Skip to main content

Kotak Kayu

cerita asli oleh Hary S.
Cerita ini saya tulis pada tahun 2016 untuk diikutsertakan sebuah kompetisi cerpen yang diadakan oleh sebuah penerbit dan berhasil masuk 3 besar. Sebelumnya ada kabar bahwa cerita 10 besar akan diterbitkan jadi ebook. Namun karena sampai saat ini gak ada kabar lagi jadi mending saya pos aja di sini (tapi udah dapet kok hadiahnya.hehe). Naskah kalau udah setahun gak ada kabar biasanya dianggap dikembalikan ke penulis--semoga begitu biar gak ada masalah. Cerita sudah sebagian direvisi jadi ada sedikit perbedaan dengan yang versi lomba, namun inti cerita tetap sama.


Mengejar keberangkatan bus paling pagi, aku berhasil tiba tiga jam sebelum upacara pemakaman dilangsungkan. Aku tidak menangis kali ini—tidak seperti saat pemakaman nenek dahulu. Bukan karena aku sudah lebih dewasa, kupikir karena memang aku tak terlalu dekat dengan kakek.

Seperti anak lain yang dibesarkan oleh kakek dan neneknya, aku pun lebih dekat dengan mereka dibanding dengan orangtuaku. Aku juga sayang pada ibuku, tentu saja, tapi entahlah, aku tak pernah mengenal ibuku sedekat aku mengenal nenekku.

Tapi aku sama sekali tak mengenal ayahku.

Sedikit yang kutahu dari ayahku adalah dia meninggal saat usiaku satu tahun. Karena hal itu, untuk menutupi kebutuhan ekonomi kami, ibu akhirnya merantau ke kota beberapa bulan setelahnya. Jadilah sejak saat itu aku dibesarkan oleh kakek dan nenekku. Ibuku menikah lagi tiga tahun kemudian, dengan duda yang sebelumnya adalah majikannya,. Dia hidup bahagia sejak saat itu, tetapi aku menolak ikut dengannya dan memilih tetap bersama kakek dan nenekku.

Aku masih duduk di bangku SD saat pertama kali mendengar desas-desus bahwa ayahku dulunya seorang preman atau semacamnya di kota dan terbunuh di sana. Bukan kabar yang menyenangkan. Aku menanyakan pada nenek apa yang baru saja kudengar, dan nenek hanya bilang untuk jangan pernah percaya omongan orang-orang itu. Jadi kubiarkan saja ayahku tetap menjadi misteri di hidupku.

Kakek dimakamkan tepat di samping nenek. Beberapa petak dari mereka adalah makam ayah, sudah setua makam-makam di sekitarnya. Meski belum sempat aku mengenalnya, tetap saja ada kesedihan tipis yang melayang di dalam dadaku saat melihatnya.

Malamnya, ketika aku tidur bersama sanak keluarga lain di rumah yang setahun lalu adalah tempatku tinggal, aku mendapat mimpi. Aku tak tahu apa karena aku merindukannya atau hal lain, tapi aku ingat bahwa aku bertemu kakek di mimpi itu. Dia memelukku hangat seraya mengucapkan sebuah kalimat yang tak kuingat lagi saat terbangun.

**

Dua malam kuhabiskan waktu di desa sebelum tiba waktunya kembali ke kota. Diantar dengan motor tua paman, pagi itu kami menuju jalan raya untuk menanti bus yang hanya lewat satu jam sekali.

Setahun lalu—tepat setelah lulus SMA—aku merantau ke kota seperti beberapa pemuda di desaku. Di kota aku bekerja di sebuah minimarket dan mulai merintis kehidupanku sendiri. Jika ada yang bilang ‘Hidup manusia haruslah bermanfaat’, maka bisa dibilang aku bermanfaat bagi orang-orang yang berbelanja di sana, dan lebih bermanfaat lagi bagi sang pemilik minimarket. Namun tentu saja, bukan ini hidup yang kuinginkan. Aku hanya menjalani apa yang ada. Toh ini tidak parah-parah amat; aku bisa menghasilkan uang untuk membiayai kehidupanku sendiri, menabung, juga menyisihkan untuk Kakek di desa. Aku mulai hidup dalam rutinitas dan menikmati sedikit kemapanan.

Ketika bus yang kami tunggu akhirnya muncul, paman memberiku sebuah bungkusan kecil.

“Dari kakekmu,” katanya pendek. “Dia bilang hanya untukmu. Tak ada orang lain yang boleh tahu.”

“Apa ini?” tanyaku, mengamati bungkusan kertas yang tak lebih besar dari satu genggaman tangan sementara bus mendesis berhenti di depan kami.

“Aku juga tak tahu,” kata paman, cepat-cepat mendorongku naik. “Jaga dirimu.”

Aku duduk di kursi terdepan sisi kiri yang masih kosong, mengambil tempat dekat jendela. Bungkusan kecil itu membuatku penasaran, jadi langsung saja kubuka.

Ada dua lapis pembungkus rupanya; kertas cokelat tadi di luar, dan sepotong kain seukuran sapu tangan di dalam. Terbungkus oleh kain merah tua itu adalah sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu cokelat keras; seukuran tempat cincin dan tampak sangat tua. Ada engsel di penutup mininya, tak ada pengunci, hanya ditahan oleh tali bersimpul sederhana. Aku menarik lepas talinya untuk membuka tutupnya. Benda itu bergeming. Kucoba lagi. Tetap tak terbuka.

Menyimpan rasa penasaran untuk nanti, kubungkus kembali kotak itu dan kulempar dia ke dalam tas.

Menyimpulkan tak akan punya teman ngobrol di perjalanan, kuputuskan untuk memejamkan mata dan tidur.

**

Aku terbangun ketika bus sedang berderu melewati liku jalan pegunungan. Cuaca sedikit gerimis dan berkabut, tapi si sopir melaju dengan percaya diri. Aku melirik ke tempat duduk sampingku. Sudah ada penumpang yang duduk di sana. Seorang gadis yang sedang duduk dengan tak nyaman. Tangannya menekan ransel yang menggembung di pangkuannya, wajahnya mengeras karena takut dengan manuver bus yang kami tumpangi.

Jalanan sedikit menurun, dan itu ingin dimanfaatkan si sopir untuk menyalip sebuah minivan pribadi yang sejak tadi bertahan di depan kami. Tapi si minivan tak mau mengurangi kecepatan. Merasa berhak mendahului, sopir bus menginjak gas makin dalam, bus tersentak maju lebih kencang lagi. Jalanan mulai membelok, tapi masih tak ada yang mau mengalah.

Aku hanya melihat kepala truk hijau besar yang tiba-tiba muncul di tikungan. Gadis di sampingku menjerit. Aku menjerit. Semua orang menjerit. Klakson panjang lalu suara benturan yang lebih keras. Sangat keras.

Itu adalah suara paling keras yang pernah kudengar, seperti kaleng raksasa yang dipukul oleh martil yang juga raksasa, dan kau ada di dalamnya—hingga aku langsung tuli dibuatnya. Atau mungkin langsung mati?

Aku membuka mata. Aku masih hidup! Aku masih duduk di kursi terdepan bus yang sedang tabrakan. Tapi semua berbeda. Dunia hanya hitam dan putih di mataku, dan berbayang, dan berat. Napasku sesak, telingaku mendengking, tapi aku bisa menggerakkan tubuhku sementara semua terhenti...

Tidak. Ini tidak terhenti. Hanya melambat. Sangat-sangat lambat.

Aku tak tahu apa yang terjadi, namun jelas aku harus cepat-cepat pergi. Kaca depan bus sudah menjadi seribu serpihan, berkelip seperti bintang mainan di udara. Kepala truk dan bus sudah menyatu. Aku tak sanggup membayangkan yang akan terjadi pada si sopir, atau kondektur, atau penumpang lain.

Kucoba untuk bergerak, dan tubuhku luar biasa beratnya, seakan udara di sekelilingku telah dipadatkan, seakan aku sedang tenggelam di dalam agar-agar. Pintu depan tak bisa dilewati karena bus sudah menggencet mobil yang enggan disalip tadi. Aku melihat si gadis di sebelahku. Kedua tangannya di depan wajah, matanya terpejam sementara dia mematung dalam jeritan.

Sial.

Kuangkat tubuh gadis itu—tubuh itu terasa tidak berbobot sekarang, tapi tubuhku tetap berat untuk digerakkan, tertahan oleh entah apa, dadaku sesak, kupingku terus berdenging, dan apa yang kulihat hanya gambar hitam dan putih yang kabur. Tapi aku harus bergerak, aku tak boleh berhenti.

Aku memaksa kakiku terus melangkah, dengan terus membawa gadis itu bersamaku. Pintu belakang bus terasa ratusan meter jauhnya, sementara napasku semakin kempis, tubuhku semakin berat, dan aku terus melangkah, melewati kursi dan para penumpang yang beku seperti boneka. Dan aku melangkah lebih jauh lagi...

Aku sampai di tepi jalan dan berhasil menurunkan tubuh si gadis, tepat ketika semua warna kembali muncul dan suara benturan keras yang terpotong tadi kembali menyengat telinga.

Udara membanjir masuk ke paru-paruku—napasku memburu. Tubuhku penuh keringat dan bahkan tanpa kusadari air mata sudah mengalir di mataku. Si gadis meneruskan jeritan panjangnya. Aku tak berani menoleh ke belakang.

**

Hari-hari berlalu sejak peristiwa itu. Sedikit perubahan yang kurasakan adalah kini aku sedikit takut untuk bepergian dengan bus atau berhadapan dengan truk. Dan aku tidak mencari tahu lebih detail tentang kecelakaan itu. Kudengar sedikitnya ada sepuluh korban jiwa dari tiga kendaraan yang terlibat. Tapi cukup itu yang kutahu. Aku merasa bersalah sekaligus ngeri setiap memikirkan bahwa harusnya aku menjadi bagian dari itu semua. Bahwa harusnya kami tidak selamat.

Aku juga terus memikirkan kekuatan itu, tapi selalu mencegah diriku untuk kembali mencobanya. Karena, meski terdengar keren, semua itu sama sekali tidak menyenangkan. Aku pernah melihatnya di film-film fiksi. Ini persis dengan yang dilakukan oleh karakter yang dapat bergerak dengan sangat cepat. Tapi apa yang ada di film itu adalah lelucon besar dibandingkan dengan yang kualami. Sensasi napas sesak, dunia menjadi hitam dan putih, pendengaran yang berdenging, entahlah, bahkan aku merasa dapat mati setiap saat karenanya.

Berusaha melupakan semua itu, kusibukkan diriku dengan pekerjaan yang ada di toko. Mendata stok barang, mengatur rak, mengepel, membantu kasir saat jam membludaknya pelanggan—yah, semua pekerjaan yang biasa dilakukan seorang penjaga toko. Aku mulai kembali ke hidup normalku di minimarket 24 jam ini, sampai panggilan itu datang.

Nomor baru.

“Halo?” aku menerima.

“Indra?” kata suara di seberang.

“Ya, siapa ini?”

“Risa.”

“Oh.” Aku berhenti, teringat pernah bertukar nomor dengan gadis di dalam bus. “Eh—ada apa ya?”

“Bisa ketemu?”

“Aku lagi kerja,” jawabku. “Dua jam lagi pulang.”

“Tidak sekarang,” dia tertawa. “Bagaimana kalau besok?”

“Oke. Di mana?”

Dia memberiku alamat dan kami menentukan waktunya. Aku mencatatnya di sobekan kertas yang kutemukan lalu kembali bekerja.

**

Tempat itu setengah jam jauhnya dari kosku, dua kali oper angkot. Itu sebuah mall yang terletak di antara daerahku dan daerah Risa tinggal. Aku tiba sekitar dua puluh menit lebih awal dari waktu janjian, jadi aku menunggu kabar darinya di area parkir yang penuh pohon di sana.

Pesan Risa masuk lima menit sebelum waktu janjian. Aku langsung menuju pintu utama, tempat katanya dia menunggu.

Risa menguncir rambutnya hari itu, memakai celana jins panjang santai dan jaket Arsenal. Benar-benar di luar dugaan. Penampilannya yang biasa saja malah membuatku sadar bahwa wajahnya lumayan manis.

“Hai,” kataku serak.

“Hai,” dia membalas.

Kami saling pandang sebentar. Aku menyesal tidak memakai pakaian yang lebih baik dan bertanya-tanya sendiri apa parfum yang kupakai tadi masih manjur efeknya.

“Mau ke mana kita?” tanya Risa.

“Aku belum pernah main ke sini,” jawabku jujur.

Dia mengangkat bahu. “Baiklah, ayo,” katanya sambil mengedikkan kepala.

Masih dengan canggung, aku mengikutinya berkeliling sebentar kemudian masuk ke sebuah restoran fastfood. Merasa mampu mengendalikan situasi, aku memintanya mencari tempat sementara aku memesan. Empat menit kemudian aku membawakan makanan pesanannya ke tempat pilihannya di dekat jendela, jauh dari orang-orang.

“Pasti ada yang penting, kan?” tanyaku, menaruh burger dan es krim pesanannya.

“Trims,” sambutnya. “Yah, aku hanya penasaran saja sih. Soal itu.

Tapi ingatan segar lolos dari kecelakaan maut bukanlah topik yang cocok untuk makan siang, jadi demi sopan santun aku hanya mengajaknya ngobrol ringan terlebih dahulu.

Risa cewek yang menyenangkan. Selama sekitar sepuluh menit kami saling menceritakan diri masing-masing. Dia baru mulai magang di sebuah perusahaan dua bulan lalu. Dari sana aku tahu bahwa ternyata dia setahun lebih tua dariku. Dia menolak saat aku setengah bercanda memanggilnya ‘mbak’.

“Ini. Baca deh,” Risa menyorongkan ponselnya saat aku sudah selesai makan dan kembali dari wastafel sementara dia baru mulai menyendok es krimnya.

Itu adalah trit di sebuah forum, sepertinya kumpulan cerita orang-orang yang menuliskan pengalamannya. Cerita yang dia tunjukkan padaku adalah tentang pengalaman orang yang mengalami kecelakaan dan selamat karena tiba-tiba berpindah tempat. Tapi di cerita itu si orang ‘diselamatkan’ oleh kekuatan tak terjelaskan, sementara aku ‘menyelamatkan diri sendiri’ dengan kekuatan yang tak terjelaskan.

Memang, setelah kejadian itu, aku sempat memberitahu Risa agar tidak membicarakan apa yang kami alami. Aku tidak memberitahu detailnya, jadi pasti dia mengira cerita di internet ini serupa dengan yang kami alami.

Risa mengamati penuh arti saat kukembalikan ponselnya.

“Kenapa tidak kita lupakan saja dan anggap ini adalah sebuah mukjizat bagi kita?” kataku lirih padanya.

“Ini sama kan dengan yang kita alami?” Risa bertanya, sama sekali tak mendengar omonganku. “Aku menemukan beberapa cerita yang sama, tapi hanya ada satu yang memberi penjelasan. Katanya dia diselamatkan oleh ‘penjaga’ dirinya.”

“Kita tidak diselamatkan,” kataku jelas. “Aku yang menyelamatkan kita.”

Kuputuskan untuk memberitahu dia kejadian selengkapnya. Kuceritakan semua yang kualami saat itu juga. Lengkap dari sudut pandangku.

“Jadi maksudmu kau seperti di film-film itu? seperti superhero yang bisa bergerak cepat?” tanya Risa, sendok es krimnya mengambang di udara. “Seperti The Flash?”

“Tidak seasyik itu, asal kau tahu,” aku menerangkan. “Aku bahkan tak ingin mengulanginya. Rasanya-amat-sangat-tidak-menyenangkan.”

“Dan ini pertama kalinya kau mengalami?”

“Ya,” kataku, lalu kubuka ranselku dan kutunjukkan kotak kecil yang kini hanya terbungkus kain merah. “Kupikir ada hubungannya dengan ini.”

Risa membuka kain itu dengan takut. Dan tidak bertambah berani ketika tahu isinya. Dia langsung menutup bungkusnya dan mendorongnya kembali padaku.

“Apa itu?”

“Peninggalan kakekku.”

“Isinya?”

“Tak bisa kubuka.”

“Jadi kau pikir ini yang memberimu kekuatan?”

“Kejadian itu dan benda ini sama-sama anehnya, dan datang di waktu yang nyaris bersamaan, jadi pasti berhubungan, kan,” kataku, sadar itu hanya dugaan tanpa bukti. Tapi aku tak bisa menemukan penjelasan lain. “Kau bisa lihat kan kalau ini bukan kotak biasa.”

Risa melirik kotak itu setengah hati.

“Mungkin sebenarnya kau sudah lama punya kekuatan, tapi kemarin adalah awal kau bisa memakainya,” katanya kemudian.

Arah percakapan itu makin tak nalar, tapi aku terus memikirkan perkataan Risa.

**

Begitu sampai di kos, aku ikut-ikutan Risa browsing sana-sini, mencari tahu soal benda pusaka, benda peninggalan, benda keramat, dan sejenisnya. Aku semakin yakin bahwa semua pasti berhubungan dengan benda tua ini. Tapi tak semudah itu. Yang kutemukan kebanyakan mengarah ke artikel museum atau artikel tentang cerita sejarah lainnya. Aku menyerah.

Kukeluarkan lagi kotak itu dan kuamati permukaan kayunya yang keras seperti yang selalu kulakukan akhir-akhir ini setiap tak ada kerjaan. Sangat jelas kotak itu berengsel, dan tanpa pengunci, tapi aku masih tak bisa membukanya. Sempat terlintas untuk mencongkelnya atau merusaknya, tapi itu peninggalan kakek, dan memikirkan usianya yang mungkin lebih tua dari negara ini membuatku urung.

Baiklah, saatnya mencoba cara terakhir.

Aku menegakkan diri di atas kasur lantaiku, memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam dan menahannya...

Kubendung paru-paruku sampai ngos-ngosan seperti ikan menjemput ajal. Tak ada yang terjadi.

Usaha kedua masih gagal. Barulah di usaha ketiga kurasakan ada yang menahan detak jantungku. Aku membuka mata dan kamarku sudah tenggelam di dunia hitam putih itu. Ini dia! Tak ingin membuang waktu, kusambar kotak itu dan kubuka penutupnya.

Terbuka.

Kosong. Kuamati sudut-sudutnya dengan saksama, berharap tidak melewatkan apa pun, dan ketika kualihkan pandang darinya, aku hampir melompat karena sudah ada orang yang berdiri di pintu kamarku.

“Hai, Indra,” orang itu menyapa. Dia pria jangkung dan tampan. Suaranya sangat bening tak wajar. “Tak apa. Bernapaslah. Pelan-pelan. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri jika seperti itu. Memang butuh latihan untuk menguasainya.”

Aku menuruti perintahnya. Kuatur napasku perlahan. Aku tetap kesulitan bernapas, tapi denging di telingaku berkurang, dan dunia hitam putih ini makin bisa kupahami—meski semua tetap kabur. Kini aku bisa mendengar suara ribuan orang di kejauhan, seperti riuh di tengah stadion, tapi suara-suara itu sangat jauh.

“Siapa kau?” tanyaku, sedikit heran mendengar suaraku sendiri yang juga lebih bening dibanding biasanya.

“Namaku Baratari,” jawabnya. “Aku meminjami kau kekuatanku. Kau sudah menggunakan kekuatannya, itu artinya kontrak kita sudah dimulai. Kau suka?”

Aku diam.

“Aku di sini karena kau memanggilku,” lanjut Baratari. “Aku akan menjawab semua pertanyaanmu.”

“Bagaimana cara mengendalikannya?” tanyaku langsung.

“Kau sudah tahu,” jawabnya. “Kau hanya perlu lebih banyak latihan.”

“Kapan saja aku bisa menggunakannya?”

“Kapan saja kau menginginkan.”

“Sampai kapan?”

“Sampai kau bosan, atau tak lagi hidup.”

“Apakah ada bayarannya?” tanyaku lagi. “Se—sebagai ganti kekuatan ini?”

“Ini pertemuan pertama kita, aku akan membiarkanmu bersenang-senang dulu dengannya,” ujar Baratari. “Aku akan menemuimu lagi. Akan kita bahas harganya dan apakah kau ingin melanjutkan kontrak atau mengalihkannya.”

“Dialihkan? Bisakah seperti itu?”

“Tentu saja. Ini perjanjian besar. Kuberi kau waktu untuk mempelajari kekuatan itu dan membulatkan keputusan.”

Dadaku mulai sakit, tapi aku terus bertahan.

“Apa... apa kau kenal kakekku?” Pertanyaan yang terlambat.

“Maaf, waktu kita terbatas. Kita harus berpisah sekarang atau kau akan mati karenanya,” kata Baratari. “Kau bisa memanggilku lagi. Tapi perlu kau tahu, kekuatan itu tak akan berfungsi selama tiga hari ke depan setelah kau menggunakannya untuk memanggilku. Nah, sampai jumpa, Indra.”

Aku merasa napasku terhenti, dan dalam sebuah hentakan, semua kembali ke sediakala. Kamarku kembali berwarna dan keringat membanjiri sekujur tubuhku. Aku sudah jatuh miring di lantai. Paru-paruku kembali mengembang di saat yang tepat. Kotak kecil itu tergeletak di depanku. Kembali tertutup.

**

Kekuatan itu benar-benar tak dapat digunakan selama tiga hari lamanya. Aku menghubungi Risa lagi dan kami membuat jadwal bertemu, karena dialah satu-satunya yang tahu persoalan ini. Dan jujur aku senang punya alasan bertemu lagi dengannya.

Kami janjian lagi di tempat yang sama. Dia muncul dengan jaket Arsenalnya lagi siang itu, tapi kali ini rambutnya dia biarkan tergerai di bahunya.

“Jadi, bagaimana menurutmu? Apa sebaiknya kuteruskan atau kutinggalkan saja?”

“Dia tak mengatakan dirinya jin atau iblis atau makhluk lainnya?”

“Entahlah, sepertinya tidak,” kataku tak sabar. “Paling tidak dia terlihat seperti manusia normal.”

Risa tampak berpikir sambil menyendok eskrimnya. Ini tempat makan yang berbeda, tapi dia tetap memesan es krim vanilla.

“Kalau benar ada harga yang harus dibayar, kupikir itu pasti tak murah,” katanya masuk akal. “Dan yang pasti bukan uang yang dia inginkan, kan? Kedengarannya berbahaya bagiku.”

Aku diam berpikir.

“Jika kau memang tak yakin,” kata Risa lagi, “sebaiknya jangan kau gunakan lagi kekuatan itu. Siapa tahu dia tak akan datang lagi dan semua akan kembali normal.”

Aku setuju dengannya. Apa pun ini, kelihatannya memang bukan hal baik. Dan aku masih belum punya kebulatan tekad untuk ikut terlibat.

“Risa, jadi kau percaya dengan semua yang kuceritakan ini?” Aku bertanya tak yakin.

“Kenapa memangnya?”

“Yah, aku saja masih sulit untuk percaya,” kataku, mengangkat bahu. “Aku tak akan menyalahkanmu jika kau berpikir aku bohong atau gila.”

Risa mencondongkan tubuhnya dan menatapku.

“Indra, aku duduk di kursi terdepan bus yang tabrakan dan detik berikutnya aku sudah duduk di pinggir jalan bersamamu. Bagaimana mungkin aku tak percaya padamu?” dia berkata sungguh-sungguh. “Kau boleh menyebutnya mukjizat, atau sihir, atau apa pun, dan aku tetap berhutang padamu. Jadi jangan sungkan kalau kau butuh sesuatu. Aku akan membantu sebisaku.”

“Eh, tidak—bukan itu maksudku.” Aku merasa tak nyaman, tapi juga anehnya bahagia. “Yang penting kita baik-baik saja kan sekarang. Trims sudah percaya padaku kalau begitu.”

Risa hanya tersenyum sambil meneruskan menggali es krimnya.

Kami meneruskan jalan-jalan setelahnya, sambil terus mengobrol tanpa menyinggung lagi masalah itu. Dan sore menggelincir begitu cepatnya. Tahu-tahu saja aku sudah mengantar Risa ke tempatnya menyetop angkot.

“Indra, makasih untuk traktirannya ya,” kata cewek itu, berdiri ketika angkotnya muncul di kejauhan.

“Sama-sama,” kataku, tak bisa menahan senyum. “Omong-omong, kau cocok banget pakai jaket bola. Cocok jadi presenter bola.”

“Oh, ini,” dia hanya tertawa. “Presenter apanya, aku nggak paham bola. Ini cuma dari cowokku—sudah ya. Aku duluan, Indra!”

Aku balas melambaikan tangan. Senyumku pasti terlihat bodoh sekarang.

**

Sesuai anjuran Risa, aku sama sekali tidak coba-coba lagi dengan kekuatan itu. Aku juga berjuang keras untuk tidak menghubungi nomor ponselnya lagi. Sialnya itu adalah dua hal yang sulit untuk kulakukan.

Hari Rabu. Aku mendapat giliran shift malam. Dan saat itu hampir tengah malam ketika datang serombongan besar pemotor ke toko. Jantungku mencelos.

Geng motor. Seperti yang selama ini hanya kudengar di berita.

Aku sedang di belakang. Temanku Diki yang saat itu di meja kasir. Hanya ada kami berdua di minimarket. Aku mengintip ketika mereka menyerbu beramai-ramai, satu orang menodongkan pistol ke Diki sementara beberapa yang lain menahannya agar tidak lari. Semua mengenakan helm dan penutup muka. Ada sedikitnya delapan motor. Separuh orang masuk dan mengacak-acak toko sementara sisanya siaga di luar dengan mesin motor menyala.

Tak perlu berpikir dua kali untuk tahu apa yang harus kulakukan.

Dunia hitam putih itu kembali menyambutku. Tak ada rasa takut kali ini. Jantungku berdetak penuh gairah dan kemarahan. Dan itu membuatku lupa tentang penderitaan yang dirasakan tubuhku. Dengan mudah kuseret tubuh anak-anak yang kini diam membeku—benar, mereka tampaknya masih anak sekolah, SMA paling besar. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan, yang penting kukeluarkan semua sampah keparat itu. Diki juga terhenti dengan mata melotot dan mulut tertutup lakban, entah dia bisa melihatku atau tidak.

Akhirnya aku dapat ide untuk melakban dan mencemplungkan anak-anak geng itu ke bak-sampah-truk di dekat toko. Kulakukan semua sendirian. Ada dua orang yang tak bisa kumasukkan ke sana karena sudah penuh, jadi aku hanya melakban tangan dan mulut keduanya kemudian kukunci mereka di toilet toko. Aku nyaris tak mampu melakukan hal terakhir. Kupikir aku terlalu lama di dunia ini. Ketika napasku meringan dan dunia yang berwarna kembali, aku langsung ambruk tak sadarkan diri di depan pintu toilet.

**

Aku terbangun di sebuah klinik tiga jam kemudian. Polisi dan beberapa orang perusahaan meminta keterangan pagi harinya. Aku bilang berkelahi dengan salah satu pelaku dan kalah hingga pingsan di depan toilet. Mereka sulit percaya karena CCTV tidak memperlihatkan apa pun—rekamannya seperti habis dipotong dan para pelaku seperti lenyap begitu saja di udara—apalagi Diki tidak membuat pengakuan bahwa dia melihatku melakukan apa pun. Tapi kesaksianku masuk akal, jadi mereka menuliskannya dalam laporan setelah menyimpulkan ada kerusakan sistem pada CCTV atau hal semacamnya.

Diki menanyaiku secara pribadi ketika kami dipulangkan. Aku memberinya cerita yang sama dengan para polisi tadi.

**

Aku tidak memanggilnya. Aku tahu dia akan datang.

“Luar biasa, Indra, luar biasa,” kata Baratari ketika dia muncul. “Aksi terakhirmu, kurasa itu lebih dari dua tarikan napas. Bagaimana? Menyenangkan bukan?”

Aku bahkan tak mengerti apa yang dia bicarakan.

“Katakan saja,” sambarku. “Perjanjian itu. Aku ingin tahu harganya.”

“Hidupmu,” jawab Baratari tanpa basa-basi. “Kekuatan itu dibayar dengan hidupmu. Umurmu akan berkurang setiap kali kau menggunakannya. Bahkan umurmu sudah berkurang sejak kau menggunakannya kali pertama. Di dalam bus itu.”

Aku menelan ludah.

“Berapa umur yang akan diambil dariku?”

“Tak bisa kukatakan.”

“Kau bilang ini bisa dialihkan,” kataku lagi. “Bagaimana caranya?”

“Kau harus membayar, yah, semacam ganti rugi,” kata Baratari malas. “Kami harus meminta nyawa salah satu keluargamu. Dan kami tak akan pernah menyentuh keluargamu lagi.”

Aku mengernyit jijik. Nyaris tak percaya.

“Aku serius,” kata Baratari. “Tiga garis. Jadi paling jauh kau bisa memberikan nyawa saudara sepupumu. Sebutkan saja yang kau anggap paling menjengkelkan.”

Orang ini gila.

“Kau benar, Indra,” dia menambahkan. “Lebih baik menjaganya untuk diri sendiri. Tak ada orang waras yang mau mengorbankan nyawa orang lain.”

“Apa ini dari garis keturunan?” tanyaku. “Apa ini dari kakekku? Kau kenal dia, kan?”

Baratari menyunggingkan senyum tipis. Lalu sebuah pemahaman meninju kesadaranku; Ayahku! Kini aku tahu kenapa ayahku mati di usia yang begitu muda.

“Ketika si pemilik meninggal, harusnya itu diturunkan kepada putranya,” Baratari menerangkan. “Tapi kau belum memenuhi syarat saat itu, jadi kekuatan ayahmu kembali ke si pemberi, yang mana adalah kakekmu. Jadi ketika kakekmu kehabisan masa hidupnya—maka di sinilah kita sekarang.”

Otakku mencerna cepat. Kakek bisa hidup selama ini, jadi dia tak pernah menggunakan kekuatan ini. Entah untuk melindungiku atau dia takut akan segera mati seperti putranya.

“Jadi semua ada di tanganmu sekarang,” kata Baratari. “Kau bisa memberikan satu nyawa pilihanmu agar aku pergi, atau kita teruskan saja kerjasama ini.”

Aku tak bisa mengelak. Dan akhirnya Baratari menjabat tanganku dan kami resmi menjadi rekan.

“Dan satu lagi, Indra,” kata Baratari ketika dia sudah mengambil jarak, bersiap pergi. “Ini penting. Kau tak boleh menceritakan kekuatan ini pada siapapun. Hanya kita yang boleh tahu.”

“Kenapa memangnya?” tanyaku defensif. Firasatku tak nyaman.

“Jangan katakan pada siapa pun,” kata Baratari, “atau orang itu akan... disingkirkan.”

“Tapi—kita belum dalam perjanjian saat itu!” aku memprotes, jantungku bertalu menyakitkan. “KENAPA TIDAK KAU KATAKAN SEJAK AWAL!”

Baratari memandangku dengan tatapan sedih. “Semua ketentuan berlaku sejak kali pertama kau menggunakan kekuatan—yang berarti di bus itu.”

Kami saling pandang. Aku dengan napas yang semakin tak terkendali dan menipis, dan Baratari dengan alis terkerut.

“Maaf, Indra. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini di luar kuasaku.”

Aku menerjangnya tepat ketika dia menghilang. Aku sudah terbangun di kamar kosku, berteriak parau ke langit-langit. Yudi menggedor pintu keras-keras, menanyai apa aku baik-baik saja. Aku berteriak menjawabnya lalu bergegas mencari ponselku. Ketemu. Kutekan nama Risa di layar. Nada tunggu, tapi tak pernah diangkat. Sepuluh kali aku mencoba sampai nomor itu tidak aktif.

Semua itu tak benar. Semua itu tak benar.

Kugeledah ranselku. Kutemukan kotak kecil terkutuk itu, kubawa keluar dan kuhancurkan dia dengan batu yang kutemukan. Kubakar hingga jadi arang lalu kulempar bangkainya ke tempat sampah. Ini pasti mengakhiri urusan kontrak terkutuk itu.

Nomor Risa tak pernah aktif sepanjang hari itu, atau hari selanjutnya. Di hari keempat barulah nomor itu aktif dan panggilanku diterima.

“Halo?”

“Halo... Risa?” tanyaku lirih, padahal aku tahu itu bukan suara miliknya.

Itu suara kakak perempuan Risa. Dia menanyai aku siapa dan apakah ada kepentingan dengan Risa yang belum diselesaikan karena pihak keluarga yang akan menyelesaikannya. Suaranya seperti datang dari tempat yang sangat jauh saat dia mengabarkannya. Risa mengalami kecelakaan dua hari lalu. Dia dimakamkan sehari lalu di kota asalnya di Surabaya.

Semua ini tak benar. Semua ini tak benar...

Dunia tempatku hidup seakan ikut tertelan dunia hitam putih itu. Tak bisa kubedakan mana yang nyata dan mana yang sihir Baratari.

Aku merasa kotor sekarang. Sesuatu yang jahat tinggal di dalam tubuhku. Sesuatu yang begitu mudahnya mengambil nyawa seseorang.

Kita keliru saat menyebut semua ini mukjizat, Risa. Ini bukan mukjizat. Ini kutukan...

Dan aku terus memikirkan Risa. Pertemuan singkat kami. Kepergiannya.

Aku gagal menyelamatkannya. Tapi peristiwa geng motor itu membuatku sadar bahwa kejahatan tak pernah tidur dan akan selalu ada, bahwa masih banyak yang butuh diselamatkan di luar sana. Aku tak ingin mengurung diri dalam kedamaian. Tidak dengan kekuatan yang bersemayam ini. Sudah kuputuskan akan ke mana perjalananku selanjutnya. Akan kutebus kesalahanku.

Aku mengundurkan diri dari minimarket tempatku bekerja dua hari setelahnya. Uang, kehidupan mapan, tak ada yang kurisaukan lagi—tak ada yang kutakuti—toh aku akan segera mati. Aku mulai bertanya-tanya tentang apa yang sudah ayahku lakukan dengan kekuatan ini—hingga dia pergi semuda itu. Apakah kebaikan? Atau sebaliknya? Sudah waktunya aku mencari jawaban.

Ini tak akan mudah, aku tahu. Aku hanya berharap apa yang akan kulakukan nanti dapat membebaskan diriku dari penyesalan ini, atau dari apa pun yang kini merasuki tubuhku. Jadi kutemui lagi dia malam itu, di dunia hitam putihnya.

“Jadi, kau sudah siap untuk petualangan selanjutnya, Indra?”

Aku memandang sosok Baratari yang masih berdiri di sana, menunggu kata dariku. Melupakan segala malapetaka yang dia datangkan, aku harus berteman dengannya mulai sekarang. Aku wajib bersyukur karena kini aku tak lagi takut akan kematian. Dan yang lebih penting aku bisa memahami, bahwa hidup bukanlah soal berapa lama kau sanggup bertahan di dunia, tapi apa yang sudah kau lakukan dengan waktu yang dianugerahkan padamu.

“Ya, aku siap.”


Comments

  1. Wow keren. Selamat atas kemenangannya Gan

    ReplyDelete
  2. gan, cerita penpalnya dong gan hehe makasih loh

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Keren ka. Ditunggu cerita selanjutnya

    ReplyDelete
  5. Ini keren banget kak. Tapi ini oneshot ya? Atau ada kelanjutannya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih. ada terpikir kelanjutannya, tapi masih butuh banyak pengembangan.

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

4 Cerita Horor Tokyo