saja itu tak membuatku merasa lebih baik. Aku selalu bisa merasakan apa yang berdiam di balik dinding, entah bagaimana, mengamatiku. Seperti tenang sebelum badai tiba.

Kamis sebelum Halloween aku kembali ke asrama untuk mandi di petang hari, lebih larut dari biasanya. Aku sudah bertemu Lydia siangnya, dan dia memberitahu bahwa dia sudah menyimpan pakaian di tempat Mike yang cukup untuk dia pakai sampai lulus, jadi aku tahu akan sendirian di sana.

Aku mandi di kamar mandi utama demi keselamatan lalu kembali ke kamarku untuk berganti pakaian. Aku harus bertemu Ian dalam setengah jam untuk segera ke pesta yang akan kami hadiri dan aku ingin segera keluar dari tempat ini secepat mungkin.

Berhubung keheningan membuatku tak nyaman, aku tancapkan iPodku ke docking station dan memainkan AC/DC.

Aku berpakaian lalu berdiri di depan cermin untuk mengeringkan rambut. Aku berpaling dan mengeringkan rambutku naik turun, berusaha membuatnya lebih mengembang. Ketika kembali berpaling dan kumatikan dryer-nya, aku langsung menyadari keheningan yang ada di dalam ruangan. Tapi bukan hanya itu yang kusadari.

Aku sudah tidak di dalam kamarku. Di belakangku adalah pantulan ranjang berdebu dan jendela besar yang membuka di kamar 733. Aku melihat sekeliling dengan panik dan menyadari bahwa aku masih di kamarku sendiri. Aku kembali melihat cermin dan kamar 733 masih terpantul di sana. Sebuah gerakan kecil di belakangkulah yang membuatku berlari.

Kusambar dompet dan ponselku dan aku melarikan diri dari kamarku membanting pintu di belakangku. Dalam perjalanan turun di lift aku memanggil Alice.

“Aku sudah tak sanggup,” kataku begitu dia angkat. “Aku tak akan kembali lagi ke kamar itu. Aku tak akan pernah kembali.”

“Kenapa memangnya?”

Aku bercerita padanya.

“Astaga. Apa yang ingin kau lakukan?”

“Aku ingin bicara pada orang yang tahu apa yang sedang terjadi. Apa Tom Moen satu-satunya yang kita tahu ada di sini tahun 1961?”

“Hanya dia yang aku tahu. Mungkin kita bisa mencegat dia besok pagi? Kita hanya perlu menyudutkannya dan menolak untuk pergi sebelum dia memberitahu kita sesuatu. Dia datang jam 6.30 jika sesuai jadwal yang kupunya. Kau mau menemuiku di Starbucks luar di Atrium?”

“Yeah, tentu saja. Aku ada kelas jam 7.30 tapi... peduli amat.”

“Oke. Sampai ketemu di sana.”

Aku biasanya tidak banyak berpesta tapi aku senang malam itu aku ikut. Sesampainya di sana aku meminta Ian untuk mengambilkanku minum. Mengingat biasanya aku tak banyak minum dia memberiku tatapan dengan alis terangkat. Aku memberinya kisah singkat apa yang terjadi beberapa saat tadi, berharap dia tidak menganggapku gila.

Ian membuatkanku scotch dan coke. Pertama dari yang tak terhitung.

Sekitar tengah malam aku mencari rokok dan mengecek ponselku. Aku punya pesan suara dari Lydia yang ditinggalkan jam 11.04 pm.

“Hei, Becca, dengar aku baru saja, ugh, aku baru saja bertengkar hebat dengan Mike. Dia, yah, kurasa temannya yang memutuskan bahwa untuk Halloween tahun ini semua anggota baru harus bermalam di Kamar Bunuh Diri. Di asrama kita. Aku hanya, aku tidak bisa menerimanya. Dia tahu apa yang terjadi pada kita dan dia tetap menyetujuinya. Sekarang dia mencoba meyakinkanku bahwa Sigma Chi-lah yang ada di balik semua yang terjadi di kamar 733 karena mereka ingin membuat gebrakan untuk Halloween mereka. Aku sudah—“

Aku tekan ‘end’ dan lempar ponselku ke dalam tas. Tak heran Lydia marah. Itu bukan ide bagus. Sama sekali tidak.

Aku mencari Ian di dalam dan memintanya untuk membawaku pulang. Tiba-tiba aku merasa sangat tertekan, sangat lelah dan sangat teler.

Ketika alarm kumatikan jam 6 pagi, aku mengerahkan segalanya untuk bangkit dari tempat tidur. Kukenakan baju yang kupakai di malam sebelumnya dan kuseret langkahku melewati kampus menuju Atrium.

Alice sudah ada di sana dengan kopi hitam di tangan.

“Kupikir kau akan butuh ini,” dia tertawa.

“Dari mana kau tahu?”

“Sms-mu.”

“Aku mengetik padamu tadi malam?”

“Yeah, sekitar jam 1. Kau bercerita tentang Sigma Chi.”

“Oh, Tuhan, yeah.” Aku menaikkan kacamata dan menurunkan kerudungku.

“Cowok-cowok bego. Ingat saat aku bilang bahwa dia licik? Yah, bagaimana jika tujuannya mengganggumu adalah untuk membuat 733 provokatif, kau tahu, untuk menggoda orang agar masuk ke dalamnya. Tak ada yang pernah masuk ke ruangan itu selama bertahun-tahun, bisakah kau bayangkan betapa laparnya dia?”

“Apa kau pikir mereka benar-benar dalam bahaya?” tanyaku saat aku duduk di tangga gedung Admin.

“Yeah. Nyatanya yang mereka tahu sekarang adalah bahwa semua korban bunuh diri itu sendirian di waktu kematian mereka.”

“Jadi, dia tidak akan terlalu kuat dengan adanya semua orang ini di sana?”

“Secara teori begitu. Kita akan tahu lebih banyak jika kita tahu dia itu apa. Dan kita tak bisa tahu dia itu apa tanpa tahu bagaimana bisa dia ada di sana. Itulah kenapa kita butuh Moen.”

“Jam berapa harusnya dia tiba?”

“Sebenarnya, dua puluh menit yang lalu,” kata Alice, muram.

Sudah setengah jam lagi sebelum akhirnya kami menyerah dan menganggap Mr. Moen menyelinap dari kami seperti biasa. Kami pergi ke kantor depan dengan harapan dapat memohon lagi untuk mengatur pertemuan dengannya.

Wanita di meja Admin menyambut kami dingin.

“Tom tidak datang hari ini. Atau hari-hari selanjutnya. Dia berhenti kemarin. Sepertinya kalian tak akan bisa mengusiknya lagi.”

“Kami tidak mengusiknya,” kataku. “Kami hanya mati-matian ingin bicara padanya.”

“Dan kami belum berhenti.” Alice menambahkan.

“Yah, kalian tak akan mendapat informasi pribadinya dariku,” katanya menghina lalu berjalan pergi.

“Harus apa kita sekarang?” aku menanyai Alice.

“Tanpa Tom Moen sudah tak ada yang bisa kita lakukan.”

“Alice, sial, aku tak mau kembali ke kamar itu.”

“Baguslah kalau begitu, karena permohonan kepindahanmu sudah mulai diproses.”

“Mereka mengabulkannya?”

“Yap. Aku dapat pemberitahuan ketika mengecek email kantor pagi ini. Kau akan ke Morton dan Lydia ke Tinsley.”

“Oh terima kasih, Tuhan.”

“Kupikir kau akan senang mendengarnya. Aku juga bilang pada bosku untuk tidak memperbolehkan siapapun tinggal di kamar 734.”

“Terima kasih sangat.”

“Hanya saja kau belum bisa pindah sampai hari Senin.”

“Aku bisa bertahan sampai akhir pekan, terutama setelah mendengar akhir sudah di depan mata. Aku harus memberitahu Lydia.”

Aku membuka ponselku untuk mencari nomor Lydia tapi perhatianku teralihkan oleh angka ‘1’ merah yang tertera di logo pesan suara. Aku tekan ‘play’. Itu adalah sisa dari pesan semalam.

“—tak bisa melihat muka brengseknya lagi jadi aku pulang saja. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja. Aku cukup teler untuk tidur mengabaikan omong kosong yang terjadi di sebelah. Aku hanya sangat marah sekarang. Aku lebih memilih berurusan dengan si Bodoh Beth daripada dengan Michael-Orangtuaku-Pasti-Sedarah-Karena-Aku-Begitu-Terbelakang-Benson. Ayo kita jalan-jalan besok. Luv yu!”

Pesannya berakhir.

“Sial.”

Alice memberiku pandangan ingin tahu.

“Lydia bermalam di asrama kami.”

Alice meringis.

“Dia aman kan?”

“Selama dia tak pergi ke 733 saja.”

“Tak akan.” Aku memikirkan jendela besar yang selalu terbuka di kamar pojok. Jika tak ada hal lain, gagasan tentangnya akan membuat Lydia tetap jauh-jauh dari kamar itu.

“Bagus. Baiklah, karena sudah tidak ada yang bisa kita lakukan, bagaimana kalau kita cari buku teologi di perpus? Hanya itu yang buka sekarang.”

“Tentu,” aku mengangkat bahu. Aku tak ada kelas sampai jam 10.

Wanita tua mungil yang duduk di belakang meja pemeriksaan perpustakaan pasti sudah 1000 tahun umurnya. Mata Ms.Stapley begitu kecil dan berair dan kulitnya seolah meleleh terlepas dari tulangnya. Namun tetap saja dia baik hati dan berpengetahuan, dan dia mengirim kami ke arah yang tepat untuk buku demonologi, meski dia memberi kami pandangan curiga seperti yang biasa dia lakukan.

Ternyata tidak begitu banyak. Kami membaca apa saja yang kami temui dan jika buku itu tidak relevan biasanya tidak berbahasa Inggris. Kami kembali ke mejanya 30 menit kemudian.

“Eh, anda punya sesuatu yang berhubungan dengan hal gaib?”

“Gaib? Ah...” Ulangnya. “ Ya, aku punya. Di sana, sebelah kiri bagian referensi.”

“Terima kasih. Maaf, aku terlalu pusing untuk menggunakan sistem desimal Dewey,” kataku.

“Kupikir dia tak suka tampang kita,” Alice berbisik saat kami berjalan menjauh.

“Tampang kita atau apa yang sedang kita cari?”

“Mungkin itu juga.”

Dalam satu jam kami kembali ke mejanya, bersiap menyerang lagi. Dilihat dari matanya yang menyipit curiga saat kami mendekat, kami dapat melihat bahwa dia mulai merasa terganggu.

“Ah, maaf, apakah anda tahu di mana kami bisa menemukan sesuatu tentang pemanggilan arwah atau papan Ouija atau—“

“Dengar baik-baik, nak.” Ms. Stapley berdiri dan menatap kami lewat kacamatanya.  “Aku sangat berharap ini semua untuk keperluan kelas.”

“Memang,” jawabku.

“Bukan,” Alice menjawab serentak. “Untuk riset pribadi.”

“Riset? Riset macam apa itu?”

“Begini, kami tidak akan berbuat kacau dengan papan Ouija atau apapaun...” kataku.

“Bagus,” Ms. Stapley merapikan celana berlipatnya dan kembali duduk. “Karena aku tak ingin hal semacam itu terjadi lagi di sini.”

“Lagi?” Alice terpaku.

Si wanita tua mendadak terlihat sangat tak nyaman dan mulai menyibukkan diri dengan tumpukan buku di mejanya.

“Kami mungkin terlibat dengan pemanggilan arwah di—“

“Ms. Stapley, kami sudah meneliti apa yang terjadi di Rilley tahun 1961,” Alice memotong.

“Dan juga apa yang terjadi setelah itu.”

“Yah, itu sudah bukan rahasia lagi kan? Seorang pelajar memutuskan bunuh diri di ruangan itu. Mengerikan tapi tak pernah terdengar di kampus universitas.”

“Lima.” Aku mengoreksinya.

“Tapi anda tahu itu kan?” Alice tiba-tiba berbicara cepat. “Karena kedengarannya anda punya versi yang benar dari cerita ini. Tolong, beritahu kami bagaimana itu bermula dan bagaimana cara mengakhirinya.”

“Mengakhiri?” suara Ms. Stapley menjadi lebih lirih dan terarah. “Jangan begitu arogan, nona muda. Kau tak bisa mengakhirinya. Orang selalu mati di kamar itu dan akan selalu begitu. Tak ada akhir untuk itu, jadi pilihan terbaikmu adalah untuk tetap menjauh saja darinya.”

“Tapi mungkin jika kami tahu bagaimana awalnya—“

“Itu bermula seperti yang sudah kau pikirkan. Tapi semua yang pernah terlibat, jika tidak sudah sangat tua pasti sudah mati sekarang. Jauh-jauh saja dari kamar itu. Konsentrasi pada belajarmu.”

Aku mersandar ke mejanya. “Yah, aku juga ingin begitu, tapi mereka menempatkan aku dan temanku di samping kamar itu. Mungkin anda bisa melupakan semua peristiwa bunuh diri itu tapi kami tidak. Makhluk--atau apapun itu--dia tak akan membiarkan kami.”

“Nak, aku tak pernah melupakannya.” Suara Ms. Stapley bertambah pelan lagi sekarang. “Ellen, temanku, adalah yang pertama yang terbunuh di kamar itu. Dia adalah sahabatku dan tidak satu malam pun kulalui tanpa membayangkan dia menggeliat keluar dari jendela kecil itu, berdiri di langkan beku dengan kaki telanjangnya dan melompat dari lantai 7 bangunan itu.”

Alice mendesah. “Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu.”

“Yah, itu adalah luka lama, sayangku. Sekarang, nak, aku sarankan segera saja kau minta pindah dari kamar itu secepatnya. Tak ada seorangpun yang boleh tinggal di lantai tujuh bangunan itu. Itu yang ingin kukatakan pada kalian.”

Alice mendesah kemudian pasrah dengan anggukan. Kami tidak mendapat apa-apa di sini. Tapi tetap saja ini adalah pemecahan—paling tidak kami punya beberapa informasi sekarang.

Alice berjalan pergi dan aku ingin mengikutinya, tapi kakiku tak mau bergerak. Ada yang mengusikku—sebuah kata kecil yang pedih terkubur di dalam cerita Ms. Stapley; satu kata yang tiba-tiba menjadi begitu penting.

“Eh, Ms. Stapley,” aku menanyai wanita tua lelah di meja itu, “kenapa anda menyebut jendela kamar 733 kecil? Karena aku pernah melihatnya dan jendela itu begitu besar, sekitar 5 kaki tingginya.”

“Sayang, kau berpikir tentang kamar di pojok, itu ruang penyimpanan. Kamar 733 adalah yang di sebelahnya.”

“Tidak-tidak,” aku tergagap, “Itu kamar 734.”

“Benar, yah, itu sekarang. Ketika mereka membangun kamar tambahan di gedung selatan mereka menurunkan nomor urut kamarnya.”

Oh, Tuhan. Mendadak aku merasa panas dan pusing.

“Keparat licik,” Alice bergumam di sebelahku, kulitnya memucat.

“Lydia.”

Kami berlari setengah mati menyeberangi kampus, disaksikan beberapa siswa bermata muram yang sedang dalam perjalanan menuju kelas pagi mereka. Ketika akhirnya Reilly muncul di depan mata aku menghentakkan kakiku di trotoar dengan darah yang rasanya sudah menjadi es. Dari sudut yang tepat kami dapat melihat dengan jelas jendela di kamar pojok tertutup—kali pertama dan terakhir aku melihatnya begitu. Dan jendela di kamarku terbuka.

Kami berlari ke lobi, mendorong lewat beberapa penghirup latte dan anak baru yang baru saja keluar dari lift. Aku menekan 7 dan melihat pintunya menutup lebih lambat dari biasanya. Aku bersandar ke dinding, berjuang mengatur napas.

“Alice, bagaimana bisa ini terjadi?”

“Aku tak tahu. Aku benar-benar tak tahu.”

“Dia sudah di sana semalaman, Alice. Di kamar kami. Sendirian.”

Alice menggelengkan kepala namun tidak punya kata untuk diucapkan.

Ketika pintu akhirnya terbuka di lantai 7, kami melihat koridor yang hening dan lengang. Aku berlari ke arah kamarku dengan Alice mengikuti di belakang. Memutari sudut, aku mendobrak pintunya terbuka, berharap tidak terkunci. Memang tidak.

Lydia menatap ke arahku. Dan dalam satu napas yang terhenti, secercah harapan kejam melintas di wajahnya yang bergaris air mata.

Tapi sudah terlambat. Detik berikutnya, dia bersandar ke depan dengan ringan, kemudian hilang.

Dia membuat semua orang di bawah menjerit.

Alice berlari ke langkan di mana Lydia baru saja berdiri bergeming. Dia menyelipkan kepalanya keluar jendela bersamaan dengan beberapa jeritan lain lagi yang datang dari lantai dasar. Alice mendekap mulutnya dengan tangan dan kembali menarik kepalanya ke dalam ruangan, air mata syok mengaliri wajahnya yang seputih hantu.

Jeritan-jeritan dari luar bertambah keras sementara lebih banyak lagi orang menyaksikan apa yang tersisa dari sahabatku di trotoar yang dingin. Aku bersandar ke lemari rias kemudian merosot ke lantai. Terjun kematian. Lydia tak pernah menginginkan mati dengan cara terjun.

Dengan pikiran kosong aku mengambil salah satu gambar yang berserakan di lantai. Itu gambar ibu Lydia. Dia sudah mati. Aku mengambil gambar lain. Adik bayi Lydia. Dia sudah mati juga. Ada lusinan gambar serupa yang tersebar menyelimuti lantai—Lydia sibuk semalam. Adapun hal lain yang digambarkan di sana, tapi aku tak bisa memberitahumu. Lydia adalah seniman berbakat dan aku baru melihat beberapa sebelum akhirnya merasa tak berdaya di lantai sebelahku.

Alice sedang berdiri di pintu meneriakkan sesuatu ke koridor. Aku tak tahu apa yang dia katakan karena yang kudengar di kamar hanyalah lengkingan-lengkingan tinggi. Tiba-tiba selembar kertas meluncur keluar dari bawah pintu lemari dan menggelincir menyeberangi ruangan menuju ke arahku. Aku mengambilnya dan mengamatinya beberapa lama.

Ini juga digambar oleh Lydia, tapi tidak seperti yang lain. Itu adalah gambar bilik lemari tepat dari sudut pandangku. Di dalam gambar pintunya sedikit terbuka dan ada sesuatu yang memandang dari kegelapan.

Aku meletakkan kertas itu dan ganti mengamati lemarinya. Pintunya juga sedikit terbuka persis seperti di dalam gambar. Aku memicingkan mata berusaha melihat ke dalam. Ketika aku mulai dapat membedakan sebuah garis dari wajah panjang yang melihat ke arahku, Alice menarikku mundur.

“Kita harus keluar dari sini,” kupikir aku mendengarnya berkata.

Aku tak pernah kembali ke kamar itu. Orangtuaku memindahkan barang-barangku dan aku menghabiskan sisa semester di sebuah apartemen di luar kampus. Aku dipindahkan ke sekolah negara untuk semester musim panas dan menyelesaikan gelarku di sana.

Setiap malam aku memimpikan Lydia menarik dirinya keluar jendela kecil itu, berayun-ayun di langkan yang dingin, berdiri dan menyadari tak ada apapun antara tubuhnya dan jurang yang menganga di hadapannya. Aku melihatnya memandang tujuh lantai menuju trotoar hitam di bawah dan menyadari, meskipun tidak menerima, takdirnya yang memilukan. Aku melihat kengerian tidak beralasan melintasi wajah akrabnya. Aku mendengar jantungnya yang berdegup liar, mati-matian berlomba melewati setiap detak kehidupan yang harusnya dia jalani, dan menyadari itu hanya tinggal beberapa detik saja.

Aku melihatnya menatapku. Dan aku melihatnya terjatuh.

Sudah 9 tahun berlalu sejak malam itu. Dan setiap akhir semester selama 9 tahun aku selalu menelepon Layanan Asrama untuk mencari tahu asrama mana yang dibuka untuk ditempati para siswa baru. Reilly selalu dibuka. Tapi lantai 7 ditutup.

Tahun ini kehidupan dan pekerjaan berjalan sebagai mana mestinya dan aku menelepon lebih lambat dari biasanya. Aku langsung tersambung pada panggilan tunggu.

“Layanan Asrama.” Seorang pria akhirnya menjawab. “Apa anda yang menanyakan kamar yang dibuka di Reilly?”

“Ya, itu saya.”

“Kami benar-benar penuh dan harus antri untuk Reilly. Tapi, seperti jika biasanya terjadi, anda benar-benar datang di saat yang tepat. Saya tidak berjanji tapi mungkin kami bisa menempatkan anda. Kami hanya tinggal menunggu persetujuannya pagi ini.”

“Persetujuan untuk apa?” aku berkata pelan.

“Kami akan membuka lantai tujuh.”




Comments

  1. Jadi mereka itu tumbal dari pihak kampus ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. bisa jadi ya. tapi kalau dari cerita ms. staples kan awal mulanya gara2 dulu ada murid yang main-main pake papan ouija. mungkin tuh makhluk betah aja tinggal di sana.

      Delete
  2. Kejadiaanya setiap 10thn sekali y ><
    10 tahun=1tumbal

    ReplyDelete
    Replies
    1. sepertinya nggak tepat 10 tahun, tapi memang rentangnya sekitar itu.

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 4]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]