Skip to main content

Sahabat Pena III: Boxes

original story by 1000vultures
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal

This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.

Part 1
> Part 2

Boxes

Jika kau belum membaca Langkah Kaki atau Balon, silakan lakukan sebelum membaca cerita di bawah agar kau mengerti.

Bagi kalian yang sudah membaca ceritaku yang lain dan bertanya apakah ada cerita lagi dan menerima jawaban samar dariku, aku ingin minta maaf karena tidak jujur. Aku mengatakan beberapa kali dalam komentar bahwa tidak ada hal penting terjadi setelah “Langkah Kaki”, tetapi itu tidak benar. Peristiwa-peristiwa dari kisah berikut ini tidak terkunci di ceruk pikiranku; aku selalu mengingatnya. Baru setelah aku mengingat “Balon” dan berbicara dengan ibuku tentang peristiwa-peristiwa berikut ini, aku menyadari betapa terjalinnya cerita ini dengan yang lainnya, namun pada awalnya aku tidak benar-benar berencana untuk membagikan ini. Keinginanku untuk menahan ingatan ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa kukira aku tidak menunjukkan keputusan yang baik di dalamnya; aku juga ingin meminta izin dari orang lain untuk menceritakannya, agar tidak salah menggambarkan apa yang terjadi. Aku tidak berharap akan ada banyak minat pada ceritaku yang lain, jadi aku tidak pernah berpikir akan memaksakan detailnya, dan aku akan senang menyimpan ini untuk diriku sendiri selama sisa hidupku. Aku belum dapat menghubungi pihak terkait, tetapi aku akan merasa tidak jujur jika menahan cerita ini dari mereka yang menginginkan lebih banyak informasi karena aku sudah berbicara dengan ibuku dan garis penghubung lain sudah tergambar. Kisah berikut ini seakurat yang bisa kuingat. Maaf untuk panjangnya.

Aku menghabiskan musim panas sebelum tahun ajaran pertama SD dengan belajar memanjat pohon. Ada satu pohon pinus tepat di luar rumahku yang seolah dirancang khusus untukku. Pohon itu punya cabang yang sangat rendah sehingga aku dapat dengan mudah meraihnya tanpa perlu didorong, dan untuk beberapa hari pertama setelah aku belajar cara menarik diriku, aku hanya akan duduk di cabang terendah, menggantung kakiku. Pohon itu berada di luar pagar belakang kami dan mudah terlihat dari jendela dapur tepat di atas wastafel. Tak lama berselang, aku dan ibuku punya rutinitas di mana aku akan bermain di pohon ketika dia mencuci piring karena dia dapat dengan mudah mengawasiku sementara dia melakukan hal-hal lain.

Setelah musim panas berlalu, kemampuanku berkembang dan tak lama berselang aku bisa mendaki cukup tinggi. Saat pohon semakin tinggi, cabang-cabangnya tidak hanya menjadi lebih tipis tetapi jaraknya pun semakin jauh. Aku akhirnya mencapai titik di mana aku tak bisa naik lebih tinggi lagi, sehingga permainan harus diubah; aku mulai berkonsentrasi pada kecepatan, dan akhirnya aku bisa mencapai cabang tertinggiku dalam dua puluh lima detik.

Aku menjadi terlalu percaya diri dan suatu sore aku mencoba melangkah dari cabang sebelum aku berhasil menggenggam kuat cabang berikutnya. Aku jatuh sekitar enam meter dan lenganku patah sangat parah di dua tempat. Ibuku berlari ke arahku berteriak dan aku ingat dia terdengar seperti sedang berada di bawah air—aku tidak ingat apa yang dia katakan tetapi aku ingat terkejut oleh betapa putih tulangku.

Aku akan masuk TK dengan gips dan bahkan tak akan punya teman untuk menandatanganinya. Ibuku pasti merasa bersalah karena sehari sebelum aku mulai sekolah dia membawa pulang seekor anak kucing. Dia masih bayi dan punya belang cokelat dan putih. Begitu ibuku menurunkannya, dia merangkak ke dalam wadah soda kosong yang ada di lantai. Aku memberinya nama Boxes.

Boxes hanya kucing liar ketika dia melarikan diri. Ibuku sudah memotong kukunya agar dia tidak menghancurkan perabot, sebagai hasilnya kami harus melakukan yang terbaik untuk menjaganya tetap di dalam. Dia sering keluar rumah, dan kami akan menemukannya di suatu tempat di halaman belakang mengejar entah serangga atau kadal, meskipun dia hampir tidak pernah bisa menangkapnya karena tidak punya cakar depan. Dia suka mengelak, tapi kami selalu menangkapnya dan membawanya kembali ke dalam. Dia akan berjuang untuk menoleh ke belakang bahuku—aku bilang pada ibuku bahwa itu karena dia sedang merencanakan strategi untuk kesempatan berikutnya. Begitu berada di dalam, kami akan memberinya ikan tuna, dan dia mulai mengenali suara pembuka kaleng sebagai sinyal; dia akan datang berlari setiap kali mendengarnya.

Hal ini menjadi berguna di kemudian hari karena menjelang akhir waktu kami di rumah itu Boxes akan lebih sering keluar dan akan berlari ke bawah ke kolong rumah di mana tidak ada dari kami yang ingin mengikutinya karena sempit dan mungkin penuh dengan serangga dan tikus. Dengan cerdik, ibuku berpikir untuk mengikatkan pembuka kaleng ke sambungan kabel dan melewatkannya tepat di luar lubang yang dilalui Boxes. Akhirnya dia akan muncul dengan suara kerasnya, tampak bersemangat oleh suara itu dan kemudian terkejut mengetahui kami telah menipunya dengan kejam—pembuka kaleng tanpa tuna tidak bisa diterima oleh akal Boxes.

Terakhir kali dia melarikan diri ke bawah rumah sebenarnya adalah di hari terakhir kami tinggal di sana. Ibuku sudah mengiklankan rumah kami dan kami sudah mulai mengepak barang-barang kami. Kami tidak punya banyak barang, dan kami tak ingin buru-buru berkemas, meskipun aku sudah mengemasi semua pakaianku atas permintaan ibuku—ibuku tahu bahwa aku sangat sedih harus pindahan dan ingin perpindahanku lancar, dan kurasa dia mengira kalau pakaianku sudah di dalam kotak akan meneguhkan gagasan bahwa kami akan pindah tetapi segalanya tidak akan banyak berubah. Ketika Boxes keluar saat kami memuat beberapa barang ke van pindahan, ibuku mengutuk karena dia sudah memasukkan pembuka kaleng dan tidak yakin di mana menaruhnya. Aku pura-pura pergi mencarinya agar tak perlu pergi ke bawah rumah, dan ibuku (mungkin benar-benar menyadari penipuan kecilku) memindahkan salah satu panel lantai dan merangkak masuk. Dia keluar dengan Boxes cukup cepat dan tampak cukup takut, yang membuatku merasa lebih baik karena bukan aku yang melakukannya. Ibuku membuat beberapa panggilan telepon sementara aku berkemas sedikit lagi, kemudian dia masuk ke kamarku dan mengatakan bahwa dia telah berbicara dengan marketing dan kami akan mulai pindah ke rumah lain hari itu. Dia mengatakannya seperti itu berita bagus, tapi kupikir kami masih punya waktu lebih banyak di rumah—awalnya dia mengatakan bahwa kami tidak akan pindah sampai akhir minggu depan dan itu baru hari Selasa. Terlebih lagi, kami belum benar-benar selesai berkemas, tapi ibuku berkata kadang-kadang lebih mudah untuk mengganti barang daripada mengemasnya dan mengangkutnya berkeliling kota. Aku bahkan tidak bisa mengambil sisa kotak pakaianku. Aku bertanya apakah bisa menghubungi Josh untuk mengucapkan selamat tinggal, tetapi dia bilang bahwa kami bisa memanggilnya dari rumah baru kami. Kami pergi dengan van pindahan.

Aku berhasil tetap berhubungan dengan Josh selama bertahun-tahun, yang mana mengejutkan karena kami tidak lagi satu sekolah. Orangtua kami bukan teman dekat, tetapi mereka tahu bahwa kami memang berteman, jadi mereka akan mengakomodasi keinginan kami untuk saling bertemu dengan mengantar kami untuk menginap bersama—kadang-kadang setiap akhir pekan. Pada suatu Natal, orang tua kami bahkan mengumpulkan uang mereka dan memberi kami HT yang benar-benar bagus yang diiklankan bisa melintasi jarak yang melampaui jarak rumah kami; mereka juga memiliki baterai yang bisa bertahan berhari-hari jika HT aktif tetapi tidak digunakan. HT itu hanya kadang-kadang saja bekerja dengan baik untuk bicara antar kota, tetapi ketika kami menginap, kami akan menggunakannya di sekitar rumah, berbicara dengan meniru percakapan radio yang kami ambil dari film, dan HT itu bekerja sangat baik untuk itu. Berkat orang tua kami, kami masih berteman ketika kami berusia sepuluh tahun.

Pada suatu akhir pekan aku menginap di rumah Josh dan ibuku meneleponku untuk mengucapkan selamat malam; dia masih cukup waspada bahkan ketika tidak bisa benar-benar mengawasiku, tetapi aku sudah sangat terbiasa dengannya sehingga aku bahkan tidak menyadarinya, bahkan Josh menyadarinya. Ibuku terdengar kesal.

Boxes hilang.

Ini pasti Sabtu malam, karena aku menghabiskan malam di rumah Josh malam sebelumnya dan akan pulang pada hari berikutnya karena kami harus sekolah pada hari Senin. Boxes hilang sejak Jumat sore; aku tahu dia tidak melihatnya sejak kembali ke rumah setelah mengantarku. Dia pasti memutuskan untuk memberi tahuku bahwa Boxes hilang karena jika dia belum pulang ketika aku datang, aku pasti akan sedih, bukan hanya ketidakhadirannya, tetapi bagaimana dia bisa menyembunyikannya dariku. Dia mengatakan padaku untuk tidak khawatir. “Dia akan kembali. Dia selalu begitu!”

Tapi Boxes tidak kembali.

Tiga akhir pekan kemudian aku menginap di rumah Josh lagi. Aku masih kesal soal Boxes, tetapi ibuku memberitahuku bahwa sering kali hewan peliharaan menghilang dari rumah selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, dan akan kembali sendiri; dia berkata bahwa mereka selalu tahu di mana rumahnya dan akan selalu berusaha untuk kembali. Aku menjelaskan hal ini kepada Josh ketika sebuah pikiran menamparku begitu keras sehingga aku memotong kalimatku sendiri untuk mengatakannya keras-keras. “Bagaimana jika Boxes memikirkan rumah yang salah?”

Josh bingung. “Apa? Dia tinggal bersamamu. Dia tahu di mana rumahnya.”

“Tapi, dia dibesarkan di tempat lain, Josh. Dia dibesarkan di rumah lamaku beberapa perumahan jauhnya. Mungkin dia masih menganggap tempat itu sebagai rumah, seperti aku.”

“Oh, aku mengerti. Yah itu bagus sekali! Kita akan memberi tahu ayahku besok dan dia akan membawa kita ke sana supaya kita bisa memeriksanya!”

“Tidak, dia tidak akan melakukannya. Ibuku bilang bahwa kami tidak akan pernah bisa kembali ke tempat itu karena pemilik barunya tidak mau diganggu. Dia bilang bahwa dia mengatakan hal yang sama kepada ayah dan ibumu.”

Josh bersikeras, “Baiklah kalau begitu kita akan pergi menjelajah besok dan menuju rumah lamamu—“

“Tidak! Jika kita ketahuan, ayahmu akan mengetahuinya dan begitu juga ibuku! Kita harus pergi ke sana sendiri... Kita harus ke sana malam ini ...”

Tidak sulit meyakinkan Josh untuk setuju karena biasanya dialah yang punya ide seperti ini. Tapi kami belum pernah keluar dari rumahnya. Sebenarnya sangat mudah. Jendela di kamarnya terbuka ke halaman belakang dan dia memiliki pagar kayu yang tidak terkunci. Setelah dua tantangan ringan itu, kami menyelinap ke dalam malam, membawa senter dan HT di tangan.

Ada dua jalan untuk pergi dari rumah Josh ke rumah lamaku. Kami bisa berjalan di jalan dan melewati semua belokan atau melewati hutan, yang akan memakan waktu setengahnya. Butuh waktu sekitar dua jam untuk melewati jalanan, tetapi aku menyarankan agar kita memilih itu; aku katakan kepadanya karena aku tak ingin tersesat. Josh menolak dan berkata bahwa jika kami terlihat warga mungkin akan mengenalinya dan memberitahu ayahnya. Dia mengancam untuk pulang jika kami tidak mengambil jalan pintas, dan aku menerimanya karena tidak ingin pergi sendiri.

Josh tidak tahu kapan terakhir kali aku berjalan melewati hutan ini di malam hari.

Hutan sedikit tidak menyeramkan dengan seorang teman dan senter, dan kami menikmati waktu yang cukup menyenangkan. Aku tidak sepenuhnya yakin di mana kami berada, tetapi Josh tampak cukup percaya diri dan itu menguatkan moralku. Kami melewati petak-petak pohon berjalin yang sangat tebal ketika tali HT-ku tersangkut di dahan. Josh memiliki senter dan aku berjuang melepaskan HTnya ketika aku mendengar Josh berkata:

“Hei, bung, mau berenang?”

Aku melihat ke tempat dia menyinarkan lampu senter, meskipun aku memejamkan mata, karena sekarang aku tahu di mana kami berada. Dia menunjuk ke sebuah pelampung karet. Di sinilah aku terbangun di hutan ini bertahun-tahun yang lalu. Aku merasakan ada benjolan di tenggorokanku dan sengatan air mata segar di mataku saat aku terus berjuang dengan HT-ku. Frustrasi, aku menariknya keras hingga bebas dan berbalik berjalan ke arah Josh yang sebagian berbaring di pelampung karet dalam pose pura-pura berjemur. Ketika aku berjalan ke arahnya, aku tersandung dan hampir jatuh ke dalam lubang yang cukup besar yang ada di tengah-tengah tanah lapang kecil itu, tapi aku mendapatkan kembali keseimbanganku dan berhenti tepat di tepinya. Lubang itu dalam. Aku terkejut pada ukuran lubangnya, tapi lebih terkejut dengan kenyataan bahwa aku tidak mengingatnya. Aku menyadari pasti lubang itu belum ada di sana malam itu karena itu berada di tempat yang sama di mana aku terbangun. Aku melupakannya dan menoleh ke Josh.

“Berhentilah bermain-main! Kau lihat aku terjebak di sana, dan kau hanya berbaring di sini bercanda di atas pelampung ini!” Aku menyela kalimat itu dengan tendangan ke bagian pelampung yang terbuka. Sebuah ciutan berbunyi darinya.

Senyum Josh menghilang. Dia tiba-tiba tampak ketakutan dan berjuang untuk keluar dari pelampung, tetapi dia tidak bisa bergerak cepat karena posisi berbaringnya yang canggung. Setiap kali dia akan jatuh kembali ke atas pelampung, ciutan akan semakin keras. Aku ingin membantu Josh tapi aku tak bisa bergerak lebih dekat—kakiku tak mau bekerja sama; aku benci hutan ini. Aku mengambil senter yang dia lemparkan asal saja dan menyinari pelampung itu, tidak tahu mengharapkan apa. Akhirnya, Josh keluar dari pelampung dan bergegas ke sampingku, melihat ke mana aku mengarahkan cahaya. Tiba-tiba di sanalah dia. Itu seekor tikus. Aku mulai tertawa gugup dan kami berdua menyaksikan tikus berlari ke dalam hutan, membawa ciutan itu bersamanya. Josh dengan ringan meninju lenganku, senyum itu perlahan kembali ke wajahnya, dan kami melanjutkan berjalan.

Kami mempercepat langkah dan berhasil keluar dari hutan lebih cepat dari yang kami kira, dan kami menemukan diri kami kembali ke lingkungan lamaku. Terakhir kalinya aku melewati tikungan di depan, aku melihat rumahku sepenuhnya terang, dan semua kenangan tentang apa yang terjadi kembali membanjiri. Aku merasakan jantungku melompat ketika kami akhirnya berbelok dan akan menghadapi pemandangan penuh rumahku, teringat betapa terangnya kali terakhir. Tapi kali ini semua lampu mati. Dari kejauhan aku bisa melihat pohon panjat lamaku dan ketika pikiranku menelusuri sebab-akibat ke belakang, aku menyadari bahwa aku tidak akan kembali ke sini malam ini jika pohon itu tidak pernah tumbuh, sesaat aku kagum dengan bagaimana semua peristiwa terjadi. Ketika kami semakin dekat, aku bisa melihat bahwa halaman itu tampak mengerikan; aku bahkan tak bisa menebak kapan terakhir kali dipangkas. Salah satu daun jendelanya sebagian terlepas dan berayun-ayun tertiup angin, dan seluruh bagian rumah itu tampak kotor. Aku sedih melihat rumah lamaku dalam keadaan rusak. Kenapa ibuku peduli kami mengganggu pemilik baru jika mereka saja tidak peduli dengan tempat tinggal mereka? Kemudian aku tersadar.

Tidak ada pemilik baru.

Rumah itu ditinggalkan, meskipun kelihatannya ditinggalkan begitu saja. Kenapa ibuku berbohong padaku soal rumah kami ditinggali penghuni baru? Tapi kukira ini sebenarnya hal yang baik. Akan lebih mudah mencari Boxes jika kami tak perlu khawatir akan terlihat oleh si keluarga baru. Ini akan membuatnya lebih cepat. Josh memotong pikiranku ketika kami berjalan melewati gerbang dan menuju rumah itu.

“Rumah lamamu payah, kawan!” Josh berteriak sekeras yang dia bisa.

“Diam, Josh! Bahkan ini masih lebih bagus dari rumahmu.”

“Yang benar saja--“

“OK, OK. Kurasa Boxes mungkin ada di bawah rumah. Salah satu dari kita harus pergi ke bawah dan mencari, tapi yang lain harus tetap di luar kalau-kalau dia melarikan diri.”

“Kau serius? Tidak mungkin aku di bawah sana. Ini kucingmu, kawan. Kau yang turun.”

“Dengar, aku menantangmu, kecuali kau terlalu takut ...” kataku, menempatkan genggaman tinju di atas tangan lain yang telapaknya terbuka.

“Baik, tapi kita pakai ‘shoot’, bukan hitungan. Ini ‘gunting, batu, kertas, SHOOT’, bukan ‘satu, dua, TIGA’.”

“Aku tahu cara bermainnya, Josh. Kaulah yang selalu mengacau. Dan ini dua kemenangan.”

Aku kalah.

Aku menggoyang-goyangkan panel yang biasa ibuku pindahkan ketika kami harus merangkak di bawah sini mencari Boxes. Dia hanya perlu melakukannya beberapa kali sejak trik pembuka kaleng berhasil, tapi ketika dia harus melakukannya, dia membencinya, terutama yang terakhir kali, dan ketika aku melihat ke dalam kegelapan kolong rumah, aku bisa lebih menghargai alasannya. Sebelum kami pindah, dia berkata bahwa sebenarnya lebih baik Boxes berlari di bawah sini, meskipun sangat sulit mengeluarkannya. Itu tidak lebih berbahaya daripada dia melompati pagar dan berlari di sekitar lingkungan. Semua itu benar, tapi aku masih takut melakukan ini. Aku meraih senter dan HT dan mulai merangkak masuk; bau yang kuat menyusulku.

Baunya seperti bangkai.

Aku menyalakan HT-ku.

Josh, kau disana?

Ini Macho Man, kembali.

Josh, hentikan itu. Ada yang tidak beres di sini.

Apa maksudmu?

Baunya. Baunya seperti ada yang mati.

Apakah Boxes?

Aku sangat berharap bukan.

Aku meletakkan HT dan menggerakkan senter ke sekitar saat aku merangkak maju. Jika melihat melalui lubang dari luar, kau bisa melihat ke belakang dengan penerangan yang tepat, tapi kau harus berada di dalam untuk melihat area seputar batu bata yang menopang rumah. Aku akan mengatakan bahwa ada sekitar empat puluh persen dari area yang tidak dapat kau lihat kecuali kau benar-benar berada di kolong rumah, tetapi bahkan di dalam sini aku hanya bisa melihat di mana senter mengarah; aku menyadari bahwa ini akan membuat pengintaian di sekitar tempat ini jauh lebih sulit. Ketika aku bergerak maju, bau itu semakin tajam. Ketakutan tumbuh dalam diriku bahwa Boxes telah datang ke sini dan sesuatu telah terjadi padanya. Aku menyinarkan senter, tapi tidak bisa melihat apa-apa. Aku menggenggamkan jariku di sekitar balok penyangga untuk menarik diriku maju, dan ketika melakukan itu aku merasakan sesuatu yang membuat tanganku mundur.

Bulu.

Hatiku menciut dan aku bersiap untuk apa yang akan kulihat. Aku merangkak perlahan sehingga bisa mengulur apa yang akan kutahu dan aku menyipitkan mata dan mengarahkan cahaya senter melewati bata untuk melihat apa yang ada di sisi lain.

Aku terhuyung mundur dengan ngeri. “YESUS KRISTUS!” lolos dari mulutku yang gemetar. Itu adalah makhluk yang mengerikan dan terpuntir, membusuk dengan parah. Kulit wajahnya membusuk sehingga giginya tampak sangat besar. Dan baunya tak tertahankan.

Apa itu? Apa kau baik-baik saja? Apakah Boxes?

Aku meraih HT.

Tidak, bukan Boxes.

Nah, lalu apa itu?

Aku tidak tahu

Aku menyinarkan lampu lagi dan melihatnya dengan sedikit rasa takut lewat penglihatanku. Aku terkekeh.

Ini rakun!

Teruslah mencari. Aku akan masuk ke rumah untuk melihat apakah mungkin dia berhasil masuk ke sana.

Apa? Tidak. Josh, jangan masuk ke sana. Bagaimana jika Boxes ada di sini dan melarikan diri?

Tidak akan bisa. Aku mengembalikan papan itu.

Aku melihat bahwa dia mengatakan yang sejujurnya.

Kenapa kau lakukan itu?

Jangan khawatir, bung, kau bisa membukanya dengan mudah. Ini lebih masuk akal. Jika Boxes lari dan aku gagal menangkapnya maka dia akan hilang. Jika dia ada di sana, pegang erat-erat dan aku akan membuka papannya, dan jika tidak, kau bisa memindahkannya sendiri sementara aku melihat ke dalam rumah!

Dia ada benarnya, tapi aku ragu dia akan berhasil masuk.

BAIK. Tapi hati-hati dan jangan menyentuh apa pun. Ada banyak pakaian lamaku masih di kotak di kamarku, Kau bisa mencari di sana untuk melihat apakah dia masuk ke dalam salah satunya. Dan pastikan untuk membawa HT-mu.

Roger, sobat.

Aku menyadari bahwa di sana akan gelap gulita; listrik sudah dimatikan karena tidak ada yang membayar tagihan. Dengan sedikit keberuntungan dia bisa melihat dari lampu-lampu jalan yang mungkin cahayanya masuk—kalau tidak, aku tidak yakin apa yang akan dia lakukan.

Tak lama kemudian aku mendengar langkah kaki tepat di atas kepalaku dan merasakan tanah tua menghujaniku.

Josh apakah itu kau?

Chhkkkk breaker, breaker. Ini adalah Macho Man yang kembali untuk Tango Foxtrot besar. Elang telah mendarat. Di mana lokasimu, Putri Jasmine? Ganti.

“Brengsek.”

Macho Man, lokasiku di kamar mandi melihat tumpukan majalahmu. Sepertinya kau punya ketertarikan dengan bokong cowok. Bagaimana laporan tentang itu? Ganti.

Aku bisa mendengarnya tertawa di HT dan aku mulai tertawa juga. Aku mendengar langkah kaki sedikit menjauh—dia sedang dalam perjalanan ke kamarku.

Astaga, gelap sekali di sini. Hei, apa kau yakin ada kotak pakaian di sini? Aku tidak melihat apa pun.

Ya, harusnya ada beberapa kotak di depan lemari.

Tidak ada kotak di sini, biar kuperiksa mungkin kau memasukkannya ke dalam lemari sebelum pergi.

Aku mulai berpikir bahwa mungkin ibuku kembali untuk mengambil pakaian itu dan menyumbangkannya karena aku sudah terlalu besar, tapi aku ingat meninggalkan kotak-kotak itu di sana—aku bahkan tidak punya waktu untuk menutup yang terakhir sebelum kami pergi.

Sementara aku menunggu Josh memberi tahu apa yang dia temukan, aku menendangkan kakiku yang mulai mati rasa karena posisiku saat itu dan mengenai sesuatu. Aku menoleh ke belakang dan melihat sesuatu yang sangat aneh. Itu adalah selimut dan di sekitarnya ada mangkuk. Aku merangkak sedikit lebih dekat ke sana. Selimutnya berbau lapuk dan sebagian besar mangkuk itu kosong tetapi ada yang masih bisa kukenali.

Makanan kucing.

Itu jenis berbeda dari yang kami berikan pada Boxes, tapi tiba-tiba aku mengerti. Ibuku telah menyiapkan tempat kecil bagi Boxes agar dia datang ke sini alih-alih berlarian di sekitar perumahan. Itu sangat masuk akal, dan sepertinya Boxes akan kembali ke tempat ini. “Ini keren sekali, Mom,” pikirku.

Aku menemukan pakaianmu.

Oh bagus. Di mana kotak-kotak itu?

Seperti yang kukatakan, tidak ada kotak. Pakaianmu ada di lemarimu ... semua digantung.

Aku merinding. Ini tidak mungkin. Aku telah mengemas semua pakaianku. Meskipun harusnya kami tidak pindah hingga dua minggu lagi, aku ingat berkemas dan berpikir bahwa bodoh jika harus mengeluarkan pakaian dari kotak lalu memasukkannya kembali. Aku sudah mengemasnya, tetapi seorang telah menggantungnya kembali. Kenapa begitu?

Josh harus keluar dari sana.

Itu tak benar, Josh. Pakaiannya seharusnya di dalam kotak. Berhentilah main-main, dan keluarlah segera.

Aku tidak bercanda, bung. Aku melihatnya. Mungkin kau hanya berpikir bahwa kau meninggalkannya. Ha ha! Wow! Kau sangat narsis ya?

Apa? Apa maksudmu?

Tembokmu, kawan. Ha ha. Tembokmu penuh Polaroid dirimu sendiri! Ada ratusan foto! Apa kau membayar seseorang untuk—

Hening.

Aku memeriksa HT-ku untuk melihat apakah aku telah mematikannya tanpa sengaja. Tapi HT-nya baik-baik saja. Aku bisa mendengar langkah kaki tetapi tidak tahu persis ke mana Josh pergi. Aku menunggu Josh menyelesaikan kalimatnya, berpikir bahwa jarinya baru saja terlepas dari tombol, tetapi dia tidak melanjutkan. Dia tampak menghentak-hentak rumah sekarang. Aku baru saja akan menghubunginya ketika dia kembali.

Ada seseorang di rumah.

Suaranya pelan dan serak—aku bisa mendengar dia hampir menangis. Aku ingin menjawab, tapi seberapa keras volume HT-nya? Bagaimana jika orang itu mendengarnya? Aku tak mengatakan apa-apa dan hanya menunggu dan mendengarkan. Yang kudengar adalah langkah kaki. Langkah kaki yang berat dan menyeret. Dan kemudian gedebuk keras.

“Ya Tuhan... Josh.”

Dia telah ditemukan; aku yakin itu. Orang ini telah menemukannya dan menyakitinya. Aku menangis. Dia adalah satu-satunya temanku, selain Boxes. Dan kemudian aku menyadari: Bagaimana jika Josh mengatakan kepadanya bahwa aku ada di bawah sini? Apa yang bisa kulakukan? Ketika aku berusaha menenangkan diri, aku bersyukur mendengar suara Josh dari HT.

Dia membawa sesuatu. Sebuah tas besar. Dia hanya melemparkannya ke lantai. Dan... oh Tuhan... kantung itu... kurasa kantung itu bergerak.

Aku lumpuh. Aku ingin berlari pulang. Aku ingin menyelamatkan Josh. Aku ingin mencari bantuan. Aku menginginkan banyak hal tetapi aku hanya berbaring di sana, membeku. Ketika aku berbaring tidak dapat bergerak, mataku terfokus pada sudut rumah yang tepat di bawah kamarku; aku memindahkan senterku. Napasku tertahan melihat apa yang kulihat.

Binatang. Lusinan dari mereka. Semuanya mati. Mereka berbaring bertumpuk di perimeter kolong rumah. Mungkinkah Boxes berada di antara bangkai-bangkai ini? Untuk apa makanan kucing itu?

Melihat itu mengejutkanku karena aku tahu harus segera keluar dari sana dan aku bergegas menuju papan penutup. Aku mendorongnya, tapi papan itu tak mau bergerak. Aku tak bisa memindahkannya karena diganjal dan aku tidak bisa menggerakkan dengan jariku karena ganjalnya ada ada di luar. Aku terjebak. “Sialan kau, Josh!” Aku berbisik pada diriku sendiri. Aku bisa merasakan langkah bergemuruh di atasku. Rumah itu bergetar. Aku mendengar Josh menjerit, dan itu dibarengi dengan jeritan lain yang bukan jerit ketakutan.

Ketika aku melanjutkan mendorong kurasakan papannya bergerak, tapi aku tahu bukan aku yang memindahkannya. Aku bisa mendengar langkah kaki di atasku dan di depanku, dan teriakan dan jeritan memenuhi keheningan singkat di antara suara langkah kaki. Aku bergerak mundur dan memegang HT-ku bersiap untuk mempertahankan diri, dan papan itu dilemparkan ke samping dan sebuah lengan masuk dan meraihku.

“Ayo pergi, bung! Sekarang!”

Itu tangan Josh. Syukurlah Tuhan.

Aku bergegas keluar dari celah memegang senter dan HT. Ketika kami sampai di pagar, kami berdua melompat, tapi HT Josh jatuh; dia coba meraihnya dan aku memintanya untuk melupakannya. Kami harus bergerak. Di belakang kami, aku bisa mendengar teriakan, meskipun itu bukan kata-kata, hanya suara. Dan kami, mungkin dengan bodohnya, berlari ke hutan untuk kembali ke rumah Josh lebih cepat dan agar sulit untuk diikuti. Sepanjang jalan melewati hutan Josh terus berteriak:

“Fotoku! Dia mengambil fotoku!”

Tapi aku tahu pria itu sudah memiliki foto Josh—dari tahun-tahun lalu di parit. Kukira Josh masih mengira suara-suara mekanis itu berasal dari robot.

Kami berhasil kembali ke rumah Josh dan kembali ke kamarnya sebelum orang tuanya bangun. Aku bertanya kepadanya soal tas besar itu dan apakah benar-benar bergerak dan dia bilang dia tak bisa memastikan. Dia terus meminta maaf karena menjatuhkan HT di rumah itu, tapi jelas itu bukan masalah besar. Kami tidak tidur dan duduk mengintip ke luar jendela menunggunya. Aku pulang ke rumah agak telat hari itu karena saat itu sudah sekitar jam 3 pagi.

Aku memberi tahu ibuku garis besar kisah ini beberapa hari yang lalu. Dia sedih dan sangat marah karena bahaya yang aku hadapi. Aku bertanya padanya kenapa dia mengarang soal mengganggu pemilik baru untuk mencegahku pergi— kenapa dia pikir rumah itu sangat berbahaya? Dia menjadi marah dan histeris, tetapi dia menjawab pertanyaanku. Dia meraih tanganku dan meremasnya lebih keras daripada yang dia mampu dan mengunci matanya padaku, berbisik seolah-olah dia takut didengar:

“Karena aku tidak pernah menaruh selimut atau mangkuk sialan itu di bawah rumah untuk Boxes. Kau bukan satu-satunya yang menemukannya...”

Aku merasa pusing. Aku mengerti banyak sekarang. Aku mengerti kenapa dia tampak sangat gelisah setelah membawa Boxes keluar dari bawah rumah pada hari terakhir kami di sana; dia menemukan lebih dari laba-laba atau sarang tikus pada hari itu. Aku mengerti kenapa kami pergi hampir dua minggu lebih awal. Aku mengerti kenapa dia mencoba mencegahku kembali.

Ibuku tahu. Ibuku tahu dia membuat rumah di bawah rumah kami, dan dia menyembunyikannya dariku. Aku pergi tanpa mengucapkan sepatah pun kata dan tidak menyelesaikan cerita untuknya, tetapi aku ingin menyelesaikannya di sini, untuk kalian.

Aku pulang dari rumah Josh hari itu. Aku melemparkan barang-barangku di lantai dan tersebar di mana-mana; aku tidak peduli, aku hanya ingin tidur. Aku bangun sekitar jam 9 malam oleh suara mengeong Boxes. Hatiku melompat. Dia akhirnya pulang. Aku agak muak dengan kenyataan bahwa jika aku menunggu sehari saja, kejadian malam sebelumnya tidak akan terjadi dan aku akan tetap menemukan Boxes, tapi itu tidak masalah; dia kembali. Aku turun dari tempat tidur dan memanggilnya, melihat sekeliling untuk menangkap kilatan cahaya dari matanya. Meongan berlanjut dan aku mengikutinya. Asalnya dari bawah tempat tidur. Aku tertawa sedikit berpikir aku sudah merangkak ke bawah rumah mencarinya dan bagaimanapun ini jauh lebih baik. Meongnya teredam oleh sebuah kaos, jadi aku melemparkannya ke samping dan tersenyum, berseru, “Selamat datang kembali, Boxes!”

Meongannya datang dari HT-ku.

Boxes tak pernah pulang.

**
> Part 4

Comments

  1. Jadi si stalker pedo ini, hidup di rumah lamanya si aku,

    Terus nyulik hewan2 dan di bawa ke rumah tsb, di bius, dipakaikan bajunya si aku, terus diperkosa, seolah2 dia perkosa si aku,

    Setelah itu, hewan tsb dibunuh, dan mayat ya ditumpuk dibawah rumah,
    Ceritanya gitu ya?

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus