Skip to main content

Sahabat Pena II: Balon

original story by 1000vultures
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal

This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.

> Part 1

Balon

Beberapa hari yang lalu aku memposting sebuah cerita berjudul “Langkah Kaki” di sini di /nosleep. Ada sejumlah pertanyaan yang membuatku ingin tahu tentang masa kecilku lebih rinci lagi, jadi aku bicara dengan ibuku. Terusik oleh pertanyaanku, dia kemudian berkata, “kenapa kau tidak ceritakan pada mereka tentang balon-balon itu jika mereka begitu tertarik.” Begitu dia mengatakan itu, aku jadi ingat banyak hal tentang masa kecilku yang sebelumnya kulupakan. Cerita ini sangat berhubungan dengan cerita sebelumnya, jadi kupikir kau harus membacanya terlebih dulu. Meskipun urutannya tidak terlalu penting, membaca cerita itu terlebih dahulu akan membuatmu ikut merasakan yang kurasakan karena aku mengingat peristiwa-peristiwa di Langkah Kaki terlebih dahulu. Jika kalian memiliki pertanyaan atau apa pun, jangan ragu untuk bertanya dan aku akan mencoba menjawabnya. Juga, kedua cerita ini panjang, jadi bersiaplah. Karena aku ragu ingin menghilangkan beberapa detail yang mungkin saja penting.

Ketika aku berusia lima tahun, aku bersekolah di sekolah dasar yang, dari apa yang kupahami, sangat menekankan soal pentingnya belajar melalui kegiatan. Itu adalah bagian dari program baru yang dirancang untuk memungkinkan anak-anak tumbuh dengan kecepatan mereka sendiri, dan untuk memfasilitasi ini, sekolah mendorong para guru untuk membuat rencana pelajaran yang benar-benar inovatif. Setiap guru diberi kebebasan untuk membuat tema sendiri yang akan dijalankan selama pelajaran, dalam semua pelajaran matematika, membaca, dll.. akan dirancang sesuai semangat temanya. Tema-tema ini disebut “Kelompok”. Ada kelompok "Luar Angkasa", kelompok "Laut", kelompok "Bumi", dan kelompok tempatku berada adalah “Masyarakat”.

Di TK negara ini, kau tidak belajar lebih dari cara mengikat sepatumu dan saling berbagi, sehingga sebagian besar tidak terlalu berkesan. Aku hanya mengingat dua hal dengan sangat jelas: aku adalah yang terbaik dalam menulis namaku dengan benar, dan Proyek Balon, yang merupakan ciri khas kelompok Masyarakat, karena itu adalah cara yang cukup pintar untuk menunjukkan seperti apa sebuah masyarakat berjalan dalam tingkat yang paling dasar.

Kau mungkin pernah mendengar tentang kegiatan ini. Pada suatu hari Jumat (aku ingat itu hari Jumat karena aku bersemangat dengan proyek itu dan itu adalah akhir pekan) menjelang awal tahun, kami berjalan ke ruang kelas di pagi hari dan menemukan balon-balon melambung yang diikat dengan tali yang ditempel di setiap meja kami. Tergeletak di setiap meja kami adalah spidol, pena, selembar kertas, dan sebuah amplop. Proyek itu adalah untuk menulis catatan di atas kertas, memasukkannya ke dalam amplop, lalu menempelkannya pada balon yang bisa kita gambari jika kita mau. Sebagian besar anak-anak mulai berebut balon karena mereka menginginkan warna yang berbeda, tapi aku segera memulai catatanku yang sudah banyak kupikirkan.

Semua catatan harus mengikuti sebuah struktur, tapi kami diizinkan untuk berkreasi dalam batasan-batasan itu. Catatanku kira-kira seperti ini: “Hai! Kau menemukan balonku! Namaku [Nama] dan aku dari SD ______________ . Kau boleh menyimpan balon ini, tapi kuharap kau membalas suratku! Aku suka Mighty Max, menjelajah, membangun benteng, berenang, dan teman-temanku. Apa yang kamu suka? Balaslah secepatnya. Ini satu dolar untuk pengiriman!” Pada dolar itu aku menulis “UNTUK PRANGKO” di bagian muka, yang ibu bilang tidak perlu, tapi kupikir itu jenius, jadi aku melakukannya.

Sang Guru mengambil masing-masing sebuah foto Polaroid kami bersama balon kami dan menyuruh kami memasukkannya ke dalam amplop bersama dengan surat kami. Mereka juga menyertakan surat lain yang kuasumsikan menjelaskan proyek itu dan penghargaan tulus atas partisipasi siapa pun yang menulis balasan dan mengirim foto kota atau lingkungan mereka. Itulah gagasan utamanya—untuk membangun rasa kebersamaan tanpa harus meninggalkan sekolah, dan menjalin kontak yang aman dengan orang lain; tampak seperti ide yang menyenangkan...

Selama beberapa minggu surat-surat mulai bergulir masuk. Sebagian besar datang dengan foto-foto landmark yang berbeda, dan setiap kali surat masuk, guru akan menyematkan foto itu pada peta dinding besar yang kami pasang menunjukkan dari mana surat itu datang dan seberapa jauh balon telah melakukan perjalanan. Itu ide yang sangat cerdas, karena kami jadi benar-benar bersemangat untuk datang ke sekolah untuk melihat apakah kami mendapatkan surat kami. Selama tahun itu, kami memiliki satu hari dalam seminggu di mana kami dapat menulis kembali kepada sahabat pena kami atau sahabat pena murid lain kalau-kalau surat kami belum datang. Punyaku adalah salah satu yang terakhir tiba. Ketika aku datang ke ruang kelas, aku melihat mejaku dan sekali lagi tidak melihat ada surat yang menungguku, namun ketika aku duduk, guru mendekatiku dan menyerahkan sebuah amplop. Aku pasti terlihat sangat bersemangat karena ketika aku akan membukanya, dia meletakkan tangannya di atas tanganku untuk menghentikanku dan berkata, “Tolong jangan marah.” Aku tidak mengerti apa maksudnya—mengapa aku harus marah karena suratku sudah tiba? Awalnya aku bingung karena harusnya dia tak tahu apa yang ada di dalam amplop, tetapi sekarang aku menyadari bahwa tentu saja para guru telah menyaring isinya untuk memastikan tidak ada yang berbahaya, namun tetap saja—bagaimana bisa aku kecewa? Ketika aku membuka amplop itu, aku mengerti.

Tidak ada surat.

Satu-satunya yang ada di dalam amplop itu adalah Polaroid, tapi aku tidak bisa menebaknya. Itu tampak seperti sepetak gurun, tapi terlalu buram untuk diuraikan; tampak seolah-olah kamera bergerak saat gambar sedang diambil. Tak ada alamat pengirim, jadi aku tak bisa membalasnya. Aku remuk.

Tahun ajaran sekolah terus berlanjut, dan surat-surat itu berhenti datang untuk hampir semua murid. Lagipula, kau hanya bisa surat-suratan begitu lama dengan anak TK. Semua anak, termasuk aku, telah kehilangan minat pada surat-surat itu hampir sepenuhnya. Kemudian aku mendapat amplop lain.

Kegembiraanku diremajakan kembali, dan aku senang pada kenyataan bahwa aku masih mendapatkan surat ketika sebagian besar sahabat pena telah meninggalkan keterlibatan mereka. Masuk akal bahwa aku menerima pengiriman lain—tidak ada apa-apa selain selembar foto buram, jadi ini mungkin untuk menebusnya. Tetapi sekali lagi tidak ada surat sama sekali... hanya foto lain.

Yang ini lebih mudah dibedakan, tetapi aku masih belum memahaminya. Foto itu miring ke atas, menangkap sudut atas sebuah bangunan, dan sisa gambarnya terdistorsi oleh cahaya yang menyilaukan dari matahari.

Karena balonnya tidak bergerak terlalu jauh, dan karena semuanya diluncurkan pada hari yang sama, peta papannya menjadi sedikit berantakan, sehingga kebijakan untuk para siswa yang masih bertukar surat berubah menjadi mereka boleh membawa pulang foto-foto itu. Sahabatku, Josh, memiliki jumlah foto terbanyak kedua yang dibawa pulang pada akhir tahun—sahabat penanya benar-benar kooperatif dan mengiriminya foto-foto dari seluruh kota tetangga; Josh membawa pulang, kukira, empat foto.

Aku membawa pulang hampir lima puluh.

Semua amplop dibuka oleh guru, tetapi setelah beberapa saat aku berhenti melihat foto-foto itu. Namun, aku menyimpannya di salah satu laciku yang menampung koleksi batu, kartu bisbol, kartu buku komik (kartu Marvel Metal, untuk yang masih ingat), dan miniatur helm dan pemukul bisbol yang kudapatkan dari mesin penjual di Winn-Dixie setelah pertandingan T-Ball. Dengan berlalunya tahun ajaran sekolah, perhatianku beralih ke hal-hal lain.

Ibuku membelikanku mesin serutan es kecil untuk Natal tahun itu, dan Josh sangat menginginkannya juga—hingga orang tuanya membelikannya mesin yang sedikit lebih bagus untuk ulang tahunnya yang menjelang akhir tahun ajaran sekolah. Musim panas itu kami punya ide untuk membuka lapak es serut untuk mendapatkan uang jajan; kami pikir kami akan menghasilkan banyak uang dengan menjual es serut dengan harga satu dolar. Josh tinggal di lingkungan yang berbeda denganku, tetapi kami akhirnya memutuskan bahwa lingkunganku akan lebih baik karena ada banyak orang yang merawat halaman mereka; halaman rumah di lingkunganku sedikit lebih besar. Kami melakukan ini selama lima akhir pekan berturut-turut sampai ibuku mengatakan bahwa kami harus berhenti, dan aku baru saja tahu alasannya kenapa dia melakukannya.

Pada akhir pekan kelima, Josh dan aku menghitung uang kami. Karena kami punya mesin sendiri-sendiri, kami punya tumpukan uang sendiri-sendiri yang kemudian kami tumpuk jadi satu lalu kami bagi rata. Kami telah menghasilkan total enam belas dolar pada hari itu, dan ketika Josh membayar dolar kelimaku, perasaan terkejut yang luar biasa menelanku.

Dolar itu tertulis “UNTUK PRANGKO”.

Josh menyadari keterkejutanku dan bertanya apakah dia salah hitung. Aku memberi tahu dia soal dolar itu dan dia berkata, “Keren sekali, bung!” Ketika aku memikirkannya, aku setuju. Pemikiran bahwa uang itu kembali padaku setelah melewati banyak tangan membingungkanku.

Aku bergegas masuk untuk memberi tahu ibuku, tapi kegembiraanku ditimpa oleh panggilan telepon yang membuat ceritaku tidak bisa dimengerti dan dia hanya menjawab dengan mengatakan, “Oh wow! Keren sekali!”

Karena frustrasi, aku berlari kembali ke luar dan memberi tahu Josh bahwa aku punya sesuatu untuk kutunjukkan padanya. Kembali di kamarku, aku membuka laci dan mengeluarkan tumpukan amplop dan menunjukkan kepadanya beberapa foto. Aku mulai dengan foto pertama, dan kami melewati sekitar sepuluh foto sebelum Josh kehilangan minat dan bertanya apakah aku ingin bermain di parit (selokan tanah di jalanan rumahku) sebelum ibunya datang menjemputnya, jadi itulah yang kami lakukan.

Kami bermain “perang tanah” untuk sementara waktu, tapi permainan terhenti beberapa kali oleh kebisingan hutan di sekitar kami. Ada rakun dan kucing liar yang hidup di sana, tapi suara itu terlalu sering sehingga kami adu tebakan dalam usaha untuk saling menakuti. Tebakan terakhirku adalah mumi, tapi pada akhirnya Josh tetap bersikeras bahwa itu adalah robot karena suara yang kami dengar. Sebelum kami pergi, dia menjadi sedikit serius dan menatap tepat di mataku dan berkata, “Kau mendengarnya kan? Kedengarannya seperti robot. Kau mendengarnya juga kan?” Aku sudah mendengarnya, dan karena terdengar mekanis, aku setuju bahwa itu mungkin robot. Baru sekarang aku mengerti apa yang kami dengar.

Ketika kami kembali, ibu Josh sedang menunggunya di meja dapur bersama ibuku. Josh memberi tahu ibunya tentang robot itu; ibu kami tertawa dan Josh pulang. Ibuku dan aku makan malam, lalu aku pergi tidur.

Aku tidak rebahan di tempat tidur cukup lama sebelum akhirnya keluar dan memutuskan bahwa, karena peristiwa hari itu, aku akan mengunjungi lagi amplop-amplop itu karena sekarang semuanya tampak jauh lebih menarik. Aku mengambil amplop pertama dan meletakkannya di lantai dan meletakkan Polaroid gurun yang buram di atasnya. Aku meletakkan amplop kedua tepat di sebelahnya dan meletakkan Polaroid sudut aneh puncak sebuah bangunan dan melakukannya lagi pada setiap gambar sampai mereka membentuk kolom sekitar lima kali sepuluh; aku selalu diajari untuk merawat barang-barang yang aku kumpulkan, bahkan meski aku tidak yakin itu berharga.

Aku perhatikan foto-foto itu secara bertahap menjadi lebih mudah dipahami. Ada pohon dengan burung di atasnya, tanda batas kecepatan, kabel listrik, sekelompok orang berjalan ke suatu gedung. Dan kemudian aku melihat sesuatu yang membuatku sangat jengkel hingga sekarang, sementara aku menulis ini, aku sangat ingat merasa pusing dan hanya bisa memikirkan satu pertanyaan berulang:

“Kenapa aku ada di foto ini?”

Dalam foto sekelompok orang yang memasuki gedung, aku melihat diriku berpegangan tangan dengan ibuku di bagian paling belakang kerumunan orang. Kami berada di ujung foto, tapi tidak bisa disangkal lagi itu adalah kami. Dan ketika mataku berenang di atas lautan Polaroid aku menjadi semakin cemas. Perasaan yang sangat aneh—itu bukan rasa takut, itu perasaan yang kau dapatkan ketika kau dalam kesulitan. Aku tidak yakin mengapa aku dibanjiri perasaan itu, tetapi di sanalah aku, duduk dengan perasaan telah melakukan sesuatu yang salah. Dan perasaan itu semakin menguat ketika aku melihat foto-foto lainnya setelah foto yang begitu kuat menyengatku.

Aku ada di setiap foto.

Tak satu pun dari foto itu diambil dari jarak dekat. Tak satu pun dari foto itu hanya fotoku sendirian. Tapi aku ada di semua foto itu—di samping, di belakang, di bawah bingkai. Beberapa darinya hanya memiliki bagian terkecil dari wajahku yang diambil di bagian paling bawah foto, tetapi bagaimanapun, aku ada di sana. Aku selalu ada di sana.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Pikiranmu bekerja dengan cara yang lucu ketika masih anak-anak, tetapi ada sebagian besar diriku yang takut mendapat masalah hanya karena belum tidur. Karena aku sudah merasakan perasaan melakukan sesuatu yang salah, aku memutuskan bahwa aku akan menunggu sampai besok.

Keesokan harinya, ibuku tidak masuk kerja dan menghabiskan sebagian besar pagi itu untuk membersihkan rumah. Aku menonton kartun, membayangkan, dan menunggu sampai kupikir itu saat yang tepat untuk menunjukkan Polaroid itu padanya. Ketika dia keluar untuk mengambil surat, aku mengambil beberapa foto dan meletakkannya di atas meja di depanku ketika aku duduk menunggunya kembali. Ketika dia kembali, dia sudah membuka surat dan membuang beberapa surat tak penting ke tempat sampah dan aku berkata:

“Mom, bisakah kau datang ke sini sebentar? Aku punya foto-foto ini—“

“Tunggu sebentar, Sayang. Aku harus menandai ini di kalender.”

Setelah satu atau dua menit, dia datang dan berdiri di belakangku dan bertanya apa yang kubutuhkan. Aku bisa mendengarnya memilah surat di belakangku, tapi aku hanya memandangi Polaroid-polaroid itu dan menceritakannya. Saat aku menjelaskan lebih banyak dan menunjuk ke foto-fotonya, “uh-huh” dan “oke”-nya berkurang, dan tiba-tiba dia sepenuhnya diam dan hanya membuat sedikit suara dengan surat-suratnya. Suara berikutnya yang kudengar darinya terdengar seperti dia berusaha mengatur napas di sebuah ruangan yang tidak tersisa udara di dalamnya. Akhirnya napasnya yang terengah-engah berhasil dia taklukkan dan dia menjatuhkan surat yang tersisa begitu saja di atas meja dan berlari ke dapur untuk mengambil telepon.

“Mom! Maafkan aku, aku tidak tahu soal ini! Jangan marah padaku!”

Dengan telepon ditekan ke telinganya, dia berjalan/berlari bolak-balik dan berteriak ke corongnya. Aku dengan gugup melihat-lihat tumpukan surat ibuku yang ada di sebelah Polaroid-ku. Ada sesuatu yang mencuat di amplop atas yang tanpa pikir panjang dan dengan cemas langsung kutarik sampai keluar.

Itu adalah Polaroid lain.

Bingung, aku berpikir bahwa entah bagaimana salah satu Polaroidku telah masuk ke tumpukan surat ketika ibuku menjatuhkannya, tetapi ketika aku membaliknya dan melihatnya, aku menyadari bahwa aku belum pernah melihat yang ini sebelumnya. Yang membuatku cemas, itu aku, tapi yang ini diambil dari jarak yang jauh lebih dekat. Aku dikelilingi oleh pohon-pohon dan tersenyum. Tapi itu bukan hanya aku, aku menyadarinya. Josh juga ada di sana. Itu foto kami kemarin.

Aku mulai berteriak memanggil ibuku yang masih berteriak ke telepon. Aku berulang kali berteriak padanya sampai akhirnya dia menjawab dengan, “Apa ?!” dan aku hanya bisa berpikir untuk bertanya, “Siapa yang kau panggil?”

“Aku sedang berbicara dengan polisi, sayang.”

“Tapi kenapa? Maafkan aku. Aku tak bermaksud melakukan apa-apa...”

Dia menjawabku dengan jawaban yang tidak pernah kumengerti sampai aku terpaksa mengingat kembali peristiwa-peristiwa dari tahun-tahun awal kehidupanku ini. Dia menyambar amplop dari meja dan fotoku bersama Josh berputar dan meluncur, mendarat di sebelah Polaroid lain di depanku. Dia mengangkat amplop itu ke mataku tapi aku hanya bisa memandang dirinya dan menyaksikan semua warna hilang dari wajahnya. Dengan berlinang air mata, dia berkata bahwa dia harus memanggil polisi karena surat itu tidak punya cap pos.

**
> Part 3

Comments

  1. dia di ikutin stalker pedo 😱😱

    ReplyDelete
  2. Berarti semua berawal dari proyek sekolah, balon2 itu ya?

    Dari sono, si pedo dapet fotonya si aku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semua berawal darimana belum jelas sih. Tapi ada kejadian lebih jauh yg si aku pertama kali diculik di hutan itu. Dan proyek sekolah ini kelanjutan dari teror itu. Kukira fotonya itu mungkin dikumpulkan dari lama. Creepy kalo ngebayangin si pedo dapet balonnya gimana ya.

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Post Populer

Cerita Horor Kaskus

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Catatan Atas Awan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Menunggu rumah kosong