by kaiyangsa
Kali ini saya ingin membagikan kisah penceritaan ulang dari tragedi Gunung Slamet 2001. Barangkali ada yang belum pernah baca.
Cerita asli ditulis oleh akun kaiyangsa dan dipost di platform kemudian.com pada 16 Maret 2011. Kemudian saya melakukan editing (typo dan format) dan merepostnya di Kaskus pada 5 Juli 2016 menggunakan akun kentonganbebek (klonengan gan).
Kini untuk kali kedua saya akan melakukan (sedikit) editing lagi untuk saya repost di blog ini. Isi cerita tidak diubah. Saya cuma ngerasa di bagian tertentu agak kepanjangan aja deskripsinya jadi saya berusaha merapikan bagian yang terasa repetitif.
Siapkan stamina karena ceritanya cukup panjang. Selamat membaca.
Credit/penghapusan cerita silakan PM.
-cerita original: https://www.kemudian.com/node/253734
-versi kaskus: https://kask.us/igPOR
Catatan dari atas awan
Part 1
Februari 2001
“Enggak! Perjalanan ini hanya akan kita lakukan saat cuaca baik. Aku nggak mau pertaruhkan nyawaku untuk ikut perjalanan ini!” Teriakan itu muncul dari balik jendela kamar Noel.
“Kalau menunggu cuaca baik itu artinya melewati batas waktu yang sudah diberikan. Semua harus kita selesaikan bulan ini juga, Noel….”
“Lagi pula kalau menunggu cuaca baik, kita juga gak tau pasti kapan…Toh kita melakukan perjalanan ini tidak sendirian kan, tetep akan ada pendampingan dari senior. Ga bakal kenapa-napa deh…”
Perdebatan malam itu tidak menemukan kesepakatan yang menyenangkan, Noel terpaksa mengundurkan diri dari Tim dan itu menyisakan keganjilan diantara teman-teman yang terlibat dalam perjalanan kali ini.
Ini bukan pertama kalinya aku melakukan pendakian. Hanya saja pendakian kali ini bukan pendakian seperti sebelumnya. Ada tugas yang harus aku dan teman-teman kerjakan sebagai syarat bergabung dan diterima di komunitas pencinta alam di salah satu universitas negeri terkemuka di Jogja. Pendakian ini disebut Wajib Gunung.
Awalnya lokasi yang dipilih adalah gunung Merapi, tetapi mengingat kondisi Gunung Merapi yang “AWAS” maka pendakian dialihkan ke Gunung Slamet. Bukan tanpa pertimbangan, Gunung Slamet dipandang mempunyai karakteristik yang tidak terlalu jauh berbeda dengan Gunung Merapi. Selain sama-sama masih aktif, jenis batuannya pun relatif sama yaitu batuan andesit, dilihat dari batas vegetasi (plawangan) hingga ke puncak merupakan batuan lepas, berpasir dan merupakan lereng yang cukup terjal. Dan yang pasti keduanya masih di pulau Jawa. Ya, lokasi yang diambil memang tidak terlalu jauh karena pendakian ini pendakian dalam rangka pendidikan lanjut setelah pendidikan dasar kepencintaalaman.
Perjalanan ini akan diikuti beberapa anak yang terbagi dalam 4 kelompok. Dua tim akan memulai pendakian dengan mengambil entry point di jalur pendakian Baturaden dan dua lainnya mengambil entry point di jalur pendakian Kaliwadas. Masing-masing tim didampingi oleh dua orang senior. Untuk menghindari penumpukan jumlah pendaki, maka setiap tim berangkat dari Jogja selang satu hari dari tim yang lain.
Seperti kesepakatan terakhir, Noel memutuskan untuk mundur dari tim. Tersisalah 4 orang; aku, Iin, Baried, dan Azis. Rupanya yang memutuskan untuk tidak bergabung tidak hanya Noel, seorang pendamping yang sudah ditentukan oleh pengurus mendadak mengundurkan diri karena alasan kuliah. Apa boleh buat, perjalanan tetap harus dilakukan, ada atau tidak adanya mereka. Toh pengalaman dan pengetahuan Yayak cukup meyakinkan kami untuk tidak mundur atau ragu. Apalagi kami bukan tim pertama yang melewati jalur pendakian Baturaden. Sehari sebelumnya, tim Baruraden I yang didampingi oleh Wiwid dan Ndaru sudah melakukan pendakian. Jadi kami tinggal mengikuti jejak mereka untuk tiba di puncak Gunung Slamet.
Setelah subuh kami meninggalkan Jogja menuju Purwokerto. Semua bertemu di Terminal Umbulharjo di halte jurusan Jogja – Purwokerto. Kami sengaja memilih berangkat dengan bus karena lebih cepat dan pasti dapat tempat duduk. Kami tidak mau bertaruh naik kereta akan mendapat kenyamanan yang sama dengan bus. Carrier yang kami bawa juga akan lebih aman, dan yang pasti kami tidak harus mengawasinya setiap detik, karena semua bisa masuk bagasi. Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Waktu yang lebih dari cukup untuk tidur lagi membayar begadang semalam saat menyiapkan perlengkapan.
Bus melaju ke barat meninggalkan Jogja yang masih lengang. Setelah kondektur meminta ongkos, selesailah tugas kami. Tanpa ngobrol lama, mata yang masih menyisakan kantuk kembali merapat, dengan kepala bersandar nyaman di sandaran kursi.
Tim Baturaden II (Nevi, Iin, Azis, Baried, Yayak)
Tidak terlalu sulit untuk menemukan entry point pendakian. Cukup sebutkan “Mau ke Slamet” sopir angkot akan mengantar hingga jalan setapak di pertengahan hutan. Jalur Baturaden memang cukup ramai karena Baturaden merupakan objek wisata yang terkenal di Purwokerto. Di dalam hutan ada jalan aspal meski tidak lebar, dan itu sangat memudahkan awal perjalanan kami.
Matahari bersinar cukup hangat. Sengaja kami memulai perjalanan pagi-pagi agar bisa mencapai target lokasi dan tidak terlalu ngoyo. Kami harus mengondisikan diri dengan beban carier yang cukup berat dan penurunan kadar oksigen di setiap ketinggian yang kami capai. Semakin tinggi lokasi yang kami lalui, semakin tipis oksigen yang tersedia. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengatur pernapasan.
“Tunggu… pelan-pelan aja..,” teriak Azis di satu jam perjalanan masuk hutan Baturaden. Yayak yang berjalan paling belakang sebagai sweeper hanya tersenyum setiap kali Azis merebahkan tubuhnya bersandar di akar pohon. Hutan yang lebat, pohon-pohon menjulang dengan batang yang besar, akar muncul di permukaan tanah. Sejak isi carier kami bertambah dengan 5 liter air, perjalanan memang menjadi bertambah berat. Dan itu sangat dirasakan oleh Azis.
“Istirahat aja dulu, jangan ngeluh…” kataku. Aku teringat pesan Pak Kadus tempat kami singgah kemarin malam.
“Kalau ndaki gunung, jangan mengeluh, nanti capek beneran. Trus jangan buang air sembarangan, minta ijin dulu. Ya percaya atau tidak, hutan Gunung Slamet ini masih wingit – sering terjadi hal hal aneh,” ujar Pak Heri Kepala Dusun malam itu.
“Gunung Slamet masih aktif kan ya, Pak? Pernah meletus kayak Gunung Merapi tidak?” tanya Azis ingin tahu.
“Iya memang masih aktif, tapi tidak seaktif Gunung Merapi. Lagipula lubang kawahnya luas jadi kalaupun meletus tidak terlalu berbahaya…”
“Kalau mau meletus tanda-tandanya seperti apa, Pak?” aku ikut nimbrung, ingin tahu juga.
“Biasanya di sini kalau ada bencana, tandanya ada suara gemuruh dari atas gunung…” jawab Pak Heri, sambil memandang jauh ke arah gunung.
Pak Heri tidak menjelaskan lebih jauh gemuruh seperti apa yang dimaksud. Kami pun tidak bertanya lebih banyak karena Bu Heri datang membawakan mendoan khas Purwokerto. Seketika hangatnya mendoan, sambal kecap dan segelas teh manis lebih menarik perhatian kami.
Jejak-jejak kaki kecil kami semakin jauh meninggalkan perkampungan di sekitar Baturaden. Gemericik air sesekali terdengar di sepanjang jalur yang kami lewati. Sebuah hutan tropis yang megah. Pohon-pohon berbatang raksasa begitu mudah kami temui, kicau burung riang menemani langkah perjalanan kami. Tapi ada makhluk kecil penghuni hutan Slamet kadang membuat kami ketakutan; Lintah.
Entah berapa puluh atau bahkan ratusan lintah yang sudah kami temui. Mereka kadang terlalu lincah hingga celana panjang saja masih bisa dilewati. Apa boleh buat, dengan terpaksa kami menjadi donor darah untuk makhluk-makhluk berbadan empuk itu. Beberapa kali kami harus berhenti untuk melepas gigitan mereka di kaki. Pada awal pertama digigit, Azis mencabut paksa lintah yang menggendut kekenyangan darahnya. Akibatnya, gigitan itu melukai kakinya. Untungnya tidak seberapa parah, hanya luka kecil sehingga dia masih bisa terus berjalan.
Dari puncak punggungan sesekali kami melepaskan pandang jauh ke bawah. Langit biru tanpa awan. Matahari cukup terik namun tidak terasa panasnya. Kanopi pepohonan di sepanjang perjalanan memayungi langkah kami. Cuaca hari ini memberi semangat lebih. Yah, hujan badai sepertinya akan jauh dari pendakian kali ini.
“Lihat, itu pantai!” teriak Baried begitu bersemangat menunjuk jauh ke selatan. Benar, di ujung selatan pulau Jawa memang pantai, tapi kalau pantai itu terlihat dari puncak punggungan ini aku tidak yakin.
“Masa sih?” tanya Iin setengah protes. Azis juga tak mau ketinggalan. Dia mengeluarkan kamera poket manualnya, mengambil angle yang dirasa bagus, dan kami mengabadikan momen itu, sambil istirahat siang menikmati keagungan ciptaan Tuhan. Kadang manusia lupa, betapa sesungguhnya mereka adalah makhluk-makhluk kecil dengan ego yang sangat besar. Ego itu yang tanpa disadari mampu menghancurkan segalanya.
“Ok, kita lanjutkan perjalanan… jangan keasyikan di sini…” suara Yayak membuyarkan kekaguman kami. Carier seberat 20kg kami sandang lagi, hampir menutup separuh tubuh. Sebelum meneruskan langkah, kami memberi tanda di peta jalur yang sudah kami lewati. Beberapa menit kami juga berusaha memperkirakan jarak yang harus ditempuh hingga tiba di Pos II.
“Kita buka camp jangan di Pos II ya,” kataku setengah berbisik pada Yayak.
“Tergantung kondisi tim,cuaca dan waktu.”
Jawaban Yayak membuatku berpikir ulang. Cuaca bagus, angin tak terlalu kencang, kontur di peta juga tak begitu terjal, batinku meyakinkan diri sendiri kalau Pos II akan terlewati.
“Oke, kita berangkat!” kataku memberi komando.
Perjalanan menuju Pos II mulai menanjak, sekali ada jalan datar, bonus untuk jalan lebih cepat. Sepanjang jalur pendakian Baturaden memang tidak terlalu jelas pos yang dimaksud. Setiap pendaki punya nama dan pos sendiri, suka-suka mereka membuat shelter. Tapi yang santer terdengar adalah bahwa di Pos II sering terjadi hal-hal aneh. Seperti yang dikatakan Pak Kadus Heri, hutan Gunung Slamet masih wingit. Ada cerita juga kalau di Pos II dulu pernah ada yang meninggal. Ampun deh… ya jujur, biar aku didaulat jadi koordinator tim, tetep keder juga dengan yang begituan. Sumpah… makanya aku ga mau ngecamp di Pos II. Aku sendiri ga tau Pos II disebelah mana… sebenarnya dibohongi letak Pos II juga aku gak tahu.
Part 2
Pikiran buruk tentang Pos II dan seluk beluknya sekejap terlupakan oleh medan yang semakin berat dan jalan setapak yang tidak begitu jelas. Kami harus menjaga jarak dan berhenti beberapa kali karena Azis tertinggal di belakang. Karena sibuk berurusan dengan lintah Azis memilih jalan di paling belakang. Meskipun kami sudah melarangnya, dia tetap keras kepala untuk jalan di belakang.
“Tar kalo aku jalan di depan, kita bakal sering berhenti,” katanya beralasan.
Terbersit kekhawatiranku tentang Azis. Sepanjang perjalanan dia lebih banyak mengeluh, berhenti seenaknya sendiri tanpa memberi tahu. Dan yang kami sesalkan, dia hanya menggunakan sandal gunung. Sebelum memulai pendakian Baried sempat menawarkan sepatu cadangannya untuk dipakai Azis, tapi Azis menolak.
“Yang penting nyaman kan? Aku nyaman dengan sandalku kok,” bantahnya.
Pertimbangan-pertimbangan logis dan keselamatan sudah tidak digubrisnya. Dan ini menjadi beban yang cukup menganggu. Aku harus siap dengan semua kemungkinan, pikirku memberanikan diri.
Kekhawatiranku berujung nyata. Menjelang pukul tiga sore langit mulai berbayang awan hitam. Matahari tidak tampak lagi. Angin berhembus terasa sampai kulit. Daun-daun bergoyang tertiup angin. Spontan kaki kami melangkah lebih panjang, berharap bisa sampai di shelter sebelum hujan turun. Langkah itu rupanya membuat kami meninggalkan Azis jauh di belakang. Menunggu dan membuang waktu berulang kali kami lakukan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi kalau Azis mau menggunakan sepatu Baried.
“Maaf, sandalku licin jadi aku ga bisa jalan cepat…” kata Azis menjelaskan keterlambatannya.
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ingin sekali aku marah dan memakinya, tapi aku tidak bisa. Justru aku dituntut untuk menyelesaikan semua persoalan yang mungkin terjadi selama pendakian ini. Aku harus lebih kuat dan lebih sabar, batinku menghibur diri.
Di perhentian ketiga menunggu Azis bergabung, langit mulai menitikkan tetes-tetes air. Gerimis mulai menjamah hutan Gunung Slamet.
“Zis, ayo… lebih cepat, hujan segera turun!” teriak Baried mendapati sudah beberapa lama menunggu Asiz masih belum muncul. Iin memanfaatkan waktu membuka jas hujannya, sementara aku dan Yayak mencoba memperkirakan cuaca.
“Yak, ngerasa aneh gak sih? Lihat burung yang terbang mengikuti perjalanan kita gak?” tanyaku pelan.
Yayak mencoba mengamati sekitar. Kemudian dia menggeleng. Ada gelisah yang sangat kupahami menyusup dalam jiwaku. Gelisah yang tidak akan dipahami oleh orang lain, gelisah yang mungkin bila kuceritakan akan berbuah tawa dan aya aya wae… begitu kata orang Sunda.
Percakapanku dengan Yayak tidak berlanjut. Azis melangkah mendekat dengan keringat sebesar biji jagung. Iin sudah siap dengan ponco birunya dan Baried bertambah besar bentuk tubuhnya dengan raincot warna merahnya.
“Wah, sandalku putus…!” keluh Azis, “jadi tadi benerin dulu.”
“Kita langsung lanjut, Zis?” tanyaku atau lebih tepat sebuah ajakan. Azis mengangguk mantap, dia juga tidak mau kehujanan, karena itu akan sangat merepotkan langkahnya.
Hujan masih gerimis, langit rupanya masih malu-malu untuk menangis. Atau barangkali memang hanya akan gerimis. Di ketinggian seperti ini memang sering terjadi gerimis, hujan yang disebabkan oleh kelembaban suhu udara.
“Hujan selamat datang nih kayaknya...” kataku memecah kebisuan.
“Hujan selamat datang gimana, enakan juga sunset kalau ngasih ucapan selamat datang. Jangan hujan dong,” Iin menimpali.
“Kalau hujan, persediaan air kita nambah, gak perlu nyari di lembah… ya gak?” kali ini Baried menyampaikan pendapatnya.
“Iya, gua capek naik turun lembah cuma buat ngambil air. Kalau hujan, kita taroh aja nesting di luar tenda, pasti terisi air penuh,” Azis tak mau ketinggalan.
Perdebatan hujan dan sunset masih terus bergulir meramaikan perjalanan yang mulai mendekati kesunyian hutan. Hari akan beranjak sore menuju gelap. Gerimis mulai datang lebih deras dan kilatan petir tampak di kejauhan. Hujan segera turun.
Mencari tempat untuk mendirikan shelter adalah satu-satunya yang terpikir olehku. Jalan ini terlalu rimbun dan tanahnya terlalu sempit untuk didirikan tenda. Kami melanjutkan langkah beberapa meter ke depan. Azis dan Baried berjalan lebih dulu untuk mencari tempat yang lebih datar.
“Ole le…!” teriak mereka memberi kode. Segera kami menyusul mereka. Sial, tempat yang mereka temukan terlalu terbuka. Akhirnya kami jalan lagi. Di tengah hujan yang mulai deras, setiap tanah datar menjadi harapan kami. Butuh satu tempat yang agak luas agar 2 tenda kami bisa berdiri.
“Ok, kita akan buat camp di sini!”
Dua tenda didirikan di tengah hujan dan kilatan petir. Setelah satu tenda berhasil di dirikan, aku dan Iin memasak air untuk minum, sekedar penghangat. Ini shelter pertama kami. Kami baru menyelesaikan separuh panjangnya perjalanan. Puncak Gunung Slamet masih jauh di atas.
Defense
Pagi bersinar secerah kemarin. Setelah sarapan pagi kami lanjutkan perjalanan. Masih panjang lintasan yang harus kami tempuh. Masih menunggu terjalnya medan dan yang pasti lintah si binatang penghisap akan selalu menyambut di sepanjang jalur pendakian. Kali ini, untuk menghindari gigitan lintah, Azis melumuri tubuhnya dengan minyak kayu putih. Sayang rupanya itu bukan jurus yang ampuh. Malahan panasnya minyak kayu putih bercampur keringat terasa membakar sekujur tubuhnya. Dan dia harus menahan itu di sepanjang perjalanan.
Di hari kedua pendakian jalan yang kami lalui tidak lagi bisa dibilang mudah. Tidak banyak jalan datar. Setiap jengkal yang kami lalui selalu dihadapkan pada tanjakan dan tanjakan. Udara juga mulai lebih dingin dari hari sebelumnya. Pastinya setiap ketinggian yang kami capai, kadar oksigennya semakin menipis. Kami harus hati-hati dengan kondisi itu.
“Yak, mentok ga ada jalan lagi...!” teriak Baried. Sengaja jarak kami memang agak renggang, karena menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing, tapi tentu saja dengan jarak pandang yang masih bisa dikontrol.
Kami segera menyusul Baried yang hari ini bertugas sebagai pembuka jalan. Benar, setapak yang kami lalui habis. Sebelah kanan dan kiri lembah yang subur. Tidak mungkin ada jalan di situ. Iin, Azis dan Baried berjalan menyebar, memastikan ada setapak. Aku dan Yayak memastikan posisi kami di peta. Benar, tidak ada yang salah. Memang kontur di peta sangat rapat, itu artinya ada tanjakan atau tebing yang cukup terjal. Tapi di mana? Hampir setengah jam kami habiskan untuk mencari jalan setapak.
“Hei, ada rafia dan patahan pohon…!” teriak Iin kegirangan.
“Itu pasti jejak dari kelompok Baturaden I,” kataku kemudian. Tanjakan yang cukup terjal, hampir mendekati 90 derajat. Pantas saja kami kesulitan menemukan jalan. Apa boleh buat, memang itu jalan yang harus kami lewati.
Berpegang pada akar dan batang pohon, Baried naik lebih dulu. Ujung sepatu trakingnya beberapa kali dihentakan di tebing tanah setinggi 2 meter itu untuk membuat cerukan serupa tangga. Iin menyusul ke atas setelah Baried tiba dan meletakkan cariernya agar lebih mudah menarik yang lain. Azis melepaskan sandal gunung andalannya. Dia terlihat kerepotan.
“Zis, lempar aja sandalnya!” kata Baried menyiapkan diri untuk menangkap sandal Azis.
Azis menurut. Tanpa alas kaki Azis pun merambat naik.
“Aduh!” Azis berteriak kesakitan. Dia terjatuh setelah naik beberapa meter. Di saat yang bersamaan, sisi lain dari hatiku tergetar oleh suara burung yang sepanjang hari kemarin mengikuti perjalanan kami. Dia datang lagi, batinku. Aku tidak tahu burung jenis apa itu. Aku juga tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Setiap kali burung itu terbang di antara perjalanan pendakian ini selalu menimbulkan perasaan khawatir yang berlebihan. Tapi aku hanya bisa simpan sendiri kegelisahan itu.
“Kamu ga papa Zis?” tanya Yayak. Azis tak bersuara, hanya menggeleng sambil meringis kesakitan.
“Serius gak papa?” tanyaku ragu.
“Gak papa, akar pohonnya ga kuat nahan badan gue...” kata Azis sambil terus mencari akar atau batang pohon yang bisa membantunya naik.
Burung kecil itu masih terbang memutar. Sesekali hinggap di ranting pohon yang tidak terlalu tinggi. Sesekali aku menatapnya, mencoba bercakap dengannya meski aku tahu tidak akan mendapatkan jawaban apapun. Burung yang aneh… Aku yakin tidak ada seorangpun yang mempedulikan keberadaan burung merah itu kecuali aku. Aku cukup terganggu dengan ulahnya. Gaya terbang dan suaranya semakin keras seiring bertambahnya ketinggian pendakian ini.
Jalan setapak yang dilalui tidak sejelas jalur di bawah tadi. Terlalu banyak akar pohon yang tumbuh di permukaan. Medan semakin sulit begitu kami tiba di jalur pendakian yang disebut ‘lubang tikus’. Dengan beban carier segedhe almari kami harus merangkak di bawah akar pohon menjalar. Setapak sempit di kemiringan lembah yang cukup dalam. Meskipun lembah ditumbuhi pepohonan berkayu tapi tetap saja berbahaya kalau kami sampai terpeleset.
“In, kamu naik lebih dulu…” kata Baried.
“Nggak ah, kamu aja duluan. Badanmu kan lebih besar jadi bisa buka jalan sekalian…” kata Iin.
“Badanmu kan kecil, jadi lebih lincah untuk bisa merangkak dan mengambil jalur yang lebih aman,” balas Baried.
Kami masih mengamati sekitar. Rupanya inilah satu-satunya jalan.
“Aku duluan aja deh kalo kalian masih terus berdebat,” kataku menengahi. Carier kubiarkan tertinggal, aku akan menariknya nanti dengan webbing. Merangkak! Gila benar-benar seperti tikus. Perpaduan tautan tanah, batang, dan akar pohon menjalar yang menakjubkan. Aku tidak yakin akan terulang untuk kedua kali untuk pendakian berikutnya.
Aku masih terus merangkak. Setelah hampir mencapai setapak yang lebih terbuka, Iin menyusulku. Tepat setengah meter dia di belakangku, detik itu juga, batang pohon tambatanku patah dan aku terperosok.
“Awas, In…!”
Part 3
Aku tidak menyangka Iin menyusulku sebelum aku sampai di posisi yang aman. Tak terhindarkan lagi, kakiku menendang tubuh Iin sampai dia ikut terperosok. Beruntung dia masih bisa pegangan pada batang dan akar pohon yang lebih kuat.
“Hati–hati, jangan terlalu dekat...” Yayak memperingatkan.
“Kalian naik setelah aku sampai di ujung lorong… aku akan beri kode,” kataku setelah situasi kembali tenang.
Perjalanan merangkak menembus lubang tikus membuat kami kehabisan tenaga. Hari ini kami terlalu sering berhenti untuk istirahat dan batas vegetasi yang kami tuju masih jauh.
Setengah satu siang. Belajar dari perjalanan kemarin, langit mendung sekitar jam dua siang, dan disusul hujan hingga malam. Begitu juga hari ini, warna biru langit masih terlihat di sela awan yang menggumpal. Sedikit harapan untuk melanjutkan langkah. Tapi alam memberikan lain. Begitu kami tiba di ketinggian di mana pohon-pohon besar mulai jarang, langit tiba-tiba gelap. Gemuruh mengejutkan beratnya langkah kami.
“Hujan?!” tanyaku.
”Bukan. Angin,” jawab Yayak pelan. gemuruh itu semakin terdengar keras. Seperti suara hujan, tapi tidak ada air. “Merapat! Semua berkumpul, ke sini!” teriakan keras Yayak menambah keterkejutan kami.
Seketika itu juga Baried yang semula berjalan di depan berbalik arah diikuti Iin. Kami berlindung di balik semak rumput yang tingginya hampir sama dengan tinggi badan kami. Azis masih berada di belakang. Tiupan angin membuatnya kepayahan untuk melintasi tanjakan penuh belukar dan rumput yang bergoyang tertiup angin.
“Badai!” katanya. Semua duduk membungkuk, melindungi diri dari tiupan angin.
Punggungan ini terlalu terbuka, terlalu berbahaya jika kami memaksa untuk berjalan. Sepuluh menit terasa begitu lama untuk menunggu angin sedikit melemah. Kami akan melanjutkan perjalanan, kami harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan shelter. Sepuluh menit ini membuat kami lebih banyak diam, hanyut dalam pikiran sendiri. Bisa jadi, sepuluh menit ini membuat kami menyesal melakukan pendakian ini. Sepuluh menit ini mengingatkan kami pada Noel, dan di sepuluh menit ini juga kami merasakan kehangatan sebuah persahabatan.
Ketika tangan kami saling berpegang erat, kami tak ingin ada yang terlepas. Ketika kami duduk begitu dekat, kami tidak bisa berdiri sendiri. Perjalanan ini tidak bisa dilewati seorang diri. Kebersamaan, rasa percaya dan saling peduli adalah kunci.
Sejak badai kemarin siang kami masih belum beranjak dari shelter kedua kami. Puncak Gunung Slamet sudah tidak jauh lagi. Dua jam perjalanan dan kami akan sampai di sana. Tapi tidak hari ini. Hujan masih belum mau reda, awan hitam masih memayungi tanah Gunung Slamet. Entah akan kapan gemuruh angin, gemertak kayu dan pohon tumbang ini tidak terdengar lagi, sementara hawa dingin mulai terasa semakin menggigit. Hembusan angin pun tidak mau diajak bersahabat. Tidak ada kehangatan di sini selain pelukan dan balutan sleeping bag yang barangkali juga mulai basah dan lembab. Ditambah asap rokok beberapa kawan membuat udara di dalam tenda ini semakin sumpek, sesak, dan pengap. Pun tidak mungkin bagiku untuk membuka sedikit celah dari tenda kecil ini, hanya angin dan rasa dingin yang barangkali akan kudapatkan, bukan udara segar.
Jadwal pendakian mulai terganggu. Seharusnya, hari ini kami sampai di puncak dan mulai turun ke jalur Bambangan. Apa boleh buat, alam tidak mengijinkan pendakian ini berjalan sesempurna rencana yang telah kami susun.
Semua tidak berjalan sesuai rencana. Perbekalan cadangan untuk 1 hari tambahan dipastikan harus dibuka. Harusnya malam ini kami sudah di basecamp Bambangan, bukannya diam menunggu badai berhenti dan terkurung dalam tenda yang rangkanya tidak lagi sempurna. Alas tenda basah, sleeping bag lembab dan perbekalan menipis. Kembali turun dan mengakhiri pendakian sampai di titik ini bukanlah keinginan kami. Kami akan menunggu sampai besok pagi, kami yakin besok akan lebih baik dan perjalanan akan dilanjutkan...
Pagi menyapa dengan ramah hari ini. Sudah dua hari kami terjebak tanpa bisa bergerak sedikit pun. Angin mulai melemah—bahkan pagi ini langit tampak cerah dan matahari bersinar hangat. Pagi yang indah untuk bisa memulai aktifitas lebih bebas. Memanfaatkan panas matahari, tenda kami biarkan tanpa penghuni, semua keluar untuk mengeringkan sleeping bag dan beberapa barang yang lembab dan basah.
“Kita harus bisa sampai puncak!!” teriak Azis semangat.
“Aku juga ga mau kalau kita harus turun lagi lewat Baturaden. Kita ke puncak terus turun lewat Bambangan. Sumpah kapok lewat sini…” Baried ikut menimpali. Wajar kalau Baried enggan melewati lagi jalur pendakian Baturaden, selain ancaman Lintah, dia tidak mau lagi merangkak di lubang tikus. Badannya yang besar terlalu mudah tersangkut dan itu membuatnya frustrasi.
“Apa tidak sebaiknya kita turun?” kata Iin pelan. Ada kekhawatiran dalam suaranya. Ada yang dia takutkan tentang badai kemarin. “Kalau nanti kita naik, terus ada angin, badai seperti kemarin, bagaimana?” Nada bicaranya tersendat, perpaduan antara kewajiban untuk sampai puncak dan kekhawatiran bertemu badai menundukkan keberanian seorang Iin yang setiap harinya cuek dan tidak pernah mundur pada apa pun. Kami terdiam.
Iin benar, badai bisa saja datang lagi, seperti kemarin, batinku.
“Ya kita ngecamp lagi... ” jawab Azis.
”Ngecamp di mana coba? kita nggak mungkin dirikan tenda buat camp di puncak gunung, bro,” Baried menimpali. “Mau mati?!” tambahnya dengan nada keras.
“Ya kalau nggak bisa ngecamp diatas, kita turun lagi…” Azis masih ngotot dengan pendapatnya.
“Hei, lupa kamu kemarin gimana. Di daerah kaya gini, yang masih ada pohon aja susah buat jalan, gimana kalau ketemu badai di puncak gunung. Kamu tahu medan ke puncak gak sih!?” Kali ini bukan pertanyaan yang diucapkan Baried, tapi lebih sebuah penegasan.
“Kalau sampai jam 9 cuaca bagus, kita bisa lanjutkan perjalanan,” kataku setelah berkoordinasi dengan Yayak.
“Yakin, Vi?” tanya Iin.
Aku tahu ada keraguan yang bergelayut jelas di matanya. Aku mengangguk. Jauh di kedalaman hatiku aku juga takut badai itu akan datang lagi. Aku hanya bisa berdoa semua akan baik-baik saja. Meskipun mimpi semalam dan keberadaan burung berbulu merah itu masih enggan beranjak jauh dari otakku.
Kemoloran hari pendakian memungkinan kami akan bertemu dengan tim Kaliwadas II yang berangkat satu hari setelah kami. Sedangkan tim Baturaden I dan Kaliwadas I kemungkinan besar sudah berhasil melintasi puncak Tugu Surono dan kembali ke Jogja. Ada tanggung jawab yang harus kuselesaikan, tim Baruraden II harus berhasil mencapai puncak, turun melalui jalur Bambangan dan kembali ke Jogja. Begitu seharusnya. Jika kami kembali turun melalui Baturaden tanpa pernah menyentuh Tugu Surono sebagai puncak tertinggi Gunung Slamet, itu artinya kami gagal mendapatkan keanggotaan kami. Perjalanan ini sudah kami persiapkan lebih dari 2 bulan. Semua butuh perjuangan dan pengorbanan. Masih terlintas jelas bagaimana kami harus bertemu setiap hari untuk koordinasi, latihan fisik dua kali seminggu selama dua sampai tiga jam, menyisihkan sebagian uang kuliah untuk biaya pendakian, dan berkejaran dengan tugas kuliah, semua kami lakukan agar pendakian ini bisa berjalan. Meskipun pada akhirnya tim yang berangkat tidak sempurna, tanpa Noel, dan pada pelaksanaannya tidak seindah yang kami bayangkan…
Setelah briefing yang cukup lama, dengan pertimbangan dan pemikiran yang cukup matang, kami siap melangkah lagi. Cuaca yang cukup cerah terlalu sayang untuk disia-siakan. Kami tidak tahu sampai kapan cuaca seindah ini akan bertahan.
“Kita butuh waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai di puncak. Itu perkiraan, kita ambil air dulu sebelum naik ke atas,” kata Yayak.
“Di dekat batas vegetasi ada cerukan. Kita bisa ambil air di sana,” kataku.
“Jam 2 kita harus sudah jalan turun ke Bambangan. Lebih cepat lebih baik…” Yayak menambahkan.
Dari beberapa cerita teman yang sering melakukan pendakian, puncak gunung akan berkabut setelah jam 1 siang. Berbahaya jika terjebak kabut di puncak gunung. Selain tersesat karena setapak yang tertutup kabut, kita juga bisa tersesat karena banyak jalur untuk turun dan jalurnya hampir sama; pasir, tanah dan bebatuan.
Mengingat jalan untuk menuju puncak tertinggi Gunung Slamet berada di bibir kawah, kami sepakat untuk menghindari puncak berkabut. Pendakian pun dilanjutkan dengan timbunan semangat yang sudah terhalang oleh badai dua hari kemarin. Istirahat yang terlalu lama membuat badan kami terasa pegal, tapi itu bukan halangan. Dengan sedikit pemanasan, rasa pegal akan hilang.
Menapaki setapak menuju batas vegetasi, hutan yang kami lalui sudah tidak serapat sebelumnya. Tidak ada lagi pohon-pohon raksasa dan lintah di tanah basah. Yang terhampar hanya ilalang dan pohon – pohon berbatang kecil yang tumbang.
Pukul sepuluh siang kami tiba di pertigaan jalur Baturaden dan Kaliwadas. Tidak ada jejak dari tim Kaliwadas II. Perkiraan kami akan bertemu di pertigaan ini. Namun yang kami temukan hanya tali rafia merah terikat di satu pohon, di dekatnya ada bekas api unggun dan sedikit sampah organik—sampah dari tim Baturaden I. Jejak yang sama dengan yang kami temukan di sepanjang jalur pendakian kemarin.
Sampai di batas vegetasi, sudah tidak ada lagi pohon pelindung, tidak ada lagi halangan untuk menatap kegagahan Gunung Slamet. Sejauh mata memandang hanya bongkahan batu dan tanah berpasir. Berpayung langit biru dan tersaput kabut tipis, puncak Slamet terlihat elok. Meskipun jurang-jurang kecil menganga di setiap alur badan gunung, tapi itu bukan untuk ditakuti. Karena di dasarnya kami bisa mendapatkan air sisa hujan kemarin. Lekukan – lekukan yang menakjubkan.
“Ole…le…!” Terdengar teriakan nyaring dari dalam hutan. Itu suara dari tim Kaliwadas II. Tidak berapa lama satu demi satu anggota tim Kaliwadas II bermunculan. Dengan cover carier warna warni yang cukup mudah dikenali.
“Woi… pa kabar? Kirain dah nyampe Bambangan, masih disini juga rupanya?” Doni memberi salam. Meskipun belum ada satu minggu kami tidak bertemu, pertemuan hari ini seperti pertemuan yang sudah lama tidak terjadi.
“Gimana mau jalan, kemarin kehadang badai separah itu...” kataku menjelaskan.
“Iya, kemarin kita juga sempet ketahan, tapi cuma semalem... Lho yang lain pada kemana nih? kok Cuma kalian bertiga, Azis ma Baried mana?”
”Ole..le…ayo kita jalan lagi. Kita tunggu di atas bro!” teriak Azis setelah selesai mengisi botol-botol kosong dari air di cerukan.
“Tuh mereka, ngambil air di cerukan,” kataku sambil menunjuk kearah Azis dan Baried yang berada 20 meter di atas batas vegetasi. Azis dan Baried menyandang kembali carier mereka dan meninggalkan beberapa botol kecil untuk bekal di perjalanan.
“Woi, kami jalan duluan!” teriak Azis bersemangat. Belum aku memberikan jawaban mereka sudah melangkah.
“Ayo, kita jalan lagi, lama-lama diam bisa tambah dingin,” ajak Iin. Dia melangkah pelan meninggalkan aku dan Yayak. Tidak ada salahnya juga kami jalan agak berjauhan, selama masih bisa melihat satu dengan yang lain. Jarak yang terlalu dekat kadang justru berbahaya untuk kami. Batuan gunung ini meskipun terlihat kokoh sebenarnya sangat rapuh dan labil. Salah ambil pijakan batu-batu itu akan rontok dengan mudah. Kami bisa terperosok kapan saja, dan rock fall menjadi ancaman yang menakutkan bagi pendaki.
“Kami jalan duluan, atau kita mau sama – sama jalan ke atas?” aku menawarkan diri mengajak tim Kaliwadas II untuk bersama-sama.
“Yakin kalian mau ke atas sekarang?” Doni berbisik kepadaku. Aku mengangguk dengan mata berbinar yakin.
“Kalau kalian mau, kita jalan bersama, tapi kami istirahat dulu sebentar,” Teo, salah satu anggota tim ikut bicara. Aku memandang jauh kearah tiga temanku yang sudah berjalan naik menapaki bebatuan Gunung Slamet. Mereka sudah cukup jauh untuk dipanggil kembali.
“Kami jalan pelan-pelan aja deh, kalian menyusul segera ya...” kataku.
“Ok, sampai ketemu di Tugu Surono. Hati – hati ya…” balas Doni.
Langkahku berlanjut menyusul Iin, Baried, dan Azis yang sudah jauh di depan. Sesekali aku kembali menatap ke bawah, tim Kaliwadas II masih terlihat istirahat di batas vegetasi.
Part 4
“Vi, kita jalan lebih cepat, aku khawatir dengan mereka…” tiba-tiba Yayak melangkahkan kakinya lebih lebar. Dia terlihat lincah menapaki bebatuan, tidak ada satupun yang runtuh karena pijakannya. Batunya yang benar-benar kokoh atau kelihaian dia mencari pijakan? Entahlah. Langkah kami merapat pada Iin. Kulit putihnya memerah terbakar matahari dan bibirnya bergetar oleh dingin.
“Kalian susul Azis dan Baried, aku akan mengikuti kalian,” kata Iin terbata. Aku menatap ke atas gunung, Azis dan Baried semakin jauh dari kami.
“Zis, Ried… berhenti!!” teriakku. Kugunakan juga peluitku untuk menghentikan langkah mereka. Sia – sia.Terpaksa kami harus mempercepat langkah.
“Aku kejar mereka, aku khawatir—mereka belum tahu jalan dan medan di puncak,” kata Yayak.
Aku dan Iin menggangguk. Yayak bergegas menyusul Azis dan Baried. Perasaan khawatir dan kecepatan Yayak berjalan membuat beberapa batu yang dipijaknya runtuh, beberapa kali dia terpeleset. Yayak masih terus berjalan. “Hoi, berhenti!!” teriaknya keras.
Azis dan Baried hanya berjarak 15 meter dari Yayak. Azis sudah tidak lagi menggunakan sandal gunungnya. Dia nekat membiarkan kakinya menapaki bebatuan tanpa alas. Sandal gunung kebanggaannya diikat di samping carier, dengan satu sisi yang telah putus pengaitnya. Mereka bertiga kemudian berhenti menunggu aku dan Iin yang berjalan amat pelan. Semakin ke atas udara semakin dingin, oksigen semakin menipis dan perbekalan yang seolah tidak pernah berkurang beratnya bersandar di punggung kami.
Kami menghela napas sebentar. Tim Kaliwadas II sudah terhalang oleh batuan dan kabut yang mulai beranjak naik menyelimuti badan gunung.
“Yak, kabut lagi,” kataku pelan.
Yayak mengangguk, mengiyakan. Kami sudah berada jauh diatas badan gunung, puncak tidak jauh lagi. Kami akan lanjutkan perjalanan sebelum kabut semakin tebal. Sambil istirahat dan berlindung dari panas matahari di balik batu yang agak besar, Azis memperbaiki sandalnya dengan tali frusik. Dia tidak boleh berjalan tanpa alas kaki. Batu dan pasir yang tajam akan sangat mudah melukai kulit kakinya. Kami tidak ingin itu terjadi.
“Kamu tuh bener – bener gila. Bisa – bisanya naik gunung tanpa alas kaki. Pelajaran buat kita semua. Merepotkan!” Iin bergumam. Kami tahu kalimat itu ditujukan untuk Azis meskipun Iin tidak secara langsung menyebutkan nama.
Azis tidak menanggapi, dia sudah benar-benar merasakan payahnya naik gunung dengan sandal. Walaupun namanya sandal gunung, itukan cuma di iklan televisi. Dengan medan berbatu, berpasir dan lereng yang curam konyol namanya jika tidak membekali diri dengan perlengkapan standar pendakian. Azis kembali memakai sandal gunungnya. Agar tidak lepas dan lebih nyaman dia menggunakan kaos kaki agak tebal.
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku di depan, diikuti Iin, Baried, Azis dan paling belakang Yayak. Bibir kawah Gunung Slamet sudah terlihat meskipun untuk sampai di sana masih butuh perjuangan dan tenaga ekstra. Lereng semakin curam, tidak terlalu banyak batu untuk pijakan, hanya permukaan berpasir, dan kami harus berjalan menyamping agar tidak terpeleset. Seringkali untuk menjaga keseimbangan kami harus berjalan membungkuk.
Langkahku terhenti, mendadak dadaku terasa amat panas. Kuambil air minum di daypack, seteguk yang menyegarkan.
“Kenapa, Vi?” tanya Iin.
Aku menggeleng, memberi isyarat baik-baik saja. Sengaja aku tak ingin terlalu banyak bicara, tahu kondisiku mulai menurun. Di detik itu, ketika kaki terasa berat untuk melangkah, beban carier rasa-rasanya ingin kutinggalkan, dan tubuhku ingin sejenak direbahkan, sayup-sayup kudengar suara adzan. Kabut tersingkap perlahan, aku lihat langit begitu cerah, biru tanpa awan dan suara adzan terdengar makin jelas.
“Kita berhenti dulu sebentar. Dengerin adzan dulu,” kataku menghentikan langkah Baried, Azis dan Yayak. Keempat sahabatku berhenti, diam, dahi mereka berkerut, pandangan mereka jauh ke bawah gunung.
“Mana kedengeran suara adzan di puncak gunung kaya gini, Vi,” Baried memecah keheningan. Seketika dia melangkah diikuti Azis dan Iin.
“Iya, aku denger suara adzan, kamu juga denger kan, Yak?” kataku meyakinkan mereka.
Heran, Yayak tidak menjawab sepatah kata pun. Dia mendekat ke tempatku berdiri. Aku masih mendengar suara itu, sangat jelas. “Ayo, sebentar lagi sampai di bibir kawah” ajak Yayak.
Aku tidak mengerti mengapa tidak seorang pun yang mendengar suara adzan Dhuhur itu. Diselimuti rasa penasaran aku melangkah mengikuti jejak yang ditinggalkan Yayak. Aku memaksa mendahuluinya saat langkahnya terhenti untuk menungguku.
“Aduh!” terdengar Baried berteriak. Sesuatu terjadi padanya.
“Kenapa?” tanyaku khawatir.
“Gak papa, mataku kemasukan pasir,” Baried menjelaskan sambil mengucek matanya. Azis mencoba membantu dengan meniup mata Baried. Sekali dua kali hingga berkali kali tidak berhasil. “Udah, gak papa, dah agak mendingan…” kata Baried. Meskipun bilang sudah agak mendingan, tapi matanya masih merah dan dia masih terus mengedip-ngedip cepat.
Debu yang menggangu mata Baried sepertinya bukan debu biasa. Karena konsentrasi tertuju pada mata Baried, kami tidak menyadari kabut datang dengan sangat cepat. Jelas itu kabut yang bergerak tertiup angin.
Angin kencang bergemuruh menyergap.
“Cepat berlindung di batu itu!” Yayak berteriak sambil menunjuk ke sebuah batu besar 20 meter di atas posisi kami. Azis dan Iin berjalan menunduk menahan keseimbangan. Angin bisa menerbangkan kami setiap saat.
“Cepat!” teriakku.
Angin berhembus semakin kuat. Awan bergerak cepat bersimpangan arah. Badai! Azis dan Iin masih terus berusaha merapat di batu besar yang ditunjuk Yayak. Batu itu cukup besar dan aman untuk berlindung kami berlima. Aku, Baried dan Yayak masih berlindung di batu yang tidak terlalu besar sambil terus memperhatikan langkah Iin dan Azis dengan cemas. Kami akan bergerak menyusul mereka setelah mereka mencapai tempat yang aman.
Aku melihat Azis mulai kelelahan, berkali-kali dia terpeleset hingga satu sisi sandalnya terlepas dan jatuh ke dasar cerukan yang tidak terlalu dalam. Dengan beban carier yang semakin berat tertiup angin, Iin harus menuntun langkah Azis. Tangan Azis menggenggam tangan Iin dengan kuat. Ketakutan mulai membayang di wajah Indo-Arabnya. Melihat keadaan ini kami segera menyusul. Yayak mengambil langkah di depan untuk membuka jalan. Dia berjalan menyilang ke kanan dan membuat jejak menyerupai anak tangga dengan sepatunya.
“Ikuti jejak!” katanya keras.
Aku dan Iin mengikuti Yayak sementara Baried membantu Azis di belakang. Kaki Azis terluka. Setibanya di batu besar, aku dan Iin memeriksa luka di kaki Azis. Kami tahu balutan yang kami berikan hanya akan bertahan sebentar, tapi hanya itu yang bisa kami lakukan.
“Biar, tar dibungkus pakai plastik aja deh...” kata Azis menyadari sebelah sandalnya hilang.
Kami saling pandang mendengar perkataan Azis. “Sandal aja lepas, gimana plastik, hancur kali…” Baried menimpali.
“Sepatu kamu bisa dikeluarin nggak, Ried?” tanyaku.
Baried dengan tegas menggeleng. “Aku taroh di paling bawah, harus bongkar carier dulu!”
“Puncak masih jauh, Yak?” aku memastikan. “Kita tetep harus bergerak kan? Kita ga mungkin selamanya diam di sini.”
“Pasti, 10 meter di depan kita sampai bibir kawah, kita ambil jalan ke kanan sampai di Tugu Surono. Disana lebih luas dan landai,” Yayak memberikan arahan.
Semoga angin ini cepat mereda, harapku dalam hati. Kami masih diam menunggu badai melemah. Kami tahu kami sudah terjebak, tapi kami akan berusaha untuk lepas dari jebakan angin dan kabut gunung ini. Kami tidak tahu apa jadinya kalau batu ini tidak ada.
Menjelang pukul setengah satu siang angin melemah dan kami memutuskan untuk segera menjangkau Tugu Surono. Tidak seperti yang kami bayangkan, 10 meter terasa sangat jauh— medan berpasir dan lereng yang sangat curam, ditambah kelelahan dan kedinginan. Sepuluh meter harus dilalui dengan perjuangan, napas mulai tersengal akibat kadar oksigen yang menipis.
Kali ini Iin di depan, dibelakangnya ada aku, Baried, Azis dan Yayak. Kami tiba di bibir kawah yang terselimuti kabut. Kalau saja hari cerah, kami bisa menikmati keindahan dan luasnya kawah Gunung Slamet. Kami melanjutkan langkah ke kanan menuju Tugu Surono. Meskipun jalan yang kami lalui cukup landai tapi kami tidak bisa berjalan dengan tegak. Selayaknya angin di puncak gunung, angin masih berhembus cukup kencang.
“Allohu Akbar!” teriak azis begitu kami sampai di Tugu Surono, puncak tertinggi Gunung Slamet.
Kami berkumpul, merebahkan diri sesaat, bersandar di Tugu Surono yang tidak terlalu tinggi. Mengabadikan yang sudah diperjuangkan, Azis mengeluarkan kamera poketnya. Dan beberapa gambar menjadi saksi pendakian kami di Gunung Slamet.
Part 5
“Pesta puncak…” Iin mengeluarkan roti tawar lengkap dengan selai kacangnya dan sebotol Fanta merah. Ajakan yang menyenangkan. Disela-sela menikmati pesta puncak, sesuatu menarik perhatianku. Aku melihat sisa pembakaran dan sampah yang berserakan.
Mungkinkah ada yang mendirikan camp di puncak ini? batinku tidak percaya. Sangat jarang bahkan tidak pernah ada pendaki yang nekat mendirikan camp di puncak gunung, di titik tertinggi apalagi. Terlalu berbahaya. Angin bisa menerbangkan mereka setiap detik. Dingin akan dengan mudah menyerap panas tubuh mereka, artinya ancaman hypothermia sangat besar.
Rasa heran dan tidak percaya masih menyelimuti benakku. Sebelum sempat kutanyakan pada Yayak, pendamping pendakian ini, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang membawa hawa dingin yang menusuk. Pasir berterbangan menyisakan perih di kulit ari. Badai datang lagi, dan kali ini bukan main-main. Kami segera mengemasi barang – barang. Azis yang sedang berpose di bibir kawah secepat kilat menuju ke arah kami di Tugu Surono, begitu juga dengan Baried. Aku dan Iin siap dengan carier di punggung, sementara Yayak masih sibuk mengeluarkan tali rescuenya.
“Jalan ke kanan, turun!” kata Yayak memimpin. Aku dan Iin berjalan sesuai petunjuk.
“Kanan!” kataku berulang.
Kepanikan membuat Iin berjalan sangat cepat, jauh di depanku. Kabut datang sangat tebal menghalangi pandangan. Jarak pandang sangat dekat. Kuhentikan langkahku, aku tidak mau kabut ini menyesatkan.
“In, berhenti!” teriakku. Aku berharap suaraku terdengar olehnya di antara gemuruh yang menderu. Tidak berapa lama, Baried muncul mengejutkanku.
“Azis sama Yayak mana?” tanyaku. Aku tidak mau ada yang terpisah.
“Belakang,” jawab Baried singkat.
“Kita tunggu mereka,” kataku.
“Iin mana? Aku susul dia ya…” Baried berjalan lagi untuk mencari Iin.
“Begitu bertemu Iin, kalian stop, berhenti!”
Tidak lama berselang, Azis muncul bersama Yayak. Mereka mengikat diri dengan tali kernmantel yang tidak begitu panjang. Lega melihat mereka datang.
“Ikat tali ini ditubuhmu, tali ini yang akan menyatukan langkah kita. Kita gak akan terpisah,” kata Yayak.
Tanpa pikir panjang aku meraih ujung tali dan mengikatkan di tubuhku. Angin sangat tidak bersahabat, kabut semakin tebal, gelap dan pasir kerikil terus menghujani langkah kami. Pelan, tertatih dan terus berusaha untuk menemukan posisi Iin dan Baried. Peluit sesering mungkin kami bunyikan sebagai alat komunikasi. Kami melangkah dalam diam, tidak ada yang bersuara. Wajah dan bibir kami bergetar kencang menahan dingin dan rasa perih. Angin menderu di kedua telinga.
“Hoi…!” terdengar teriakan dari arah depan. Itu suara Iin dan Baried. Kami segera menuju arah suara mereka. Kerjasama yang bagus, Baried dan Iin rupanya telah mengikat tubuh mereka dengan frusik yang selalu kami bawa. Tali 1 meter itu telah menyatukan mereka. Kami berkumpul utuh kembali. Saatnya memulai perjalanan untuk turun menuju Bambangan.
Yayak berjalan di depan, mencari jalan turun ke Bambangan.
“Tanah berpasir ke kanan,” katanya memberi petunjuk pada yang lain.
Kami terus ke kanan, menemukan tanah berpasir yang cukup landai, dan mengambil ke kanan lagi. Namun, tiba-tiba Yayak menghentikan langkahnya. Kami semua ikut berhenti. Kekhawatiran kembali menyapa.
“Kenapa, Yak?” Azis memberanikan diri bertanya. Yayak tidak menjawab sepatah kata pun. Pastinya situasi ini membuat kami kebingungan dan tidak mengerti. Tidak biasanya Yayak seperti ini. Dia selalu memberikan jawaban dan penjelasan yang menenangkan kami.
Yayak mengeluarkan peta dan kompasnya. Tapi dia melipat kembali peta itu dan segera menyimpannya di dalam tas kecilnya.
“Kita ambil jalan mana, Yak?” kali ini Baried ambil suara. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Kondisi ini membuat kami frustasi.
“Yak, ngomong dong, kenapa sih?” kataku menahan emosi, mendesak Yayak untuk bicara. Aku sendiri bisa gila kalau Yayak bertingkah seperti itu. Seburuk apa pun semua harus dikatakan.
Iin mengunci mulutnya, matanya nanar menatap kabut yang menyelimuti ketinggian ini, bibirnya bergetar menahan dingin, hingga akhirnya dia merebahkan tubuhnya ke tanah berpasir yang basah. Iin memeluk erat lututnya berharap kehangatan akan menenangkan galaunya.
“Yak, kita kehilangan jalan ya?” Azis menerka.
“Ngomong dong, kamu ga lihat kondisi Iin seperti itu? kalau kamu diam dan kita semua diam berdiri di sini, bisa mati kedinginan tau!” Baried tampak emosi menanggapi aksi diam Yayak.
Kudekap Iin, berharap dia bisa bangkit lagi. Sekedar berbagi kehangatan dan mengikis kegelisahan.
“Kita istirahat dulu… Di bawah ada cerukan, mungkin disana ada air.” Akhirnya Yayak bersuara meskipun kalimat yang dia katakan bukan jawaban yang kami harapkan.
Sampai di cerukan, tali yang mengikat tubuh kami lepaskan agar lebih leluasa istirahat. Kuhempas carierku sekedar memberi napas pundakku. Iin melepaskan carier dan memeluknya erat, Azis memuaskan diri dengan minum air dari cerukan, Baried membongkar isi cariernya dan mengeluarkan sepatu untuk Azis. Yayak kembali mengeluarkan peta dan kompasnya. Kami mencari tahu posisi kami dipeta, barangkali itu akan membantu kami menemukan jalan turun ke Bambangan.
“Orientasi medan di cuaca berkabut mana bisa, Yak…” terdengar suara dari atas cerukan. Itu suara Yudi, pendamping tim Kaliwadas II.
Satu persatu teman-teman dari Kaliwadas II muncul dari balik kabut tebal. Kemudian mereka bergabung istirahat di cerukan yang sempit. Puncak Gunung Slamet menjadi lebih ramai, tidak sesepi saat kami hanya berlima. kedatangan tim Kaliwadas II membangkitkan semangat kami lagi. Emosi yang sempat mewarnai tim pun mencair, semua kembali tenang, meskipun kekhawatiran tersesat dan terjebak badai di puncak gunung tetap saja menghantui.
Setelah mengobrol singkat, akhirnya aku dan Doni sepakat untuk membawa tim ini bergabung, jalan bersama-sama.
“Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Jalan untuk turun saja kita tidak tahu, bagaimana bisa lanjutkan ke Bambangan,” Yudi membuka rencana.
“Tapi kita juga tidak bisa buka camp di sini,” Yayak menimpali. Kemudian mereka terdiam.
Kami pun tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Ini pendakian pertama kami di Gunung Slamet. Dan sepertinya tidak ada seorang pun dari kami yang pernah mengalami situasi terjebak badai di puncak gunung dan tidak tahu pasti jalan untuk turun. Itu masalahnya.
“Kita coba jalan lagi, siapa tahu jalan turun itu kita temukan,” Hakim, pendamping lain tim Kaliwadas II menyampaikan pendapatnya. Kami menyetujui pendapat itu. Cerukan sempit berair itu kami tinggalkan, langkah kami merapat satu sama lain. Tidak ingin terpisah dan tertinggal sendirian, kami paksa mulut ini untuk bicara dan sekedar berbagi cerita, apa pun agar kesunyian tidak lagi mewarnai ketinggian gunung ini. Agar gemuruh tidak terlalu mengganggu pendengaran kami.
Kami jalan ke kanan, terus ke kanan sampai suatu ketika langkah kami terhenti di sebuah tanah berbatu yang agak datar. Seketika kami semua diam, kami saling pandang, beberapa batu nisan memoriam terpasang di sana. Bulu kuduk kami berdiri, kami tidak menyangka langkah ke kanan dan terus ke kanan membawa kami ke komplek memoriam ini.
“Jalan lagi yuk,” Agni, salah satu anggota tim Kaliwadas II menarik tanganku menjauh dari memoriam yang berada tepat di depan kami. Aku mengikuti ajakannya. Rupanya hal serupa juga terjadi pada Iin, Azis dan teman – teman lain.
“Kalian tunggu di sini, aku coba cari jalan,” Hakim mengalihkan perhatian kami. Tidak ada sahutan, hanya anggukan dari Yayak dan Yudi.
“Yak, mau tidak mau kita harus buat camp di sini. Sudah lewat jam 2 siang, kabut semakin tebal. Badai ini terlalu beresiko untuk dilalui.”
“Iya, kita cari tempat yang agak terlindung. Dan jangan di sini. Tapi kita tunggu Hakim datang, mungkin dia menemukan jalan”.
“Gimana, Kim?” tanya Yayak dan Yudi bersamaan begitu Hakim datang. Dari rautnya terlihat jelas, dia tidak menemukan petunjuk jalan untuk turun.
“Nol. Terlalu bahaya untuk gambling turun. Kita dirikan camp di sini,” jawab Hakim.
“Jangan disini, teman-teman udah ketakutan liat memoriam yang tersebar kaya gini. Kita cari tempat lain.”
Kami tinggalkan kompleks memoriam dan semua kejadian yang memaksa sekian banyak nama itu terukir di nisan dan terkubur di ketinggian sedingin ini.
Akhirnya kami menemukan tanah datar berbatu. Tidak cukup luas untuk mendirikan 3 tenda selayaknya. Terpaksa, kami hanya mendirikan dua tenda, satu untuk tim Kaliwadas II, satu untuk tim Baturaden II. Badai masih saja menerbangkan pasir dan bebatuan. Semakin sore, badai semakin kuat berhembus, gemuruh menyambut hari yang beranjak gelap.
Part 6
Azis mengeluarkan tenda dari dalam cariernya. Berpacu dengan tiupan angin yang menghempas, kami kesulitan membentangkan kain tenda untuk dipasangkan frame. Satu tenda kapasitas 4 orang itu memaksa kami mengerahkan semua tenaga.
“Carier masukkan dulu!” kata Yayak.
Aku dan Iin segera mengikuti perintah Yayak, carier kami masukkan ke dalam tenda sebagai pemberat. Setelah semua carier masuk, frame penyangga mulai kami pasang. Malang, angin terlalu kuat untuk dilawan, frame hancur dan tak bisa lagi digunakan.
“Don, ada tenda lagi nggak? Tendaku framenya hancur!” kataku keras pada Doni yang masih sibuk dengan tendanya. Gemuruh angin membuat kami harus berteriak.
“Ada satu tapi cuma kapasitas 2 orang!” balasnya.
“Ried, kamu ambil tenda satunya,” kataku kemudian.
Baried membongkar isi cariernya. Tenda itu tersimpan agak kedalam, sehingga cukup menyulitkan. Aku tahu tenda Baried terlalu kecil untuk menampung kami berlima ditambah dengan carier sebesar ini. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang tersisa.
Pukul setengah tiga sore. Langit gelap dan angin bertiup semakin keras. Kami terdiam di dalam tenda, tidak ada cerita. Semua sibuk menata badan karena tenda yang terlalu kecil. Hembusan angin menggoyang tenda kami, frame tenda yang meliuk terasa seperti cambukan menghantam tubuh. Carier yang digunakan untuk menahan frame tenda agar tetap berdiri rupanya terlalu ringan. Beberapa kali carier yang kami tumpuk itu jatuh membuat ruang tenda menjadi semakin sempit dan menyiksa.
“Kita atur lagi cariernya,” aku mencoba membuyarkan pikiran kalut dan kegelisahan sahabat-sahabatku. Aku tahu pikiran mereka barangkali tidak terlalu berbeda dengan pikiranku. Ketakutan dan kekhawatiran mereka pastinya juga tidak jauh seperti yang aku takutkan.
Carier kami tata mengisi masing-masing sisi tenda, dan untuk menahan frame agar tidak patah, kami duduk di atas carier menyudut di sudut tenda. Posisi yang sangat menyiksa.
“Ole…le…!” terdengar teriakkan dari tenda Doni. Kami membalasnya dengan teriakan yang sama.
“Jaga komunikasi ya!” teriak Hakim.
“Sip!” teriak Yayak.
Semakin waktu bergerak mendekat malam, cuaca semakin buruk. Angin tidak hanya membawa terbang pasir dan bebatuan, air pun dia bawa membasahi tanah tempat kami mendirikan camp darurat. Gerimis diikuti hujan yang cukup deras. Situasi bertambah buruk ketika Azis mulai ngomel tidak karuan, penyesalan telah mengikuti pendakian ini. Baried dan Iin merapatkan tubuh dan lututnya mencari kehangatan. Aku dan Yayak hanya saling pandang melihat kondisi mereka. Sesekali aku bersenandung lagu badai pasti berlalunya Chrisye, seolah bertanya pada alam kapan badai ini akan berlalu, mencoba meyakinkan diri sendiri dan orang-orang di sekitarku kalau badai pasti berlalu. Walau aku sendiri tidak tahu kapan.
“Masak… masak… buat hiburan!” Yudi kembali berteriak dari dalam tendanya. Aku melirik jam di tanganku, setengah enam sore. Sepertinya Azis kecapekan ngomel, dia terlihat tidur, atau tepatnya memaksa untuk bisa tidur. Aku dan Iin menyiapkan makan malam.
Terlalu sulit untuk bisa memasak nasi dengan paraffin. Kami tidak mungkin memasak di luar tenda, semua aktifitas dilakukan di dalam tenda, dan asap paraffin terlalu berbahaya untuk pernapasan kami.
“Kita masak yang praktis aja, Vi,” kata Iin menyadari keterbatasan dan kesulitan untuk memasak sempurna. Aku mengangguk setuju. Kompor disiapkan untuk memanaskan air. Yayak membantu menyalakan api dengan batang koreknya. Berkali dicoba sampai batang korek itu habis, kompor masih belum menyala. Kami menghela napas panjang menahan emosi dan frustrasi.
“Kita coba lagi,” kataku.
“Udah deh, kelamaan, langsung dimakan aja mienya,” kata Baried tiba-tiba sambil merebut mie instan dari tangan Iin.
“Kok gitu sih, Ried,” protes Iin.
“Daripada makin kelaparan ngurusin kompor, langsung dimakan aja. Begini juga enak.”
“Iya, tapi kalau bisa dimasak kan bisa lebih kenyang.”
“Mau kenyang? Kaya gini caranya…” Baried menuangkan bumbu mie instant, kemudian mencampurnya di dalam bungkus kemasan. Dia ambil mie mentah itu, memakannya dan sesaat kemudian dia mengambil air minum, meneguknya sampai habis. “Kenyang!” katanya mengakhiri.
“Kalau kaya gitu makannya, yang ada bukan kenyang, tapi kembung,” gumam Iin.
Kami semua merasa putus asa. Kompor tak lagi bisa menyala, suhu di ketinggian ini seolah telah membekukan dan menyumbat aliran dari tabung gas. Terpaksa, kami makan mie instant itu mentah-mentah.
“Zis, makan dulu.” Iin membangunkan Azis.
Azis dengan cepat menerima mie instant mentah yang dibagikan Iin. Kami tidak tahu akan sampai kapan bertahan. Bekal makanan cadangan sudah digunakan kemarin. Hanya tersisa makanan ringan dan bahan minuman, dan segelas beras sisa cadangan kemarin. Kalau besok hari cerah, sisa bekal itu masih cukup dan kami masih bisa bertahan sampai di Bambangan. Aku terus berdoa dan berharap hanya untuk malam ini saja menunggu pagi di puncak Gunung Slamet.
Aku mulai putus asa. Angin telah memorakporandakan tenda kami. Panci berisi air yang sedianya akan kami masak, tertiup angin dan tumpah membasahi alas tenda. Dingin menusuk. Mencoba untuk terus terjaga meski lelah dan kantuk menyiksa. Meskipun tidak nyaman, Iin, Azis dan Baried coba memaksa untuk merebahkan diri dan tertidur.
“Tidur aja, Vi,” Yayak menyarankan. Sepertinya dia memperhatikan aku yang menguap menahan kantuk berkali-kali. Aku menggeleng, aku tidak akan membiarkan dia terjaga sendiri. Kami coba menghalau sepi dengan berbagi cerita seadanya.
“Kesampaian juga keinginanmu ngecamp di puncak...” katanya membuka obrolan. Aku tersenyum, teringat rencana pendakian yang aku susun sebelum presentasi kesiapan pendakian.
“Iya, ya… ternyata kaya gini rasanya ngecamp di puncak nunggu sunrise,” kataku malu-malu, karena aku kemarin coba mempertahankan rencana dan keinginanku untuk bisa melihat sunrise di puncak gunung sepagi mungkin. Sunrise yang sempurna.
“Terus kenapa kemarin mau disarankan ngecamp di bawah?” tanya Yayak menyelidik.
Pertanyaan yang tidak penting, pikirku. Aku tahu alasanku tidak akan memuaskan Yayak. Jawabanku bukan jawaban logis seperti yang dia harapkan. Semua berawal dari mimpi. Mimpi yang mengganggu tidurku di dua hari sebelum hari pendakian. Masih jelas tergambar cerita mimpi itu. Di mana aku dan beberapa orang teman, yang aku tidak begitu jelas siapa, melakukan perjalanan ke suatu desa yang sangat terpencil. Ketika kami akan memasuki desa tersebut, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Penduduk desa berlarian. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami terus melanjutkan perjalanan kami. Mimpi itu hanya sampai disitu, tapi berulang dengan cerita yang sama. Sempat terbersit mimpi itu ada hubungannya dengan pendakian ini, diyakinkan lagi dengan cerita Pak Heri tentang wingitnya hutan Gunung Slamet dan gemuruh dari puncak gunung.
Tapi aku tidak pernah menceritakan mimpi itu. Rencana pendakian tetap berjalan hingga tiba di puncak gunung ini. Seharusnya kemarin aku mendengarkan hatiku! Seharusnya kemarin aku ceritakan mimpiku, bukan menyimpannya dalam hati dan membawanya dalam perjalanan ini. Seharusnya! Seharusnya aku bisa menahan Azis yang memaksa naik lebih dulu, setelah Doni melarang kami untuk ke puncak...
“Vi, kok malah ngelamun sih…” suara Yayak mengejutkanku.
“Hujan sepertinya makin deras,” kataku datar. “Setengah sebelas,” lanjutku. Pagi masih terlalu lama untuk dinanti. Kurasakan jaketku mulai basah, air hujan meresap masuk dari kain tenda. Iin terbangun dari tidurnya, diikuti Azis dan Baried.
“Waduh, basah semua,” kata mereka hampir bersamaan.
Frame tenda yang semula ditahan oleh tubuh Baried rupanya patah, air dengan mudah masuk ke dalam tenda. Kami coba untuk bertahan, duduk berjongkok di atas carier, air hujan sudah menggenang di dalam tenda. Tengah malam yang menyiksa. Kami sudah tidak kuat lagi menahan frame tenda yang semakin kuat menghantam pundak dan bahu kami. Satu persatu frame itu patah, pecah, hancur, dan ambruklah tenda kami.
Part 7
“Ole… le… Yud, Kim!!” Yayak berteriak memanggil Yudi dan Hakim. Tenda Doni terlihat sunyi. “Rescue!!” teriak Yayak lagi. Azis dan Baried mencoba menahan kain tenda dengan tangan mereka, sedikit memberi ruang untuk bertahan. Tidak terdengar sahutan.
“Tenda hancur, Rescue!” akhirnya kami semua berteriak. Samar samar terlihat nyala lampu senter dari tenda Doni. Suara riuh menggema di tengah kegelapan dan gemuruh suara angin.
“Ok, kalian pindah!” suara Hakim memberikan jawaban.
Satu per satu kami keluar tenda. Hawa dingin menusuk menyisakan rasa perih. Angin berhembus sangat kuat, kami harus berjalan membungkuk agar tidak terhempas oleh angin. Gelap yang pekat membuat kami kesulitan menemukan letak pintu tenda. Beberapa kali kami berjalan memutari tenda. Berjalan malam tanpa alas kaki, diterjang angin, menahan dingin, dengan pakaian yang basah.
“Don, senter di pintu!” teriakku. Doni dan Hakim segera mengarahkan senter mereka ke arah pintu dan kami berhasil masuk bergabung dengan tim Kaliwadas II. Malam ini kami lalui dengan berdesakan di satu tenda yang seharusnya hanya untuk 6 orang.
Seharusnya aku mendengarkan semua yang diisyaratkan alam. Aku hanya bisa menahan perih dalam hati melihat keadaan sahabat-sahabatku. Agni mulai merintih karena magnya kambuh, Adi membungkus tubuhnya dalam sleeping bag menahan pusing dan mual, Andi juga mulai demam dan bicara semaunya. Stress dan kelelahan yang menyatu.
Ketika malam tiba, di saat setiap mata coba untuk terpejam meskipun tidak bisa terlelap, hanya ada tetes-tetes bening air mata kerinduan, kesakitan, dan keputusasaan.
Senin, 12 Februari 2001
Entah akankah mampu bertahan menunggu hingga tiba saatnya melangkahkan kaki dan melanjutkan perjalanan untuk pulang. Iya pulang… hampir seminggu rumah penuh kehangatan itu aku tinggalkan untuk sekedar menggapai puncak Gunung Slamet dan mendapatkan status keanggotaan. Aku mulai merindukan rumahku, ibuku, bapakku, adik dan semua orang yang barangkali sedang menunggu kepulanganku. Terlambat pulang tidak lagi bisa dihindarkan. Jumat telah berlalu, hari ini tidak lagi 9 Februari.
Dan masih seperti kemarin, badai belum juga mereda. Dua belas orang masih tidak bisa bergerak keluar, kecuali dengan berat dan engan untuk sekedar buang air. Frame-frame penyangga tenda mulai hancur satu demi satu, bahkan pintu tenda tidak lagi bisa ditutup rapat. Entah masih cukupkah persediaan makanan untuk melalui detik demi detik hingga badai ini mengijinkan kaki-kaki kecil ini melangkah, menemukan arah jalan yang bisa membawa kami turun. Arah yang benar, bukan seperti kemarin yang hanya berputar-putar tidak tentu arah. Bahkan tali penuntun dan pemersatu itu pun tidak bisa menyatukan langkah untuk bersama-sama menemukan jalan. Badai ini terlalu berat untuk dilalui. Apalagi kondisi beberapa kawan mulai terserang gejala hipotermia, waktu untuk pulang harus tertunda lagi. Barangkali memang harus dilalui badai panjang ini.
‘Janganlah berjalan di depanku aku mungkin tak dapat mengikuti. Janganlah pula berjalan di belakangku aku mungkin tak dapat memimpin, tetapi berjalanlah seiring bersamaku dan jadilah sahabatku…’ Kalimat dari Albert Camus yang kemarin kujadikan tema makalah filsafat manusiaku terlintas di tengah kepasrahan dan keputusasaan yang kian menjadi.
Benar, kita harus terus bersama, tidak ada yang boleh jalan sendirian. Kita harus satukan hati untuk tetap bertahan. Tidak ada lagi yang akan merintih sendirian, tidak boleh ada pertengkaran, tidak akan ada lagi yang merasakan lapar kehabisan makan. Tangan kecil ini siap untuk berbagi kehangatan, kawan.
Tidak lagi dalam lindungan tenda dan balutan sleeping bag, hanya berlindung di antara bongkahan batu dan cerukan, mimpi-mimpi buruk mulai menghantui setiap kepala. Khawatir dan putus asa (barangkali) menjadi sesuatu yang wajar dalam kegelapan dan hantaman badai ini. Menghitung detik demi detik berharap pagi akan segera datang.
Pekat masih menyelimuti tanah Slamet, matahari hanya tampak seperti bola keputihan, tanpa memberikan kehangatan yang sanggup menggantikan dingin ini meski untuk sesaat. Pasir dan kerikil masih asyik berlarian, sesekali menabrak makhluk-makhluk asing yang menggigil kedinginan. Sakit, tentu, tapi semua hanya bisa dirasakan sendiri, bukan saat yang tepat untuk mengumbar keluhan. Bertahan dan terus bertahan untuk bisa melalui badai dan menemukan hari yang berlangit biru itulah satu-satunya yang bisa dilakukan.
Jumat telah berlalu di belakang. Kurang lebih 90 jam tubuh kurus ini mempertahankan hidupnya dalam balutan badai bersama sahabat. Akankah dia mampu untuk tetap seperti beberapa hari ini, sampai (barangkali) akan datang pada mereka pertolongan dan akankah malaikat–malaikat kehidupan memihak pada mereka yang bersembunyi dan berlindung dalam sempitnya cerukan ini?
Entah. Aku sendiri mulai dijamah kedinginan yang hebat, sesak membuatku tidak mampu lagi tersenyum dan membagi hangat tanganku pada kawan-kawanku. Menangis dan terus menguatkan diri, itulah yang bisa kulakukan untuk menanti pagi. Aku harus bisa lalui dingin ini. Aku... tidak... boleh... kalah…
“Ya, kamu harus bisa bertahan untuk menanti datangnya pagi. Kamu telah lalui puluhan jam di sini, dan kamu mampu sampai detik kedinginan tertinggi ini. Yakinlah, kamu harus bisa bertahan, jangan menyerah hanya untuk menunggu esok hari.” Tidak tahu dari mana suara itu, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Dan aku akan bertahan…
Tim Kaliwadas I
Menjelang pukul sepuluh pagi badai mulai melunak walaupun sebenarnya masih terhitung bertiup kencang. Situasi ini membuat tim Kaliwadas I yang dipimpin Iis lupa pada keputusan dan kesepakatan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak dan turun melalui jalur Baturaden.
“Melihat badai kemarin, aku khawatir kalau kita memaksa tetap melanjutkan ke puncak,” kata Dodo di tengah tengah makan pagi. Dodo adalah salah satu pendamping di pendakian ini. Selain Dodo anggota lain adalah Masrukhi.
“Memang kenapa, Mas?” tanya Dewi ingin tahu.
“Ya aku khawatir aja kalau badai datang lagi. Mungkin kita terjebak di tengah perjalanan, mungkin juga terserang mountain sickness, hypothermia, tersesat, jatuh atau kejadian lain yang di luar perkiraan kita…” kata Dodo memberikan penjelasan. Dewi hanya manggut - manggut mengiyakan. Walau sebenarnya dia juga tidak tahu bagaimana kondisi di puncak, bagaimana gejala mountain sickness atau hypothermia. Dia hanya tahu sebatas teori seperti yang tertulis pada diktat pendidikan dasar. “Tapi kalau misalnya kita gagal sampai puncak, pasti kalian kecewa” Dodo menambahkan.
Tim yang terdiri dari Gentur, Dewi, Bregas, Fauzan, Dodo dan Masrukhi itu akhirnya bertekad untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Badai tidak lagi datang sampai batas waktu yang mereka perkirakan meski kabut masih saja menyelimmuti lereng Gunung Slamet. Dengan perbekalan lampu senter sebagai pedoman dan penerang jalan menembus kabut, serta peluit satu-satunya alat komunikasi.
Dalam perjalanan setiap orang melindungi diri mereka dari hempasan badai. Bregas mengenakan jaket dilapisi ponco yang diikat dengan tali rafia di pinggang, Iis menggenakan baju lengan panjang dan dilapisi ponco yang juga diikat di pinggang, Dewi melapisi pakaiannya dengan raincoat, Gentur mengenakan jaket dan dilapisi dengan raincoat yang sudah tidak waterproof ditambah dengan helm yang dibawa dari rumah untuk melindungi kepala dari rontokan batu, Fauzan menggenakan dua lapis celana raincoat dan melapisi bajunya degan raincoat yang masih waterproof, Masrukhi mengenakan celana pendek dan melapisi bajunya dengan raincoat, demikian juga dengan Dodo—hanya bedanya raincoat Dodo dipastikan sudah tidak waterproof.
Entah mengapa waktu itu mereka kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, padahal mereka sudah memutuskan untuk turun, namun semuanya terjadi begitu saja. Mungkin juga karena ego yang terlalu besar untuk mencapai puncak. Atau kekhawatiran tidak akan diterima menjadi anggota karena gagal melakukan pendakian wajib? Entahlah. Yang pasti mereka memantapkan diri untuk menyentuh puncak Tugu Surono di ketinggian 3432 mdpl.
Beberapa saat setelah meninggalkan batas vegetasi mereka berhenti sejenak untuk mengisi botol minum yang telah kosong dari air di cerukan. Masrukhi berjalan di depan dan sesekali hilang dari pandangan tertutup kabut, dengan peluit dan teriakan mereka menyuruhnya berhenti. Sementara seperti perjalanan sebelumnya, Dodo berjalan paling belakang.
Sejak meninggalkan ceruk di mana mereka mengambil air, angin kembali bertiup dengan kencang disertai hujan yang datang dari arah samping. Badai datang kembali, bahkan lebih dahsyat. Seketika semua mulut terkunci. Semua dengan kedinginan yang menyusup begitu hebat dan pikiran yang barangkali tidak lagi sama. Jari-jari perlahan kaku, otot-otot wajah sulit digerakkan karena kedinginan. Sering terjadi batu yang mereka injak rontok dan berjatuhan mengancam keselamatan anggota tim yang berjalan di belakang. Beruntung jika hanya kerikil yang berlarian lepas, tapi ketika batu sebesar kepala mulai rontok dan menghantam batuan yang lain hingga melenting, siap menghantam kepala mereka... begitu mengerikan.
Kejadian ini membuat mereka berjalan sangat hati-hati dan pelan. Berjalan bergantian, satu berjalan naik yang lain diam di tempat yang aman dari longsoran. Di situasi yang tidak menyenangkan ini, tiba-tiba Masrukhi terpeleset. Beruntung dia mampu menghentikan proses jatuh itu sehingga tidak melorot jauh ke bawah.
Setibanya di bibir kawah mereka melanjutkan perjalanan menyusuri bibir kawah ke arah kanan menuju Tugu Surono (puncak tertinggi). Tiba di Tugu Surono, meluapkan rasa syukurnya Gentur bersujud diikuti oleh Iis, Dewi, Fauzan dan Bregas. Sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dodo datang dengan tergopoh-gopoh mengabarkan kalau Masrukhi tidak mampu lagi berjalan dan berada di bibir kawah. Rencana foto di puncak untuk mengabadikan moment di Tugu Surono lenyap bersama deru angin yang kian menjadi.
Gentur, Bregas dan Fauzan kembali turun. Masrukhi sudah tidak mampu berjalan, bahkan merangkak pun sudah sangat kepayahan. Dengan kekuatan yang masih ada, Masrukhi berjalan dengan dipapah Bregas dan Fauzan, sementara Gentur membawakan cariernya. Dengan susah payah Fauzan dan Bregas membawa Masrukhi untuk bergabung dengan yang lain di Tugu Surono. Di bayang-bayangi kawah yang mengangga di kiri mereka, setiap saat badai bisa saja melempar tubuh mereka ke dalamnya. Mereka masih berjuang, sementara Iis dan Dewi bersama Dodo sedang mempersiapkan tenda sebagai perlindungan darurat.
“Sepertinya Masrukhi terserang hypothermia,” begitu kata Dodo.Tanpa bantahan dan tanpa diskusi lebih panjang, pertolongan skin to skin harus segera diberikan. Dengan sisa panas tubuh yang masih ada Bregas mendonorkan panas tubuhnya untuk Masrukhi. Suasana semakin mencekam, sesekali Masrukhi mengigau.
“Ambil kanan… kanan…” begitu-begitu saja kalimat yang dia ucapkan saat mengigau. Barangkali alam bawah sadarnya masih terbawa ketika mereka masih berada di bibir kawah. Hypotermia yang menyerang Masrukhi cukup serius, dia tidak bisa merespon apa pun. Teman-temannya sampai terpaksa menamparnya saat dia menunjukkan tanda-tanda akan tidur. Dia tidak boleh tidur, sedetik pun.
Part 8
Badai belum mereda. Angin semakin liar mengirimkan hawa dingin ke dalam tenda. Gentur memaksakan diri untuk keluar dan membongkar satu tenda yang masih rapi tersimpan dalam carier. Di tengah hujan pasir dan hantaman badai gunung, Gentur berhasil melapisi tenda dengan tenda yang lebih besar, dia juga berhasil membawa pudding hungkwe yang rencananya akan disantap saat pesta puncak. Suhu dalam tenda sedikit lebih hangat karena angin tidak lagi masuk. Masrukhi juga menunjukkan kondisi yang mulai membaik, dia sudah bisa merespon ucapan teman-temannya meskipun yang dia katakan tidak pernah berhubungan dengan apa yang teman-teman bicarakan. Untuk sedikit mengganjal perut, Iis memberanikan diri menyuapi Masrukhi. Dengan kadar lemak, tepung dan gula yang ada pada hungkwe mereka berharap Masrukhi sedikit mendapat tenaga. Meskipun mereka tidak berharap lebih bahwa itu akan membuatnya pulih dan mampu melanjutkan perjalaanan ini.
Setelah makan pudding, nampaknya Masrukhi teringat rencana pesta puncak yang direncanakan. Dalam keadaan setengah sadar berulang kali Masrukhi meminta Coca-cola. Jelas saja mereka tidak menuruti keinginannya mengingat suhu yang terlalu dingin untuk seorang penderita hypothermia.
Lambat laun kesadaran Masrukhi membaik. Kalimat dan ucapannya mulai terarah. Bahkan beberapa kali dia mengucapka kata-kata dalam bahasa Tegal yang terdengar sangat menggelikan di telinga teman-temannya. Usaha dan penantian di puncak Tugu Surono tidak sia-sia. Masrukhi sudah mulai bisa bercanda lagi.
“Sepertinya suhu tubuh Masrukhi mulai pulih. Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera tiba di batas vegetasi hari ini juga. Kita akan mendirikan camp di sana untuk memulihkan suhu tubuh dan tenaga kita, sebelum turun melalui jalur Bambangan,” usul Dodo yang langsung mendapat persetujuan teman-teman yang lain.
Rasa lelah dan kedinginan menghantui setiap anggota tim. Tapi mereka harus bergerak dan mengemasi barang-barang untuk melanjutkan perjalanan turun ke batas vegetasi. Di luar perkiraan, ketika teman-temannya siap melanjutkan perjalanan, rupanya Masrukhi belum mampu mengangkat cariernya sendiri. Gentur mendekat dan membantunya mengangkat carier sementara yang lain sudah berjalan perlahan di depan. Masrukhi mencoba berjalan, tapi kondisi fisiknya belum seratus persen pulih, kakinya belum kuat menopang berat tubuh dan cariernya, jalannya sempoyongan dan terseok seperti orang mabuk.
“Do! Lebih baik kita ngecamp lagi, Do. Supaya dia bisa istirahat. Kalau begini caranya, kita maksain turun, kita bisa bunuh dia, Do!” suara Fauzan memecah kepayahan di antara gemuruh angin.
“Iya, kita akan buka camp lagi,” jawab Dodo tegas.
Iis, Dewi dan Bregas yang sudah berjalan beberapa meter di depan dipanggil kembali. Tenda mereka dirikan di tempat sama. Angin bertiup lebih hebat—bahkan tenda yang mereka dirikan terlipat hingga sudutnya bertemu. Carier mereka masukkan lebih dulu untuk mengganjal kerangka tenda agar tidak patah. Setelah tenda didirikan angin masih saja menghajar tenda mereka, terpaksa mereka harus duduk di atas carier dan menahan goncangan kerangka tenda dengan punggung. Semua terjaga, duduk di sudut tenda sementara Masrukhi berada di tengah, posisi yang dirasa paling hangat dan terlindung.
Waktu terus berputar, tapi hari masih sama. Sepanjang siang mereka berjuang menghadapi badai, terjatuh terseok, dua kali mereka harus mendirikan tenda darurat karena teman mereka terserang hypothermia. Mereka coba untuk bersabar dan terus berdoa sebisa mungkin. Mereka tidak bisa menjalankan sholat dengan selayaknya, karena tidak bisa bergerak lebih leluasa selain meringkuk dan berjongkok untuk menghadap Tuhan. Mereka hanya berharap besok hari dapat melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Akhirnya pagi datang. Udara dingin membuat mereka malas untuk segera membongkar tenda. Beberapa saat lamanya pagi mereka lalui dengan bermalas-malasan di dalam tenda sambil mengumpulkan energi yang terkuras seharian kemarin. Satu demi satu perlengkapan mereka benahi dan saat packing pagi itu mereka menyadari beberapa barang yang mereka letakkan di luar tenda hilang. Mungkin diterbangkan oleh angin. Tanpa menghiraukannya, mereka bergegas lanjutkan perjalanan menuju Bambangan.
Untuk pertama kalinya Dodo berjalan paling depan. Kabut masih menyelimuti dan angin masih cukup kencang—meski tidak sekencang kemarin. Satu satunya pedoman yang mereka jadikan penunjuk jalan adalah sampah.
“Kita ikuti sisa-sisa sampah. Biasanya sampah akan banyak berserakan di sepanjang jalur pendakian,” begitu kata Dodo memberi pentunjuk.
Mula-mula jalan yang mereka lalui cukup jelas meski tersamar oleh kabut, hingga suatu ketika mereka harus berjalan naik dan itu membuat mereka ngos-ngosan.
“Lho, Do! Kita kan mau turun, kok malah naik lagi?”
Mendengar pertanyaan itu Dodo menghentikan langkahnya dan kembali turun bergabung dengan teman-teman yang mengikutinya di belakang.
“Tur, dirimu di depan, nyari jalan!” kata Dodo kemudian. Tanpa pertanyaan dan bantahan Gentur berjalan di depan dan mulai membantu Dodo mencari jalan.
Keduanya berjalan turun mengikuti sampah yang berserakan hingga pada suatu saat mereka menyadari sampah sudah tidak mereka temui, mereka tidak lagi berjalan mengikuti sampah tapi mereka mencari sampah… dan mereka tidak lagi menemukan petunjuk itu.
“Do… Tur.. berhenti…!” terdengar teriakan dari belakang. Seketika Gentur dan Dodo menghentikan langkah. “Masrukhi sakit!”
“Bawa turun ke sini, di cerukan..!” Dodo menanggapi teriakan itu. Cerukan itu satu-satunya tempat yang dirasa paling terlindung dari hembusan angin yang terlalu kuat.
“Nggak bisa, Mas,” jawab Iis kemudian. Sesaat tidak ada lagi suara.
“Tur, dirimu naik, bantu mereka. Aku sudah tidak kuat lagi…” kata Dodo lirih tapi cukup jelas terdengar di telinga Gentur. Ada ragu di mata Gentur dengan apa yang baru saya didengarnya.
‘Aku tidak kuat lagi…’ ulang Gentur dalam hati. Ada rasa yang mengganjal di benak Gentur. Dan itu membuatnya tidak begitu bersemangat untuk naik dan melihat kondisi Masrukhi. Egonya mulai bermain di detik itu.
Karena dia senior dan pendamping, pastilah dia kuat, batin Gentur lagi. Tanpa dia tahu, rupanya Dodo terserang kram otot. Dodo menyandarkan tubuhnya di batuan cerukan sementara Gentur menemui teman-temannya untuk memberikan bantuan. Di tengah perjalanan dia bertemu Dewi.
“Wi, kamu temani Dodo. Dia ada di cerukan situ,” kata Gentur memberi petunjuk. Dewi Tidak menjawab apapun selain terus berjalan mengikuti petunjuk Gentur.
Di tempat lain, carier Masrukhi sudah berada di dasar jurang. Fauzan dan Bregas sekuat tenaga menahan tubuh Masrukhi yang hampir terjatuh. Dia mulai mengigau lagi, kata-kata yang dia ucapkan sudah tidak terbaca. Masrukhi terserang hypotermia lagi, dan sekarang lebih parah. Posisi yang nyaris masuk jurang dan keadaan lereng yang curam ditambah kondisi fisik yang telah terkuras membuat usaha membawa Masrukhi ke dalam cerukan sulit dilakukan.
Di antara himpitan batuan Gunung Slamet, tiupan badai dan keinginan untuk menyelamatkan seorang sahabat, terdengar suara rombongan pendaki lain. Hanya suara. Dan dari suara itu menunjukkan rombongan itu tidak terlalu jauh dari posisi mereka.
“Tolong…!” teriak Gentur meminta tolong. Beberapa kali dia berteriak ke arah rombongan itu, tapi sepertinya tidak ada seorang pun yang membalas. Tidak kehilangan akal, Gentur meniup peluit sekeras-kerasnya. Berharap kali ini isyarat itu terdengar dan pertolongan akan datang.
Tidak sia-sia, samar-samar Gentur mendengar rombongan itu memberi jawaban, tapi sayang tak seorangpun yang mendengar dengan jelas apa jawaban rombongan itu. Untuk memperjelas komunikasi dan meminta bantuan, Dewi berusaha mendekati rombongan itu.
Tidak berapa lama, salah satu anggota rombongan mendatangi mereka di cerukan. Saat itu kondisi fisik dan mental mereka sangat menurun. Kondisi tempat yang miring, sempit dan tidak rata membuat mereka tidak bisa mendirikan tenda untuk menolong Masrukhi. Satu-satunya yang bisa menghangatkan dia hanyalah sleeping bag. Masrukhi berada di pangkuan Dodo dan Iis. Pendaki itu memeriksa kondisi Masrukhi yang mulai mengerang kesakitan. Kemudian pendaki itu meminjamkan jaket merahnya untuk dipakai Masrukhi.
“Jalur pendakian di sebelah mana, Mas?” tanya Gentur pada si pendaki.
“Di sebelah kanan, tapi dari sini bisa juga turun, nanti di bawah ketemu,” jawabnya.
“Teman-temanmu bisa dibawa ke sini nggak, Mas?” tanya Dodo.
“Teman-teman saya sudah berada di batas vegetasi, Mas. Oiya, carier Mbak Dewi yang mana ya?”
Mereka tidak mengerti maksud jawaban si pendaki. Spontan mereka tunjukkan carier Dewi dan pendaki itu segera menyandangnya di punggung. Dewi akan turun bersama rombongan pendaki itu.
Bayangan tubuh Dewi dan sekelompok pendaki tersapu kabut, menghilang di balik bebatuan puncak Gunung Slamet. Seperginya mereka, Gentur, Bregas dan Fauzan masih berusaha menolong Masrukhi. Tetapi belum sempat jaket pinjaman itu melindungi tubuh Masrukhi, tangan Masrukhi bergerak. Seolah ada yang ingin dia gapai. Tidak berlangsung lama, tangan itu perlahan melemas dan tidak bergerak sama sekali. Sekejap sunyi menelan mereka. Hanya terdengar suara deru angin dan bebatuan yang bertumbukan dengan batuan lain.
Part 9
“Kalau Ruki meninggal, berarti dia meninggal di pangkuanku,” kata Dodo. Rasa tidak percaya, sedih, dan bermacam rasa lain berkecamuk di benak mereka. Tapi mereka sadar, mereka tidak boleh larut dalam situasi ini. Mereka harus tetap berjuang dan mencari jalan keluar.
Dengan berat mereka tinggalkan Masrukhi dan tetap menyelimutinya dengan sleeping bag lalu dilapisi ponco. Mereka tidak mampu membawanya serta.
“Itu sleeping bagnya nggak kita bawa sekalian aja, Do?” tanya Fauzan melihat mereka meninggalkan sleeping bag untuk selimut Masrukhi.
“Nggak usah, siapa tahu nanti dia bisa bertahan,“ jawab Dodo. Sebuah harapan dan doa terucap dari bibirnya. Sekali lagi tidak ada bantahan atau apa pun untuk mempertanyakan pendapatnya.
Tim yang tersisa hanya 5 orang; Dodo, Gentur, Fauzan, Iis, dan Bregas. Di tengah perjalanan hujan kembali turun. Membuat jalan yang mereka lalui berubah menjadi sungai kecil. Batu yang mereka injak di jalur itu jadi sangat licin—kemiringan medan juga curam. Tiba-tiba Fauzan terpeleset dan jatuh tergelincir sepanjang jalur yang telah dialiri air. Badannya merosot hingga berpuluh meter bahkan hilang dari pandangan keempat temannya. Serta merta, Gentur, Iis, dan Bregas mempercepat langkah untuk mengejar Fauzan.
Fauzan mereka temukan diam terduduk dalam genangan air dengan kondisi yang basah kuyup. Beruntung dia tidak cedera dan mampu berjalan lagi. Namun di luar perkiraan, dan tidak terpikirkan oleh Gentur, Iis maupun Bregas… mereka kehilangan kontak dengan Dodo saat melakukan pengejaran Fauzan. Rupanya Dodo kurang cepat mengikuti pergerakan ketiga sahabatnya.
Tersisa empat orang yang masih bisa dalam jangkauan komunikasi. Mereka berharap Dodo baik-baik saja dan akan segera menyusul.
“Lihat, kalian bisa lihat. Kita sudah dekat dengan batas vegetasi...” teriak Gentur sambil menunjuk di kejauhan. Samar samar terlihat deretan pohon perdu. Keempat sahabat itu mempercepat langkah untuk segera sampai batas vegetasi. Dengan tertatih dan memaksimalkan tenaga yang masih tersisa Iis dan Gentur bergegas mendirikan tenda di tanah yang sedikit miring, namun masih cukup untuk berdiri satu tenda ukuran kecil. Sementara itu Bregas yang menemani Fauzan berjalan juga mulai kepayahan. Hingga tenda didirikan mereka belum terlihat, padahal jarak mereka tidak terlalu jauh. Tercekat sesaat mendapati Bregas yang berjalan kepayahan seorang diri meninggalkan Fauzan, Iis memberanikan diri kembali jalan ke atas untuk menjemput Fauzan.
“Bertahanlah, Zan, tenda tidak jauh dari kita….” Menahan galau yang amat angat, Iis memberikan semangat atau setengah memohon pada Fauzan.
Kondisi Fauzan jauh menurun, dia sudah sangat kesulitan untuk berjalan, merangkak pun terasa berat untuknya. Sementara di dalam tenda Gentur melakukan pertolongan semampunya untuk Bregas.
“Ayo, tinggal beberapa meter lagi, Zan…” kata Iis sambil menunjuk tenda, seolah dia ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak berbohong saat mengatakan tenda sudah dekat.
Tenda kapasitas 4 orang itu bergoyang tak karuan tertiup angin, sesekali batuan menghantam, tapi di sini lebih baik daripada di puncak kemarin.
“Tur, bantu aku!” teriak Iis meminta pertolongan.
Fauzan tidak bisa bergerak lebih jauh lagi. Tubuh dan cariernya sudah menyatu dengan tanah. Menggendongnya jelas tak mungkin Iis lakukan. Ukuran tubuh Iis terlalu kecil untuk bisa menggendong Fauzan yang notabene seorang atlet renang. Tidak ada sahutan dari dalam tenda. Hati Iis makin risau. Pun dia tidak bisa membiarkan Fauzan semakin lama berada di titik ini. Iis melepaskan carier dari tubuh Fauzan dan menghempaskannya ke tanah. Sekuat tenaga, Iis menyeret Fauzan ke dalam tenda.
“Is, keluarkan sleeping bagmu, sepertinya Fauzan terserang hypothermia,” kata Gentur.
Bregas tidak banyak bicara, meski dia memang pendiam tapi diamnya kali ini berbeda dengan biasanya. Dia juga tidak memberikan bantuan apapun. Tubuhnya meringkuk di pojok tenda, wajah putihnya terlihat pucat.
“Aku akan bagi panas tubuhku ke Fauzan,” kata Gentur kemudian. Entah kalimat itu ditujukan untuk siapa. Saat itu juga, Bregas mulai muntah-muntah. Kelelahan yang sudah terlalu.
“Santai kawan, kalau kita masih punya semangat hidup, kita pasti selamat kok.,” kalimat itu berulang kali diucapkan Iis. Dia tidak peduli ada tanggapan atau tidak.
Hari makin gelap. Tidak banyak yang bicara, hanya Iis yang masih sanggup mengeluarkan kecerewetannya dengan mengulang kalimat yang sama. Kelegaan mulai menyelinap di tengah gelapnya malam. Fauzan mulai membaik. Tapi kelegaan itu sirna saat Fauzan bicara, meski pelan dan terdengar agak kurang jelas.
“Dodo mana?” tanyanya lemah.
Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan itu. Iis dan Gentur hanya saling pandang. Sesaat mereka bersamaan menatap Bregas yang masih belum bergerak di pojok tenda.
“Gas, kamu sakit?” tanya Fauzan lagi. Bregas menggeleng pelan.
“Aku hanya butuh istirahat sebentar kok…” Jawaban itu terdengar sangat lirih.
Meski rasa perih dan nelangsa menghantui suasana hati keempat sahabat itu, tapi mereka tidak ingin memanjakan rasa itu. Serta merta mereka membangunkan keberanian dan semangat untuk hidup di tengah ketidakpastian ini. Ketidakpastian untuk selamat, ketidakpastian nasib Masrukhi dan Dodo, ketidakpastian bantuan yang dicari oleh Dewi, ketidakpastian kondisi Bregas dan Fauzan, ketidakpastian apakah mereka mampu bertahan dan keluar dari lingkupan badai dan jalan tanpa arah ini.
“Kalau saja kemarin peta itu terbawa…” gumam Bregas mengejutkan. Rupanya sepanjang hari ini, itu yang mengganggu pikirannya. Ya, pedoman jalan dan jalur pendakian Gunung Slamet yang seharusnya bisa menjadi penuntun arah bagi perjalanan tim Kaliwadas I tertinggal di kos Bregas. Terakhir kali peta itu mereka pelajari bersama, jalur mana yang akan mereka gunakan untuk naik dan turun. Kontur yang begitu rumit dan hampir sama jelas tidak terekam dalam ingatan mereka, altimeter yang seharusnya juga bisa membantu menentukan ketinggian mereka sekarang juga hilang, begitu juga dengan kompas. Yang mereka ingat hanya jalur naik dari Desa Kaliwadas, Kabupaten Bumiayu, turun di Desa Bambangan, Kabupaten Purbalingga, itu saja. Lalu bagaimana mereka bisa keluar dari dataran tinggi sebesar Gunung Slamet, hutan lebat sesubur ini tanpa semua itu?
“Sudah lah, Gas, jangan diingat dan diungkit lagi…” kata Iis. Dia masih sibuk mengaduk bubur survivalnya. Paduan tepung terigu, esteemje rasa coklat yang dicampur dengan sedikit air, jadilah bubur rasa coklat dengan sedikit nuansa hangat rempah jahe. Tenda sekecil itu terlalu sempit untuk keempat sahabat itu bergerak leluasa. Gentur masih memaksimalkan pembagian panas tubuhnya pada Fauzan, sementara Bregas tertunduk lemas meringkuk di balik jaketnya yang lembab. Ada isak yang coba dia sembunyikan.
“Gas, makan dulu. Aku buat bubur coklat,” tanpa ragu Iis menyuapi ketiga sahabatnya. Iis yang biasanya jutek, galak dan keras kepala detik itu terlihat begitu keibuan, manis dan memancarkan kehangatan yang luar biasa di dalam tenda.
“Zan, Gas… kalian harus makan lebih banyak biar kalian bisa jalan lagi…” katanya kemudian, merayu. Sesekali dia coba tersenyum, “kita pasti bisa” itu yang terbaca dari senyumnya.
“Eh Is, gigimu kok hilang satu?” selidik Gentur mendapati ada yang kurang dari barisan gigi putih Iis. Iis mengangguk dan tertawa kecil.
“Tapi tetep cantik kan?” selorohnya kemudian, seolah ingin menghadirkan tawa dari giginya yang tanggal satu. Bregas tersenyum, Fauzan menahan tawanya di dalam sleeping bag. Gentur mencibir ambil menahan tawanya yang ingin meledak.
“Cewek satu ini memang gila, ditengah kondisi yang ga jelas kaya gini, hampir mati pula, masih aja becanda...”
Perbekalan semakin menipis, kondisi fisik dan mental mulai terkikis. Gentur merasa sudah saatnya bertindak lebih dari sekedar menunggu bantuan. Dia sendiri tidak yakin bantuan yang dicari Dewi akan datang. Masih terbayang bagaiamana ganasnya badai sepanjang hari kemarin. Gentur ragu Dewi bisa melewati badai itu dan selamat tiba di Bambangan lalu berhasil mencari bantuan.
“Is, kalau kita berjalan menyamping ke kanan, ke selatan, kita pasti bertemu jalur Bambangan,” kata Gentur suatu pagi, sambil terus berusaha membuat api dari sisa bahan bakar dan sampah yang bisa terbakar.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Iis. Angin sudah tidak begitu kencang, bahkan pagi ini begitu cerah. Matahari bersinar dan langit biru ini tidak bisa disia-siakan. Meski Bregas dan Fauzan belum pulih sepenuhnya, tapi matahari yang menghangatkan tenda mereka cukup memberi semangat untuk bertahan.
“Kamu ingat, Masrukhi kemarin pernah bilang kalau jalur pendakian ada di sebelah kanan. Dan hal yang sama juga dikatakan pendaki yang kemarin kita temui…”
“Tapi itu kemarin, ketika kita masih di atas. Sekarang kita sudah di batas vegetasi. Aku sendiri tidak yakin kalau kita masih sejalur dengan posisi terakhir kita saat masih bersama Masrukhi, Dodo, Dewi dan pendaki itu…” Suara Iis melemah saat menyebut nama ketiga sahabat yang entah di mana dan bagaimana nasib mereka saat ini. “Oiya, Tur… apa tidak lebih baik kita coba cari Dodo, selagi cuaca baik.”
Kening Gentur berkerut, tak mengerti bagaimana menanggapi usulan Iis.
“Iya kita naik ke atas lagi,” Iis coba meyakinkan.
Untuk beberapa lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Iis menatap ke atas puncak Gunung Slamet. Berharap dia akan melihat Dodo berjalan ke arah mereka, meski dengan langkah yang kepayahan atau merangkak sekalipun... Iis terus berharap.
“Aku kurang sepakat, Is. Kali ini aku menolak usulanmu…”
“Kenapa?” tanya Iis setengah berteriak. “Kita ga bakal tahu kondisi Dodo kalau kita ga coba cari dia lagi, Tur. Bahkan kita ga tahu kondisi terakhir dia, kita semua meninggalkan dia untuk mengejar Fauzan. Kita ga bisa meninggalkan dia begitu aja kan? Kita harus temukan dia. Mungkin saja dia masih hidup, dan kemarin dia berlindung di cerukan, atau pagi ini dia sedang jalan ke arah kita, atau….”
“Is, tenanglah...” pinta Gentur, sedikit memaksa.
Iis masih terus berharap. Berharap Dodo selamat, berharap Gentur mau mencari Dodo ke atas.
“Is, kamu lupa, kita disini tidak hanya berdua. Ada Fauzan dan Bregas yang juga membutuhkan keberadaan kita. Mereka masih butuh perawatan dan pengawasan, kita ga bisa meninggalkan mereka, meski hanya untuk ke atas sebentar…”
“Kita bisa berbagi tugas kan? Kau yang keatas cari Dodo, aku yang jaga mereka di sini…”
“Is, lebih baik kita selesaikan masak dulu. Mereka butuh tenaga lebih dari kita.” Gentur mengalihkan pembicaraan. Setengah hati Iis menyelesaikan bubur berasnya. Tidak ada bahan makanan lain selain seperempat beras dan dua bungkus mie instan.
“Selesai makan, kita bicarakan lagi bagaimana baiknya,” kata Gentur kemudian. Acara makan pagi hari itu terasa sangat menyiksa batin Iis. Sekali lagi dia harus menyuapi Bregas dan Fauzan karena mereka masih lemas untuk bergerak. Sementara Gentur bermain dengan pikirannya di luar tenda. Masih terngiang di telinga dan pikiran gentur, ‘jalur pendakian ada di sebelah kanan’. Itu artinya dengan bantuan cahaya matahari dia bisa sedikit terbantu untuk menentukan arah. Aku hanya butuh jalan ke selatan, batinnya meyakinkan dirinya sendiri.
“Is, kamu benar. Kita nggak bisa selamanya diam disini…”
Part 10
“Iya, kita harus mencari Dodo,” Iis menyahut dengan harapan yang lebih. Dia mulai merapikan kembali alat masaknya, mengepaknya ke dalam kantung makan. Sepatu lapangan juga sudah dia kenakan, dan dia melapisi jilbab birunya dengan jilbab parasut agar lebih hangat. Meski matahari mulai tampak, tapi hawa dingin gunung masih terasa.
“Tidak, kita tidak akan ke atas. Kita akan ke bawah.”
“Maksudnya?” Iis menghentikan kegiatannya sesaat.
“Is, kamu sadar nggak kalau kita telah bergeser…”
“Iya aku tahu itu, lalu kenapa?”
“Kita telah bergeser dari posisi yang akan dilaporkan Dewi, itu juga kalau Dewi selamat sampai Bambangan…”
“Tur, kita harus yakin kalau Dewi akan berhasil, kita akan selamat, kita cari Dodo sambil kita menunggu pertolongan. Dewi pasti berhasil, Tur…!”
“Seberapa yakin kalau Dewi akan berhasil dan pertolongan akan segera datang?” kata Gentur mempertanyakan keyakinan Iis. Iis terdiam, dalam hatinya pun dia tidak seyakin itu.
“Kalau pun Dewi selamat dan berhasil mencari pertolongan, aku tidak yakin mereka akan menemukan kita. Posisi kita bergeser jauh dari terakhir kita bertemu dengan pendaki itu, Is. Dan yang akan dilaporkan Dewi adalah posisi terakhir kita, ketika Dewi masih sama-sama kita. Itu yang membuatku tidak yakin pertolongan akan segera datang…”
Kedua sahabat itu tertunduk dengan sesekali menengadah ke langit-langit menyembunyikan tangis yang tidak tepat untuk dikeluarkan. Tangis hanya akan menambah berat langkah dan melemahkan, pikir mereka.
“Is… Tur…” terdengar suara Bregas memanggil lirih kedua sahabatnya. Seketika Iis dan Gentur melesat masuk ke dalam tenda. Didapatinya Bregas yang sedang memeluk Fauzan erat. Wajah Fauzan putih pucat. Suasana mendadak kalut. Kehangatan sinar matahari tidak lagi bisa dirasakan. Sekujur tubuh Fauzan dingin, matanya juga terpejam. Iis coba menampar wajah Fauzan tapi tidak ada perubahan yang berarti. Bregas merapatkan pelukannya. Dia tahu benar, kondisinya belum sepenuhnya pulih, tapi dia tidak mau terus menerus diam melihat kedua temannya kerepotan mengurus Fauzan dan dirinya.
“Zan…!! Bangun! Buka mata kamu!” teriak Gentur keras dengan terus menampar wajah Fauzan. Satu jam, dua jam terlewati dengan usaha menyelamatkan nyawa seorang sahabat. Mereka tidak mau kehilangan lagi. Sudah cukup mereka menyaksikan kepergian Masrukhi, kehilangan jejak Dodo yang sampai siang tidak juga ada yang bisa diharapkan. Dimana dia sekarang, selamat atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
“Is, kita harus secepatnya membawa Fauzan dan Bregas turun…” kata Gentur setelah Fauzan menunjukkan tanda-tanda membaik. Bregas masih menemani Fauzan di dalam tenda. “Iya, aku tahu kondisi Bregas tidak sebaik yang dia tampakkan tadi. Aku tahu dia memaksa dirinya untuk bertahan dan membantu Fauzan, dan aku tidak yakin akan sampai kapan dia mampu bertahan dan menyembunyikan rasa sakitnya… Salah satu dari kita harus ada yang bergerak turun, Is.”
“Kenapa kita tidak turun sama-sama Tur?”
“Tidak, kondisi Bregas dan Fauzan tidak mungkin kita ajak jalan. Apalagi jalan yang akan dilewati belum jelas, semua masih dalam perkiraan dan bermain dengan naluri. Coba-coba. Trial and error. Itu hanya akan menyiksa mereka dan… memperlambat perjalanan. Aku akan turun duluan.”
“Kamu yakin?” Iis menanggapi. Tidak ada sanggahan atau bantahan. Keinginan Iis untuk mencari Dodo rupanya melemah, meski harapan masih saja ada di hatinya.
“Iya, aku akan turun lebih dulu,” jawab Gentur yakin. Tapi tanpa sepengetahuan Iis, jauh di dalam hati Gentur, dia tidak sepenuhnya yakin bahwa jalur yang akan dilewatinya nanti adalah jalur yang benar menuju Bambangan atau menuju desa terdekat. Dia juga tidak yakin dia akan berhasil.
‘Aku juga tidak yakin akan sampai Bambangan hari ini juga, mungkin aku harus bermalam di tengah hutan, atau bisa jadi aku malah tersesat,’ kata gentur dalam hati. Dia Tidak berani mengungkapkan apa yang dirasakannya pada Iis, karena dia tidak mau Iis melarangnya jika dia tahu bahwa Gentur ragu dengan langkah yang akan ditempuhnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Gentur mengganti pakaian lembabnya dengan sisa pakaian kering yang masih ada. T-shirt lengan pendek, celana panjang yang dilapisi dengan celana raincoat milik Fauzan. Melihat Gentur hanya memakai t-shirt tipis tanpa dilapisi dengan yang lain, Iis memberiikan flannel lengan panjangnya. Sesaat gentur ragu untuk menerimanya karena Iis pasti juga membutuhkkannya
“Pakailah, aku bisa bertahan di dalam tenda,” Iis menjawab keraguan Gentur.
Melengkapi perjalanan, Gentur membawa parang dan ponco yang masih ada di dalam carier Fauzan.
‘Fauzan tidak akan membutuhkan ini, mereka akan terlindungi di dalam tenda hingga pertolongan datang,’ pikir Gentur sambil terus mengemasi beberapa barang yang akan dibawanya. Tidak luput dari ingatannya, Gentur mengambil jam Fauzan dan memakainya di tangan kiri. ‘Kompas di jam ini akan membantuku keluar,’ batinnya yakin. Segenggam permen diberikan Iis, sekedar teman perjalanan.
“Kalian tunggu saja disini, aku akan segera mencari pertolongan,” pesan Gentur sebelum berlalu, meninggalkan Iis, Bregas, dan Fauzan.
“Hati-hati, Tur…”
Setengah sepuluh pagi, mengawali perjalanan seorang diri menjelajah hutan mencari pertolongan, Gentur melangkahkan kakinya sebentar ke utara, berharap akan melihat jejak sampah atau jalan setapak. Tidak membuahkan hasil. Sampah yang dia temui adalah sampah dari kelompoknya sendiri, sampah sisa masak semalam dan tadi pagi. Tapi tidak serta merta Gentur kecewa dan patah semangat. Niatnya untuk segera menemukan peradaban dan mendapatkan pertolongan membara di jiwanya. Potongan tali raffia yang masih tersisa dia kumpulkan untuk perbekalan membuat bivak jika harus bermalam di perjalanan. Satu setengah liter air diambil dari cerukan sebelum akhirnya tubuh kurus itu hilang di balik rerimbunan pohon hutan.
Di kedalaman hutan, Gentur masih terus berjalan mengikuti alur dari cerukan tempat dia mengambil air. Langkahnya terhentui ketika yang dihadapinya adalah patahan, jurang yang sangat dalam menganga. Gentur berbalik arah dan kembali ke cerukan. Mengambil arah ke selatan kemudian turun. Lagi-lagi patahan yang ditemuinya. Dia tidak mau berbalik arah lagi. Melihat patahan yang menghadang langkahnya tidak terlalu dalam, dia memutuskan untuk climdown hingga ke dasar jurang. Sesampainya di dasar, dia melanjutkan perjalanan turun.
Di sebelah kirinya ada aliran sungai, dan di seberang lembah adalah punggungan yang sangat besar, sementara di sebelah kanan, menunggu jurang yang dalam dan lebar. Gentur yang berjalan seorang diri merasa dirinya sangat kecil dihadang oleh bahaya yang bisa datang kapan saja.
Dengan sangat hati-hati, Gentur berjalan di bibir jurang sebelah kanan, sesekali dia berjalan bolak balik untuk orientasi dan memilih jalur yang dirasanya mudah. Lagi-lagi punggungan yang dilewati habis dan dia kembali berhadapan dengan jurang.
‘Jalur pendakian ada di sebelah kanan,’ Itu saja yang terngiang dan membimbingnya berjalan.
Gentur kembali menuruni lembah di sebelah kanan punggungan yang mengantarnya ke jurang terdalam, lalu berjalan ke kanan menuruni lembah dan naik ke punggungan di seberang. Vegetasi mulai rapat seingga dia gunakan parangnya untuk membuka jalan. Ada yang terlupakan olehnya, dia lupa membuat tanda jalan, Iis pasti akan kesulitan menyusulnya karena jalan yang dilewati tidak melulu jalur yang sama.
‘Ah, semoga kau tetap menunggu di tenda Is, Gas…’ katanya dalam hati menyadari kealpaannya.
Punggungan demi punggungan dilewati, tidak ada jalan setapak yang ditemui Gentur. Dia harus menggunakan parangnya untuk membukan jalan. Suatu ketika parang yang dia gunakan terlepas dari gagangnya dan jatuh ke dalam belukar yang rapat seperti teranyam. Dengan kerepotan dia mencari mata parangnya. Sial. Pencariannya sia-sia. Dengan sedikit jengkel dia melempar gagang parangnya jauh ke dasar lembah.
“Kamu gak ada gunanya lagi tanpa pasanganmu!” umpatnya.
Belukar yang lebat beberapa kali membuat gentur terperosok. Tanah yang dia pijak rupanya berupa tumpukan belukar yang tebal. Tidak ada parang, perjalanan ini akan menemukan kesulitan akan sangat menguras tenaga. Berbekal kompas milik Fauzan, Gentur memilih melangkahkan kakinya ke tenggara. Hatinya berbunga setiap kali kabut tersibak menunjukkan padanya dataran rendah yang jauh.
“Ada dataran rendah tapi mengapa tidak kulihat peradaban?” tanya Gentur keheranan. Kenyataan itu membuatnya pesimis. Itu hutan dataran rendah. Artinya, begitu tiba di kaki gunung, dia masih harus berjalan entah berapa kilometer, baru bisa bertemu peradaban, itu juga artinya pertolongan tidak akan didapatkan hari ini juga. Gentur menghentian langkahnya, membuka sebungkus permen.
“Sabar, kawan…” katanya pada diri sendiri.
Pagi telah lama berlalu, siang tak lagi terasa panasnya karena lebatnya hutan Slamet. Jam tangan Fauzan memberitahunya hari sudah beranjak sore. Dia bergegas memperpanjang langkahnya. Kemalaman sudah pasti, tapi paling tidak dia harus melanjutkan perjalanan selagi bisa. Tidak bisa mendirikan bivak di tempat yang lebih aman, di lamanya perjalanan menembus hutan, Gentur menemukan kerangka bivak—di dekatnya masih tampak nyata bekas arang pembakaran kayu. Sisa api unggun. Penemuan ini membesarkan hati Gentur.
“Pernah ada yang bermalam di tempat ini..”
Gentur masih melanjutkan langkahnya, pohon dengan sayatan dia temukan. Jejak itu semakin meyakinkan Gentur untuk terus berjalan dan berjalan. Jejak itu menghilang menjelang maghrib. Gentur terhenti di lembah sempit yang dipagari dua tebing curam. Ada aliran sungai di bawah. Dengan sangat hati-hati dia bergerak menuruni lembah. Lereng yang curam membuatnya beberapa kali jatuh melorot bermeter-meter. Untung dia masih bisa pegangan pada akar atau batang pohon yang tumbuh di atasnya.
Mengikuti aliran sungai biasanya akan membawaya sampai di desa, pikirnya menduga. Tapi malang, aliran sungai berair bening itu tidak mengantar Gentur ke desa atau ke perkebunan penduduk, melainkan ke air terjun. Segera Gentur berbalik arah, berjalan naik melawan arah aliran sungai. Malang kembali menimpa, di depan matanya tebing air terjun menjulang tinggi. Tidak mungkin dia memanjatnya.
Putus asa, dengan berbekal pengetahuan teknik hidup alam bebasnya, Gentur memutuskan untuk mencari tempat yang landai dan terlindungi di bibir sungai. Di sana dia akan mendirikan bivak dan bermalam.
Hari mendekat pada malam yang semakin gelap. Suara angin menderu. Semoga badai tidak datang lagi, harapnya cemas, memandang sekelilingnya.
‘Maaf, kawan, aku masih belum bisa keluar. Bertahanlah…’ suara hati Gentur bercakap dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dia merebahkan tubuh lelahnya di dalam bivak beralas rumput dan berselimut sarung, sesuatu terjadi di atas.
Part 11
“Zan, bertahanlah… Gentur sedang mencari pertolongan, bertahanlah…” Iis memohon pada Fauzan yang mulai mengigau menyebut nama Dodo. Ada rintihan rasa sakit yang sepertinya sudah tidak bisa lagi ditahan.
“Is, apa kita akan terus menunggu di sini?” tanya Bregas kemudian.
Iis tidak tahu harus menjawab apa. Sungguh, dia pun ingin cepat pulang. Dia juga ingin semuanya segera berakhir.
“Is, apakah kita harus meninggalkan Fauzan seperti kita meninggalkan Masrukhi dan Dodo?”
Iis tertunduk mendengar semua pertanyaan Bregas.
“Gas, kita tidak mungkin membawa Fauzan turun bersama kita...” katanya kemudian, membuat Bregas terkesiap. “Besok pagi kita turun. Kita ikuti jejak Gentur. Dia meninggalkan jejak sayatan di pohon untuk petunjuk...”
“Lalu Fauzan?”
“Terpaksa kita harus meninggalkannya di sini. Tenda dan sleeping bag ini akan melindunginya dari hawa dingin. Dia ga mungkin mampu berjalan bersama kita. Biar dia menunggu di sini hingga pertolongan datang…”
Bregas menatap Fauzan yang tertidur dibalut sleeping bag. Iis merapikan jilbab yang sudah berubah warna dan mengambil sebungkus mie instan untuk dihancurkan dan dicampur dengan bumbu.
“Lumayan, sekedar untuk camilan,” katanya, sambil menyodorkan bungkusan mie yang sudah berubah menjadi snack. “Tolong kamu jaga Fauzan, aku keluar sebentar …”
“Mau kemana?”
“HIV... hasrat ingin vivis… hehe…” Lagi-lagi gadis itu membuat Bregas tersenyum.
‘Beruntung aku bisa satu tim denganmu, Is,’ batin Bregas.
Beruntung Bregas tidak sendirian. Masih ada Iis dan Fauzan yang bisa diajak bicara. Sementara Gentur... dia hanya seorang diri di tengah hutan.
Derasnya hujan yang turun mengubah tebing air terjun yang tadi sore kering mendadak mengantarkan ratusan kubik air. Pelan tapi pasti bivak yang dibangun Gentur mulai terendam dan memaksanya segera menyingkir. Tidak ada lagi tempat berlindung. Melanjutkan perjalanan sama juga bunuh diri.
Malam berjalan sangat lambat, penantian yang membosankan. Sebentar-sebentar Gentur melirik jam, masih setengah sembilan malam. Pagi masih terlalu lama untuk ditunggu, tapi apa daya tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan memaksa diri untuk bisa tidur. Hanya bersandar pada batu dengan berkerudung sarung mana bisa dia tertidur. Kalaupun tidur juga tidak untuk waktu yang cukup. Kondisi ini membuat Gentur frustrasi. Berulang kali dia mengumpat, tapi hanya bisa dikatakannya dalam hati. Rupanya dia masih bisa berpikir tentang hal-hal aneh yang sering terjadi di gunung. Dia tidak berani mengumbar umpatannya, apalagi sekarang dia berada di tengah hutan dan sendirian.
Malam berlalu. Dengan kepala pusing dan mata sembab Gentur menemukan hari sudah terang benderang. Jam di tangan menunjukkan pukul delapan pagi. Dia segera bangkit meski pusing masih memberati kepala. Sebentar dia meregangkan badan sebelum memulai perjalanan, yang mungkin akan lebih panjang dan melelahkan. Lalu dia berniat mengemasi barang-barangnya, tapi rupanya air yang semalam mengganggu bivaknya menghanyutkan beberapa barangnya. Shelter yang aneh.
Dia memulai perjalanan ke selatan, berusaha naik ke punggungan yang cukup terjal dengan bantuan akar pohon. Dengan kedua tangannya dia menerabas masuk dan menyibak belukar dan pepohonan yang menghalangi jalan. Begitu sampai di punggungan, mata Gentur berbinar melihat pohon arbei yang tumbuh subur.
“Lumayan bisa untuk ganjal perut,” katanya sambil terus mengunyah dan memetik arbei untuk bekal tambahan di perjalanan.
Dari pengalaman perjalanan sebelumya Gentur merasa yakin kalau punggungan ini akan berakhir dan mengantarnya ke jurang yang dalam. Tanpa berjalan lebih jauh mengikuti punggungan dia memutuskan berjalan mengikuti aliran sungai. Beberapa air terjun ditemui, tapi semua bisa dilewati dengan climdown. Untuk menghibur diri sendiri, dia bernyanyi dan bersiul sebisanya di sepanjang perjalanan—bahkan dia menciptakan lagu secara spontan. Curhat pada alam begitu barangkali lagunya…
Perjalanan di lembah membuat Gentur belajar banyak. Selain arbei, dia juga mendapatkan bermacam begonia untuk makan siang. Tidak hanya itu, beberapa binatang juga sempat mengejutkan langkahnya. Dia tidak berani memburunya. Dia malah berpikir, jangan-jangan malah dia yang akan menjadi mangsa binatang hutan.
Pukul setengah tiga sore, langit kembali menitikkan air. Hujan bulan Februari kembali menghentikan langkah Gentur. Raincoat mulai basah dan hutan semakin gelap tertutup kabut. Dia menghentikan langkah dan bergegas membuat bivak perlindungan. Sayang tali rafia yang masih tersisa tidak cukup panjang untuk membentangkan ponco. Jadi dia mengumpulkan daun-daun yang cukup lebar yang berserakan di sekelilingnya, ditambah dengan ranting pohon yang patah bersama kanopi daunnya. Itulah bivak Gentur hari ini.
Ponco dijadikannya selimut dan carier dia jadikan sleeping bag. Sepanjang malam dia akan menunggu. Dua hari berlalu, Gentur masih belum bisa mencapai perkampungan dan mendapatkan pertolongan untuk sahabat-sahabatnya. “Sabar ya…” katanya berulang kali.
Malam merambat lebih lambat dari kemarin. Tiupan angin terdengar bergemuruh disertai suara pohon-pohon tumbang. Kekhawatiran dan rasa takut mulai menyelinapi pikiran.
“Habis deh kalau pohon itu menimpaku,” katanya pasrah. Dia kemudian teringat Dewi. “Semoga Dewi berhasil lebih cepat mendapatkan pertolongan…” harapnya.
Ini hari ketiga Gentur berpisah dengan Iis, Bregas dan Fauzan.
Empat hari berlalu. Kalau Dewi selamat, seharusnya bantuan sudah datang, paling tidak kalau aku tidak berhasil atau celaka, Iis dan Bregas masih bisa diselamatkan, begitu juga Fauzan. Masrukhi dan Dodo juga bisa dibawa turun ke Bambangan, Gentur membatin.
Perjalanan dimulai lebih pagi karena Gentur tidak mau terhadang hujan lagi. Masih menyusuri dan mengikuti arus sungai, tanjakan sudah tidak terlalu banyak, jurang-jurang juga sudah tidak sedalam sebelumnya. Hari ini dia berniat mengisi perutnya dengan tunas pohon palem yang dia temui, tapi kemudian dia teringat kalau dia sudah tidak punya parang.
Gentur melanjutkan langkahnya. Hingga kemudian, di pertengahan siang, hamparan ladang membentang di hadapannya. Dalam hati dia bersorak kegirangan. Tapi saat itu juga kelelahan yang amat sangat menyergap di tubuhnya. Sebentar-sebentar dia istirahat, barangkali karena hari ini perutnya sama sekali tidak terisi. Di tengah ladang, dia menyempatkan mencabut ubi tanpa permisi. Begitu ditemuinya jagung yang kuning menggoda, tangannya dengan cepat memetiknya. Lagi-lagi tanpa permisi bilang minta pada pemiliknya. Kalau harus menunggu si pemilik datang ke ladang, bisa pingsan duluan dia.
Ladang ini terlalu luas untuk dinikmati sendiri, apalagi kondisi Gentur yang mulai kelelahan. Semakin dekat dengan peradaban, semakin bertambah loyo sekujur tubuhnya. Beberapa petani yang dia jumpai kemudian tidak bisa memberiikan informasi seperti yang diharapkan. Setiap kali Gentur bercerita kalau dia terpisah dengan sahabat-sahabatnya, petani itu hanya bilang “Melas temen” (kasihan sekali).
Tidak ingin membuang waktu di tengah ladang dan bercerita lebih banyak, Gentur melanjutkan langkahnya, dan sekali lagi dia harus terjebak di hutan pinus.
“Berjalan dan terus berjalaaaannn, aku menemukan peradaban…” dendangnya dengan suara lantang nan sumbang. Syair lagu yang pendek diulang hingga ratusan kali, dan di pengulangan yang entah keberapa, langkah itu terhenti. Terdengar suara deru mobil. Secepat kilat Gentur berlari mendekati arah suara, dan dia temukan jalan aspal yang tidak begitu lebar. Sebuah kijang pick up melaju ke arahnya...
“Allohu akbar! terimakasih, Tuhan! Allohu akbar!” Gentur menjatuhkan diri, bersujud di atas permukaan aspal pecah, tidak berhenti memanjatkan syukur.
Part 12
Tidak ada kalimat lain yang bisa Dewi ucapkan. Tubuhnya menggigil menahan dingin dari amukan badai yang baru saja dilewatinya. Badai yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan. Badai yang telah memisahkan dirinya dari kelompok pendakian... yang merenggut nyawa seorang sahabatnya...
Teman-teman pendaki yang menolong Dewi turun ke Bambangan sudah tidak terlihat lagi. Terakhir mereka masih bersama-sama saat tiba di rumah Pak Kadus Muheri, basecamp pendakian jalur Bambagan. Dan saat pagi datang dan Dewi bangun dari kelelahannya, teman-teman itu sudah tidak ada lagi. Seorang diri dia menunggu kepastian dari penduduk yang kemarin malam berangkat ke puncak gunung untuk menolong sahabat yang tertinggal.
Sampai tengah hari, penduduk yang semalam mencoba melakukan pencarian belum terlihat turun. Sejak Dewi tiba di Bambangan pada malam hari untuk meminta pertolongan, malam itu juga SAR kampung yang terdiri dari penduduk Bambangan melakukan pencarian. Sayang mereka tidak bisa mendekati target seperti yang diceritakan oleh Dewi karena cuaca yang sangat buruk. Mereka melanjutkan pencarian keesokan harinya.
Bersamaan dengan pencarian yang masih berlanjut, Dewi mencoba menghubungi Jogja untuk mengabarkan kejadian ini. Dari desa Bambangan, Dewi terus menatap puncak gunung yang tertutup awan hitam seperti payung. Dewi tidak tahu bagaimana nasib Gentur, Iis, Bregas, Fauzan dan Dodo. Dia hanya berharap semoga dirinya tidak terlambat.
Menjelang tengah hari, sekitar setengah dua belas siang, penduduk yang kemarin melakukan pencarian terlihat turun menuju rumah Pak Muheri. Dewi berusaha mencari sosok sahabat-sahabatnya diantar rombongan itu, tapi dia tidak menemukan siapapun. Dia juga tidak melihat tandu yang membawa Masrukhi. Kekecewaan dan rasa perih menyusup di relung hati. Dewi tertunduk, duduk lemas di beranda rumah Pak Muheri dan terus menatap jauh ke puncak gunung.
Hujan kembali turun membasahi tanah Desa Bambangan. Desa yang tenang itu mendadak riuh. Suara mobil dan radio komunikasi memenuhi udara. Operasi pencarian dilakukan segera. Ratusan pendaki memenuhi beberapa rumah di Desa Bambangan. Bukan untuk melakukan pendakian masal seperti yang sering dilakukan. Sebuah ikatan persaudaraan dan rasa saling peduli yang membawa langkah mereka ke desa ini. Rasa kehilangan dan terpanggil untuk membawa kembali yang dikabarkan hilang membulatkan niat mereka untuk meninggalkan semua kepentingan dan hiruk pikuk kota. Jogja berduka, diiringi doa dari komunitas pencinta alam seluruh Indonesia.
Sementara itu, di stasiun Purwokerto yang sepi, pagi menggeliat. Ndaru, Wiwit, Eri, Linda dan Iwan masih tertidur pulas di kursi stasiun. Sejak semalam mereka bermalam di stasiun untuk kembali ke Jogja. Mereka telah berhasil menyelesaikan pendakian mencapai puncak Gunung Slamet.
“Mas, bangun, Mas... mau dibersihkan.” Seorang lelaki setengah baya mengguncang tubuh mereka. Barangkali karena kecapekan, mereka tidur sangat pulas. “Mbak, bangun sudah siang.” kali ini Linda mendapat giliran. Dengan berat dia membuka mata, tersenyum manis pada petugas kebersihan itu, dan berlalu menuju mushola di sudut stasiun.
“Koran... koran… koran pagi, Mbak…” seorang penjaja koran menyodorkan beberapa surat kabar ke arah Linda.
Masih ngantuk kok disuruh baca koran, batinnya. Penjaja koran itu pun berlalu. Linda kembali menemui teman-temannya yang masih juga belum bergerak, Ndaru dan Wiwit sudah tidak kelihatan. Merasa tidak nyaman dengan pandangan lelaki petugas kebersihan, Linda serta merta membangunkan Eri dan Iwan. Geliat rasa malas membuai Eri dan Iwan. Masih dengan mata berat, kedua pemuda itu menyandarkan tubuh di bahu kursi. Linda menarik tangan keduanya, mendorongnya kearah mushola.
“Cuci muka sana, malu tau!” Eri dan Iwan menurut. “Teh hangat seger nih,” gumam Linda kemudian seraya berjalan menuju satu warung makan di dalam stasiun tidak jauh dari tempat mereka menumpuk carier yang lembab.
“Koran… koran… pendaki hilang di Gunung Slamet… koran… koran…” Lelaki penjaja koran yang sama kembali mendekati Linda yang tidak terlalu menanggapi. Teh hangat lebih dia butuhkan dari sekedar koran pagi.
Linda menikmati teh hangatnya ditemani mendoan yang super tipis dan agak basah—mendoan khas bumi Banyumas. Dia melayangkan pandang matanya sejenak ke luar warung, memastikan carier yang dia tinggalkan aman. Seorang lelaki tua masuk ke warung tempat Linda menghangatkan harinya dengan secangkir teh. Lelaki itu duduk tepat di depan Linda. Linda merasa terganggu dengan kehadirannya. Dia pesan 4 bungkus minuman yang sama dan sebungkus roti basah untuk teman – temannya. Saat menunggu pesanan itu, sesuatu menarik perhatiannya...
Mata Linda terbelalak membaca headline surat kabar lokal yang dibentangkan si lelaki tua. Berkali-kali dia baca ulang headline itu untuk meyakinkan matanya tidak salah. Dengan jantung berdegup kencang Linda meninggalkan pesanan untuk menemui teman-temannya yang tengah asyik memainkan batang rokok mereka. Lelaki penjaja koran yang tadi dibiarkan mondar-mandir di hadapan mereka dipanggil. Ndaru membeli beberapa koran dengan headline yang sama. Mereka membaca dengan serius. Tidak ada komentar sampai akhir berita.
Linda, Eri dan Iwan tertunduk, membiarkan tubuh mereka jatuh di lantai stasiun. Wiwit berlalu mencari wartel untuk memastikan berita itu, sementara Ndaru masih terus membaca berita serupa dari beberapa koran yang dibelinya. Tidak berapa lama, Wiwit kembali dengan mata berkaca-kaca.
“Kalian pulang ke Jogja, aku dan Ndaru akan kembali ke Bambangan,” dia berkata pada teman-temannya.
Badai masih saja tidak mau beranjak dari puncak gunung. Dari desa Bambangan awan di puncak terlihat bergerak memutar, tidak tentu arah. Hujan turun setiap hari tanpa reda, petir menyambar menyisakan pilu yang tidak berkesudahan. Pencarian masih belum membuahkan hasil. Fokus pencarian masih di sekitar lokasi terakhir yang diinformasikan Dewi.
“Kita harus bentuk tim tambahan, jangan lupa masih ada dua tim yang melakukan pendakian. Kita juga tidak tahu kondisi dan posisi mereka sekarang,” Wiwit menyampaikan kekhawatirannya.
“Iya, kita akan bentuk 2 tim tambahan untuk menyisir jalur pendakian Baturaden dan Kaliwadas. Semoga mereka masih ada di sekitar jalur pendakian itu,” kata Dodi selaku penanggungjawab keseluruhan kegiatan ini.
Saat briefing berjalan, Gentur datang dengan menumpang ojek. Dewi yang sejak tiba di Bambangan lebih banyak diam dan melamun menatap nanar ke puncak gunung menyambut kedatangan Gentur dengan air mata yang tertahan. Semua orang yang berada di rumah kepala dusun Bambangan menatap haru ke arah Gentur. Mereka memeluk Gentur dan mengucap syukur. Segelas susu hangat diantarkan untuk memulihkan lemahnya kondisi fisik Gentur.
“Masrukhi sudah meninggal,” katanya pelan. Hening.
“Apapun kondisinya, kita harus membawanya pulang,” Alif menegaskan.
Operasi pencarian sudah berjalan tiga hari dan cuaca buruk masih saja menghalangi tim pencari untuk mendekati lokasi yang digambarkan oleh Dewi dan Gentur. Sementara tim yang mencari lewat jalur Baturaden hanya menemukan jejak tali rafia.
Kejadian ini mengundang keprihatinan berbagai pihak, media massa dan elektronik setiap saat mengabarkan perkembangan proses pencarian dan evakuasi. Belasan tim diturunkan untuk menyisir semua jalur dan kemungkinan lokasi. Berpedoman pada cerita Gentur, tim yang berangkat dari jalur Bambangan menemukan jejak botol.
Tim terus melakukan penyisiran hingga tiba di batas vegetasi. Mereka melihat sebuah tenda, persis yang digambarkan oleh Gentur. Tim merasa curiga karena tidak terlihat adanya aktivitas atau suara sedikitpun. Begitu pintu tenda dibuka, tidak ada Iis dan Bregas. Tim hanya menemukan Fauzan yang sudah meninggal. Tim segera mengabarkan penemuan ini ke pusat pengendali operasi. Keheningan kembali menyelimuti. Hanya terdengar suara gelombang radio yang kadang terganggu oleh angin.
Medan yang berat dan cuaca buruk menghambat proses evakuasi Fauzan. Harus menunggu bantuan agar bisa mengevakuasinya ke Bambangan. Tidak adanya Iis dan Bregas di tenda itu menguatkan perkiraan tim bahwa Iis dan Bregas melanjutkan perjalanan. Tapi karena kendala cuaca, tim memutuskan untuk tetap berjaga di di posisi Fauzan sampai bantuan datang.
Pencarian untuk mengejar Iis dan Bregas pun dihentikan. Baru keesokan harinya pencarian dilanjutkan dengan menghadang mereka dari bawah. Tim diberangkatkan untuk melakukan pencarian Iis dan Bregas melalui Desa Serang. Sementara itu pencarian Masrukhi masih terus dilakukan. Tim mencari di sekitar titik yang digambarkan oleh Dewi dan diyakinkan oleh Gentur, tetapi tim tidak menemukan jejak apa pun di lokasi tersebut.
Tim yang seharusnya mencari Masrukhi justru menemukan tim Baturaden II dan Kaliwadas II di sebuah cerukan. Keadaan Adi semakin memburuk, kemungkinan terserang hypothermia sehingga harus ditandu, dan Agni harus dipapah untuk bisa berjalan. Tim pencari yang terdiri dari penduduk Desa Bambangan memberikan bekal roti dan nasi untuk anggota tim Baturaden II dan Kaliwadas II.
“Tasnya ditinggal saja, nanti ada yang bawakan,” kata salah seorang anggota tim pencari.
Tanpa menunggu lebih lama, tim dievakuasi menuju Bambangan. Mendekati plawangan cuaca membaik, matahari terasa lagi panasnya, langit biru tampak indah memayungi jalur menuju Bambangan. Keindahan yang tidak bisa dinikmati dengan sempurna karena tangis dan kehilangan tidak bisa jauh dari keseharian operasi pencarian.
Sore hari setelah mendapat pertolongan dan pemulihan kondisi fisik di Pos 4, tim Baturaden II dan Kaliwadas II sampai di Desa Bambangan. Agni dan Adi segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, sementara anggota tim yang lain dievakuasi ke Purwokerto untuk segera pulang ke Jogja.
Pencarian masih berjalan. 14 Februari, yang katanya bertepatan dengan hari kasih sayang, Iis ditemukan masih hidup tetapi terserang hypothermia. Lokasi penemuan Iis yang berada di jurang membuat evakuasi tidak bisa dilakukan segera. Terpaksa tim harus menunggu peralatan rescue datang. Dan di hari itu juga, Dodo ditemukan meninggal. Tetapi karena saat ditemukan hari sudah sore, evakuasi tidak bisa dilakukan. Semua menunggu.
Pertolongan evakuasi akhirnya datang. Fauzan dan Dodo dikembalikan ke Jogja keesokan harinya setelah dilakukan visum dokter. Semua berduka. Mereka yang kembali tidak lagi bisa bercerita. Iis satu-satunya yang bisa diharapkan, dia masih hidup. Sebuah kekuatan untuk bertahan hidup yang membuatnya mampu bertahan. Semua yang di Bambangan berharap Bregas juga akan ditemukan dalam keadaan hidup. Karena sampai hari ke-7 sejak Dewi sampai di Bambangan, nasib Bregas masih dalam tanda tanya. Mekipun masih hidup, Iis tidak bisa memberikan keterangan apa pun tentang Bregas, luka yang dialaminya membuat dia hanya bisa terbata mengucap kata dan mengerang kesakitan. Usaha evakuasi dan pemulihan kondisi terus dilakukan untuk Iis. Sampai pada suatu detik, pada dini hari yang sunyi, Iis menghembuskan napas terakhirnya.
Kenyataan ini sangat menyakitkan untuk tim yang menemukan dan merawatnya. Untuk beberapa saat mereka merasa frustrasi, menyesal dan menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menjaga Iis. Pun Tuhan sudah berkehendak lain, setiap berita yang datang harus diterima dengan tegar meski rasa kehilangan tidak lagi bisa tergambarkan. Iis meninggal, sementara Bregas dan Masrukhi masih belum ada kepastian.
Operasi pencarian pendaki hilang di Gunung Slamet masih menjadi berita yang menyita perhatian banyak pihak, mengingat waktu pencarian yang hampir satu minggu tetapi dua korban masih belum ditemukan. Bantuan logistik terus berdatangan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan operasi. Mereka harus ditemukan dan dibawa pulang.
Barulah pada 17 Februari, berita dari ketinggian 3020 mdpl bergema di pusat pegendali operasi di desa Bambangan. Bregas ditemukan dalam keadaan meninggal. Berselimutkan sarung dan berbalut jaket hitam, Bregas menghembuskan napas terakhirnya. Satu demi satu mereka pergi. Sekuat tenaga mereka menjaga napas dan bertahan hidup, namun badai tetap saja memisahkan mereka dengan yang lain.
Empat orang sudah ditemukan dan diantarkan pulang dalam keabadian. Tersisa satu sahabat yang masih terus dalam pencarian. Waktu operasi pencarian sudah melewati batas perkiraan awal satu minggu dan Masrukhi belum juga ditemukan. Penyisiran diputuskan untuk lebih rapat dengan lokasi yang lebih luas mulai dari lokasi ditemukannya Fauzan. Semua personil dikerahkan untuk menemukan Masrukhi.
Berkekuatan 25 SRU di tengah kabut dan rintik hujan pencarian Masrukhi dilakukan. Untuk kesekian kali kabut tebal menghadang tim sehingga pencarian harus dihentikan. Penambahan jumlah SRU rupanya belum sesuai harapan. Keberadaan Masrukhi menyisakan tanda tanya besar di benak setiap orang yang terlibat dalam pencarian. Beragam anggapan bermunculan di masyarakat yang mengikuti perkembangan kejadian ini, dan itu sangat tidak menyenangkan.
Tekad untuk berhasil menemukan Masrukhi pun bulat. Pernyataan bahwa saat ditinggalkan Masrukhi sudah meninggal mulai menemui bantahan. Ada yang yakin bahwa Masrukhi sekarang masih hidup, adapula yang memastikan kalau saat ditinggalkan Masrukhi sebenarnya masih hidup. Dia tidak ditemukan di lokasi yang digambarkan Dewi dan Gentur jadi bisa saja Masrukhi mampu bertahan dan bisa melanjutkan perjalanan. Terlalu banyak asumsi dan dugaan. Dari pusat pengendali operasi diputuskan untuk menambah satu hari masa operasi.
Dan kebesaran Tuhan kembali datang, dari ketinggian 3400 mdpl, dikabarkan Masrukhi telah ditemukan. Tangis haru pun pecah seiring berita kepergian yang dikirimkan salah seorang anggota tim pencari. Semua yang berada di pusat pengendali operasi, di dapur dan di sekitar rumah Pak Muheri berpelukan mengucap syukur. Kelegaan yang sekian hari tidak pernah terasakan. Air mata yang tertahan itu pun jatuh. Sahabat telah kembali turun dari ketinggian puncak Gunung Slamet.
Epilog
Surat sahabat…
Dear : sahabatku yang telah mencapai puncak kedamaian abadi
Mengenangmu, membayangkan kamu ada di sini, di tengah acara pelantikan malam ini. Seminggu yang lalu genap 8 tahun kamu pergi meninggalkan kami. Kamu pergi begitu saja, tanpa pesan, tanpa berpamitan. Dan di indahnya malam ini, di bawah naungan bintang yang berkilauan memenuhi hamparan langit yang membentang luas, di terangi cahaya bulan purnama, di tengah hutan pinus dan cemara. Manakala semua sahabat berkumpul dan bersenandung lagu tentang alam dan persahabatan, aku ingat kamu, sahabat. Ada sesuatu yang hilang ketika kutatap keindahan dan keakraban yang terjalin di tengah kesunyian Bambangan malam ini.
Sahabatku yang paling cerewet, Iis… Sebagian hatiku terkikis setiap kali teringat namamu juga wangi parfunmu yang selalu membuatmu bangga dan percaya diri meskipun sebenarnya kamu belum mandi. Sampai sekarang, harum parfum kamu masih tercium setiap kali aku datang ke Akuarium, sepertinya kamu ada di sana. Wangi kamu menyebar menerobos di setiap celah semua sudut Gelanggang yang dulu mempertemukan kita.
Sahabat, aku masih ingat saat pertama kali mengenalmu. Meskipun kamu lebih tinggi 4 tingkat, tapi kamu tidak pernah mau di panggil dengan awalan Mbak. Kurang akrab, katamu saat itu.
Is... kamu masih ingat Janu kan ? Iya cowok jangkung berkaca mata minus yang selalu bikin keki dan sering bikin sebel kamu itu. Aku masih ingat betul, betapa bingungnya kamu menghubungi untuk meminta komik sewaan yang dia bawa. Hingga akhirnya komik itu balik ke tanganmu setelah sebulan lebih ada di genggaman Janu, bahkan sempat kamu tinggal pulang ke Palembang. Dan kejadian semacam itu nggak cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali. Sampai aku ikutan capek. Kalian sering banget kena denda sampai belasan ribu karena terlambat mengembalikan komik-komik sewaan itu. Nggak tahu deh, Is, tuh anak kenapa hobi banget bawa komik-komik sewaan kamu, padahal di rumah, koleksi komiknya sekardus gedhe. Sejak seleksi calon anggota Mapagama, aku, kamu, dan Janu selalu bersama, kayak udah kenal lama aja.
Entahlah, ada saja yang mengaitkan lidah kita untuk menciptakan kecerian di sela-sela ketegangan mengikuti seleksi. Ada saja yang kamu lontarkan di tengah-tengah rasa lelah dan bosan, bahkan kamu juga sering dan senang banget nyebut Janu sebagai sephia-ku. Dasar jail banget deh lu…
Is... kini kamu sudah pergi jauh dari aku, Janu, juga dari sahabat-sahabat yang lain. Kamu tinggalkan komunitas Bhezet juga kamu tinggalkan keluarga besar Mapagama. Gelanggang tidak bisa kau injak lagi. Sejak kamu pergi, sejak peristiwa Wajib Gunung 2001 kemarin, aku terkadang merasa sendirian dan kesepian di Akuarium, apalagi Janu sudah tidak pernah lagi datang. Aku hanya bisa berhubungan dengannya lewat e-mail atau ketemu dia di kampus. Katanya sih mau menyelesaikan kursus bahasanya dan akan kembali ke Akuarium tahun depan.
Is, kalau malam ini kamu ada di sini, kamu pasti akan tertawa mendengar keluhku tentang sephia dan kamu juga bakal ngerjain aku sampai habis-habisan.
Is... aku tahu kamu tidak dapat membalas kalimat-kalimatku, tapi aku yakin kamu mendengar semua ucapanku. Dan meskipun tanganku tidak dapat lagi menggapai tanganmu, kamu pasti tahu kalau aku merindukanmu dan aku sedang mengenang indahnya kisah cerita persahabatan kita yang hanya seumur jagung. Banyak cerita yang tertulis di lembar persahabatanku tentang kamu, sejak seleksi calon anggota baru, Gladimula, hingga Wajib Gunung bulan Februari 2001 lalu. Dan satu kisah yang sangat aku sesalkan hingga kini, dan aku pun baru menyadari kesalahan itu setelah aku mendengar kisah cerita yang sebenarnya dari orang kepercayaanmu.
Is... kenapa dulu kamu tidak cerita padaku kalau kamu sayang dengan seseorang yang justru kamu comblangkan untukku? Is, kalau saja dulu kamu cerita ke aku, pasti aku tidak akan mencomblangkan kamu dengan seseorang yang justru nggak pernah kamu sayangi.
Is... kamu pasti di sana merasakan, kalau orang yang sebenarnya kamu sayangi senantiasa menanyakan cerita-cerita tentang kamu dan dia selalu merindukanmu. Dia juga sayang kamu, Is.
Teringat kembali peristiwa Wajib Gunung Februari 2001. Is... aku senang banget ketika mendengar kamu selamat dari maut yang menyelubungi perjalanan Wajib Gunung kelompok yang kamu pimpin, Kaliwadas I. Meskipun kondisimu dikabarkan kritis saat ditemukan, tapi aku yakin kamu mampu bertahan dalam evakuasi dan perawatan. Di Akuarium yang siang itu sibuk berselimut duka, aku menanti kedatanganmu kembali, aku siap menyambut kehadiranmu di tengah-tengah mereka, dan kita akan menyanyikan bersama lagu Mahameru punya Dewa 19. Sayang, rupanya kebahagianku tidak lama berpihak. 5 menit kemudian berita itu datang.
Matahari telah bersemayam di ragamu. Semua shock mendengar berita itu, Is. Dan meski sempat dicegah untuk berangkat karena aku baru kemarin pulang dari evakuasi, aku memutuskan untuk ikut berangkat bersama ambulans untuk menjemputmu, membawamu pulang ke Yogya, ke Kampus Biru, ke Gelanggang.
Di kamar pemandian, aku tatap wajahmu yang tampak pucat, kurus dan lebih tua, untuk yang terakhir kali. Aku tahu semua energi tubuhmu terkuras habis dalam perjalanan panjang untuk mencari jalan keluar. Aku lihat mamamu membelai wajahmu yang kini tertidur dalam damai dengan tabah, tegar dan rela. Sesekali seorang wanita sebaya mamamu meneteskan air mata menatap kondisi mamamu yang terus mengajakmu berbicara dan seolah meninabobokan tidur panjangmu. Dan dengan tegas mamamu memastikan kalau beliau dalam keadaan sadar dan rela. Mamamu melarang setiap sahabat yang berada di dalam ruangan menangis, mamamu ingin mereka melepasmu dengan ikhlas.
Is... aku rasakan betapa beratnya menunggu bergantinya sang waktu sendirian di tengah belantara hutan rimba dan hujan badai, sementara kamu tahu, sahabat-sahabatmu tidak mampu lagi bertahan. Kamu tinggalkan mereka dalam matahari. Kamu berjuang sendirian untuk keluar dari keterasingan, kebingungan, dan ketakutan.
Is... malam ini aku teringat kembali padamu. Dan aku percaya kamu melihatku dari dunia atas langitmu. Kedamaian telah membalut seluruh jiwamu seperti yang kamu harapkan.
Is... ada bintang bersinar lebih terang di langit biru malam ini, iyakah itu kamu yang sedang tersenyum melihat upacara pelantikan anggota muda malam ini..?
Sahabat dari rumah sebelah, Fauzan… Sahabat, baru sekali aku mendengar namamu dan baru sekali juga aku melihat fotomu dalam sebuah surat kabar yang mengabarkan tentang hilangnya pendaki dari Mapagama di Gunung Slamet. Rupanya kamu menjadi penggembira tim Kaliwadas I saat itu.
Sahabat, aku tidak banyak tahu tentang kamu. Aku hanya tahu kamu dari unit selam. Meskipun aku belum pernah bertemu langsung denganmu, tapi setiap kali aku melihat sahabat-sahabatmu sibuk mempersiapkan tabung-tabung untuk latihan selam, aku lihat kamu berada di tengah-tengah mereka. Seketika aku sadar, kamu telah pergi meninggalkan mereka, begitu pula togamu. Baju kebanggaan itu masih tergantung, belum tersentuh tubuhmu.
Sahabat, kamu tidak dapat lagi ditemukan di Gelanggang.
Telah kamu temukan laut keabadian dan kini kamu sedang asyik menikmati penyelamanmu di dasar laut biru. Bahkan telah kamu taklukkan istana dasar lautnya dan kamu tabur benih kedamaian abadi di sana.
Sahabat juga seniorku, Masrukhi… Selama di Akuarium jarang sekali aku bercakap denganmu. Aku juga tidak terlalu mengenalmu, yang aku tahu kamu adalah pendamping tim Kaliwadas I dalam Wajib Gunung angkatan Bhezet 3318.
Satu kegiatan yang bisa mengingatkanku tentangmu hanyalah saat Gladimula 18. Kamu banyak membantu calon anggota Mapagama termasuk aku. Pernah sekali kamu menjadi pendamping kelompokku di lapangan. Sore itu hujan turun membasahi tanah Jobolarangan, selesai SAR. Untuk sekedar berteduh dan menghangatkan diri, mereka disuruh membuat bivak dari ponco. Ketika bivak telah siap, kamu datang ke kelompok kami dan menyuruh kami makan semua bekal yang masih tersisa. Saat itu bekal krackers yang ada di carierku masih utuh 4 bungkus. Untuk menghormati kamu, kami buka satu bungkus dengan harapan bahwa kegiatan lapangan masih belum berakhir dan kami akan membutuhkan makanan ini untuk besok hari. Ah…rupanya kami tersandung batu rencana kami sendiri. Untuk kegiatan selanjutnya, yaitu survival, kami tidak diijinkan untuk membawa banyak makanan. Bahan makanan yang kami bawa hanyalah sebatas yang diberikan oleh panitia. Kalau saja kami tahu…
Sekarang kamu tak akan pernah lagi bisa bergabung di tengah-tengah ritual penerimaan anggota baru, Gladimula… Dan akankah ada penggantimu yang akan selalu memperhatikan adik-adiknya di lapangan. Aku percaya kamu selalu memperhatikan langkah mereka di Mapagama dari puncak keabadian dengan kedamaian yang sesungguhnya…
Sahabat juga seniorku, Dodo… “Oh betapa sempitnya Yogya” itulah kalimat terakhir yang sempat aku dan kamu ucapkan sebelum perpisahan terjadi. Entah mengapa, tiga hari sebelum keberangkatanmu mendampingi tim Wajib Gunung Kaliwadas I, dunia terasa begitu kecilnya.
Di Akuarium kita ketemu, mau ke kamar mandi ketemu juga, e... di Mirota Kampus pun ketemu, aku sedang menunggu bis dengan temanku kamu lewat di depanku dan berhenti.
Pertemuan demi pertemuan terjadi tanpa di sengaja dalam selang waktu yang hanya beberapa menit. Siang itu di tengah hiruk pikuk dan gerahnya kota Yogya, kita hanya bisa tertawa menyadari kebetulan-ketidak sengajaan yang terjadi. Hari itu kamu bilang kalau mau ke Sragen dengan temanmu;
“Mumpung masih ada waktu “ katamu. Aku tidak mengerti maksud dari kalimat itu, yang aku tahu tiga hari lagi kamu harus berangkat mendamppingi perjalanan Wajib Gunung tim Kaliwadas I dan kamu butuh waktu untuk mempersiapkan fisik dan bekalmu. Aku pun tidak mengerti, kenapa kamu yakin banget untuk naik dari jalur Kaliwadas padahal kamu belum pernah naik dari sana begitu pun dengan anggota tim yang lain.
“Bosan lewat Baturaden. Pengen nyoba yang lain,” katamu memberii alasan.
Aku hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasanmu. Aku percaya kamu bisa membawa tim Kaliwadas I hingga ke puncak dan menyelesaikan Wajib Gunungnya.
Dodo... dari lima sahabat yang dinyatakan hilang, kamu pulang lebih dulu. Tengah malam kamu tiba di Gelanggang. Mereka semua menunggumu sejak sore. Mereka ingin menyambutmu, meski mereka tahu kamu tidak bisa berjalan sendiri dan berlari dalam pelukan mereka. Kamu telah berbaring dalam damai ketika tiba di Gelanggang. Tangis duka dan kehilangan pun tiak bisa mereka tahan.
Dodo... tengah malam itu juga kamu diantar pulang dalam pelukan keluarga. Diiringi Himne Gajahmada jiwamu melangkah menjauh. Jalanan Yogya yang malam itu sunyi kembali bergetar mendengar sirine ambulan yang membawa tubuhmu. Mata-mata lelah di sepanjang jalan terjaga kembali, mereka keluar, ikut melepas kepergianmu. Doa-doa kedamaian terucap untuk tidur panjangmu…
Sahabatku yang paling kalem, Bregas… Sahabat, harusnya kamu juga ada di sini malam ini, seperti halnya Iis, Dodo, dan Masrukhi. Alangkah indahnya jika mereka dapat merasakan keakraban malam ini bersama kamu juga sahabat-sahabat yang pergi bersamamu.
Gas... Sesuatu yang tidak bisa aku lupa dari kamu adalah sifat kamu yang kalem dan pendiam. Selama aku menjadi temanmu, sahabatmu di Akuarium, aku tahu kamu adalah satu-satunya cowok pendiam bahkan paling pendiam aku pikir. Pertama kali mengenalmu, aku masih sering salah memanggil antara kamu dengan Toddy, tahu kan ? Kalian sekilas mirip banget, hanya bedanya ketika sudah ngobrol baru kelihatan. Kamu senengnya ngomong pakai bahasa Indonesia sementara Toddy lebih lancar dengan bahasa Jawanya.
Gas... aku nggak berani membayangkan kesendirian, kebosanan, ketakutan, dan kelelahan yang kamu rasakan dalam cengkeraman hutan rimba dan hujan badai. Kalaupun saat masih bersamamu Iis masih bisa membangkitkan semangat hidupmu dengan cerewetnya, tapi apakah cerewetnya bisa mendobrak pribadimu yang pendiam dan tertutup hingga kamu bisa bangkitkan keinginan hidupmu dari dalam dirimu sendiri dan kalian bisa melangkah bersama.
Yah.. sudahlah. Kamu memang telah pergi menuju istana keabadian yang damai bersama Iis, sahabat terbaikku yang cerewet, ditemani kakak-kakak terbaik kita, Dodo, Masrukhi, dan juga Fauzan.
Sahabat, bukan saatnya aku menangisi dan mengungkit kepergian kalian. Sekaranglah saatnya untuk mengenang indahnya persahabatan yang dulu pernah terjalin diantara kita, memaknai setiap kejadian yang terjadi dan mengambil alih semangat dan perjuangan kalian. Bersama sahabat di semua dunia, belajar menghargai hidup dan persahabatan serta arti perjuangan dan pengorbanan. Damailah jiwamu dalam puncak keabadian, Sahabat…
“Ok, semua siap. Kita doa dulu sebelum berangkat... ” kata Teo, koordinator pendakian.
Pendakian ini tidak sama dengan pendakian 8 tahun lalu. Pendakian ini adalah perjalanan melepas rindu dan untuk sekedar mengingat peristiwa 8 tahun tragedi Gunung Slamet yang merenggut nyawa 5 sahabat terbaik. Meneladani kedewasaan mereka, melanjutkan semangat dan mewujudkan cita-cita yang terputus.
Kali ini saya ingin membagikan kisah penceritaan ulang dari tragedi Gunung Slamet 2001. Barangkali ada yang belum pernah baca.
Cerita asli ditulis oleh akun kaiyangsa dan dipost di platform kemudian.com pada 16 Maret 2011. Kemudian saya melakukan editing (typo dan format) dan merepostnya di Kaskus pada 5 Juli 2016 menggunakan akun kentonganbebek (klonengan gan).
Kini untuk kali kedua saya akan melakukan (sedikit) editing lagi untuk saya repost di blog ini. Isi cerita tidak diubah. Saya cuma ngerasa di bagian tertentu agak kepanjangan aja deskripsinya jadi saya berusaha merapikan bagian yang terasa repetitif.
Siapkan stamina karena ceritanya cukup panjang. Selamat membaca.
Credit/penghapusan cerita silakan PM.
-cerita original: https://www.kemudian.com/node/253734
-versi kaskus: https://kask.us/igPOR
Catatan dari atas awan
sekedar pengingat untuk sahabat
Diamlah hatiku…
Karena langit kini tak mendengar
Karena rahasia malam dan misteri alam sedang terjadi
Diamlah hatiku…
Karena siapa yang menanti pagi dengan kesabaran
Dia akan menemukan pagi dengan kekuatan
Diamlah hatiku dan dengarkan aku bicara !
Sesuatu sedang terjadi padanya
Bagian dari hidupku sedang tak menentu
Berjuang dalam gelap dan dingnnya rimba
Ketakutannya, getarannya terasa oleh kulit dan nadiku
Kekuatan mentalnya terasa dalam hatiku
Diamlah hatiku…
Aku pun gelisah dan terasa dungu
Hanya sanggup berdiri di sini
Tanpa bisa meraih tangannya untuk membawanya kembali
Kumohon, diamlah hatiku…
Hentikan sejenak kegelisahanmu
Biar kukirim untaian doa untuk sahabatku.
Sesakit apapun yang kau rasakan saat ini, itulah kenyataan hidup bagimu, dan catatlah itu dalam catatan sejarahmu, agar kelak kau bisa katakan... aku pernah… dan aku belajar daripadanya.
Part 1
Februari 2001
“Enggak! Perjalanan ini hanya akan kita lakukan saat cuaca baik. Aku nggak mau pertaruhkan nyawaku untuk ikut perjalanan ini!” Teriakan itu muncul dari balik jendela kamar Noel.
“Kalau menunggu cuaca baik itu artinya melewati batas waktu yang sudah diberikan. Semua harus kita selesaikan bulan ini juga, Noel….”
“Lagi pula kalau menunggu cuaca baik, kita juga gak tau pasti kapan…Toh kita melakukan perjalanan ini tidak sendirian kan, tetep akan ada pendampingan dari senior. Ga bakal kenapa-napa deh…”
Perdebatan malam itu tidak menemukan kesepakatan yang menyenangkan, Noel terpaksa mengundurkan diri dari Tim dan itu menyisakan keganjilan diantara teman-teman yang terlibat dalam perjalanan kali ini.
Ini bukan pertama kalinya aku melakukan pendakian. Hanya saja pendakian kali ini bukan pendakian seperti sebelumnya. Ada tugas yang harus aku dan teman-teman kerjakan sebagai syarat bergabung dan diterima di komunitas pencinta alam di salah satu universitas negeri terkemuka di Jogja. Pendakian ini disebut Wajib Gunung.
Awalnya lokasi yang dipilih adalah gunung Merapi, tetapi mengingat kondisi Gunung Merapi yang “AWAS” maka pendakian dialihkan ke Gunung Slamet. Bukan tanpa pertimbangan, Gunung Slamet dipandang mempunyai karakteristik yang tidak terlalu jauh berbeda dengan Gunung Merapi. Selain sama-sama masih aktif, jenis batuannya pun relatif sama yaitu batuan andesit, dilihat dari batas vegetasi (plawangan) hingga ke puncak merupakan batuan lepas, berpasir dan merupakan lereng yang cukup terjal. Dan yang pasti keduanya masih di pulau Jawa. Ya, lokasi yang diambil memang tidak terlalu jauh karena pendakian ini pendakian dalam rangka pendidikan lanjut setelah pendidikan dasar kepencintaalaman.
Perjalanan ini akan diikuti beberapa anak yang terbagi dalam 4 kelompok. Dua tim akan memulai pendakian dengan mengambil entry point di jalur pendakian Baturaden dan dua lainnya mengambil entry point di jalur pendakian Kaliwadas. Masing-masing tim didampingi oleh dua orang senior. Untuk menghindari penumpukan jumlah pendaki, maka setiap tim berangkat dari Jogja selang satu hari dari tim yang lain.
Seperti kesepakatan terakhir, Noel memutuskan untuk mundur dari tim. Tersisalah 4 orang; aku, Iin, Baried, dan Azis. Rupanya yang memutuskan untuk tidak bergabung tidak hanya Noel, seorang pendamping yang sudah ditentukan oleh pengurus mendadak mengundurkan diri karena alasan kuliah. Apa boleh buat, perjalanan tetap harus dilakukan, ada atau tidak adanya mereka. Toh pengalaman dan pengetahuan Yayak cukup meyakinkan kami untuk tidak mundur atau ragu. Apalagi kami bukan tim pertama yang melewati jalur pendakian Baturaden. Sehari sebelumnya, tim Baruraden I yang didampingi oleh Wiwid dan Ndaru sudah melakukan pendakian. Jadi kami tinggal mengikuti jejak mereka untuk tiba di puncak Gunung Slamet.
**
Setelah subuh kami meninggalkan Jogja menuju Purwokerto. Semua bertemu di Terminal Umbulharjo di halte jurusan Jogja – Purwokerto. Kami sengaja memilih berangkat dengan bus karena lebih cepat dan pasti dapat tempat duduk. Kami tidak mau bertaruh naik kereta akan mendapat kenyamanan yang sama dengan bus. Carrier yang kami bawa juga akan lebih aman, dan yang pasti kami tidak harus mengawasinya setiap detik, karena semua bisa masuk bagasi. Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Waktu yang lebih dari cukup untuk tidur lagi membayar begadang semalam saat menyiapkan perlengkapan.
Bus melaju ke barat meninggalkan Jogja yang masih lengang. Setelah kondektur meminta ongkos, selesailah tugas kami. Tanpa ngobrol lama, mata yang masih menyisakan kantuk kembali merapat, dengan kepala bersandar nyaman di sandaran kursi.
Tim Baturaden II (Nevi, Iin, Azis, Baried, Yayak)
Tidak terlalu sulit untuk menemukan entry point pendakian. Cukup sebutkan “Mau ke Slamet” sopir angkot akan mengantar hingga jalan setapak di pertengahan hutan. Jalur Baturaden memang cukup ramai karena Baturaden merupakan objek wisata yang terkenal di Purwokerto. Di dalam hutan ada jalan aspal meski tidak lebar, dan itu sangat memudahkan awal perjalanan kami.
Matahari bersinar cukup hangat. Sengaja kami memulai perjalanan pagi-pagi agar bisa mencapai target lokasi dan tidak terlalu ngoyo. Kami harus mengondisikan diri dengan beban carier yang cukup berat dan penurunan kadar oksigen di setiap ketinggian yang kami capai. Semakin tinggi lokasi yang kami lalui, semakin tipis oksigen yang tersedia. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengatur pernapasan.
“Tunggu… pelan-pelan aja..,” teriak Azis di satu jam perjalanan masuk hutan Baturaden. Yayak yang berjalan paling belakang sebagai sweeper hanya tersenyum setiap kali Azis merebahkan tubuhnya bersandar di akar pohon. Hutan yang lebat, pohon-pohon menjulang dengan batang yang besar, akar muncul di permukaan tanah. Sejak isi carier kami bertambah dengan 5 liter air, perjalanan memang menjadi bertambah berat. Dan itu sangat dirasakan oleh Azis.
“Istirahat aja dulu, jangan ngeluh…” kataku. Aku teringat pesan Pak Kadus tempat kami singgah kemarin malam.
“Kalau ndaki gunung, jangan mengeluh, nanti capek beneran. Trus jangan buang air sembarangan, minta ijin dulu. Ya percaya atau tidak, hutan Gunung Slamet ini masih wingit – sering terjadi hal hal aneh,” ujar Pak Heri Kepala Dusun malam itu.
“Gunung Slamet masih aktif kan ya, Pak? Pernah meletus kayak Gunung Merapi tidak?” tanya Azis ingin tahu.
“Iya memang masih aktif, tapi tidak seaktif Gunung Merapi. Lagipula lubang kawahnya luas jadi kalaupun meletus tidak terlalu berbahaya…”
“Kalau mau meletus tanda-tandanya seperti apa, Pak?” aku ikut nimbrung, ingin tahu juga.
“Biasanya di sini kalau ada bencana, tandanya ada suara gemuruh dari atas gunung…” jawab Pak Heri, sambil memandang jauh ke arah gunung.
Pak Heri tidak menjelaskan lebih jauh gemuruh seperti apa yang dimaksud. Kami pun tidak bertanya lebih banyak karena Bu Heri datang membawakan mendoan khas Purwokerto. Seketika hangatnya mendoan, sambal kecap dan segelas teh manis lebih menarik perhatian kami.
Jejak-jejak kaki kecil kami semakin jauh meninggalkan perkampungan di sekitar Baturaden. Gemericik air sesekali terdengar di sepanjang jalur yang kami lewati. Sebuah hutan tropis yang megah. Pohon-pohon berbatang raksasa begitu mudah kami temui, kicau burung riang menemani langkah perjalanan kami. Tapi ada makhluk kecil penghuni hutan Slamet kadang membuat kami ketakutan; Lintah.
Entah berapa puluh atau bahkan ratusan lintah yang sudah kami temui. Mereka kadang terlalu lincah hingga celana panjang saja masih bisa dilewati. Apa boleh buat, dengan terpaksa kami menjadi donor darah untuk makhluk-makhluk berbadan empuk itu. Beberapa kali kami harus berhenti untuk melepas gigitan mereka di kaki. Pada awal pertama digigit, Azis mencabut paksa lintah yang menggendut kekenyangan darahnya. Akibatnya, gigitan itu melukai kakinya. Untungnya tidak seberapa parah, hanya luka kecil sehingga dia masih bisa terus berjalan.
Dari puncak punggungan sesekali kami melepaskan pandang jauh ke bawah. Langit biru tanpa awan. Matahari cukup terik namun tidak terasa panasnya. Kanopi pepohonan di sepanjang perjalanan memayungi langkah kami. Cuaca hari ini memberi semangat lebih. Yah, hujan badai sepertinya akan jauh dari pendakian kali ini.
“Lihat, itu pantai!” teriak Baried begitu bersemangat menunjuk jauh ke selatan. Benar, di ujung selatan pulau Jawa memang pantai, tapi kalau pantai itu terlihat dari puncak punggungan ini aku tidak yakin.
“Masa sih?” tanya Iin setengah protes. Azis juga tak mau ketinggalan. Dia mengeluarkan kamera poket manualnya, mengambil angle yang dirasa bagus, dan kami mengabadikan momen itu, sambil istirahat siang menikmati keagungan ciptaan Tuhan. Kadang manusia lupa, betapa sesungguhnya mereka adalah makhluk-makhluk kecil dengan ego yang sangat besar. Ego itu yang tanpa disadari mampu menghancurkan segalanya.
“Ok, kita lanjutkan perjalanan… jangan keasyikan di sini…” suara Yayak membuyarkan kekaguman kami. Carier seberat 20kg kami sandang lagi, hampir menutup separuh tubuh. Sebelum meneruskan langkah, kami memberi tanda di peta jalur yang sudah kami lewati. Beberapa menit kami juga berusaha memperkirakan jarak yang harus ditempuh hingga tiba di Pos II.
“Kita buka camp jangan di Pos II ya,” kataku setengah berbisik pada Yayak.
“Tergantung kondisi tim,cuaca dan waktu.”
Jawaban Yayak membuatku berpikir ulang. Cuaca bagus, angin tak terlalu kencang, kontur di peta juga tak begitu terjal, batinku meyakinkan diri sendiri kalau Pos II akan terlewati.
“Oke, kita berangkat!” kataku memberi komando.
Perjalanan menuju Pos II mulai menanjak, sekali ada jalan datar, bonus untuk jalan lebih cepat. Sepanjang jalur pendakian Baturaden memang tidak terlalu jelas pos yang dimaksud. Setiap pendaki punya nama dan pos sendiri, suka-suka mereka membuat shelter. Tapi yang santer terdengar adalah bahwa di Pos II sering terjadi hal-hal aneh. Seperti yang dikatakan Pak Kadus Heri, hutan Gunung Slamet masih wingit. Ada cerita juga kalau di Pos II dulu pernah ada yang meninggal. Ampun deh… ya jujur, biar aku didaulat jadi koordinator tim, tetep keder juga dengan yang begituan. Sumpah… makanya aku ga mau ngecamp di Pos II. Aku sendiri ga tau Pos II disebelah mana… sebenarnya dibohongi letak Pos II juga aku gak tahu.
Part 2
Pikiran buruk tentang Pos II dan seluk beluknya sekejap terlupakan oleh medan yang semakin berat dan jalan setapak yang tidak begitu jelas. Kami harus menjaga jarak dan berhenti beberapa kali karena Azis tertinggal di belakang. Karena sibuk berurusan dengan lintah Azis memilih jalan di paling belakang. Meskipun kami sudah melarangnya, dia tetap keras kepala untuk jalan di belakang.
“Tar kalo aku jalan di depan, kita bakal sering berhenti,” katanya beralasan.
Terbersit kekhawatiranku tentang Azis. Sepanjang perjalanan dia lebih banyak mengeluh, berhenti seenaknya sendiri tanpa memberi tahu. Dan yang kami sesalkan, dia hanya menggunakan sandal gunung. Sebelum memulai pendakian Baried sempat menawarkan sepatu cadangannya untuk dipakai Azis, tapi Azis menolak.
“Yang penting nyaman kan? Aku nyaman dengan sandalku kok,” bantahnya.
Pertimbangan-pertimbangan logis dan keselamatan sudah tidak digubrisnya. Dan ini menjadi beban yang cukup menganggu. Aku harus siap dengan semua kemungkinan, pikirku memberanikan diri.
Kekhawatiranku berujung nyata. Menjelang pukul tiga sore langit mulai berbayang awan hitam. Matahari tidak tampak lagi. Angin berhembus terasa sampai kulit. Daun-daun bergoyang tertiup angin. Spontan kaki kami melangkah lebih panjang, berharap bisa sampai di shelter sebelum hujan turun. Langkah itu rupanya membuat kami meninggalkan Azis jauh di belakang. Menunggu dan membuang waktu berulang kali kami lakukan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi kalau Azis mau menggunakan sepatu Baried.
“Maaf, sandalku licin jadi aku ga bisa jalan cepat…” kata Azis menjelaskan keterlambatannya.
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ingin sekali aku marah dan memakinya, tapi aku tidak bisa. Justru aku dituntut untuk menyelesaikan semua persoalan yang mungkin terjadi selama pendakian ini. Aku harus lebih kuat dan lebih sabar, batinku menghibur diri.
Di perhentian ketiga menunggu Azis bergabung, langit mulai menitikkan tetes-tetes air. Gerimis mulai menjamah hutan Gunung Slamet.
“Zis, ayo… lebih cepat, hujan segera turun!” teriak Baried mendapati sudah beberapa lama menunggu Asiz masih belum muncul. Iin memanfaatkan waktu membuka jas hujannya, sementara aku dan Yayak mencoba memperkirakan cuaca.
“Yak, ngerasa aneh gak sih? Lihat burung yang terbang mengikuti perjalanan kita gak?” tanyaku pelan.
Yayak mencoba mengamati sekitar. Kemudian dia menggeleng. Ada gelisah yang sangat kupahami menyusup dalam jiwaku. Gelisah yang tidak akan dipahami oleh orang lain, gelisah yang mungkin bila kuceritakan akan berbuah tawa dan aya aya wae… begitu kata orang Sunda.
Percakapanku dengan Yayak tidak berlanjut. Azis melangkah mendekat dengan keringat sebesar biji jagung. Iin sudah siap dengan ponco birunya dan Baried bertambah besar bentuk tubuhnya dengan raincot warna merahnya.
“Wah, sandalku putus…!” keluh Azis, “jadi tadi benerin dulu.”
“Kita langsung lanjut, Zis?” tanyaku atau lebih tepat sebuah ajakan. Azis mengangguk mantap, dia juga tidak mau kehujanan, karena itu akan sangat merepotkan langkahnya.
Hujan masih gerimis, langit rupanya masih malu-malu untuk menangis. Atau barangkali memang hanya akan gerimis. Di ketinggian seperti ini memang sering terjadi gerimis, hujan yang disebabkan oleh kelembaban suhu udara.
“Hujan selamat datang nih kayaknya...” kataku memecah kebisuan.
“Hujan selamat datang gimana, enakan juga sunset kalau ngasih ucapan selamat datang. Jangan hujan dong,” Iin menimpali.
“Kalau hujan, persediaan air kita nambah, gak perlu nyari di lembah… ya gak?” kali ini Baried menyampaikan pendapatnya.
“Iya, gua capek naik turun lembah cuma buat ngambil air. Kalau hujan, kita taroh aja nesting di luar tenda, pasti terisi air penuh,” Azis tak mau ketinggalan.
Perdebatan hujan dan sunset masih terus bergulir meramaikan perjalanan yang mulai mendekati kesunyian hutan. Hari akan beranjak sore menuju gelap. Gerimis mulai datang lebih deras dan kilatan petir tampak di kejauhan. Hujan segera turun.
Mencari tempat untuk mendirikan shelter adalah satu-satunya yang terpikir olehku. Jalan ini terlalu rimbun dan tanahnya terlalu sempit untuk didirikan tenda. Kami melanjutkan langkah beberapa meter ke depan. Azis dan Baried berjalan lebih dulu untuk mencari tempat yang lebih datar.
“Ole le…!” teriak mereka memberi kode. Segera kami menyusul mereka. Sial, tempat yang mereka temukan terlalu terbuka. Akhirnya kami jalan lagi. Di tengah hujan yang mulai deras, setiap tanah datar menjadi harapan kami. Butuh satu tempat yang agak luas agar 2 tenda kami bisa berdiri.
“Ok, kita akan buat camp di sini!”
Dua tenda didirikan di tengah hujan dan kilatan petir. Setelah satu tenda berhasil di dirikan, aku dan Iin memasak air untuk minum, sekedar penghangat. Ini shelter pertama kami. Kami baru menyelesaikan separuh panjangnya perjalanan. Puncak Gunung Slamet masih jauh di atas.
Defense
‘Janganlah berjalan di depanku aku mungkin tak dapat mengikuti. Janganlah pula berjalan di belakangku aku mungkin tak dapat memimpin, tetapi berjalanlah seiring bersamaku dan jadilah sahabatku…’
Pagi bersinar secerah kemarin. Setelah sarapan pagi kami lanjutkan perjalanan. Masih panjang lintasan yang harus kami tempuh. Masih menunggu terjalnya medan dan yang pasti lintah si binatang penghisap akan selalu menyambut di sepanjang jalur pendakian. Kali ini, untuk menghindari gigitan lintah, Azis melumuri tubuhnya dengan minyak kayu putih. Sayang rupanya itu bukan jurus yang ampuh. Malahan panasnya minyak kayu putih bercampur keringat terasa membakar sekujur tubuhnya. Dan dia harus menahan itu di sepanjang perjalanan.
Di hari kedua pendakian jalan yang kami lalui tidak lagi bisa dibilang mudah. Tidak banyak jalan datar. Setiap jengkal yang kami lalui selalu dihadapkan pada tanjakan dan tanjakan. Udara juga mulai lebih dingin dari hari sebelumnya. Pastinya setiap ketinggian yang kami capai, kadar oksigennya semakin menipis. Kami harus hati-hati dengan kondisi itu.
“Yak, mentok ga ada jalan lagi...!” teriak Baried. Sengaja jarak kami memang agak renggang, karena menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing, tapi tentu saja dengan jarak pandang yang masih bisa dikontrol.
Kami segera menyusul Baried yang hari ini bertugas sebagai pembuka jalan. Benar, setapak yang kami lalui habis. Sebelah kanan dan kiri lembah yang subur. Tidak mungkin ada jalan di situ. Iin, Azis dan Baried berjalan menyebar, memastikan ada setapak. Aku dan Yayak memastikan posisi kami di peta. Benar, tidak ada yang salah. Memang kontur di peta sangat rapat, itu artinya ada tanjakan atau tebing yang cukup terjal. Tapi di mana? Hampir setengah jam kami habiskan untuk mencari jalan setapak.
“Hei, ada rafia dan patahan pohon…!” teriak Iin kegirangan.
“Itu pasti jejak dari kelompok Baturaden I,” kataku kemudian. Tanjakan yang cukup terjal, hampir mendekati 90 derajat. Pantas saja kami kesulitan menemukan jalan. Apa boleh buat, memang itu jalan yang harus kami lewati.
Berpegang pada akar dan batang pohon, Baried naik lebih dulu. Ujung sepatu trakingnya beberapa kali dihentakan di tebing tanah setinggi 2 meter itu untuk membuat cerukan serupa tangga. Iin menyusul ke atas setelah Baried tiba dan meletakkan cariernya agar lebih mudah menarik yang lain. Azis melepaskan sandal gunung andalannya. Dia terlihat kerepotan.
“Zis, lempar aja sandalnya!” kata Baried menyiapkan diri untuk menangkap sandal Azis.
Azis menurut. Tanpa alas kaki Azis pun merambat naik.
“Aduh!” Azis berteriak kesakitan. Dia terjatuh setelah naik beberapa meter. Di saat yang bersamaan, sisi lain dari hatiku tergetar oleh suara burung yang sepanjang hari kemarin mengikuti perjalanan kami. Dia datang lagi, batinku. Aku tidak tahu burung jenis apa itu. Aku juga tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Setiap kali burung itu terbang di antara perjalanan pendakian ini selalu menimbulkan perasaan khawatir yang berlebihan. Tapi aku hanya bisa simpan sendiri kegelisahan itu.
“Kamu ga papa Zis?” tanya Yayak. Azis tak bersuara, hanya menggeleng sambil meringis kesakitan.
“Serius gak papa?” tanyaku ragu.
“Gak papa, akar pohonnya ga kuat nahan badan gue...” kata Azis sambil terus mencari akar atau batang pohon yang bisa membantunya naik.
Burung kecil itu masih terbang memutar. Sesekali hinggap di ranting pohon yang tidak terlalu tinggi. Sesekali aku menatapnya, mencoba bercakap dengannya meski aku tahu tidak akan mendapatkan jawaban apapun. Burung yang aneh… Aku yakin tidak ada seorangpun yang mempedulikan keberadaan burung merah itu kecuali aku. Aku cukup terganggu dengan ulahnya. Gaya terbang dan suaranya semakin keras seiring bertambahnya ketinggian pendakian ini.
Jalan setapak yang dilalui tidak sejelas jalur di bawah tadi. Terlalu banyak akar pohon yang tumbuh di permukaan. Medan semakin sulit begitu kami tiba di jalur pendakian yang disebut ‘lubang tikus’. Dengan beban carier segedhe almari kami harus merangkak di bawah akar pohon menjalar. Setapak sempit di kemiringan lembah yang cukup dalam. Meskipun lembah ditumbuhi pepohonan berkayu tapi tetap saja berbahaya kalau kami sampai terpeleset.
“In, kamu naik lebih dulu…” kata Baried.
“Nggak ah, kamu aja duluan. Badanmu kan lebih besar jadi bisa buka jalan sekalian…” kata Iin.
“Badanmu kan kecil, jadi lebih lincah untuk bisa merangkak dan mengambil jalur yang lebih aman,” balas Baried.
Kami masih mengamati sekitar. Rupanya inilah satu-satunya jalan.
“Aku duluan aja deh kalo kalian masih terus berdebat,” kataku menengahi. Carier kubiarkan tertinggal, aku akan menariknya nanti dengan webbing. Merangkak! Gila benar-benar seperti tikus. Perpaduan tautan tanah, batang, dan akar pohon menjalar yang menakjubkan. Aku tidak yakin akan terulang untuk kedua kali untuk pendakian berikutnya.
Aku masih terus merangkak. Setelah hampir mencapai setapak yang lebih terbuka, Iin menyusulku. Tepat setengah meter dia di belakangku, detik itu juga, batang pohon tambatanku patah dan aku terperosok.
“Awas, In…!”
Part 3
Aku tidak menyangka Iin menyusulku sebelum aku sampai di posisi yang aman. Tak terhindarkan lagi, kakiku menendang tubuh Iin sampai dia ikut terperosok. Beruntung dia masih bisa pegangan pada batang dan akar pohon yang lebih kuat.
“Hati–hati, jangan terlalu dekat...” Yayak memperingatkan.
“Kalian naik setelah aku sampai di ujung lorong… aku akan beri kode,” kataku setelah situasi kembali tenang.
Perjalanan merangkak menembus lubang tikus membuat kami kehabisan tenaga. Hari ini kami terlalu sering berhenti untuk istirahat dan batas vegetasi yang kami tuju masih jauh.
Setengah satu siang. Belajar dari perjalanan kemarin, langit mendung sekitar jam dua siang, dan disusul hujan hingga malam. Begitu juga hari ini, warna biru langit masih terlihat di sela awan yang menggumpal. Sedikit harapan untuk melanjutkan langkah. Tapi alam memberikan lain. Begitu kami tiba di ketinggian di mana pohon-pohon besar mulai jarang, langit tiba-tiba gelap. Gemuruh mengejutkan beratnya langkah kami.
“Hujan?!” tanyaku.
”Bukan. Angin,” jawab Yayak pelan. gemuruh itu semakin terdengar keras. Seperti suara hujan, tapi tidak ada air. “Merapat! Semua berkumpul, ke sini!” teriakan keras Yayak menambah keterkejutan kami.
Seketika itu juga Baried yang semula berjalan di depan berbalik arah diikuti Iin. Kami berlindung di balik semak rumput yang tingginya hampir sama dengan tinggi badan kami. Azis masih berada di belakang. Tiupan angin membuatnya kepayahan untuk melintasi tanjakan penuh belukar dan rumput yang bergoyang tertiup angin.
“Badai!” katanya. Semua duduk membungkuk, melindungi diri dari tiupan angin.
Punggungan ini terlalu terbuka, terlalu berbahaya jika kami memaksa untuk berjalan. Sepuluh menit terasa begitu lama untuk menunggu angin sedikit melemah. Kami akan melanjutkan perjalanan, kami harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan shelter. Sepuluh menit ini membuat kami lebih banyak diam, hanyut dalam pikiran sendiri. Bisa jadi, sepuluh menit ini membuat kami menyesal melakukan pendakian ini. Sepuluh menit ini mengingatkan kami pada Noel, dan di sepuluh menit ini juga kami merasakan kehangatan sebuah persahabatan.
Ketika tangan kami saling berpegang erat, kami tak ingin ada yang terlepas. Ketika kami duduk begitu dekat, kami tidak bisa berdiri sendiri. Perjalanan ini tidak bisa dilewati seorang diri. Kebersamaan, rasa percaya dan saling peduli adalah kunci.
**
Sejak badai kemarin siang kami masih belum beranjak dari shelter kedua kami. Puncak Gunung Slamet sudah tidak jauh lagi. Dua jam perjalanan dan kami akan sampai di sana. Tapi tidak hari ini. Hujan masih belum mau reda, awan hitam masih memayungi tanah Gunung Slamet. Entah akan kapan gemuruh angin, gemertak kayu dan pohon tumbang ini tidak terdengar lagi, sementara hawa dingin mulai terasa semakin menggigit. Hembusan angin pun tidak mau diajak bersahabat. Tidak ada kehangatan di sini selain pelukan dan balutan sleeping bag yang barangkali juga mulai basah dan lembab. Ditambah asap rokok beberapa kawan membuat udara di dalam tenda ini semakin sumpek, sesak, dan pengap. Pun tidak mungkin bagiku untuk membuka sedikit celah dari tenda kecil ini, hanya angin dan rasa dingin yang barangkali akan kudapatkan, bukan udara segar.
Jadwal pendakian mulai terganggu. Seharusnya, hari ini kami sampai di puncak dan mulai turun ke jalur Bambangan. Apa boleh buat, alam tidak mengijinkan pendakian ini berjalan sesempurna rencana yang telah kami susun.
Semua tidak berjalan sesuai rencana. Perbekalan cadangan untuk 1 hari tambahan dipastikan harus dibuka. Harusnya malam ini kami sudah di basecamp Bambangan, bukannya diam menunggu badai berhenti dan terkurung dalam tenda yang rangkanya tidak lagi sempurna. Alas tenda basah, sleeping bag lembab dan perbekalan menipis. Kembali turun dan mengakhiri pendakian sampai di titik ini bukanlah keinginan kami. Kami akan menunggu sampai besok pagi, kami yakin besok akan lebih baik dan perjalanan akan dilanjutkan...
Pagi menyapa dengan ramah hari ini. Sudah dua hari kami terjebak tanpa bisa bergerak sedikit pun. Angin mulai melemah—bahkan pagi ini langit tampak cerah dan matahari bersinar hangat. Pagi yang indah untuk bisa memulai aktifitas lebih bebas. Memanfaatkan panas matahari, tenda kami biarkan tanpa penghuni, semua keluar untuk mengeringkan sleeping bag dan beberapa barang yang lembab dan basah.
“Kita harus bisa sampai puncak!!” teriak Azis semangat.
“Aku juga ga mau kalau kita harus turun lagi lewat Baturaden. Kita ke puncak terus turun lewat Bambangan. Sumpah kapok lewat sini…” Baried ikut menimpali. Wajar kalau Baried enggan melewati lagi jalur pendakian Baturaden, selain ancaman Lintah, dia tidak mau lagi merangkak di lubang tikus. Badannya yang besar terlalu mudah tersangkut dan itu membuatnya frustrasi.
“Apa tidak sebaiknya kita turun?” kata Iin pelan. Ada kekhawatiran dalam suaranya. Ada yang dia takutkan tentang badai kemarin. “Kalau nanti kita naik, terus ada angin, badai seperti kemarin, bagaimana?” Nada bicaranya tersendat, perpaduan antara kewajiban untuk sampai puncak dan kekhawatiran bertemu badai menundukkan keberanian seorang Iin yang setiap harinya cuek dan tidak pernah mundur pada apa pun. Kami terdiam.
Iin benar, badai bisa saja datang lagi, seperti kemarin, batinku.
“Ya kita ngecamp lagi... ” jawab Azis.
”Ngecamp di mana coba? kita nggak mungkin dirikan tenda buat camp di puncak gunung, bro,” Baried menimpali. “Mau mati?!” tambahnya dengan nada keras.
“Ya kalau nggak bisa ngecamp diatas, kita turun lagi…” Azis masih ngotot dengan pendapatnya.
“Hei, lupa kamu kemarin gimana. Di daerah kaya gini, yang masih ada pohon aja susah buat jalan, gimana kalau ketemu badai di puncak gunung. Kamu tahu medan ke puncak gak sih!?” Kali ini bukan pertanyaan yang diucapkan Baried, tapi lebih sebuah penegasan.
“Kalau sampai jam 9 cuaca bagus, kita bisa lanjutkan perjalanan,” kataku setelah berkoordinasi dengan Yayak.
“Yakin, Vi?” tanya Iin.
Aku tahu ada keraguan yang bergelayut jelas di matanya. Aku mengangguk. Jauh di kedalaman hatiku aku juga takut badai itu akan datang lagi. Aku hanya bisa berdoa semua akan baik-baik saja. Meskipun mimpi semalam dan keberadaan burung berbulu merah itu masih enggan beranjak jauh dari otakku.
Kemoloran hari pendakian memungkinan kami akan bertemu dengan tim Kaliwadas II yang berangkat satu hari setelah kami. Sedangkan tim Baturaden I dan Kaliwadas I kemungkinan besar sudah berhasil melintasi puncak Tugu Surono dan kembali ke Jogja. Ada tanggung jawab yang harus kuselesaikan, tim Baruraden II harus berhasil mencapai puncak, turun melalui jalur Bambangan dan kembali ke Jogja. Begitu seharusnya. Jika kami kembali turun melalui Baturaden tanpa pernah menyentuh Tugu Surono sebagai puncak tertinggi Gunung Slamet, itu artinya kami gagal mendapatkan keanggotaan kami. Perjalanan ini sudah kami persiapkan lebih dari 2 bulan. Semua butuh perjuangan dan pengorbanan. Masih terlintas jelas bagaimana kami harus bertemu setiap hari untuk koordinasi, latihan fisik dua kali seminggu selama dua sampai tiga jam, menyisihkan sebagian uang kuliah untuk biaya pendakian, dan berkejaran dengan tugas kuliah, semua kami lakukan agar pendakian ini bisa berjalan. Meskipun pada akhirnya tim yang berangkat tidak sempurna, tanpa Noel, dan pada pelaksanaannya tidak seindah yang kami bayangkan…
Setelah briefing yang cukup lama, dengan pertimbangan dan pemikiran yang cukup matang, kami siap melangkah lagi. Cuaca yang cukup cerah terlalu sayang untuk disia-siakan. Kami tidak tahu sampai kapan cuaca seindah ini akan bertahan.
“Kita butuh waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai di puncak. Itu perkiraan, kita ambil air dulu sebelum naik ke atas,” kata Yayak.
“Di dekat batas vegetasi ada cerukan. Kita bisa ambil air di sana,” kataku.
“Jam 2 kita harus sudah jalan turun ke Bambangan. Lebih cepat lebih baik…” Yayak menambahkan.
Dari beberapa cerita teman yang sering melakukan pendakian, puncak gunung akan berkabut setelah jam 1 siang. Berbahaya jika terjebak kabut di puncak gunung. Selain tersesat karena setapak yang tertutup kabut, kita juga bisa tersesat karena banyak jalur untuk turun dan jalurnya hampir sama; pasir, tanah dan bebatuan.
Mengingat jalan untuk menuju puncak tertinggi Gunung Slamet berada di bibir kawah, kami sepakat untuk menghindari puncak berkabut. Pendakian pun dilanjutkan dengan timbunan semangat yang sudah terhalang oleh badai dua hari kemarin. Istirahat yang terlalu lama membuat badan kami terasa pegal, tapi itu bukan halangan. Dengan sedikit pemanasan, rasa pegal akan hilang.
Menapaki setapak menuju batas vegetasi, hutan yang kami lalui sudah tidak serapat sebelumnya. Tidak ada lagi pohon-pohon raksasa dan lintah di tanah basah. Yang terhampar hanya ilalang dan pohon – pohon berbatang kecil yang tumbang.
Pukul sepuluh siang kami tiba di pertigaan jalur Baturaden dan Kaliwadas. Tidak ada jejak dari tim Kaliwadas II. Perkiraan kami akan bertemu di pertigaan ini. Namun yang kami temukan hanya tali rafia merah terikat di satu pohon, di dekatnya ada bekas api unggun dan sedikit sampah organik—sampah dari tim Baturaden I. Jejak yang sama dengan yang kami temukan di sepanjang jalur pendakian kemarin.
Sampai di batas vegetasi, sudah tidak ada lagi pohon pelindung, tidak ada lagi halangan untuk menatap kegagahan Gunung Slamet. Sejauh mata memandang hanya bongkahan batu dan tanah berpasir. Berpayung langit biru dan tersaput kabut tipis, puncak Slamet terlihat elok. Meskipun jurang-jurang kecil menganga di setiap alur badan gunung, tapi itu bukan untuk ditakuti. Karena di dasarnya kami bisa mendapatkan air sisa hujan kemarin. Lekukan – lekukan yang menakjubkan.
“Ole…le…!” Terdengar teriakan nyaring dari dalam hutan. Itu suara dari tim Kaliwadas II. Tidak berapa lama satu demi satu anggota tim Kaliwadas II bermunculan. Dengan cover carier warna warni yang cukup mudah dikenali.
“Woi… pa kabar? Kirain dah nyampe Bambangan, masih disini juga rupanya?” Doni memberi salam. Meskipun belum ada satu minggu kami tidak bertemu, pertemuan hari ini seperti pertemuan yang sudah lama tidak terjadi.
“Gimana mau jalan, kemarin kehadang badai separah itu...” kataku menjelaskan.
“Iya, kemarin kita juga sempet ketahan, tapi cuma semalem... Lho yang lain pada kemana nih? kok Cuma kalian bertiga, Azis ma Baried mana?”
”Ole..le…ayo kita jalan lagi. Kita tunggu di atas bro!” teriak Azis setelah selesai mengisi botol-botol kosong dari air di cerukan.
“Tuh mereka, ngambil air di cerukan,” kataku sambil menunjuk kearah Azis dan Baried yang berada 20 meter di atas batas vegetasi. Azis dan Baried menyandang kembali carier mereka dan meninggalkan beberapa botol kecil untuk bekal di perjalanan.
“Woi, kami jalan duluan!” teriak Azis bersemangat. Belum aku memberikan jawaban mereka sudah melangkah.
“Ayo, kita jalan lagi, lama-lama diam bisa tambah dingin,” ajak Iin. Dia melangkah pelan meninggalkan aku dan Yayak. Tidak ada salahnya juga kami jalan agak berjauhan, selama masih bisa melihat satu dengan yang lain. Jarak yang terlalu dekat kadang justru berbahaya untuk kami. Batuan gunung ini meskipun terlihat kokoh sebenarnya sangat rapuh dan labil. Salah ambil pijakan batu-batu itu akan rontok dengan mudah. Kami bisa terperosok kapan saja, dan rock fall menjadi ancaman yang menakutkan bagi pendaki.
“Kami jalan duluan, atau kita mau sama – sama jalan ke atas?” aku menawarkan diri mengajak tim Kaliwadas II untuk bersama-sama.
“Yakin kalian mau ke atas sekarang?” Doni berbisik kepadaku. Aku mengangguk dengan mata berbinar yakin.
“Kalau kalian mau, kita jalan bersama, tapi kami istirahat dulu sebentar,” Teo, salah satu anggota tim ikut bicara. Aku memandang jauh kearah tiga temanku yang sudah berjalan naik menapaki bebatuan Gunung Slamet. Mereka sudah cukup jauh untuk dipanggil kembali.
“Kami jalan pelan-pelan aja deh, kalian menyusul segera ya...” kataku.
“Ok, sampai ketemu di Tugu Surono. Hati – hati ya…” balas Doni.
Langkahku berlanjut menyusul Iin, Baried, dan Azis yang sudah jauh di depan. Sesekali aku kembali menatap ke bawah, tim Kaliwadas II masih terlihat istirahat di batas vegetasi.
Part 4
“Vi, kita jalan lebih cepat, aku khawatir dengan mereka…” tiba-tiba Yayak melangkahkan kakinya lebih lebar. Dia terlihat lincah menapaki bebatuan, tidak ada satupun yang runtuh karena pijakannya. Batunya yang benar-benar kokoh atau kelihaian dia mencari pijakan? Entahlah. Langkah kami merapat pada Iin. Kulit putihnya memerah terbakar matahari dan bibirnya bergetar oleh dingin.
“Kalian susul Azis dan Baried, aku akan mengikuti kalian,” kata Iin terbata. Aku menatap ke atas gunung, Azis dan Baried semakin jauh dari kami.
“Zis, Ried… berhenti!!” teriakku. Kugunakan juga peluitku untuk menghentikan langkah mereka. Sia – sia.Terpaksa kami harus mempercepat langkah.
“Aku kejar mereka, aku khawatir—mereka belum tahu jalan dan medan di puncak,” kata Yayak.
Aku dan Iin menggangguk. Yayak bergegas menyusul Azis dan Baried. Perasaan khawatir dan kecepatan Yayak berjalan membuat beberapa batu yang dipijaknya runtuh, beberapa kali dia terpeleset. Yayak masih terus berjalan. “Hoi, berhenti!!” teriaknya keras.
Azis dan Baried hanya berjarak 15 meter dari Yayak. Azis sudah tidak lagi menggunakan sandal gunungnya. Dia nekat membiarkan kakinya menapaki bebatuan tanpa alas. Sandal gunung kebanggaannya diikat di samping carier, dengan satu sisi yang telah putus pengaitnya. Mereka bertiga kemudian berhenti menunggu aku dan Iin yang berjalan amat pelan. Semakin ke atas udara semakin dingin, oksigen semakin menipis dan perbekalan yang seolah tidak pernah berkurang beratnya bersandar di punggung kami.
Kami menghela napas sebentar. Tim Kaliwadas II sudah terhalang oleh batuan dan kabut yang mulai beranjak naik menyelimuti badan gunung.
“Yak, kabut lagi,” kataku pelan.
Yayak mengangguk, mengiyakan. Kami sudah berada jauh diatas badan gunung, puncak tidak jauh lagi. Kami akan lanjutkan perjalanan sebelum kabut semakin tebal. Sambil istirahat dan berlindung dari panas matahari di balik batu yang agak besar, Azis memperbaiki sandalnya dengan tali frusik. Dia tidak boleh berjalan tanpa alas kaki. Batu dan pasir yang tajam akan sangat mudah melukai kulit kakinya. Kami tidak ingin itu terjadi.
“Kamu tuh bener – bener gila. Bisa – bisanya naik gunung tanpa alas kaki. Pelajaran buat kita semua. Merepotkan!” Iin bergumam. Kami tahu kalimat itu ditujukan untuk Azis meskipun Iin tidak secara langsung menyebutkan nama.
Azis tidak menanggapi, dia sudah benar-benar merasakan payahnya naik gunung dengan sandal. Walaupun namanya sandal gunung, itukan cuma di iklan televisi. Dengan medan berbatu, berpasir dan lereng yang curam konyol namanya jika tidak membekali diri dengan perlengkapan standar pendakian. Azis kembali memakai sandal gunungnya. Agar tidak lepas dan lebih nyaman dia menggunakan kaos kaki agak tebal.
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku di depan, diikuti Iin, Baried, Azis dan paling belakang Yayak. Bibir kawah Gunung Slamet sudah terlihat meskipun untuk sampai di sana masih butuh perjuangan dan tenaga ekstra. Lereng semakin curam, tidak terlalu banyak batu untuk pijakan, hanya permukaan berpasir, dan kami harus berjalan menyamping agar tidak terpeleset. Seringkali untuk menjaga keseimbangan kami harus berjalan membungkuk.
Langkahku terhenti, mendadak dadaku terasa amat panas. Kuambil air minum di daypack, seteguk yang menyegarkan.
“Kenapa, Vi?” tanya Iin.
Aku menggeleng, memberi isyarat baik-baik saja. Sengaja aku tak ingin terlalu banyak bicara, tahu kondisiku mulai menurun. Di detik itu, ketika kaki terasa berat untuk melangkah, beban carier rasa-rasanya ingin kutinggalkan, dan tubuhku ingin sejenak direbahkan, sayup-sayup kudengar suara adzan. Kabut tersingkap perlahan, aku lihat langit begitu cerah, biru tanpa awan dan suara adzan terdengar makin jelas.
“Kita berhenti dulu sebentar. Dengerin adzan dulu,” kataku menghentikan langkah Baried, Azis dan Yayak. Keempat sahabatku berhenti, diam, dahi mereka berkerut, pandangan mereka jauh ke bawah gunung.
“Mana kedengeran suara adzan di puncak gunung kaya gini, Vi,” Baried memecah keheningan. Seketika dia melangkah diikuti Azis dan Iin.
“Iya, aku denger suara adzan, kamu juga denger kan, Yak?” kataku meyakinkan mereka.
Heran, Yayak tidak menjawab sepatah kata pun. Dia mendekat ke tempatku berdiri. Aku masih mendengar suara itu, sangat jelas. “Ayo, sebentar lagi sampai di bibir kawah” ajak Yayak.
Aku tidak mengerti mengapa tidak seorang pun yang mendengar suara adzan Dhuhur itu. Diselimuti rasa penasaran aku melangkah mengikuti jejak yang ditinggalkan Yayak. Aku memaksa mendahuluinya saat langkahnya terhenti untuk menungguku.
“Aduh!” terdengar Baried berteriak. Sesuatu terjadi padanya.
“Kenapa?” tanyaku khawatir.
“Gak papa, mataku kemasukan pasir,” Baried menjelaskan sambil mengucek matanya. Azis mencoba membantu dengan meniup mata Baried. Sekali dua kali hingga berkali kali tidak berhasil. “Udah, gak papa, dah agak mendingan…” kata Baried. Meskipun bilang sudah agak mendingan, tapi matanya masih merah dan dia masih terus mengedip-ngedip cepat.
Debu yang menggangu mata Baried sepertinya bukan debu biasa. Karena konsentrasi tertuju pada mata Baried, kami tidak menyadari kabut datang dengan sangat cepat. Jelas itu kabut yang bergerak tertiup angin.
Angin kencang bergemuruh menyergap.
“Cepat berlindung di batu itu!” Yayak berteriak sambil menunjuk ke sebuah batu besar 20 meter di atas posisi kami. Azis dan Iin berjalan menunduk menahan keseimbangan. Angin bisa menerbangkan kami setiap saat.
“Cepat!” teriakku.
Angin berhembus semakin kuat. Awan bergerak cepat bersimpangan arah. Badai! Azis dan Iin masih terus berusaha merapat di batu besar yang ditunjuk Yayak. Batu itu cukup besar dan aman untuk berlindung kami berlima. Aku, Baried dan Yayak masih berlindung di batu yang tidak terlalu besar sambil terus memperhatikan langkah Iin dan Azis dengan cemas. Kami akan bergerak menyusul mereka setelah mereka mencapai tempat yang aman.
Aku melihat Azis mulai kelelahan, berkali-kali dia terpeleset hingga satu sisi sandalnya terlepas dan jatuh ke dasar cerukan yang tidak terlalu dalam. Dengan beban carier yang semakin berat tertiup angin, Iin harus menuntun langkah Azis. Tangan Azis menggenggam tangan Iin dengan kuat. Ketakutan mulai membayang di wajah Indo-Arabnya. Melihat keadaan ini kami segera menyusul. Yayak mengambil langkah di depan untuk membuka jalan. Dia berjalan menyilang ke kanan dan membuat jejak menyerupai anak tangga dengan sepatunya.
“Ikuti jejak!” katanya keras.
Aku dan Iin mengikuti Yayak sementara Baried membantu Azis di belakang. Kaki Azis terluka. Setibanya di batu besar, aku dan Iin memeriksa luka di kaki Azis. Kami tahu balutan yang kami berikan hanya akan bertahan sebentar, tapi hanya itu yang bisa kami lakukan.
“Biar, tar dibungkus pakai plastik aja deh...” kata Azis menyadari sebelah sandalnya hilang.
Kami saling pandang mendengar perkataan Azis. “Sandal aja lepas, gimana plastik, hancur kali…” Baried menimpali.
“Sepatu kamu bisa dikeluarin nggak, Ried?” tanyaku.
Baried dengan tegas menggeleng. “Aku taroh di paling bawah, harus bongkar carier dulu!”
“Puncak masih jauh, Yak?” aku memastikan. “Kita tetep harus bergerak kan? Kita ga mungkin selamanya diam di sini.”
“Pasti, 10 meter di depan kita sampai bibir kawah, kita ambil jalan ke kanan sampai di Tugu Surono. Disana lebih luas dan landai,” Yayak memberikan arahan.
Semoga angin ini cepat mereda, harapku dalam hati. Kami masih diam menunggu badai melemah. Kami tahu kami sudah terjebak, tapi kami akan berusaha untuk lepas dari jebakan angin dan kabut gunung ini. Kami tidak tahu apa jadinya kalau batu ini tidak ada.
Menjelang pukul setengah satu siang angin melemah dan kami memutuskan untuk segera menjangkau Tugu Surono. Tidak seperti yang kami bayangkan, 10 meter terasa sangat jauh— medan berpasir dan lereng yang sangat curam, ditambah kelelahan dan kedinginan. Sepuluh meter harus dilalui dengan perjuangan, napas mulai tersengal akibat kadar oksigen yang menipis.
Kali ini Iin di depan, dibelakangnya ada aku, Baried, Azis dan Yayak. Kami tiba di bibir kawah yang terselimuti kabut. Kalau saja hari cerah, kami bisa menikmati keindahan dan luasnya kawah Gunung Slamet. Kami melanjutkan langkah ke kanan menuju Tugu Surono. Meskipun jalan yang kami lalui cukup landai tapi kami tidak bisa berjalan dengan tegak. Selayaknya angin di puncak gunung, angin masih berhembus cukup kencang.
“Allohu Akbar!” teriak azis begitu kami sampai di Tugu Surono, puncak tertinggi Gunung Slamet.
Kami berkumpul, merebahkan diri sesaat, bersandar di Tugu Surono yang tidak terlalu tinggi. Mengabadikan yang sudah diperjuangkan, Azis mengeluarkan kamera poketnya. Dan beberapa gambar menjadi saksi pendakian kami di Gunung Slamet.
Part 5
“Pesta puncak…” Iin mengeluarkan roti tawar lengkap dengan selai kacangnya dan sebotol Fanta merah. Ajakan yang menyenangkan. Disela-sela menikmati pesta puncak, sesuatu menarik perhatianku. Aku melihat sisa pembakaran dan sampah yang berserakan.
Mungkinkah ada yang mendirikan camp di puncak ini? batinku tidak percaya. Sangat jarang bahkan tidak pernah ada pendaki yang nekat mendirikan camp di puncak gunung, di titik tertinggi apalagi. Terlalu berbahaya. Angin bisa menerbangkan mereka setiap detik. Dingin akan dengan mudah menyerap panas tubuh mereka, artinya ancaman hypothermia sangat besar.
Rasa heran dan tidak percaya masih menyelimuti benakku. Sebelum sempat kutanyakan pada Yayak, pendamping pendakian ini, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang membawa hawa dingin yang menusuk. Pasir berterbangan menyisakan perih di kulit ari. Badai datang lagi, dan kali ini bukan main-main. Kami segera mengemasi barang – barang. Azis yang sedang berpose di bibir kawah secepat kilat menuju ke arah kami di Tugu Surono, begitu juga dengan Baried. Aku dan Iin siap dengan carier di punggung, sementara Yayak masih sibuk mengeluarkan tali rescuenya.
“Jalan ke kanan, turun!” kata Yayak memimpin. Aku dan Iin berjalan sesuai petunjuk.
“Kanan!” kataku berulang.
Kepanikan membuat Iin berjalan sangat cepat, jauh di depanku. Kabut datang sangat tebal menghalangi pandangan. Jarak pandang sangat dekat. Kuhentikan langkahku, aku tidak mau kabut ini menyesatkan.
“In, berhenti!” teriakku. Aku berharap suaraku terdengar olehnya di antara gemuruh yang menderu. Tidak berapa lama, Baried muncul mengejutkanku.
“Azis sama Yayak mana?” tanyaku. Aku tidak mau ada yang terpisah.
“Belakang,” jawab Baried singkat.
“Kita tunggu mereka,” kataku.
“Iin mana? Aku susul dia ya…” Baried berjalan lagi untuk mencari Iin.
“Begitu bertemu Iin, kalian stop, berhenti!”
Tidak lama berselang, Azis muncul bersama Yayak. Mereka mengikat diri dengan tali kernmantel yang tidak begitu panjang. Lega melihat mereka datang.
“Ikat tali ini ditubuhmu, tali ini yang akan menyatukan langkah kita. Kita gak akan terpisah,” kata Yayak.
Tanpa pikir panjang aku meraih ujung tali dan mengikatkan di tubuhku. Angin sangat tidak bersahabat, kabut semakin tebal, gelap dan pasir kerikil terus menghujani langkah kami. Pelan, tertatih dan terus berusaha untuk menemukan posisi Iin dan Baried. Peluit sesering mungkin kami bunyikan sebagai alat komunikasi. Kami melangkah dalam diam, tidak ada yang bersuara. Wajah dan bibir kami bergetar kencang menahan dingin dan rasa perih. Angin menderu di kedua telinga.
“Hoi…!” terdengar teriakan dari arah depan. Itu suara Iin dan Baried. Kami segera menuju arah suara mereka. Kerjasama yang bagus, Baried dan Iin rupanya telah mengikat tubuh mereka dengan frusik yang selalu kami bawa. Tali 1 meter itu telah menyatukan mereka. Kami berkumpul utuh kembali. Saatnya memulai perjalanan untuk turun menuju Bambangan.
Yayak berjalan di depan, mencari jalan turun ke Bambangan.
“Tanah berpasir ke kanan,” katanya memberi petunjuk pada yang lain.
Kami terus ke kanan, menemukan tanah berpasir yang cukup landai, dan mengambil ke kanan lagi. Namun, tiba-tiba Yayak menghentikan langkahnya. Kami semua ikut berhenti. Kekhawatiran kembali menyapa.
“Kenapa, Yak?” Azis memberanikan diri bertanya. Yayak tidak menjawab sepatah kata pun. Pastinya situasi ini membuat kami kebingungan dan tidak mengerti. Tidak biasanya Yayak seperti ini. Dia selalu memberikan jawaban dan penjelasan yang menenangkan kami.
Yayak mengeluarkan peta dan kompasnya. Tapi dia melipat kembali peta itu dan segera menyimpannya di dalam tas kecilnya.
“Kita ambil jalan mana, Yak?” kali ini Baried ambil suara. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Kondisi ini membuat kami frustasi.
“Yak, ngomong dong, kenapa sih?” kataku menahan emosi, mendesak Yayak untuk bicara. Aku sendiri bisa gila kalau Yayak bertingkah seperti itu. Seburuk apa pun semua harus dikatakan.
Iin mengunci mulutnya, matanya nanar menatap kabut yang menyelimuti ketinggian ini, bibirnya bergetar menahan dingin, hingga akhirnya dia merebahkan tubuhnya ke tanah berpasir yang basah. Iin memeluk erat lututnya berharap kehangatan akan menenangkan galaunya.
“Yak, kita kehilangan jalan ya?” Azis menerka.
“Ngomong dong, kamu ga lihat kondisi Iin seperti itu? kalau kamu diam dan kita semua diam berdiri di sini, bisa mati kedinginan tau!” Baried tampak emosi menanggapi aksi diam Yayak.
Kudekap Iin, berharap dia bisa bangkit lagi. Sekedar berbagi kehangatan dan mengikis kegelisahan.
“Kita istirahat dulu… Di bawah ada cerukan, mungkin disana ada air.” Akhirnya Yayak bersuara meskipun kalimat yang dia katakan bukan jawaban yang kami harapkan.
Sampai di cerukan, tali yang mengikat tubuh kami lepaskan agar lebih leluasa istirahat. Kuhempas carierku sekedar memberi napas pundakku. Iin melepaskan carier dan memeluknya erat, Azis memuaskan diri dengan minum air dari cerukan, Baried membongkar isi cariernya dan mengeluarkan sepatu untuk Azis. Yayak kembali mengeluarkan peta dan kompasnya. Kami mencari tahu posisi kami dipeta, barangkali itu akan membantu kami menemukan jalan turun ke Bambangan.
“Orientasi medan di cuaca berkabut mana bisa, Yak…” terdengar suara dari atas cerukan. Itu suara Yudi, pendamping tim Kaliwadas II.
Satu persatu teman-teman dari Kaliwadas II muncul dari balik kabut tebal. Kemudian mereka bergabung istirahat di cerukan yang sempit. Puncak Gunung Slamet menjadi lebih ramai, tidak sesepi saat kami hanya berlima. kedatangan tim Kaliwadas II membangkitkan semangat kami lagi. Emosi yang sempat mewarnai tim pun mencair, semua kembali tenang, meskipun kekhawatiran tersesat dan terjebak badai di puncak gunung tetap saja menghantui.
Setelah mengobrol singkat, akhirnya aku dan Doni sepakat untuk membawa tim ini bergabung, jalan bersama-sama.
“Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Jalan untuk turun saja kita tidak tahu, bagaimana bisa lanjutkan ke Bambangan,” Yudi membuka rencana.
“Tapi kita juga tidak bisa buka camp di sini,” Yayak menimpali. Kemudian mereka terdiam.
Kami pun tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Ini pendakian pertama kami di Gunung Slamet. Dan sepertinya tidak ada seorang pun dari kami yang pernah mengalami situasi terjebak badai di puncak gunung dan tidak tahu pasti jalan untuk turun. Itu masalahnya.
“Kita coba jalan lagi, siapa tahu jalan turun itu kita temukan,” Hakim, pendamping lain tim Kaliwadas II menyampaikan pendapatnya. Kami menyetujui pendapat itu. Cerukan sempit berair itu kami tinggalkan, langkah kami merapat satu sama lain. Tidak ingin terpisah dan tertinggal sendirian, kami paksa mulut ini untuk bicara dan sekedar berbagi cerita, apa pun agar kesunyian tidak lagi mewarnai ketinggian gunung ini. Agar gemuruh tidak terlalu mengganggu pendengaran kami.
Kami jalan ke kanan, terus ke kanan sampai suatu ketika langkah kami terhenti di sebuah tanah berbatu yang agak datar. Seketika kami semua diam, kami saling pandang, beberapa batu nisan memoriam terpasang di sana. Bulu kuduk kami berdiri, kami tidak menyangka langkah ke kanan dan terus ke kanan membawa kami ke komplek memoriam ini.
“Jalan lagi yuk,” Agni, salah satu anggota tim Kaliwadas II menarik tanganku menjauh dari memoriam yang berada tepat di depan kami. Aku mengikuti ajakannya. Rupanya hal serupa juga terjadi pada Iin, Azis dan teman – teman lain.
“Kalian tunggu di sini, aku coba cari jalan,” Hakim mengalihkan perhatian kami. Tidak ada sahutan, hanya anggukan dari Yayak dan Yudi.
“Yak, mau tidak mau kita harus buat camp di sini. Sudah lewat jam 2 siang, kabut semakin tebal. Badai ini terlalu beresiko untuk dilalui.”
“Iya, kita cari tempat yang agak terlindung. Dan jangan di sini. Tapi kita tunggu Hakim datang, mungkin dia menemukan jalan”.
“Gimana, Kim?” tanya Yayak dan Yudi bersamaan begitu Hakim datang. Dari rautnya terlihat jelas, dia tidak menemukan petunjuk jalan untuk turun.
“Nol. Terlalu bahaya untuk gambling turun. Kita dirikan camp di sini,” jawab Hakim.
“Jangan disini, teman-teman udah ketakutan liat memoriam yang tersebar kaya gini. Kita cari tempat lain.”
Kami tinggalkan kompleks memoriam dan semua kejadian yang memaksa sekian banyak nama itu terukir di nisan dan terkubur di ketinggian sedingin ini.
Akhirnya kami menemukan tanah datar berbatu. Tidak cukup luas untuk mendirikan 3 tenda selayaknya. Terpaksa, kami hanya mendirikan dua tenda, satu untuk tim Kaliwadas II, satu untuk tim Baturaden II. Badai masih saja menerbangkan pasir dan bebatuan. Semakin sore, badai semakin kuat berhembus, gemuruh menyambut hari yang beranjak gelap.
Part 6
Azis mengeluarkan tenda dari dalam cariernya. Berpacu dengan tiupan angin yang menghempas, kami kesulitan membentangkan kain tenda untuk dipasangkan frame. Satu tenda kapasitas 4 orang itu memaksa kami mengerahkan semua tenaga.
“Carier masukkan dulu!” kata Yayak.
Aku dan Iin segera mengikuti perintah Yayak, carier kami masukkan ke dalam tenda sebagai pemberat. Setelah semua carier masuk, frame penyangga mulai kami pasang. Malang, angin terlalu kuat untuk dilawan, frame hancur dan tak bisa lagi digunakan.
“Don, ada tenda lagi nggak? Tendaku framenya hancur!” kataku keras pada Doni yang masih sibuk dengan tendanya. Gemuruh angin membuat kami harus berteriak.
“Ada satu tapi cuma kapasitas 2 orang!” balasnya.
“Ried, kamu ambil tenda satunya,” kataku kemudian.
Baried membongkar isi cariernya. Tenda itu tersimpan agak kedalam, sehingga cukup menyulitkan. Aku tahu tenda Baried terlalu kecil untuk menampung kami berlima ditambah dengan carier sebesar ini. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang tersisa.
Pukul setengah tiga sore. Langit gelap dan angin bertiup semakin keras. Kami terdiam di dalam tenda, tidak ada cerita. Semua sibuk menata badan karena tenda yang terlalu kecil. Hembusan angin menggoyang tenda kami, frame tenda yang meliuk terasa seperti cambukan menghantam tubuh. Carier yang digunakan untuk menahan frame tenda agar tetap berdiri rupanya terlalu ringan. Beberapa kali carier yang kami tumpuk itu jatuh membuat ruang tenda menjadi semakin sempit dan menyiksa.
“Kita atur lagi cariernya,” aku mencoba membuyarkan pikiran kalut dan kegelisahan sahabat-sahabatku. Aku tahu pikiran mereka barangkali tidak terlalu berbeda dengan pikiranku. Ketakutan dan kekhawatiran mereka pastinya juga tidak jauh seperti yang aku takutkan.
Carier kami tata mengisi masing-masing sisi tenda, dan untuk menahan frame agar tidak patah, kami duduk di atas carier menyudut di sudut tenda. Posisi yang sangat menyiksa.
“Ole…le…!” terdengar teriakkan dari tenda Doni. Kami membalasnya dengan teriakan yang sama.
“Jaga komunikasi ya!” teriak Hakim.
“Sip!” teriak Yayak.
Semakin waktu bergerak mendekat malam, cuaca semakin buruk. Angin tidak hanya membawa terbang pasir dan bebatuan, air pun dia bawa membasahi tanah tempat kami mendirikan camp darurat. Gerimis diikuti hujan yang cukup deras. Situasi bertambah buruk ketika Azis mulai ngomel tidak karuan, penyesalan telah mengikuti pendakian ini. Baried dan Iin merapatkan tubuh dan lututnya mencari kehangatan. Aku dan Yayak hanya saling pandang melihat kondisi mereka. Sesekali aku bersenandung lagu badai pasti berlalunya Chrisye, seolah bertanya pada alam kapan badai ini akan berlalu, mencoba meyakinkan diri sendiri dan orang-orang di sekitarku kalau badai pasti berlalu. Walau aku sendiri tidak tahu kapan.
“Masak… masak… buat hiburan!” Yudi kembali berteriak dari dalam tendanya. Aku melirik jam di tanganku, setengah enam sore. Sepertinya Azis kecapekan ngomel, dia terlihat tidur, atau tepatnya memaksa untuk bisa tidur. Aku dan Iin menyiapkan makan malam.
Terlalu sulit untuk bisa memasak nasi dengan paraffin. Kami tidak mungkin memasak di luar tenda, semua aktifitas dilakukan di dalam tenda, dan asap paraffin terlalu berbahaya untuk pernapasan kami.
“Kita masak yang praktis aja, Vi,” kata Iin menyadari keterbatasan dan kesulitan untuk memasak sempurna. Aku mengangguk setuju. Kompor disiapkan untuk memanaskan air. Yayak membantu menyalakan api dengan batang koreknya. Berkali dicoba sampai batang korek itu habis, kompor masih belum menyala. Kami menghela napas panjang menahan emosi dan frustrasi.
“Kita coba lagi,” kataku.
“Udah deh, kelamaan, langsung dimakan aja mienya,” kata Baried tiba-tiba sambil merebut mie instan dari tangan Iin.
“Kok gitu sih, Ried,” protes Iin.
“Daripada makin kelaparan ngurusin kompor, langsung dimakan aja. Begini juga enak.”
“Iya, tapi kalau bisa dimasak kan bisa lebih kenyang.”
“Mau kenyang? Kaya gini caranya…” Baried menuangkan bumbu mie instant, kemudian mencampurnya di dalam bungkus kemasan. Dia ambil mie mentah itu, memakannya dan sesaat kemudian dia mengambil air minum, meneguknya sampai habis. “Kenyang!” katanya mengakhiri.
“Kalau kaya gitu makannya, yang ada bukan kenyang, tapi kembung,” gumam Iin.
Kami semua merasa putus asa. Kompor tak lagi bisa menyala, suhu di ketinggian ini seolah telah membekukan dan menyumbat aliran dari tabung gas. Terpaksa, kami makan mie instant itu mentah-mentah.
“Zis, makan dulu.” Iin membangunkan Azis.
Azis dengan cepat menerima mie instant mentah yang dibagikan Iin. Kami tidak tahu akan sampai kapan bertahan. Bekal makanan cadangan sudah digunakan kemarin. Hanya tersisa makanan ringan dan bahan minuman, dan segelas beras sisa cadangan kemarin. Kalau besok hari cerah, sisa bekal itu masih cukup dan kami masih bisa bertahan sampai di Bambangan. Aku terus berdoa dan berharap hanya untuk malam ini saja menunggu pagi di puncak Gunung Slamet.
Aku mulai putus asa. Angin telah memorakporandakan tenda kami. Panci berisi air yang sedianya akan kami masak, tertiup angin dan tumpah membasahi alas tenda. Dingin menusuk. Mencoba untuk terus terjaga meski lelah dan kantuk menyiksa. Meskipun tidak nyaman, Iin, Azis dan Baried coba memaksa untuk merebahkan diri dan tertidur.
“Tidur aja, Vi,” Yayak menyarankan. Sepertinya dia memperhatikan aku yang menguap menahan kantuk berkali-kali. Aku menggeleng, aku tidak akan membiarkan dia terjaga sendiri. Kami coba menghalau sepi dengan berbagi cerita seadanya.
“Kesampaian juga keinginanmu ngecamp di puncak...” katanya membuka obrolan. Aku tersenyum, teringat rencana pendakian yang aku susun sebelum presentasi kesiapan pendakian.
“Iya, ya… ternyata kaya gini rasanya ngecamp di puncak nunggu sunrise,” kataku malu-malu, karena aku kemarin coba mempertahankan rencana dan keinginanku untuk bisa melihat sunrise di puncak gunung sepagi mungkin. Sunrise yang sempurna.
“Terus kenapa kemarin mau disarankan ngecamp di bawah?” tanya Yayak menyelidik.
Pertanyaan yang tidak penting, pikirku. Aku tahu alasanku tidak akan memuaskan Yayak. Jawabanku bukan jawaban logis seperti yang dia harapkan. Semua berawal dari mimpi. Mimpi yang mengganggu tidurku di dua hari sebelum hari pendakian. Masih jelas tergambar cerita mimpi itu. Di mana aku dan beberapa orang teman, yang aku tidak begitu jelas siapa, melakukan perjalanan ke suatu desa yang sangat terpencil. Ketika kami akan memasuki desa tersebut, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Penduduk desa berlarian. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami terus melanjutkan perjalanan kami. Mimpi itu hanya sampai disitu, tapi berulang dengan cerita yang sama. Sempat terbersit mimpi itu ada hubungannya dengan pendakian ini, diyakinkan lagi dengan cerita Pak Heri tentang wingitnya hutan Gunung Slamet dan gemuruh dari puncak gunung.
Tapi aku tidak pernah menceritakan mimpi itu. Rencana pendakian tetap berjalan hingga tiba di puncak gunung ini. Seharusnya kemarin aku mendengarkan hatiku! Seharusnya kemarin aku ceritakan mimpiku, bukan menyimpannya dalam hati dan membawanya dalam perjalanan ini. Seharusnya! Seharusnya aku bisa menahan Azis yang memaksa naik lebih dulu, setelah Doni melarang kami untuk ke puncak...
“Vi, kok malah ngelamun sih…” suara Yayak mengejutkanku.
“Hujan sepertinya makin deras,” kataku datar. “Setengah sebelas,” lanjutku. Pagi masih terlalu lama untuk dinanti. Kurasakan jaketku mulai basah, air hujan meresap masuk dari kain tenda. Iin terbangun dari tidurnya, diikuti Azis dan Baried.
“Waduh, basah semua,” kata mereka hampir bersamaan.
Frame tenda yang semula ditahan oleh tubuh Baried rupanya patah, air dengan mudah masuk ke dalam tenda. Kami coba untuk bertahan, duduk berjongkok di atas carier, air hujan sudah menggenang di dalam tenda. Tengah malam yang menyiksa. Kami sudah tidak kuat lagi menahan frame tenda yang semakin kuat menghantam pundak dan bahu kami. Satu persatu frame itu patah, pecah, hancur, dan ambruklah tenda kami.
Part 7
“Ole… le… Yud, Kim!!” Yayak berteriak memanggil Yudi dan Hakim. Tenda Doni terlihat sunyi. “Rescue!!” teriak Yayak lagi. Azis dan Baried mencoba menahan kain tenda dengan tangan mereka, sedikit memberi ruang untuk bertahan. Tidak terdengar sahutan.
“Tenda hancur, Rescue!” akhirnya kami semua berteriak. Samar samar terlihat nyala lampu senter dari tenda Doni. Suara riuh menggema di tengah kegelapan dan gemuruh suara angin.
“Ok, kalian pindah!” suara Hakim memberikan jawaban.
Satu per satu kami keluar tenda. Hawa dingin menusuk menyisakan rasa perih. Angin berhembus sangat kuat, kami harus berjalan membungkuk agar tidak terhempas oleh angin. Gelap yang pekat membuat kami kesulitan menemukan letak pintu tenda. Beberapa kali kami berjalan memutari tenda. Berjalan malam tanpa alas kaki, diterjang angin, menahan dingin, dengan pakaian yang basah.
“Don, senter di pintu!” teriakku. Doni dan Hakim segera mengarahkan senter mereka ke arah pintu dan kami berhasil masuk bergabung dengan tim Kaliwadas II. Malam ini kami lalui dengan berdesakan di satu tenda yang seharusnya hanya untuk 6 orang.
Seharusnya aku mendengarkan semua yang diisyaratkan alam. Aku hanya bisa menahan perih dalam hati melihat keadaan sahabat-sahabatku. Agni mulai merintih karena magnya kambuh, Adi membungkus tubuhnya dalam sleeping bag menahan pusing dan mual, Andi juga mulai demam dan bicara semaunya. Stress dan kelelahan yang menyatu.
Ketika malam tiba, di saat setiap mata coba untuk terpejam meskipun tidak bisa terlelap, hanya ada tetes-tetes bening air mata kerinduan, kesakitan, dan keputusasaan.
Senin, 12 Februari 2001
Entah akankah mampu bertahan menunggu hingga tiba saatnya melangkahkan kaki dan melanjutkan perjalanan untuk pulang. Iya pulang… hampir seminggu rumah penuh kehangatan itu aku tinggalkan untuk sekedar menggapai puncak Gunung Slamet dan mendapatkan status keanggotaan. Aku mulai merindukan rumahku, ibuku, bapakku, adik dan semua orang yang barangkali sedang menunggu kepulanganku. Terlambat pulang tidak lagi bisa dihindarkan. Jumat telah berlalu, hari ini tidak lagi 9 Februari.
Dan masih seperti kemarin, badai belum juga mereda. Dua belas orang masih tidak bisa bergerak keluar, kecuali dengan berat dan engan untuk sekedar buang air. Frame-frame penyangga tenda mulai hancur satu demi satu, bahkan pintu tenda tidak lagi bisa ditutup rapat. Entah masih cukupkah persediaan makanan untuk melalui detik demi detik hingga badai ini mengijinkan kaki-kaki kecil ini melangkah, menemukan arah jalan yang bisa membawa kami turun. Arah yang benar, bukan seperti kemarin yang hanya berputar-putar tidak tentu arah. Bahkan tali penuntun dan pemersatu itu pun tidak bisa menyatukan langkah untuk bersama-sama menemukan jalan. Badai ini terlalu berat untuk dilalui. Apalagi kondisi beberapa kawan mulai terserang gejala hipotermia, waktu untuk pulang harus tertunda lagi. Barangkali memang harus dilalui badai panjang ini.
‘Janganlah berjalan di depanku aku mungkin tak dapat mengikuti. Janganlah pula berjalan di belakangku aku mungkin tak dapat memimpin, tetapi berjalanlah seiring bersamaku dan jadilah sahabatku…’ Kalimat dari Albert Camus yang kemarin kujadikan tema makalah filsafat manusiaku terlintas di tengah kepasrahan dan keputusasaan yang kian menjadi.
Benar, kita harus terus bersama, tidak ada yang boleh jalan sendirian. Kita harus satukan hati untuk tetap bertahan. Tidak ada lagi yang akan merintih sendirian, tidak boleh ada pertengkaran, tidak akan ada lagi yang merasakan lapar kehabisan makan. Tangan kecil ini siap untuk berbagi kehangatan, kawan.
Tidak lagi dalam lindungan tenda dan balutan sleeping bag, hanya berlindung di antara bongkahan batu dan cerukan, mimpi-mimpi buruk mulai menghantui setiap kepala. Khawatir dan putus asa (barangkali) menjadi sesuatu yang wajar dalam kegelapan dan hantaman badai ini. Menghitung detik demi detik berharap pagi akan segera datang.
Pekat masih menyelimuti tanah Slamet, matahari hanya tampak seperti bola keputihan, tanpa memberikan kehangatan yang sanggup menggantikan dingin ini meski untuk sesaat. Pasir dan kerikil masih asyik berlarian, sesekali menabrak makhluk-makhluk asing yang menggigil kedinginan. Sakit, tentu, tapi semua hanya bisa dirasakan sendiri, bukan saat yang tepat untuk mengumbar keluhan. Bertahan dan terus bertahan untuk bisa melalui badai dan menemukan hari yang berlangit biru itulah satu-satunya yang bisa dilakukan.
Jumat telah berlalu di belakang. Kurang lebih 90 jam tubuh kurus ini mempertahankan hidupnya dalam balutan badai bersama sahabat. Akankah dia mampu untuk tetap seperti beberapa hari ini, sampai (barangkali) akan datang pada mereka pertolongan dan akankah malaikat–malaikat kehidupan memihak pada mereka yang bersembunyi dan berlindung dalam sempitnya cerukan ini?
Entah. Aku sendiri mulai dijamah kedinginan yang hebat, sesak membuatku tidak mampu lagi tersenyum dan membagi hangat tanganku pada kawan-kawanku. Menangis dan terus menguatkan diri, itulah yang bisa kulakukan untuk menanti pagi. Aku harus bisa lalui dingin ini. Aku... tidak... boleh... kalah…
“Ya, kamu harus bisa bertahan untuk menanti datangnya pagi. Kamu telah lalui puluhan jam di sini, dan kamu mampu sampai detik kedinginan tertinggi ini. Yakinlah, kamu harus bisa bertahan, jangan menyerah hanya untuk menunggu esok hari.” Tidak tahu dari mana suara itu, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Dan aku akan bertahan…
***
Tim Kaliwadas I
Menjelang pukul sepuluh pagi badai mulai melunak walaupun sebenarnya masih terhitung bertiup kencang. Situasi ini membuat tim Kaliwadas I yang dipimpin Iis lupa pada keputusan dan kesepakatan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak dan turun melalui jalur Baturaden.
“Melihat badai kemarin, aku khawatir kalau kita memaksa tetap melanjutkan ke puncak,” kata Dodo di tengah tengah makan pagi. Dodo adalah salah satu pendamping di pendakian ini. Selain Dodo anggota lain adalah Masrukhi.
“Memang kenapa, Mas?” tanya Dewi ingin tahu.
“Ya aku khawatir aja kalau badai datang lagi. Mungkin kita terjebak di tengah perjalanan, mungkin juga terserang mountain sickness, hypothermia, tersesat, jatuh atau kejadian lain yang di luar perkiraan kita…” kata Dodo memberikan penjelasan. Dewi hanya manggut - manggut mengiyakan. Walau sebenarnya dia juga tidak tahu bagaimana kondisi di puncak, bagaimana gejala mountain sickness atau hypothermia. Dia hanya tahu sebatas teori seperti yang tertulis pada diktat pendidikan dasar. “Tapi kalau misalnya kita gagal sampai puncak, pasti kalian kecewa” Dodo menambahkan.
Tim yang terdiri dari Gentur, Dewi, Bregas, Fauzan, Dodo dan Masrukhi itu akhirnya bertekad untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Badai tidak lagi datang sampai batas waktu yang mereka perkirakan meski kabut masih saja menyelimmuti lereng Gunung Slamet. Dengan perbekalan lampu senter sebagai pedoman dan penerang jalan menembus kabut, serta peluit satu-satunya alat komunikasi.
Dalam perjalanan setiap orang melindungi diri mereka dari hempasan badai. Bregas mengenakan jaket dilapisi ponco yang diikat dengan tali rafia di pinggang, Iis menggenakan baju lengan panjang dan dilapisi ponco yang juga diikat di pinggang, Dewi melapisi pakaiannya dengan raincoat, Gentur mengenakan jaket dan dilapisi dengan raincoat yang sudah tidak waterproof ditambah dengan helm yang dibawa dari rumah untuk melindungi kepala dari rontokan batu, Fauzan menggenakan dua lapis celana raincoat dan melapisi bajunya degan raincoat yang masih waterproof, Masrukhi mengenakan celana pendek dan melapisi bajunya dengan raincoat, demikian juga dengan Dodo—hanya bedanya raincoat Dodo dipastikan sudah tidak waterproof.
Entah mengapa waktu itu mereka kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, padahal mereka sudah memutuskan untuk turun, namun semuanya terjadi begitu saja. Mungkin juga karena ego yang terlalu besar untuk mencapai puncak. Atau kekhawatiran tidak akan diterima menjadi anggota karena gagal melakukan pendakian wajib? Entahlah. Yang pasti mereka memantapkan diri untuk menyentuh puncak Tugu Surono di ketinggian 3432 mdpl.
Beberapa saat setelah meninggalkan batas vegetasi mereka berhenti sejenak untuk mengisi botol minum yang telah kosong dari air di cerukan. Masrukhi berjalan di depan dan sesekali hilang dari pandangan tertutup kabut, dengan peluit dan teriakan mereka menyuruhnya berhenti. Sementara seperti perjalanan sebelumnya, Dodo berjalan paling belakang.
Sejak meninggalkan ceruk di mana mereka mengambil air, angin kembali bertiup dengan kencang disertai hujan yang datang dari arah samping. Badai datang kembali, bahkan lebih dahsyat. Seketika semua mulut terkunci. Semua dengan kedinginan yang menyusup begitu hebat dan pikiran yang barangkali tidak lagi sama. Jari-jari perlahan kaku, otot-otot wajah sulit digerakkan karena kedinginan. Sering terjadi batu yang mereka injak rontok dan berjatuhan mengancam keselamatan anggota tim yang berjalan di belakang. Beruntung jika hanya kerikil yang berlarian lepas, tapi ketika batu sebesar kepala mulai rontok dan menghantam batuan yang lain hingga melenting, siap menghantam kepala mereka... begitu mengerikan.
Kejadian ini membuat mereka berjalan sangat hati-hati dan pelan. Berjalan bergantian, satu berjalan naik yang lain diam di tempat yang aman dari longsoran. Di situasi yang tidak menyenangkan ini, tiba-tiba Masrukhi terpeleset. Beruntung dia mampu menghentikan proses jatuh itu sehingga tidak melorot jauh ke bawah.
Setibanya di bibir kawah mereka melanjutkan perjalanan menyusuri bibir kawah ke arah kanan menuju Tugu Surono (puncak tertinggi). Tiba di Tugu Surono, meluapkan rasa syukurnya Gentur bersujud diikuti oleh Iis, Dewi, Fauzan dan Bregas. Sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dodo datang dengan tergopoh-gopoh mengabarkan kalau Masrukhi tidak mampu lagi berjalan dan berada di bibir kawah. Rencana foto di puncak untuk mengabadikan moment di Tugu Surono lenyap bersama deru angin yang kian menjadi.
Gentur, Bregas dan Fauzan kembali turun. Masrukhi sudah tidak mampu berjalan, bahkan merangkak pun sudah sangat kepayahan. Dengan kekuatan yang masih ada, Masrukhi berjalan dengan dipapah Bregas dan Fauzan, sementara Gentur membawakan cariernya. Dengan susah payah Fauzan dan Bregas membawa Masrukhi untuk bergabung dengan yang lain di Tugu Surono. Di bayang-bayangi kawah yang mengangga di kiri mereka, setiap saat badai bisa saja melempar tubuh mereka ke dalamnya. Mereka masih berjuang, sementara Iis dan Dewi bersama Dodo sedang mempersiapkan tenda sebagai perlindungan darurat.
“Sepertinya Masrukhi terserang hypothermia,” begitu kata Dodo.Tanpa bantahan dan tanpa diskusi lebih panjang, pertolongan skin to skin harus segera diberikan. Dengan sisa panas tubuh yang masih ada Bregas mendonorkan panas tubuhnya untuk Masrukhi. Suasana semakin mencekam, sesekali Masrukhi mengigau.
“Ambil kanan… kanan…” begitu-begitu saja kalimat yang dia ucapkan saat mengigau. Barangkali alam bawah sadarnya masih terbawa ketika mereka masih berada di bibir kawah. Hypotermia yang menyerang Masrukhi cukup serius, dia tidak bisa merespon apa pun. Teman-temannya sampai terpaksa menamparnya saat dia menunjukkan tanda-tanda akan tidur. Dia tidak boleh tidur, sedetik pun.
Part 8
Badai belum mereda. Angin semakin liar mengirimkan hawa dingin ke dalam tenda. Gentur memaksakan diri untuk keluar dan membongkar satu tenda yang masih rapi tersimpan dalam carier. Di tengah hujan pasir dan hantaman badai gunung, Gentur berhasil melapisi tenda dengan tenda yang lebih besar, dia juga berhasil membawa pudding hungkwe yang rencananya akan disantap saat pesta puncak. Suhu dalam tenda sedikit lebih hangat karena angin tidak lagi masuk. Masrukhi juga menunjukkan kondisi yang mulai membaik, dia sudah bisa merespon ucapan teman-temannya meskipun yang dia katakan tidak pernah berhubungan dengan apa yang teman-teman bicarakan. Untuk sedikit mengganjal perut, Iis memberanikan diri menyuapi Masrukhi. Dengan kadar lemak, tepung dan gula yang ada pada hungkwe mereka berharap Masrukhi sedikit mendapat tenaga. Meskipun mereka tidak berharap lebih bahwa itu akan membuatnya pulih dan mampu melanjutkan perjalaanan ini.
Setelah makan pudding, nampaknya Masrukhi teringat rencana pesta puncak yang direncanakan. Dalam keadaan setengah sadar berulang kali Masrukhi meminta Coca-cola. Jelas saja mereka tidak menuruti keinginannya mengingat suhu yang terlalu dingin untuk seorang penderita hypothermia.
Lambat laun kesadaran Masrukhi membaik. Kalimat dan ucapannya mulai terarah. Bahkan beberapa kali dia mengucapka kata-kata dalam bahasa Tegal yang terdengar sangat menggelikan di telinga teman-temannya. Usaha dan penantian di puncak Tugu Surono tidak sia-sia. Masrukhi sudah mulai bisa bercanda lagi.
“Sepertinya suhu tubuh Masrukhi mulai pulih. Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera tiba di batas vegetasi hari ini juga. Kita akan mendirikan camp di sana untuk memulihkan suhu tubuh dan tenaga kita, sebelum turun melalui jalur Bambangan,” usul Dodo yang langsung mendapat persetujuan teman-teman yang lain.
Rasa lelah dan kedinginan menghantui setiap anggota tim. Tapi mereka harus bergerak dan mengemasi barang-barang untuk melanjutkan perjalanan turun ke batas vegetasi. Di luar perkiraan, ketika teman-temannya siap melanjutkan perjalanan, rupanya Masrukhi belum mampu mengangkat cariernya sendiri. Gentur mendekat dan membantunya mengangkat carier sementara yang lain sudah berjalan perlahan di depan. Masrukhi mencoba berjalan, tapi kondisi fisiknya belum seratus persen pulih, kakinya belum kuat menopang berat tubuh dan cariernya, jalannya sempoyongan dan terseok seperti orang mabuk.
“Do! Lebih baik kita ngecamp lagi, Do. Supaya dia bisa istirahat. Kalau begini caranya, kita maksain turun, kita bisa bunuh dia, Do!” suara Fauzan memecah kepayahan di antara gemuruh angin.
“Iya, kita akan buka camp lagi,” jawab Dodo tegas.
Iis, Dewi dan Bregas yang sudah berjalan beberapa meter di depan dipanggil kembali. Tenda mereka dirikan di tempat sama. Angin bertiup lebih hebat—bahkan tenda yang mereka dirikan terlipat hingga sudutnya bertemu. Carier mereka masukkan lebih dulu untuk mengganjal kerangka tenda agar tidak patah. Setelah tenda didirikan angin masih saja menghajar tenda mereka, terpaksa mereka harus duduk di atas carier dan menahan goncangan kerangka tenda dengan punggung. Semua terjaga, duduk di sudut tenda sementara Masrukhi berada di tengah, posisi yang dirasa paling hangat dan terlindung.
Waktu terus berputar, tapi hari masih sama. Sepanjang siang mereka berjuang menghadapi badai, terjatuh terseok, dua kali mereka harus mendirikan tenda darurat karena teman mereka terserang hypothermia. Mereka coba untuk bersabar dan terus berdoa sebisa mungkin. Mereka tidak bisa menjalankan sholat dengan selayaknya, karena tidak bisa bergerak lebih leluasa selain meringkuk dan berjongkok untuk menghadap Tuhan. Mereka hanya berharap besok hari dapat melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Akhirnya pagi datang. Udara dingin membuat mereka malas untuk segera membongkar tenda. Beberapa saat lamanya pagi mereka lalui dengan bermalas-malasan di dalam tenda sambil mengumpulkan energi yang terkuras seharian kemarin. Satu demi satu perlengkapan mereka benahi dan saat packing pagi itu mereka menyadari beberapa barang yang mereka letakkan di luar tenda hilang. Mungkin diterbangkan oleh angin. Tanpa menghiraukannya, mereka bergegas lanjutkan perjalanan menuju Bambangan.
Untuk pertama kalinya Dodo berjalan paling depan. Kabut masih menyelimuti dan angin masih cukup kencang—meski tidak sekencang kemarin. Satu satunya pedoman yang mereka jadikan penunjuk jalan adalah sampah.
“Kita ikuti sisa-sisa sampah. Biasanya sampah akan banyak berserakan di sepanjang jalur pendakian,” begitu kata Dodo memberi pentunjuk.
Mula-mula jalan yang mereka lalui cukup jelas meski tersamar oleh kabut, hingga suatu ketika mereka harus berjalan naik dan itu membuat mereka ngos-ngosan.
“Lho, Do! Kita kan mau turun, kok malah naik lagi?”
Mendengar pertanyaan itu Dodo menghentikan langkahnya dan kembali turun bergabung dengan teman-teman yang mengikutinya di belakang.
“Tur, dirimu di depan, nyari jalan!” kata Dodo kemudian. Tanpa pertanyaan dan bantahan Gentur berjalan di depan dan mulai membantu Dodo mencari jalan.
Keduanya berjalan turun mengikuti sampah yang berserakan hingga pada suatu saat mereka menyadari sampah sudah tidak mereka temui, mereka tidak lagi berjalan mengikuti sampah tapi mereka mencari sampah… dan mereka tidak lagi menemukan petunjuk itu.
“Do… Tur.. berhenti…!” terdengar teriakan dari belakang. Seketika Gentur dan Dodo menghentikan langkah. “Masrukhi sakit!”
“Bawa turun ke sini, di cerukan..!” Dodo menanggapi teriakan itu. Cerukan itu satu-satunya tempat yang dirasa paling terlindung dari hembusan angin yang terlalu kuat.
“Nggak bisa, Mas,” jawab Iis kemudian. Sesaat tidak ada lagi suara.
“Tur, dirimu naik, bantu mereka. Aku sudah tidak kuat lagi…” kata Dodo lirih tapi cukup jelas terdengar di telinga Gentur. Ada ragu di mata Gentur dengan apa yang baru saya didengarnya.
‘Aku tidak kuat lagi…’ ulang Gentur dalam hati. Ada rasa yang mengganjal di benak Gentur. Dan itu membuatnya tidak begitu bersemangat untuk naik dan melihat kondisi Masrukhi. Egonya mulai bermain di detik itu.
Karena dia senior dan pendamping, pastilah dia kuat, batin Gentur lagi. Tanpa dia tahu, rupanya Dodo terserang kram otot. Dodo menyandarkan tubuhnya di batuan cerukan sementara Gentur menemui teman-temannya untuk memberikan bantuan. Di tengah perjalanan dia bertemu Dewi.
“Wi, kamu temani Dodo. Dia ada di cerukan situ,” kata Gentur memberi petunjuk. Dewi Tidak menjawab apapun selain terus berjalan mengikuti petunjuk Gentur.
Di tempat lain, carier Masrukhi sudah berada di dasar jurang. Fauzan dan Bregas sekuat tenaga menahan tubuh Masrukhi yang hampir terjatuh. Dia mulai mengigau lagi, kata-kata yang dia ucapkan sudah tidak terbaca. Masrukhi terserang hypotermia lagi, dan sekarang lebih parah. Posisi yang nyaris masuk jurang dan keadaan lereng yang curam ditambah kondisi fisik yang telah terkuras membuat usaha membawa Masrukhi ke dalam cerukan sulit dilakukan.
Di antara himpitan batuan Gunung Slamet, tiupan badai dan keinginan untuk menyelamatkan seorang sahabat, terdengar suara rombongan pendaki lain. Hanya suara. Dan dari suara itu menunjukkan rombongan itu tidak terlalu jauh dari posisi mereka.
“Tolong…!” teriak Gentur meminta tolong. Beberapa kali dia berteriak ke arah rombongan itu, tapi sepertinya tidak ada seorang pun yang membalas. Tidak kehilangan akal, Gentur meniup peluit sekeras-kerasnya. Berharap kali ini isyarat itu terdengar dan pertolongan akan datang.
Tidak sia-sia, samar-samar Gentur mendengar rombongan itu memberi jawaban, tapi sayang tak seorangpun yang mendengar dengan jelas apa jawaban rombongan itu. Untuk memperjelas komunikasi dan meminta bantuan, Dewi berusaha mendekati rombongan itu.
Tidak berapa lama, salah satu anggota rombongan mendatangi mereka di cerukan. Saat itu kondisi fisik dan mental mereka sangat menurun. Kondisi tempat yang miring, sempit dan tidak rata membuat mereka tidak bisa mendirikan tenda untuk menolong Masrukhi. Satu-satunya yang bisa menghangatkan dia hanyalah sleeping bag. Masrukhi berada di pangkuan Dodo dan Iis. Pendaki itu memeriksa kondisi Masrukhi yang mulai mengerang kesakitan. Kemudian pendaki itu meminjamkan jaket merahnya untuk dipakai Masrukhi.
“Jalur pendakian di sebelah mana, Mas?” tanya Gentur pada si pendaki.
“Di sebelah kanan, tapi dari sini bisa juga turun, nanti di bawah ketemu,” jawabnya.
“Teman-temanmu bisa dibawa ke sini nggak, Mas?” tanya Dodo.
“Teman-teman saya sudah berada di batas vegetasi, Mas. Oiya, carier Mbak Dewi yang mana ya?”
Mereka tidak mengerti maksud jawaban si pendaki. Spontan mereka tunjukkan carier Dewi dan pendaki itu segera menyandangnya di punggung. Dewi akan turun bersama rombongan pendaki itu.
Bayangan tubuh Dewi dan sekelompok pendaki tersapu kabut, menghilang di balik bebatuan puncak Gunung Slamet. Seperginya mereka, Gentur, Bregas dan Fauzan masih berusaha menolong Masrukhi. Tetapi belum sempat jaket pinjaman itu melindungi tubuh Masrukhi, tangan Masrukhi bergerak. Seolah ada yang ingin dia gapai. Tidak berlangsung lama, tangan itu perlahan melemas dan tidak bergerak sama sekali. Sekejap sunyi menelan mereka. Hanya terdengar suara deru angin dan bebatuan yang bertumbukan dengan batuan lain.
Part 9
“Kalau Ruki meninggal, berarti dia meninggal di pangkuanku,” kata Dodo. Rasa tidak percaya, sedih, dan bermacam rasa lain berkecamuk di benak mereka. Tapi mereka sadar, mereka tidak boleh larut dalam situasi ini. Mereka harus tetap berjuang dan mencari jalan keluar.
Dengan berat mereka tinggalkan Masrukhi dan tetap menyelimutinya dengan sleeping bag lalu dilapisi ponco. Mereka tidak mampu membawanya serta.
“Itu sleeping bagnya nggak kita bawa sekalian aja, Do?” tanya Fauzan melihat mereka meninggalkan sleeping bag untuk selimut Masrukhi.
“Nggak usah, siapa tahu nanti dia bisa bertahan,“ jawab Dodo. Sebuah harapan dan doa terucap dari bibirnya. Sekali lagi tidak ada bantahan atau apa pun untuk mempertanyakan pendapatnya.
Tim yang tersisa hanya 5 orang; Dodo, Gentur, Fauzan, Iis, dan Bregas. Di tengah perjalanan hujan kembali turun. Membuat jalan yang mereka lalui berubah menjadi sungai kecil. Batu yang mereka injak di jalur itu jadi sangat licin—kemiringan medan juga curam. Tiba-tiba Fauzan terpeleset dan jatuh tergelincir sepanjang jalur yang telah dialiri air. Badannya merosot hingga berpuluh meter bahkan hilang dari pandangan keempat temannya. Serta merta, Gentur, Iis, dan Bregas mempercepat langkah untuk mengejar Fauzan.
Fauzan mereka temukan diam terduduk dalam genangan air dengan kondisi yang basah kuyup. Beruntung dia tidak cedera dan mampu berjalan lagi. Namun di luar perkiraan, dan tidak terpikirkan oleh Gentur, Iis maupun Bregas… mereka kehilangan kontak dengan Dodo saat melakukan pengejaran Fauzan. Rupanya Dodo kurang cepat mengikuti pergerakan ketiga sahabatnya.
Tersisa empat orang yang masih bisa dalam jangkauan komunikasi. Mereka berharap Dodo baik-baik saja dan akan segera menyusul.
“Lihat, kalian bisa lihat. Kita sudah dekat dengan batas vegetasi...” teriak Gentur sambil menunjuk di kejauhan. Samar samar terlihat deretan pohon perdu. Keempat sahabat itu mempercepat langkah untuk segera sampai batas vegetasi. Dengan tertatih dan memaksimalkan tenaga yang masih tersisa Iis dan Gentur bergegas mendirikan tenda di tanah yang sedikit miring, namun masih cukup untuk berdiri satu tenda ukuran kecil. Sementara itu Bregas yang menemani Fauzan berjalan juga mulai kepayahan. Hingga tenda didirikan mereka belum terlihat, padahal jarak mereka tidak terlalu jauh. Tercekat sesaat mendapati Bregas yang berjalan kepayahan seorang diri meninggalkan Fauzan, Iis memberanikan diri kembali jalan ke atas untuk menjemput Fauzan.
“Bertahanlah, Zan, tenda tidak jauh dari kita….” Menahan galau yang amat angat, Iis memberikan semangat atau setengah memohon pada Fauzan.
Kondisi Fauzan jauh menurun, dia sudah sangat kesulitan untuk berjalan, merangkak pun terasa berat untuknya. Sementara di dalam tenda Gentur melakukan pertolongan semampunya untuk Bregas.
“Ayo, tinggal beberapa meter lagi, Zan…” kata Iis sambil menunjuk tenda, seolah dia ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak berbohong saat mengatakan tenda sudah dekat.
Tenda kapasitas 4 orang itu bergoyang tak karuan tertiup angin, sesekali batuan menghantam, tapi di sini lebih baik daripada di puncak kemarin.
“Tur, bantu aku!” teriak Iis meminta pertolongan.
Fauzan tidak bisa bergerak lebih jauh lagi. Tubuh dan cariernya sudah menyatu dengan tanah. Menggendongnya jelas tak mungkin Iis lakukan. Ukuran tubuh Iis terlalu kecil untuk bisa menggendong Fauzan yang notabene seorang atlet renang. Tidak ada sahutan dari dalam tenda. Hati Iis makin risau. Pun dia tidak bisa membiarkan Fauzan semakin lama berada di titik ini. Iis melepaskan carier dari tubuh Fauzan dan menghempaskannya ke tanah. Sekuat tenaga, Iis menyeret Fauzan ke dalam tenda.
“Is, keluarkan sleeping bagmu, sepertinya Fauzan terserang hypothermia,” kata Gentur.
Bregas tidak banyak bicara, meski dia memang pendiam tapi diamnya kali ini berbeda dengan biasanya. Dia juga tidak memberikan bantuan apapun. Tubuhnya meringkuk di pojok tenda, wajah putihnya terlihat pucat.
“Aku akan bagi panas tubuhku ke Fauzan,” kata Gentur kemudian. Entah kalimat itu ditujukan untuk siapa. Saat itu juga, Bregas mulai muntah-muntah. Kelelahan yang sudah terlalu.
“Santai kawan, kalau kita masih punya semangat hidup, kita pasti selamat kok.,” kalimat itu berulang kali diucapkan Iis. Dia tidak peduli ada tanggapan atau tidak.
Hari makin gelap. Tidak banyak yang bicara, hanya Iis yang masih sanggup mengeluarkan kecerewetannya dengan mengulang kalimat yang sama. Kelegaan mulai menyelinap di tengah gelapnya malam. Fauzan mulai membaik. Tapi kelegaan itu sirna saat Fauzan bicara, meski pelan dan terdengar agak kurang jelas.
“Dodo mana?” tanyanya lemah.
Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan itu. Iis dan Gentur hanya saling pandang. Sesaat mereka bersamaan menatap Bregas yang masih belum bergerak di pojok tenda.
“Gas, kamu sakit?” tanya Fauzan lagi. Bregas menggeleng pelan.
“Aku hanya butuh istirahat sebentar kok…” Jawaban itu terdengar sangat lirih.
Meski rasa perih dan nelangsa menghantui suasana hati keempat sahabat itu, tapi mereka tidak ingin memanjakan rasa itu. Serta merta mereka membangunkan keberanian dan semangat untuk hidup di tengah ketidakpastian ini. Ketidakpastian untuk selamat, ketidakpastian nasib Masrukhi dan Dodo, ketidakpastian bantuan yang dicari oleh Dewi, ketidakpastian kondisi Bregas dan Fauzan, ketidakpastian apakah mereka mampu bertahan dan keluar dari lingkupan badai dan jalan tanpa arah ini.
“Kalau saja kemarin peta itu terbawa…” gumam Bregas mengejutkan. Rupanya sepanjang hari ini, itu yang mengganggu pikirannya. Ya, pedoman jalan dan jalur pendakian Gunung Slamet yang seharusnya bisa menjadi penuntun arah bagi perjalanan tim Kaliwadas I tertinggal di kos Bregas. Terakhir kali peta itu mereka pelajari bersama, jalur mana yang akan mereka gunakan untuk naik dan turun. Kontur yang begitu rumit dan hampir sama jelas tidak terekam dalam ingatan mereka, altimeter yang seharusnya juga bisa membantu menentukan ketinggian mereka sekarang juga hilang, begitu juga dengan kompas. Yang mereka ingat hanya jalur naik dari Desa Kaliwadas, Kabupaten Bumiayu, turun di Desa Bambangan, Kabupaten Purbalingga, itu saja. Lalu bagaimana mereka bisa keluar dari dataran tinggi sebesar Gunung Slamet, hutan lebat sesubur ini tanpa semua itu?
“Sudah lah, Gas, jangan diingat dan diungkit lagi…” kata Iis. Dia masih sibuk mengaduk bubur survivalnya. Paduan tepung terigu, esteemje rasa coklat yang dicampur dengan sedikit air, jadilah bubur rasa coklat dengan sedikit nuansa hangat rempah jahe. Tenda sekecil itu terlalu sempit untuk keempat sahabat itu bergerak leluasa. Gentur masih memaksimalkan pembagian panas tubuhnya pada Fauzan, sementara Bregas tertunduk lemas meringkuk di balik jaketnya yang lembab. Ada isak yang coba dia sembunyikan.
“Gas, makan dulu. Aku buat bubur coklat,” tanpa ragu Iis menyuapi ketiga sahabatnya. Iis yang biasanya jutek, galak dan keras kepala detik itu terlihat begitu keibuan, manis dan memancarkan kehangatan yang luar biasa di dalam tenda.
“Zan, Gas… kalian harus makan lebih banyak biar kalian bisa jalan lagi…” katanya kemudian, merayu. Sesekali dia coba tersenyum, “kita pasti bisa” itu yang terbaca dari senyumnya.
“Eh Is, gigimu kok hilang satu?” selidik Gentur mendapati ada yang kurang dari barisan gigi putih Iis. Iis mengangguk dan tertawa kecil.
“Tapi tetep cantik kan?” selorohnya kemudian, seolah ingin menghadirkan tawa dari giginya yang tanggal satu. Bregas tersenyum, Fauzan menahan tawanya di dalam sleeping bag. Gentur mencibir ambil menahan tawanya yang ingin meledak.
“Cewek satu ini memang gila, ditengah kondisi yang ga jelas kaya gini, hampir mati pula, masih aja becanda...”
Perbekalan semakin menipis, kondisi fisik dan mental mulai terkikis. Gentur merasa sudah saatnya bertindak lebih dari sekedar menunggu bantuan. Dia sendiri tidak yakin bantuan yang dicari Dewi akan datang. Masih terbayang bagaiamana ganasnya badai sepanjang hari kemarin. Gentur ragu Dewi bisa melewati badai itu dan selamat tiba di Bambangan lalu berhasil mencari bantuan.
“Is, kalau kita berjalan menyamping ke kanan, ke selatan, kita pasti bertemu jalur Bambangan,” kata Gentur suatu pagi, sambil terus berusaha membuat api dari sisa bahan bakar dan sampah yang bisa terbakar.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Iis. Angin sudah tidak begitu kencang, bahkan pagi ini begitu cerah. Matahari bersinar dan langit biru ini tidak bisa disia-siakan. Meski Bregas dan Fauzan belum pulih sepenuhnya, tapi matahari yang menghangatkan tenda mereka cukup memberi semangat untuk bertahan.
“Kamu ingat, Masrukhi kemarin pernah bilang kalau jalur pendakian ada di sebelah kanan. Dan hal yang sama juga dikatakan pendaki yang kemarin kita temui…”
“Tapi itu kemarin, ketika kita masih di atas. Sekarang kita sudah di batas vegetasi. Aku sendiri tidak yakin kalau kita masih sejalur dengan posisi terakhir kita saat masih bersama Masrukhi, Dodo, Dewi dan pendaki itu…” Suara Iis melemah saat menyebut nama ketiga sahabat yang entah di mana dan bagaimana nasib mereka saat ini. “Oiya, Tur… apa tidak lebih baik kita coba cari Dodo, selagi cuaca baik.”
Kening Gentur berkerut, tak mengerti bagaimana menanggapi usulan Iis.
“Iya kita naik ke atas lagi,” Iis coba meyakinkan.
Untuk beberapa lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Iis menatap ke atas puncak Gunung Slamet. Berharap dia akan melihat Dodo berjalan ke arah mereka, meski dengan langkah yang kepayahan atau merangkak sekalipun... Iis terus berharap.
“Aku kurang sepakat, Is. Kali ini aku menolak usulanmu…”
“Kenapa?” tanya Iis setengah berteriak. “Kita ga bakal tahu kondisi Dodo kalau kita ga coba cari dia lagi, Tur. Bahkan kita ga tahu kondisi terakhir dia, kita semua meninggalkan dia untuk mengejar Fauzan. Kita ga bisa meninggalkan dia begitu aja kan? Kita harus temukan dia. Mungkin saja dia masih hidup, dan kemarin dia berlindung di cerukan, atau pagi ini dia sedang jalan ke arah kita, atau….”
“Is, tenanglah...” pinta Gentur, sedikit memaksa.
Iis masih terus berharap. Berharap Dodo selamat, berharap Gentur mau mencari Dodo ke atas.
“Is, kamu lupa, kita disini tidak hanya berdua. Ada Fauzan dan Bregas yang juga membutuhkan keberadaan kita. Mereka masih butuh perawatan dan pengawasan, kita ga bisa meninggalkan mereka, meski hanya untuk ke atas sebentar…”
“Kita bisa berbagi tugas kan? Kau yang keatas cari Dodo, aku yang jaga mereka di sini…”
“Is, lebih baik kita selesaikan masak dulu. Mereka butuh tenaga lebih dari kita.” Gentur mengalihkan pembicaraan. Setengah hati Iis menyelesaikan bubur berasnya. Tidak ada bahan makanan lain selain seperempat beras dan dua bungkus mie instan.
“Selesai makan, kita bicarakan lagi bagaimana baiknya,” kata Gentur kemudian. Acara makan pagi hari itu terasa sangat menyiksa batin Iis. Sekali lagi dia harus menyuapi Bregas dan Fauzan karena mereka masih lemas untuk bergerak. Sementara Gentur bermain dengan pikirannya di luar tenda. Masih terngiang di telinga dan pikiran gentur, ‘jalur pendakian ada di sebelah kanan’. Itu artinya dengan bantuan cahaya matahari dia bisa sedikit terbantu untuk menentukan arah. Aku hanya butuh jalan ke selatan, batinnya meyakinkan dirinya sendiri.
“Is, kamu benar. Kita nggak bisa selamanya diam disini…”
Part 10
“Iya, kita harus mencari Dodo,” Iis menyahut dengan harapan yang lebih. Dia mulai merapikan kembali alat masaknya, mengepaknya ke dalam kantung makan. Sepatu lapangan juga sudah dia kenakan, dan dia melapisi jilbab birunya dengan jilbab parasut agar lebih hangat. Meski matahari mulai tampak, tapi hawa dingin gunung masih terasa.
“Tidak, kita tidak akan ke atas. Kita akan ke bawah.”
“Maksudnya?” Iis menghentikan kegiatannya sesaat.
“Is, kamu sadar nggak kalau kita telah bergeser…”
“Iya aku tahu itu, lalu kenapa?”
“Kita telah bergeser dari posisi yang akan dilaporkan Dewi, itu juga kalau Dewi selamat sampai Bambangan…”
“Tur, kita harus yakin kalau Dewi akan berhasil, kita akan selamat, kita cari Dodo sambil kita menunggu pertolongan. Dewi pasti berhasil, Tur…!”
“Seberapa yakin kalau Dewi akan berhasil dan pertolongan akan segera datang?” kata Gentur mempertanyakan keyakinan Iis. Iis terdiam, dalam hatinya pun dia tidak seyakin itu.
“Kalau pun Dewi selamat dan berhasil mencari pertolongan, aku tidak yakin mereka akan menemukan kita. Posisi kita bergeser jauh dari terakhir kita bertemu dengan pendaki itu, Is. Dan yang akan dilaporkan Dewi adalah posisi terakhir kita, ketika Dewi masih sama-sama kita. Itu yang membuatku tidak yakin pertolongan akan segera datang…”
Kedua sahabat itu tertunduk dengan sesekali menengadah ke langit-langit menyembunyikan tangis yang tidak tepat untuk dikeluarkan. Tangis hanya akan menambah berat langkah dan melemahkan, pikir mereka.
“Is… Tur…” terdengar suara Bregas memanggil lirih kedua sahabatnya. Seketika Iis dan Gentur melesat masuk ke dalam tenda. Didapatinya Bregas yang sedang memeluk Fauzan erat. Wajah Fauzan putih pucat. Suasana mendadak kalut. Kehangatan sinar matahari tidak lagi bisa dirasakan. Sekujur tubuh Fauzan dingin, matanya juga terpejam. Iis coba menampar wajah Fauzan tapi tidak ada perubahan yang berarti. Bregas merapatkan pelukannya. Dia tahu benar, kondisinya belum sepenuhnya pulih, tapi dia tidak mau terus menerus diam melihat kedua temannya kerepotan mengurus Fauzan dan dirinya.
“Zan…!! Bangun! Buka mata kamu!” teriak Gentur keras dengan terus menampar wajah Fauzan. Satu jam, dua jam terlewati dengan usaha menyelamatkan nyawa seorang sahabat. Mereka tidak mau kehilangan lagi. Sudah cukup mereka menyaksikan kepergian Masrukhi, kehilangan jejak Dodo yang sampai siang tidak juga ada yang bisa diharapkan. Dimana dia sekarang, selamat atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
“Is, kita harus secepatnya membawa Fauzan dan Bregas turun…” kata Gentur setelah Fauzan menunjukkan tanda-tanda membaik. Bregas masih menemani Fauzan di dalam tenda. “Iya, aku tahu kondisi Bregas tidak sebaik yang dia tampakkan tadi. Aku tahu dia memaksa dirinya untuk bertahan dan membantu Fauzan, dan aku tidak yakin akan sampai kapan dia mampu bertahan dan menyembunyikan rasa sakitnya… Salah satu dari kita harus ada yang bergerak turun, Is.”
“Kenapa kita tidak turun sama-sama Tur?”
“Tidak, kondisi Bregas dan Fauzan tidak mungkin kita ajak jalan. Apalagi jalan yang akan dilewati belum jelas, semua masih dalam perkiraan dan bermain dengan naluri. Coba-coba. Trial and error. Itu hanya akan menyiksa mereka dan… memperlambat perjalanan. Aku akan turun duluan.”
“Kamu yakin?” Iis menanggapi. Tidak ada sanggahan atau bantahan. Keinginan Iis untuk mencari Dodo rupanya melemah, meski harapan masih saja ada di hatinya.
“Iya, aku akan turun lebih dulu,” jawab Gentur yakin. Tapi tanpa sepengetahuan Iis, jauh di dalam hati Gentur, dia tidak sepenuhnya yakin bahwa jalur yang akan dilewatinya nanti adalah jalur yang benar menuju Bambangan atau menuju desa terdekat. Dia juga tidak yakin dia akan berhasil.
‘Aku juga tidak yakin akan sampai Bambangan hari ini juga, mungkin aku harus bermalam di tengah hutan, atau bisa jadi aku malah tersesat,’ kata gentur dalam hati. Dia Tidak berani mengungkapkan apa yang dirasakannya pada Iis, karena dia tidak mau Iis melarangnya jika dia tahu bahwa Gentur ragu dengan langkah yang akan ditempuhnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Gentur mengganti pakaian lembabnya dengan sisa pakaian kering yang masih ada. T-shirt lengan pendek, celana panjang yang dilapisi dengan celana raincoat milik Fauzan. Melihat Gentur hanya memakai t-shirt tipis tanpa dilapisi dengan yang lain, Iis memberiikan flannel lengan panjangnya. Sesaat gentur ragu untuk menerimanya karena Iis pasti juga membutuhkkannya
“Pakailah, aku bisa bertahan di dalam tenda,” Iis menjawab keraguan Gentur.
Melengkapi perjalanan, Gentur membawa parang dan ponco yang masih ada di dalam carier Fauzan.
‘Fauzan tidak akan membutuhkan ini, mereka akan terlindungi di dalam tenda hingga pertolongan datang,’ pikir Gentur sambil terus mengemasi beberapa barang yang akan dibawanya. Tidak luput dari ingatannya, Gentur mengambil jam Fauzan dan memakainya di tangan kiri. ‘Kompas di jam ini akan membantuku keluar,’ batinnya yakin. Segenggam permen diberikan Iis, sekedar teman perjalanan.
“Kalian tunggu saja disini, aku akan segera mencari pertolongan,” pesan Gentur sebelum berlalu, meninggalkan Iis, Bregas, dan Fauzan.
“Hati-hati, Tur…”
**
Setengah sepuluh pagi, mengawali perjalanan seorang diri menjelajah hutan mencari pertolongan, Gentur melangkahkan kakinya sebentar ke utara, berharap akan melihat jejak sampah atau jalan setapak. Tidak membuahkan hasil. Sampah yang dia temui adalah sampah dari kelompoknya sendiri, sampah sisa masak semalam dan tadi pagi. Tapi tidak serta merta Gentur kecewa dan patah semangat. Niatnya untuk segera menemukan peradaban dan mendapatkan pertolongan membara di jiwanya. Potongan tali raffia yang masih tersisa dia kumpulkan untuk perbekalan membuat bivak jika harus bermalam di perjalanan. Satu setengah liter air diambil dari cerukan sebelum akhirnya tubuh kurus itu hilang di balik rerimbunan pohon hutan.
Di kedalaman hutan, Gentur masih terus berjalan mengikuti alur dari cerukan tempat dia mengambil air. Langkahnya terhentui ketika yang dihadapinya adalah patahan, jurang yang sangat dalam menganga. Gentur berbalik arah dan kembali ke cerukan. Mengambil arah ke selatan kemudian turun. Lagi-lagi patahan yang ditemuinya. Dia tidak mau berbalik arah lagi. Melihat patahan yang menghadang langkahnya tidak terlalu dalam, dia memutuskan untuk climdown hingga ke dasar jurang. Sesampainya di dasar, dia melanjutkan perjalanan turun.
Di sebelah kirinya ada aliran sungai, dan di seberang lembah adalah punggungan yang sangat besar, sementara di sebelah kanan, menunggu jurang yang dalam dan lebar. Gentur yang berjalan seorang diri merasa dirinya sangat kecil dihadang oleh bahaya yang bisa datang kapan saja.
Dengan sangat hati-hati, Gentur berjalan di bibir jurang sebelah kanan, sesekali dia berjalan bolak balik untuk orientasi dan memilih jalur yang dirasanya mudah. Lagi-lagi punggungan yang dilewati habis dan dia kembali berhadapan dengan jurang.
‘Jalur pendakian ada di sebelah kanan,’ Itu saja yang terngiang dan membimbingnya berjalan.
Gentur kembali menuruni lembah di sebelah kanan punggungan yang mengantarnya ke jurang terdalam, lalu berjalan ke kanan menuruni lembah dan naik ke punggungan di seberang. Vegetasi mulai rapat seingga dia gunakan parangnya untuk membuka jalan. Ada yang terlupakan olehnya, dia lupa membuat tanda jalan, Iis pasti akan kesulitan menyusulnya karena jalan yang dilewati tidak melulu jalur yang sama.
‘Ah, semoga kau tetap menunggu di tenda Is, Gas…’ katanya dalam hati menyadari kealpaannya.
Punggungan demi punggungan dilewati, tidak ada jalan setapak yang ditemui Gentur. Dia harus menggunakan parangnya untuk membukan jalan. Suatu ketika parang yang dia gunakan terlepas dari gagangnya dan jatuh ke dalam belukar yang rapat seperti teranyam. Dengan kerepotan dia mencari mata parangnya. Sial. Pencariannya sia-sia. Dengan sedikit jengkel dia melempar gagang parangnya jauh ke dasar lembah.
“Kamu gak ada gunanya lagi tanpa pasanganmu!” umpatnya.
Belukar yang lebat beberapa kali membuat gentur terperosok. Tanah yang dia pijak rupanya berupa tumpukan belukar yang tebal. Tidak ada parang, perjalanan ini akan menemukan kesulitan akan sangat menguras tenaga. Berbekal kompas milik Fauzan, Gentur memilih melangkahkan kakinya ke tenggara. Hatinya berbunga setiap kali kabut tersibak menunjukkan padanya dataran rendah yang jauh.
“Ada dataran rendah tapi mengapa tidak kulihat peradaban?” tanya Gentur keheranan. Kenyataan itu membuatnya pesimis. Itu hutan dataran rendah. Artinya, begitu tiba di kaki gunung, dia masih harus berjalan entah berapa kilometer, baru bisa bertemu peradaban, itu juga artinya pertolongan tidak akan didapatkan hari ini juga. Gentur menghentian langkahnya, membuka sebungkus permen.
“Sabar, kawan…” katanya pada diri sendiri.
Pagi telah lama berlalu, siang tak lagi terasa panasnya karena lebatnya hutan Slamet. Jam tangan Fauzan memberitahunya hari sudah beranjak sore. Dia bergegas memperpanjang langkahnya. Kemalaman sudah pasti, tapi paling tidak dia harus melanjutkan perjalanan selagi bisa. Tidak bisa mendirikan bivak di tempat yang lebih aman, di lamanya perjalanan menembus hutan, Gentur menemukan kerangka bivak—di dekatnya masih tampak nyata bekas arang pembakaran kayu. Sisa api unggun. Penemuan ini membesarkan hati Gentur.
“Pernah ada yang bermalam di tempat ini..”
Gentur masih melanjutkan langkahnya, pohon dengan sayatan dia temukan. Jejak itu semakin meyakinkan Gentur untuk terus berjalan dan berjalan. Jejak itu menghilang menjelang maghrib. Gentur terhenti di lembah sempit yang dipagari dua tebing curam. Ada aliran sungai di bawah. Dengan sangat hati-hati dia bergerak menuruni lembah. Lereng yang curam membuatnya beberapa kali jatuh melorot bermeter-meter. Untung dia masih bisa pegangan pada akar atau batang pohon yang tumbuh di atasnya.
Mengikuti aliran sungai biasanya akan membawaya sampai di desa, pikirnya menduga. Tapi malang, aliran sungai berair bening itu tidak mengantar Gentur ke desa atau ke perkebunan penduduk, melainkan ke air terjun. Segera Gentur berbalik arah, berjalan naik melawan arah aliran sungai. Malang kembali menimpa, di depan matanya tebing air terjun menjulang tinggi. Tidak mungkin dia memanjatnya.
Putus asa, dengan berbekal pengetahuan teknik hidup alam bebasnya, Gentur memutuskan untuk mencari tempat yang landai dan terlindungi di bibir sungai. Di sana dia akan mendirikan bivak dan bermalam.
Hari mendekat pada malam yang semakin gelap. Suara angin menderu. Semoga badai tidak datang lagi, harapnya cemas, memandang sekelilingnya.
‘Maaf, kawan, aku masih belum bisa keluar. Bertahanlah…’ suara hati Gentur bercakap dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dia merebahkan tubuh lelahnya di dalam bivak beralas rumput dan berselimut sarung, sesuatu terjadi di atas.
Part 11
“Zan, bertahanlah… Gentur sedang mencari pertolongan, bertahanlah…” Iis memohon pada Fauzan yang mulai mengigau menyebut nama Dodo. Ada rintihan rasa sakit yang sepertinya sudah tidak bisa lagi ditahan.
“Is, apa kita akan terus menunggu di sini?” tanya Bregas kemudian.
Iis tidak tahu harus menjawab apa. Sungguh, dia pun ingin cepat pulang. Dia juga ingin semuanya segera berakhir.
“Is, apakah kita harus meninggalkan Fauzan seperti kita meninggalkan Masrukhi dan Dodo?”
Iis tertunduk mendengar semua pertanyaan Bregas.
“Gas, kita tidak mungkin membawa Fauzan turun bersama kita...” katanya kemudian, membuat Bregas terkesiap. “Besok pagi kita turun. Kita ikuti jejak Gentur. Dia meninggalkan jejak sayatan di pohon untuk petunjuk...”
“Lalu Fauzan?”
“Terpaksa kita harus meninggalkannya di sini. Tenda dan sleeping bag ini akan melindunginya dari hawa dingin. Dia ga mungkin mampu berjalan bersama kita. Biar dia menunggu di sini hingga pertolongan datang…”
Bregas menatap Fauzan yang tertidur dibalut sleeping bag. Iis merapikan jilbab yang sudah berubah warna dan mengambil sebungkus mie instan untuk dihancurkan dan dicampur dengan bumbu.
“Lumayan, sekedar untuk camilan,” katanya, sambil menyodorkan bungkusan mie yang sudah berubah menjadi snack. “Tolong kamu jaga Fauzan, aku keluar sebentar …”
“Mau kemana?”
“HIV... hasrat ingin vivis… hehe…” Lagi-lagi gadis itu membuat Bregas tersenyum.
‘Beruntung aku bisa satu tim denganmu, Is,’ batin Bregas.
Beruntung Bregas tidak sendirian. Masih ada Iis dan Fauzan yang bisa diajak bicara. Sementara Gentur... dia hanya seorang diri di tengah hutan.
Derasnya hujan yang turun mengubah tebing air terjun yang tadi sore kering mendadak mengantarkan ratusan kubik air. Pelan tapi pasti bivak yang dibangun Gentur mulai terendam dan memaksanya segera menyingkir. Tidak ada lagi tempat berlindung. Melanjutkan perjalanan sama juga bunuh diri.
Malam berjalan sangat lambat, penantian yang membosankan. Sebentar-sebentar Gentur melirik jam, masih setengah sembilan malam. Pagi masih terlalu lama untuk ditunggu, tapi apa daya tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan memaksa diri untuk bisa tidur. Hanya bersandar pada batu dengan berkerudung sarung mana bisa dia tertidur. Kalaupun tidur juga tidak untuk waktu yang cukup. Kondisi ini membuat Gentur frustrasi. Berulang kali dia mengumpat, tapi hanya bisa dikatakannya dalam hati. Rupanya dia masih bisa berpikir tentang hal-hal aneh yang sering terjadi di gunung. Dia tidak berani mengumbar umpatannya, apalagi sekarang dia berada di tengah hutan dan sendirian.
Malam berlalu. Dengan kepala pusing dan mata sembab Gentur menemukan hari sudah terang benderang. Jam di tangan menunjukkan pukul delapan pagi. Dia segera bangkit meski pusing masih memberati kepala. Sebentar dia meregangkan badan sebelum memulai perjalanan, yang mungkin akan lebih panjang dan melelahkan. Lalu dia berniat mengemasi barang-barangnya, tapi rupanya air yang semalam mengganggu bivaknya menghanyutkan beberapa barangnya. Shelter yang aneh.
Dia memulai perjalanan ke selatan, berusaha naik ke punggungan yang cukup terjal dengan bantuan akar pohon. Dengan kedua tangannya dia menerabas masuk dan menyibak belukar dan pepohonan yang menghalangi jalan. Begitu sampai di punggungan, mata Gentur berbinar melihat pohon arbei yang tumbuh subur.
“Lumayan bisa untuk ganjal perut,” katanya sambil terus mengunyah dan memetik arbei untuk bekal tambahan di perjalanan.
Dari pengalaman perjalanan sebelumya Gentur merasa yakin kalau punggungan ini akan berakhir dan mengantarnya ke jurang yang dalam. Tanpa berjalan lebih jauh mengikuti punggungan dia memutuskan berjalan mengikuti aliran sungai. Beberapa air terjun ditemui, tapi semua bisa dilewati dengan climdown. Untuk menghibur diri sendiri, dia bernyanyi dan bersiul sebisanya di sepanjang perjalanan—bahkan dia menciptakan lagu secara spontan. Curhat pada alam begitu barangkali lagunya…
Perjalanan di lembah membuat Gentur belajar banyak. Selain arbei, dia juga mendapatkan bermacam begonia untuk makan siang. Tidak hanya itu, beberapa binatang juga sempat mengejutkan langkahnya. Dia tidak berani memburunya. Dia malah berpikir, jangan-jangan malah dia yang akan menjadi mangsa binatang hutan.
Pukul setengah tiga sore, langit kembali menitikkan air. Hujan bulan Februari kembali menghentikan langkah Gentur. Raincoat mulai basah dan hutan semakin gelap tertutup kabut. Dia menghentikan langkah dan bergegas membuat bivak perlindungan. Sayang tali rafia yang masih tersisa tidak cukup panjang untuk membentangkan ponco. Jadi dia mengumpulkan daun-daun yang cukup lebar yang berserakan di sekelilingnya, ditambah dengan ranting pohon yang patah bersama kanopi daunnya. Itulah bivak Gentur hari ini.
Ponco dijadikannya selimut dan carier dia jadikan sleeping bag. Sepanjang malam dia akan menunggu. Dua hari berlalu, Gentur masih belum bisa mencapai perkampungan dan mendapatkan pertolongan untuk sahabat-sahabatnya. “Sabar ya…” katanya berulang kali.
Malam merambat lebih lambat dari kemarin. Tiupan angin terdengar bergemuruh disertai suara pohon-pohon tumbang. Kekhawatiran dan rasa takut mulai menyelinapi pikiran.
“Habis deh kalau pohon itu menimpaku,” katanya pasrah. Dia kemudian teringat Dewi. “Semoga Dewi berhasil lebih cepat mendapatkan pertolongan…” harapnya.
Ini hari ketiga Gentur berpisah dengan Iis, Bregas dan Fauzan.
Empat hari berlalu. Kalau Dewi selamat, seharusnya bantuan sudah datang, paling tidak kalau aku tidak berhasil atau celaka, Iis dan Bregas masih bisa diselamatkan, begitu juga Fauzan. Masrukhi dan Dodo juga bisa dibawa turun ke Bambangan, Gentur membatin.
Perjalanan dimulai lebih pagi karena Gentur tidak mau terhadang hujan lagi. Masih menyusuri dan mengikuti arus sungai, tanjakan sudah tidak terlalu banyak, jurang-jurang juga sudah tidak sedalam sebelumnya. Hari ini dia berniat mengisi perutnya dengan tunas pohon palem yang dia temui, tapi kemudian dia teringat kalau dia sudah tidak punya parang.
Gentur melanjutkan langkahnya. Hingga kemudian, di pertengahan siang, hamparan ladang membentang di hadapannya. Dalam hati dia bersorak kegirangan. Tapi saat itu juga kelelahan yang amat sangat menyergap di tubuhnya. Sebentar-sebentar dia istirahat, barangkali karena hari ini perutnya sama sekali tidak terisi. Di tengah ladang, dia menyempatkan mencabut ubi tanpa permisi. Begitu ditemuinya jagung yang kuning menggoda, tangannya dengan cepat memetiknya. Lagi-lagi tanpa permisi bilang minta pada pemiliknya. Kalau harus menunggu si pemilik datang ke ladang, bisa pingsan duluan dia.
Ladang ini terlalu luas untuk dinikmati sendiri, apalagi kondisi Gentur yang mulai kelelahan. Semakin dekat dengan peradaban, semakin bertambah loyo sekujur tubuhnya. Beberapa petani yang dia jumpai kemudian tidak bisa memberiikan informasi seperti yang diharapkan. Setiap kali Gentur bercerita kalau dia terpisah dengan sahabat-sahabatnya, petani itu hanya bilang “Melas temen” (kasihan sekali).
Tidak ingin membuang waktu di tengah ladang dan bercerita lebih banyak, Gentur melanjutkan langkahnya, dan sekali lagi dia harus terjebak di hutan pinus.
“Berjalan dan terus berjalaaaannn, aku menemukan peradaban…” dendangnya dengan suara lantang nan sumbang. Syair lagu yang pendek diulang hingga ratusan kali, dan di pengulangan yang entah keberapa, langkah itu terhenti. Terdengar suara deru mobil. Secepat kilat Gentur berlari mendekati arah suara, dan dia temukan jalan aspal yang tidak begitu lebar. Sebuah kijang pick up melaju ke arahnya...
“Allohu akbar! terimakasih, Tuhan! Allohu akbar!” Gentur menjatuhkan diri, bersujud di atas permukaan aspal pecah, tidak berhenti memanjatkan syukur.
Part 12
Tidak ada kalimat lain yang bisa Dewi ucapkan. Tubuhnya menggigil menahan dingin dari amukan badai yang baru saja dilewatinya. Badai yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan. Badai yang telah memisahkan dirinya dari kelompok pendakian... yang merenggut nyawa seorang sahabatnya...
Teman-teman pendaki yang menolong Dewi turun ke Bambangan sudah tidak terlihat lagi. Terakhir mereka masih bersama-sama saat tiba di rumah Pak Kadus Muheri, basecamp pendakian jalur Bambagan. Dan saat pagi datang dan Dewi bangun dari kelelahannya, teman-teman itu sudah tidak ada lagi. Seorang diri dia menunggu kepastian dari penduduk yang kemarin malam berangkat ke puncak gunung untuk menolong sahabat yang tertinggal.
Sampai tengah hari, penduduk yang semalam mencoba melakukan pencarian belum terlihat turun. Sejak Dewi tiba di Bambangan pada malam hari untuk meminta pertolongan, malam itu juga SAR kampung yang terdiri dari penduduk Bambangan melakukan pencarian. Sayang mereka tidak bisa mendekati target seperti yang diceritakan oleh Dewi karena cuaca yang sangat buruk. Mereka melanjutkan pencarian keesokan harinya.
Bersamaan dengan pencarian yang masih berlanjut, Dewi mencoba menghubungi Jogja untuk mengabarkan kejadian ini. Dari desa Bambangan, Dewi terus menatap puncak gunung yang tertutup awan hitam seperti payung. Dewi tidak tahu bagaimana nasib Gentur, Iis, Bregas, Fauzan dan Dodo. Dia hanya berharap semoga dirinya tidak terlambat.
Menjelang tengah hari, sekitar setengah dua belas siang, penduduk yang kemarin melakukan pencarian terlihat turun menuju rumah Pak Muheri. Dewi berusaha mencari sosok sahabat-sahabatnya diantar rombongan itu, tapi dia tidak menemukan siapapun. Dia juga tidak melihat tandu yang membawa Masrukhi. Kekecewaan dan rasa perih menyusup di relung hati. Dewi tertunduk, duduk lemas di beranda rumah Pak Muheri dan terus menatap jauh ke puncak gunung.
Hujan kembali turun membasahi tanah Desa Bambangan. Desa yang tenang itu mendadak riuh. Suara mobil dan radio komunikasi memenuhi udara. Operasi pencarian dilakukan segera. Ratusan pendaki memenuhi beberapa rumah di Desa Bambangan. Bukan untuk melakukan pendakian masal seperti yang sering dilakukan. Sebuah ikatan persaudaraan dan rasa saling peduli yang membawa langkah mereka ke desa ini. Rasa kehilangan dan terpanggil untuk membawa kembali yang dikabarkan hilang membulatkan niat mereka untuk meninggalkan semua kepentingan dan hiruk pikuk kota. Jogja berduka, diiringi doa dari komunitas pencinta alam seluruh Indonesia.
Sementara itu, di stasiun Purwokerto yang sepi, pagi menggeliat. Ndaru, Wiwit, Eri, Linda dan Iwan masih tertidur pulas di kursi stasiun. Sejak semalam mereka bermalam di stasiun untuk kembali ke Jogja. Mereka telah berhasil menyelesaikan pendakian mencapai puncak Gunung Slamet.
“Mas, bangun, Mas... mau dibersihkan.” Seorang lelaki setengah baya mengguncang tubuh mereka. Barangkali karena kecapekan, mereka tidur sangat pulas. “Mbak, bangun sudah siang.” kali ini Linda mendapat giliran. Dengan berat dia membuka mata, tersenyum manis pada petugas kebersihan itu, dan berlalu menuju mushola di sudut stasiun.
“Koran... koran… koran pagi, Mbak…” seorang penjaja koran menyodorkan beberapa surat kabar ke arah Linda.
Masih ngantuk kok disuruh baca koran, batinnya. Penjaja koran itu pun berlalu. Linda kembali menemui teman-temannya yang masih juga belum bergerak, Ndaru dan Wiwit sudah tidak kelihatan. Merasa tidak nyaman dengan pandangan lelaki petugas kebersihan, Linda serta merta membangunkan Eri dan Iwan. Geliat rasa malas membuai Eri dan Iwan. Masih dengan mata berat, kedua pemuda itu menyandarkan tubuh di bahu kursi. Linda menarik tangan keduanya, mendorongnya kearah mushola.
“Cuci muka sana, malu tau!” Eri dan Iwan menurut. “Teh hangat seger nih,” gumam Linda kemudian seraya berjalan menuju satu warung makan di dalam stasiun tidak jauh dari tempat mereka menumpuk carier yang lembab.
“Koran… koran… pendaki hilang di Gunung Slamet… koran… koran…” Lelaki penjaja koran yang sama kembali mendekati Linda yang tidak terlalu menanggapi. Teh hangat lebih dia butuhkan dari sekedar koran pagi.
Linda menikmati teh hangatnya ditemani mendoan yang super tipis dan agak basah—mendoan khas bumi Banyumas. Dia melayangkan pandang matanya sejenak ke luar warung, memastikan carier yang dia tinggalkan aman. Seorang lelaki tua masuk ke warung tempat Linda menghangatkan harinya dengan secangkir teh. Lelaki itu duduk tepat di depan Linda. Linda merasa terganggu dengan kehadirannya. Dia pesan 4 bungkus minuman yang sama dan sebungkus roti basah untuk teman – temannya. Saat menunggu pesanan itu, sesuatu menarik perhatiannya...
Mata Linda terbelalak membaca headline surat kabar lokal yang dibentangkan si lelaki tua. Berkali-kali dia baca ulang headline itu untuk meyakinkan matanya tidak salah. Dengan jantung berdegup kencang Linda meninggalkan pesanan untuk menemui teman-temannya yang tengah asyik memainkan batang rokok mereka. Lelaki penjaja koran yang tadi dibiarkan mondar-mandir di hadapan mereka dipanggil. Ndaru membeli beberapa koran dengan headline yang sama. Mereka membaca dengan serius. Tidak ada komentar sampai akhir berita.
Linda, Eri dan Iwan tertunduk, membiarkan tubuh mereka jatuh di lantai stasiun. Wiwit berlalu mencari wartel untuk memastikan berita itu, sementara Ndaru masih terus membaca berita serupa dari beberapa koran yang dibelinya. Tidak berapa lama, Wiwit kembali dengan mata berkaca-kaca.
“Kalian pulang ke Jogja, aku dan Ndaru akan kembali ke Bambangan,” dia berkata pada teman-temannya.
**
Badai masih saja tidak mau beranjak dari puncak gunung. Dari desa Bambangan awan di puncak terlihat bergerak memutar, tidak tentu arah. Hujan turun setiap hari tanpa reda, petir menyambar menyisakan pilu yang tidak berkesudahan. Pencarian masih belum membuahkan hasil. Fokus pencarian masih di sekitar lokasi terakhir yang diinformasikan Dewi.
“Kita harus bentuk tim tambahan, jangan lupa masih ada dua tim yang melakukan pendakian. Kita juga tidak tahu kondisi dan posisi mereka sekarang,” Wiwit menyampaikan kekhawatirannya.
“Iya, kita akan bentuk 2 tim tambahan untuk menyisir jalur pendakian Baturaden dan Kaliwadas. Semoga mereka masih ada di sekitar jalur pendakian itu,” kata Dodi selaku penanggungjawab keseluruhan kegiatan ini.
Saat briefing berjalan, Gentur datang dengan menumpang ojek. Dewi yang sejak tiba di Bambangan lebih banyak diam dan melamun menatap nanar ke puncak gunung menyambut kedatangan Gentur dengan air mata yang tertahan. Semua orang yang berada di rumah kepala dusun Bambangan menatap haru ke arah Gentur. Mereka memeluk Gentur dan mengucap syukur. Segelas susu hangat diantarkan untuk memulihkan lemahnya kondisi fisik Gentur.
“Masrukhi sudah meninggal,” katanya pelan. Hening.
“Apapun kondisinya, kita harus membawanya pulang,” Alif menegaskan.
Operasi pencarian sudah berjalan tiga hari dan cuaca buruk masih saja menghalangi tim pencari untuk mendekati lokasi yang digambarkan oleh Dewi dan Gentur. Sementara tim yang mencari lewat jalur Baturaden hanya menemukan jejak tali rafia.
Kejadian ini mengundang keprihatinan berbagai pihak, media massa dan elektronik setiap saat mengabarkan perkembangan proses pencarian dan evakuasi. Belasan tim diturunkan untuk menyisir semua jalur dan kemungkinan lokasi. Berpedoman pada cerita Gentur, tim yang berangkat dari jalur Bambangan menemukan jejak botol.
Tim terus melakukan penyisiran hingga tiba di batas vegetasi. Mereka melihat sebuah tenda, persis yang digambarkan oleh Gentur. Tim merasa curiga karena tidak terlihat adanya aktivitas atau suara sedikitpun. Begitu pintu tenda dibuka, tidak ada Iis dan Bregas. Tim hanya menemukan Fauzan yang sudah meninggal. Tim segera mengabarkan penemuan ini ke pusat pengendali operasi. Keheningan kembali menyelimuti. Hanya terdengar suara gelombang radio yang kadang terganggu oleh angin.
Medan yang berat dan cuaca buruk menghambat proses evakuasi Fauzan. Harus menunggu bantuan agar bisa mengevakuasinya ke Bambangan. Tidak adanya Iis dan Bregas di tenda itu menguatkan perkiraan tim bahwa Iis dan Bregas melanjutkan perjalanan. Tapi karena kendala cuaca, tim memutuskan untuk tetap berjaga di di posisi Fauzan sampai bantuan datang.
Pencarian untuk mengejar Iis dan Bregas pun dihentikan. Baru keesokan harinya pencarian dilanjutkan dengan menghadang mereka dari bawah. Tim diberangkatkan untuk melakukan pencarian Iis dan Bregas melalui Desa Serang. Sementara itu pencarian Masrukhi masih terus dilakukan. Tim mencari di sekitar titik yang digambarkan oleh Dewi dan diyakinkan oleh Gentur, tetapi tim tidak menemukan jejak apa pun di lokasi tersebut.
Tim yang seharusnya mencari Masrukhi justru menemukan tim Baturaden II dan Kaliwadas II di sebuah cerukan. Keadaan Adi semakin memburuk, kemungkinan terserang hypothermia sehingga harus ditandu, dan Agni harus dipapah untuk bisa berjalan. Tim pencari yang terdiri dari penduduk Desa Bambangan memberikan bekal roti dan nasi untuk anggota tim Baturaden II dan Kaliwadas II.
“Tasnya ditinggal saja, nanti ada yang bawakan,” kata salah seorang anggota tim pencari.
Tanpa menunggu lebih lama, tim dievakuasi menuju Bambangan. Mendekati plawangan cuaca membaik, matahari terasa lagi panasnya, langit biru tampak indah memayungi jalur menuju Bambangan. Keindahan yang tidak bisa dinikmati dengan sempurna karena tangis dan kehilangan tidak bisa jauh dari keseharian operasi pencarian.
Sore hari setelah mendapat pertolongan dan pemulihan kondisi fisik di Pos 4, tim Baturaden II dan Kaliwadas II sampai di Desa Bambangan. Agni dan Adi segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, sementara anggota tim yang lain dievakuasi ke Purwokerto untuk segera pulang ke Jogja.
Pencarian masih berjalan. 14 Februari, yang katanya bertepatan dengan hari kasih sayang, Iis ditemukan masih hidup tetapi terserang hypothermia. Lokasi penemuan Iis yang berada di jurang membuat evakuasi tidak bisa dilakukan segera. Terpaksa tim harus menunggu peralatan rescue datang. Dan di hari itu juga, Dodo ditemukan meninggal. Tetapi karena saat ditemukan hari sudah sore, evakuasi tidak bisa dilakukan. Semua menunggu.
Pertolongan evakuasi akhirnya datang. Fauzan dan Dodo dikembalikan ke Jogja keesokan harinya setelah dilakukan visum dokter. Semua berduka. Mereka yang kembali tidak lagi bisa bercerita. Iis satu-satunya yang bisa diharapkan, dia masih hidup. Sebuah kekuatan untuk bertahan hidup yang membuatnya mampu bertahan. Semua yang di Bambangan berharap Bregas juga akan ditemukan dalam keadaan hidup. Karena sampai hari ke-7 sejak Dewi sampai di Bambangan, nasib Bregas masih dalam tanda tanya. Mekipun masih hidup, Iis tidak bisa memberikan keterangan apa pun tentang Bregas, luka yang dialaminya membuat dia hanya bisa terbata mengucap kata dan mengerang kesakitan. Usaha evakuasi dan pemulihan kondisi terus dilakukan untuk Iis. Sampai pada suatu detik, pada dini hari yang sunyi, Iis menghembuskan napas terakhirnya.
Kenyataan ini sangat menyakitkan untuk tim yang menemukan dan merawatnya. Untuk beberapa saat mereka merasa frustrasi, menyesal dan menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menjaga Iis. Pun Tuhan sudah berkehendak lain, setiap berita yang datang harus diterima dengan tegar meski rasa kehilangan tidak lagi bisa tergambarkan. Iis meninggal, sementara Bregas dan Masrukhi masih belum ada kepastian.
Operasi pencarian pendaki hilang di Gunung Slamet masih menjadi berita yang menyita perhatian banyak pihak, mengingat waktu pencarian yang hampir satu minggu tetapi dua korban masih belum ditemukan. Bantuan logistik terus berdatangan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan operasi. Mereka harus ditemukan dan dibawa pulang.
Barulah pada 17 Februari, berita dari ketinggian 3020 mdpl bergema di pusat pegendali operasi di desa Bambangan. Bregas ditemukan dalam keadaan meninggal. Berselimutkan sarung dan berbalut jaket hitam, Bregas menghembuskan napas terakhirnya. Satu demi satu mereka pergi. Sekuat tenaga mereka menjaga napas dan bertahan hidup, namun badai tetap saja memisahkan mereka dengan yang lain.
Empat orang sudah ditemukan dan diantarkan pulang dalam keabadian. Tersisa satu sahabat yang masih terus dalam pencarian. Waktu operasi pencarian sudah melewati batas perkiraan awal satu minggu dan Masrukhi belum juga ditemukan. Penyisiran diputuskan untuk lebih rapat dengan lokasi yang lebih luas mulai dari lokasi ditemukannya Fauzan. Semua personil dikerahkan untuk menemukan Masrukhi.
Berkekuatan 25 SRU di tengah kabut dan rintik hujan pencarian Masrukhi dilakukan. Untuk kesekian kali kabut tebal menghadang tim sehingga pencarian harus dihentikan. Penambahan jumlah SRU rupanya belum sesuai harapan. Keberadaan Masrukhi menyisakan tanda tanya besar di benak setiap orang yang terlibat dalam pencarian. Beragam anggapan bermunculan di masyarakat yang mengikuti perkembangan kejadian ini, dan itu sangat tidak menyenangkan.
Tekad untuk berhasil menemukan Masrukhi pun bulat. Pernyataan bahwa saat ditinggalkan Masrukhi sudah meninggal mulai menemui bantahan. Ada yang yakin bahwa Masrukhi sekarang masih hidup, adapula yang memastikan kalau saat ditinggalkan Masrukhi sebenarnya masih hidup. Dia tidak ditemukan di lokasi yang digambarkan Dewi dan Gentur jadi bisa saja Masrukhi mampu bertahan dan bisa melanjutkan perjalanan. Terlalu banyak asumsi dan dugaan. Dari pusat pengendali operasi diputuskan untuk menambah satu hari masa operasi.
Dan kebesaran Tuhan kembali datang, dari ketinggian 3400 mdpl, dikabarkan Masrukhi telah ditemukan. Tangis haru pun pecah seiring berita kepergian yang dikirimkan salah seorang anggota tim pencari. Semua yang berada di pusat pengendali operasi, di dapur dan di sekitar rumah Pak Muheri berpelukan mengucap syukur. Kelegaan yang sekian hari tidak pernah terasakan. Air mata yang tertahan itu pun jatuh. Sahabat telah kembali turun dari ketinggian puncak Gunung Slamet.
Epilog
Surat sahabat…
Dear : sahabatku yang telah mencapai puncak kedamaian abadi
Mengenangmu, membayangkan kamu ada di sini, di tengah acara pelantikan malam ini. Seminggu yang lalu genap 8 tahun kamu pergi meninggalkan kami. Kamu pergi begitu saja, tanpa pesan, tanpa berpamitan. Dan di indahnya malam ini, di bawah naungan bintang yang berkilauan memenuhi hamparan langit yang membentang luas, di terangi cahaya bulan purnama, di tengah hutan pinus dan cemara. Manakala semua sahabat berkumpul dan bersenandung lagu tentang alam dan persahabatan, aku ingat kamu, sahabat. Ada sesuatu yang hilang ketika kutatap keindahan dan keakraban yang terjalin di tengah kesunyian Bambangan malam ini.
Sahabatku yang paling cerewet, Iis… Sebagian hatiku terkikis setiap kali teringat namamu juga wangi parfunmu yang selalu membuatmu bangga dan percaya diri meskipun sebenarnya kamu belum mandi. Sampai sekarang, harum parfum kamu masih tercium setiap kali aku datang ke Akuarium, sepertinya kamu ada di sana. Wangi kamu menyebar menerobos di setiap celah semua sudut Gelanggang yang dulu mempertemukan kita.
Sahabat, aku masih ingat saat pertama kali mengenalmu. Meskipun kamu lebih tinggi 4 tingkat, tapi kamu tidak pernah mau di panggil dengan awalan Mbak. Kurang akrab, katamu saat itu.
Is... kamu masih ingat Janu kan ? Iya cowok jangkung berkaca mata minus yang selalu bikin keki dan sering bikin sebel kamu itu. Aku masih ingat betul, betapa bingungnya kamu menghubungi untuk meminta komik sewaan yang dia bawa. Hingga akhirnya komik itu balik ke tanganmu setelah sebulan lebih ada di genggaman Janu, bahkan sempat kamu tinggal pulang ke Palembang. Dan kejadian semacam itu nggak cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali. Sampai aku ikutan capek. Kalian sering banget kena denda sampai belasan ribu karena terlambat mengembalikan komik-komik sewaan itu. Nggak tahu deh, Is, tuh anak kenapa hobi banget bawa komik-komik sewaan kamu, padahal di rumah, koleksi komiknya sekardus gedhe. Sejak seleksi calon anggota Mapagama, aku, kamu, dan Janu selalu bersama, kayak udah kenal lama aja.
Entahlah, ada saja yang mengaitkan lidah kita untuk menciptakan kecerian di sela-sela ketegangan mengikuti seleksi. Ada saja yang kamu lontarkan di tengah-tengah rasa lelah dan bosan, bahkan kamu juga sering dan senang banget nyebut Janu sebagai sephia-ku. Dasar jail banget deh lu…
Is... kini kamu sudah pergi jauh dari aku, Janu, juga dari sahabat-sahabat yang lain. Kamu tinggalkan komunitas Bhezet juga kamu tinggalkan keluarga besar Mapagama. Gelanggang tidak bisa kau injak lagi. Sejak kamu pergi, sejak peristiwa Wajib Gunung 2001 kemarin, aku terkadang merasa sendirian dan kesepian di Akuarium, apalagi Janu sudah tidak pernah lagi datang. Aku hanya bisa berhubungan dengannya lewat e-mail atau ketemu dia di kampus. Katanya sih mau menyelesaikan kursus bahasanya dan akan kembali ke Akuarium tahun depan.
Is, kalau malam ini kamu ada di sini, kamu pasti akan tertawa mendengar keluhku tentang sephia dan kamu juga bakal ngerjain aku sampai habis-habisan.
Is... aku tahu kamu tidak dapat membalas kalimat-kalimatku, tapi aku yakin kamu mendengar semua ucapanku. Dan meskipun tanganku tidak dapat lagi menggapai tanganmu, kamu pasti tahu kalau aku merindukanmu dan aku sedang mengenang indahnya kisah cerita persahabatan kita yang hanya seumur jagung. Banyak cerita yang tertulis di lembar persahabatanku tentang kamu, sejak seleksi calon anggota baru, Gladimula, hingga Wajib Gunung bulan Februari 2001 lalu. Dan satu kisah yang sangat aku sesalkan hingga kini, dan aku pun baru menyadari kesalahan itu setelah aku mendengar kisah cerita yang sebenarnya dari orang kepercayaanmu.
Is... kenapa dulu kamu tidak cerita padaku kalau kamu sayang dengan seseorang yang justru kamu comblangkan untukku? Is, kalau saja dulu kamu cerita ke aku, pasti aku tidak akan mencomblangkan kamu dengan seseorang yang justru nggak pernah kamu sayangi.
Is... kamu pasti di sana merasakan, kalau orang yang sebenarnya kamu sayangi senantiasa menanyakan cerita-cerita tentang kamu dan dia selalu merindukanmu. Dia juga sayang kamu, Is.
Teringat kembali peristiwa Wajib Gunung Februari 2001. Is... aku senang banget ketika mendengar kamu selamat dari maut yang menyelubungi perjalanan Wajib Gunung kelompok yang kamu pimpin, Kaliwadas I. Meskipun kondisimu dikabarkan kritis saat ditemukan, tapi aku yakin kamu mampu bertahan dalam evakuasi dan perawatan. Di Akuarium yang siang itu sibuk berselimut duka, aku menanti kedatanganmu kembali, aku siap menyambut kehadiranmu di tengah-tengah mereka, dan kita akan menyanyikan bersama lagu Mahameru punya Dewa 19. Sayang, rupanya kebahagianku tidak lama berpihak. 5 menit kemudian berita itu datang.
Matahari telah bersemayam di ragamu. Semua shock mendengar berita itu, Is. Dan meski sempat dicegah untuk berangkat karena aku baru kemarin pulang dari evakuasi, aku memutuskan untuk ikut berangkat bersama ambulans untuk menjemputmu, membawamu pulang ke Yogya, ke Kampus Biru, ke Gelanggang.
Di kamar pemandian, aku tatap wajahmu yang tampak pucat, kurus dan lebih tua, untuk yang terakhir kali. Aku tahu semua energi tubuhmu terkuras habis dalam perjalanan panjang untuk mencari jalan keluar. Aku lihat mamamu membelai wajahmu yang kini tertidur dalam damai dengan tabah, tegar dan rela. Sesekali seorang wanita sebaya mamamu meneteskan air mata menatap kondisi mamamu yang terus mengajakmu berbicara dan seolah meninabobokan tidur panjangmu. Dan dengan tegas mamamu memastikan kalau beliau dalam keadaan sadar dan rela. Mamamu melarang setiap sahabat yang berada di dalam ruangan menangis, mamamu ingin mereka melepasmu dengan ikhlas.
Is... aku rasakan betapa beratnya menunggu bergantinya sang waktu sendirian di tengah belantara hutan rimba dan hujan badai, sementara kamu tahu, sahabat-sahabatmu tidak mampu lagi bertahan. Kamu tinggalkan mereka dalam matahari. Kamu berjuang sendirian untuk keluar dari keterasingan, kebingungan, dan ketakutan.
Is... malam ini aku teringat kembali padamu. Dan aku percaya kamu melihatku dari dunia atas langitmu. Kedamaian telah membalut seluruh jiwamu seperti yang kamu harapkan.
Is... ada bintang bersinar lebih terang di langit biru malam ini, iyakah itu kamu yang sedang tersenyum melihat upacara pelantikan anggota muda malam ini..?
Sahabat dari rumah sebelah, Fauzan… Sahabat, baru sekali aku mendengar namamu dan baru sekali juga aku melihat fotomu dalam sebuah surat kabar yang mengabarkan tentang hilangnya pendaki dari Mapagama di Gunung Slamet. Rupanya kamu menjadi penggembira tim Kaliwadas I saat itu.
Sahabat, aku tidak banyak tahu tentang kamu. Aku hanya tahu kamu dari unit selam. Meskipun aku belum pernah bertemu langsung denganmu, tapi setiap kali aku melihat sahabat-sahabatmu sibuk mempersiapkan tabung-tabung untuk latihan selam, aku lihat kamu berada di tengah-tengah mereka. Seketika aku sadar, kamu telah pergi meninggalkan mereka, begitu pula togamu. Baju kebanggaan itu masih tergantung, belum tersentuh tubuhmu.
Sahabat, kamu tidak dapat lagi ditemukan di Gelanggang.
Telah kamu temukan laut keabadian dan kini kamu sedang asyik menikmati penyelamanmu di dasar laut biru. Bahkan telah kamu taklukkan istana dasar lautnya dan kamu tabur benih kedamaian abadi di sana.
Sahabat juga seniorku, Masrukhi… Selama di Akuarium jarang sekali aku bercakap denganmu. Aku juga tidak terlalu mengenalmu, yang aku tahu kamu adalah pendamping tim Kaliwadas I dalam Wajib Gunung angkatan Bhezet 3318.
Satu kegiatan yang bisa mengingatkanku tentangmu hanyalah saat Gladimula 18. Kamu banyak membantu calon anggota Mapagama termasuk aku. Pernah sekali kamu menjadi pendamping kelompokku di lapangan. Sore itu hujan turun membasahi tanah Jobolarangan, selesai SAR. Untuk sekedar berteduh dan menghangatkan diri, mereka disuruh membuat bivak dari ponco. Ketika bivak telah siap, kamu datang ke kelompok kami dan menyuruh kami makan semua bekal yang masih tersisa. Saat itu bekal krackers yang ada di carierku masih utuh 4 bungkus. Untuk menghormati kamu, kami buka satu bungkus dengan harapan bahwa kegiatan lapangan masih belum berakhir dan kami akan membutuhkan makanan ini untuk besok hari. Ah…rupanya kami tersandung batu rencana kami sendiri. Untuk kegiatan selanjutnya, yaitu survival, kami tidak diijinkan untuk membawa banyak makanan. Bahan makanan yang kami bawa hanyalah sebatas yang diberikan oleh panitia. Kalau saja kami tahu…
Sekarang kamu tak akan pernah lagi bisa bergabung di tengah-tengah ritual penerimaan anggota baru, Gladimula… Dan akankah ada penggantimu yang akan selalu memperhatikan adik-adiknya di lapangan. Aku percaya kamu selalu memperhatikan langkah mereka di Mapagama dari puncak keabadian dengan kedamaian yang sesungguhnya…
Sahabat juga seniorku, Dodo… “Oh betapa sempitnya Yogya” itulah kalimat terakhir yang sempat aku dan kamu ucapkan sebelum perpisahan terjadi. Entah mengapa, tiga hari sebelum keberangkatanmu mendampingi tim Wajib Gunung Kaliwadas I, dunia terasa begitu kecilnya.
Di Akuarium kita ketemu, mau ke kamar mandi ketemu juga, e... di Mirota Kampus pun ketemu, aku sedang menunggu bis dengan temanku kamu lewat di depanku dan berhenti.
Pertemuan demi pertemuan terjadi tanpa di sengaja dalam selang waktu yang hanya beberapa menit. Siang itu di tengah hiruk pikuk dan gerahnya kota Yogya, kita hanya bisa tertawa menyadari kebetulan-ketidak sengajaan yang terjadi. Hari itu kamu bilang kalau mau ke Sragen dengan temanmu;
“Mumpung masih ada waktu “ katamu. Aku tidak mengerti maksud dari kalimat itu, yang aku tahu tiga hari lagi kamu harus berangkat mendamppingi perjalanan Wajib Gunung tim Kaliwadas I dan kamu butuh waktu untuk mempersiapkan fisik dan bekalmu. Aku pun tidak mengerti, kenapa kamu yakin banget untuk naik dari jalur Kaliwadas padahal kamu belum pernah naik dari sana begitu pun dengan anggota tim yang lain.
“Bosan lewat Baturaden. Pengen nyoba yang lain,” katamu memberii alasan.
Aku hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasanmu. Aku percaya kamu bisa membawa tim Kaliwadas I hingga ke puncak dan menyelesaikan Wajib Gunungnya.
Dodo... dari lima sahabat yang dinyatakan hilang, kamu pulang lebih dulu. Tengah malam kamu tiba di Gelanggang. Mereka semua menunggumu sejak sore. Mereka ingin menyambutmu, meski mereka tahu kamu tidak bisa berjalan sendiri dan berlari dalam pelukan mereka. Kamu telah berbaring dalam damai ketika tiba di Gelanggang. Tangis duka dan kehilangan pun tiak bisa mereka tahan.
Dodo... tengah malam itu juga kamu diantar pulang dalam pelukan keluarga. Diiringi Himne Gajahmada jiwamu melangkah menjauh. Jalanan Yogya yang malam itu sunyi kembali bergetar mendengar sirine ambulan yang membawa tubuhmu. Mata-mata lelah di sepanjang jalan terjaga kembali, mereka keluar, ikut melepas kepergianmu. Doa-doa kedamaian terucap untuk tidur panjangmu…
Sahabatku yang paling kalem, Bregas… Sahabat, harusnya kamu juga ada di sini malam ini, seperti halnya Iis, Dodo, dan Masrukhi. Alangkah indahnya jika mereka dapat merasakan keakraban malam ini bersama kamu juga sahabat-sahabat yang pergi bersamamu.
Gas... Sesuatu yang tidak bisa aku lupa dari kamu adalah sifat kamu yang kalem dan pendiam. Selama aku menjadi temanmu, sahabatmu di Akuarium, aku tahu kamu adalah satu-satunya cowok pendiam bahkan paling pendiam aku pikir. Pertama kali mengenalmu, aku masih sering salah memanggil antara kamu dengan Toddy, tahu kan ? Kalian sekilas mirip banget, hanya bedanya ketika sudah ngobrol baru kelihatan. Kamu senengnya ngomong pakai bahasa Indonesia sementara Toddy lebih lancar dengan bahasa Jawanya.
Gas... aku nggak berani membayangkan kesendirian, kebosanan, ketakutan, dan kelelahan yang kamu rasakan dalam cengkeraman hutan rimba dan hujan badai. Kalaupun saat masih bersamamu Iis masih bisa membangkitkan semangat hidupmu dengan cerewetnya, tapi apakah cerewetnya bisa mendobrak pribadimu yang pendiam dan tertutup hingga kamu bisa bangkitkan keinginan hidupmu dari dalam dirimu sendiri dan kalian bisa melangkah bersama.
Yah.. sudahlah. Kamu memang telah pergi menuju istana keabadian yang damai bersama Iis, sahabat terbaikku yang cerewet, ditemani kakak-kakak terbaik kita, Dodo, Masrukhi, dan juga Fauzan.
Sahabat, bukan saatnya aku menangisi dan mengungkit kepergian kalian. Sekaranglah saatnya untuk mengenang indahnya persahabatan yang dulu pernah terjalin diantara kita, memaknai setiap kejadian yang terjadi dan mengambil alih semangat dan perjuangan kalian. Bersama sahabat di semua dunia, belajar menghargai hidup dan persahabatan serta arti perjuangan dan pengorbanan. Damailah jiwamu dalam puncak keabadian, Sahabat…
“Ok, semua siap. Kita doa dulu sebelum berangkat... ” kata Teo, koordinator pendakian.
Pendakian ini tidak sama dengan pendakian 8 tahun lalu. Pendakian ini adalah perjalanan melepas rindu dan untuk sekedar mengingat peristiwa 8 tahun tragedi Gunung Slamet yang merenggut nyawa 5 sahabat terbaik. Meneladani kedewasaan mereka, melanjutkan semangat dan mewujudkan cita-cita yang terputus.
bardiq.me |
⨁
Parah, udah lama saya tidak buka forem Alia, hp kemarin ke reset dan terlalu sibuk kuliah.. maklum Maba.. tetap semangat gan :D
ReplyDeletesiap gan. lagi jarang ngepost juga kok ini. :)
Delete