Skip to main content

Sahabat Pena IV: Peta

original story by 1000vultures
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal

This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.

Part 1
Part 2
> Part 3

Peta

Ada komentar di posting terakhir yang membuatku mengingat peristiwa masa kecilku yang kuanggap aneh tapi tidak pernah kuanggap terkait dengan cerita-cerita ini. Aku menyadarinya sekarang. Lucu memikirkan bagaimana ingatan bekerja. Detailnya mungkin ada dalam pikiranmu, meskipun tersebar dan berantakan, dan kemudian satu pemikiran dapat menyatukannya kembali hampir secara sekejap. Aku tak pernah terlalu memikirkan peristiwa ini karena aku berfokus pada detail yang salah. Aku kembali ke rumah ibuku dan melihat-lihat tugas sekolah masa kecilku mencari sesuatu yang kupikir penting. Aku tidak dapat menemukannya, tapi aku akan terus mencari. Sekali lagi, maaf untuk panjangnya.

Sebagian besar kota tua dan lingkungan lamaku tidak direncanakan dengan perencanaan bahwa populasi akan mulai tumbuh secara eksponensial dan harus diakomodasi. Tata letak jalanannya terbentuk karena mengikuti batas geografis dan perlunya menghubungkan titik yang penting untuk ekonomi. Setelah jalan penghubung didirikan, bisnis dan jalan baru diposisikan secara strategis di sepanjang kerangka yang ada, dan akhirnya jalur yang diukir ke bumi diabadikan dalam aspal, menyisakan ruang hanya untuk perubahan kecil, penambahan, dan pergantian, tetapi tidak pernah sebuah perubahan yang dramatis.

Lingkungan masa kecilku pasti sudah tua. Jika garis lurus bergerak “seperti burung gagak terbang”, maka lingkunganku pasti dibangun berdasarkan jejak ular. Rumah-rumah pertama yang dibangun ditempatkan di sekitar danau dan secara bertahap area yang dapat dihuni meningkat ketika ekstensi baru dibangun dari jalur asli, tetapi ekstensi baru ini berakhir dengan tiba-tiba pada satu titik—hanya ada satu pintu keluar/masuk untuk keseluruhan kawasan. Banyak dari ekstensi ini dibatasi oleh anak sungai yang terhubung ke danau dan melewati apa yang kusebut (dalam cerita-cerita ini) “parit”. Banyak rumah asli memiliki halaman yang sangat luas, tetapi beberapa petak asli telah dibagi, meninggalkan properti dengan batas yang lebih kecil dan lebih kecil lagi. Jika dilihat dari udara lingkunganku akan memberi kesan bahwa ada cumi-cumi raksasa pernah mati di hutan dan beberapa pengusaha penjelajah menemukan bangkainya dan membuka jalan di atas tentakelnya, untuk kemudian lepas tangan dan meninggalkan waktu, keserakahan, dan keputusasaan membelah tanah di antara calon pemilik rumah seperti pada Rasio Emas.

Dari terasku, kau bisa melihat rumah-rumah tua yang mengelilingi danau, tetapi rumah Mrs. Maggie adalah favoritku. Dia, seingatku, berusia sekitar delapan puluh tahun, meskipun demikian dia adalah salah satu orang paling ramah yang pernah aku temui. Dia memiliki rambut ikal putih yang longgar dan selalu mengenakan gaun ringan dengan pola bunga. Dia akan berbicara kepadaku dan Josh dari teras belakang ketika kami berenang di danau, dan dia akan selalu mengundang kami makan camilan. Dia bercerita bahwa dia kesepian karena suaminya, Tom, selalu pergi untuk urusan bisnis, tetapi Josh dan aku akan selalu menolak undangannya karena, sebaik apa pun Mrs. Maggie, masih ada sesuatu yang sedikit aneh pada dirinya.

Sesekali ketika kami akan berenang dia akan berkata, “Chris dan John, kalian boleh datang kapan saja!” Dan kami masih bisa mendengarnya berteriak ketika kami sudah berjalan kembali ke rumahku.

Mrs. Maggie, seperti banyak pemilik rumah yang sudah tua, memiliki sistem penyiram dengan timer, meskipun pada beberapa kali selama bertahun-tahun timernya pasti rusak karena penyiram akan muncul di berbagai titik berbeda pada siang hari dan bahkan di malam hari sepanjang tahun. Ketika salju yang turun tidak terlalu dingin, beberapa kali setiap musim dingin aku akan pergi ke luar di pagi hari untuk melihat halaman Mrs. Maggie berubah menjadi surga arktik oleh air beku. Semua halaman rumah lain tetap steril dan kering oleh salju yang menggigit dari musim dingin, tetapi di sana, di tengah-tengah pengingat kekejaman buruk musim ini terhampar oasis es indah yang menggantung seperti stalaktit dari setiap cabang pohon dan setiap daun semak. Saat matahari terbit, ia memantul dan setiap potongan es akan memecah matahari menjadi pelangi yang hanya akan dilihat sebentar sebelum membutakanmu. Bahkan sebagai seorang bocah aku terpesona oleh betapa indahnya semua itu, dan sering Josh dan aku pergi ke sana untuk berjalan di atas rumput es dan bertarung dengan pedang es.

Aku pernah bertanya pada ibuku kenapa dia membiarkannya menyala seperti itu. Ibuku seperti mencari penjelasan sebelum berkata:

“Ya, Sayang, Mrs. Maggie sering sakit, dan kadang-kadang ketika dia benar-benar sakit, dia menjadi bingung. Itulah sebabnya dia tertukar namamu dan nama Josh. Dia tidak sengaja, tapi kadang-kadang dia tidak bisa ingat. Dia tinggal di rumah besar itu sendirian, jadi tak apa-apa kau berbicara dengannya saat kau berenang di danau, tetapi ketika dia mengajakmu masuk, kau harus selalu mengatakan ‘tidak’. Bersikaplah yang sopan, dia tak akan tersinggung.”

“Tapi dia tidak akan terlalu kesepian saat suaminya pulang, kan? Berapa lama dia pergi untuk urusan bisnis? Sepertinya dia selalu pergi.”

Ibuku sepertinya kesulitan dan aku bisa melihat bahwa dia menjadi sangat kesal. Akhirnya dia menjawab:

“Sayang ... Tom tidak akan pulang. Tom ada di surga. Dia meninggal bertahun-tahun yang lalu, tetapi Mrs. Maggie tidak ingat. Dia bingung dan lupa, tetapi Tom tidak pernah pulang. Bahkan jika ada seseorang pindah ke rumahnya dia mungkin akan berpikir itu Tom, tapi dia sudah tiada, Sayang.”

Aku berusia sekitar lima atau enam ketika dia mengatakan itu padaku, dan meski aku tidak memahaminya sepenuhnya, aku tetap merasa iba pada Mrs. Maggie.

Kini aku tahu bahwa Mrs. Maggie menderita Alzheimer. Dia dan suaminya, Tom, memiliki dua putra: Chris dan John. Keduanya telah mengatur pembayaran dengan pihak perumahan dan membayar tagihan air dan listrik Mrs. Maggie, tetapi mereka tidak akan pernah mengunjunginya. Aku tidak tahu apakah ada sesuatu yang terjadi di antara mereka, atau apakah karena penyakitnya, atau apakah karena mereka hidup terlalu jauh, tetapi mereka tidak pernah datang. Aku tidak tahu seperti apa rupa mereka, tetapi ada kalanya Mrs. Maggie pasti mengira Josh dan aku terlihat seperti ketika mereka masih anak-anak. Atau mungkin dia hanya melihat apa yang pikirannya ingin lihat; mengabaikan gambar yang dikirim ke saraf optiknya dan untuk sesaat memperlihatkan apa yang dahulu biasa dia lihat. Aku baru menyadari sekarang betapa kesepiannya dia.

Selama musim panas setelah TK, sebelum peristiwa “Balon”, Josh dan aku telah menjelajahi hutan di dekat rumahku, juga anak sungai danau. Kami tahu bahwa hutan di antara rumah-rumah kami terhubung, dan kami pikir akan keren jika danau di dekat rumahku entah bagaimana terhubung ke sungai di sekitar rumah Josh, jadi kami memutuskan untuk mencari tahu.

Kami akan membuat peta.

Rencananya adalah membuat dua peta yang terpisah dan kemudian menggabungkannya. Kami akan membuat satu peta yang menjelajahi daerah sungai di dekat rumahnya, dan peta satunya mengikuti arus yang keluar dari danauku. Awalnya, kami akan membuat satu peta, tetapi kami menyadari bahwa itu tidak mungkin karena aku sudah mulai menggambar peta daerahku begitu besar sehingga rute dari rumahnya tidak mungkin masuk skala. Kami menyimpan peta dari danau di rumahku dan peta dari sungai di rumahnya, dan kami akan menambahkan satu sama lain ketika kami menginap bersama.

Selama beberapa minggu pertama pekerjaan itu berjalan sangat baik. Kami akan berjalan menembus hutan di sepanjang sungai dan berhenti setiap beberapa menit untuk menambahkannya ke peta, dan sepertinya kedua peta dapat terhubung kapan saja. Kami tidak memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk pekerjaan itu— bahkan kompas—tetapi kami berusaha untuk menentukan arah. Kami memiliki ide untuk menusuk bumi dengan sebatang tongkat ketika kami telah mencapai ujung sehingga jika kami menemukan tongkat itu dari arah lain pada akhir pekan berikutnya, kami akan tahu bahwa kami telah menghubungkan petanya. Kami mungkin kartografer terburuk di dunia. Namun, akhirnya, hutan menjadi terlalu tebal di dekat perairan yang berasal dari danau dan kami tidak dapat melanjutkan lebih jauh. Kami kehilangan minat pada proyek tersebut untuk sementara, dan mengurangi eksplorasi kami secara signifikan—meskipun tidak sepenuhnya—saat kami mulai menjual es serut.

Setelah aku menunjukkan pada ibuku semua foto yang kubawa pulang dari sekolah dan dia mengambil mesin es serutku, minat kami pada peta kembali. Kami harus membuat rencana lain. Meskipun aku tidak mengerti sebabnya, ibuku telah membuat pembatasan yang sangat parah pada apa yang bisa kulakukan dan ke mana aku bisa pergi, dan aku harus sering masuk rumah jika sedang bermain di luar dengan Josh. Ini berarti bahwa kami tidak dapat berada di hutan selama berjam-jam dan melanjutkan pencarian jalan baru. Kami pikir kami bisa berenang ketika sampai di hutan, tapi itu jelas tidak berhasil karena petanya akan basah. Kami berusaha lebih cepat ketika kami datang dari rumah Josh, tetapi akhirnya kami mengalami masalah yang sama. Lalu kami punya ide cemerlang.

Kami akan membuat rakit.

Karena adanya pekerjaan konstruksi di kawasan itu, ada sejumlah besar bahan bangunan bekas yang akan ditempatkan oleh perusahaan di parit untuk menjauhkannya dari jalan dan lokasi pembangunan karena mereka tidak lagi membutuhkannya. Kami awalnya membayangkan kapal yang tangguh lengkap dengan tiang dan jangkar, namun niat itu dengan cepat susut menjadi sesuatu yang lebih mudah dikerjakan. Kami menyisihkan kayu dan mengambil beberapa potongan besar styrofoam yang kami lapisi dengan papan busa dan mengikatnya dengan tali dan benang layang-layang.

Kami meluncurkan kapal kami di perairan dekat Mrs. Maggie dan melambaikan salam perpisahan padanya sementara dia memberi isyarat agar kami kembali ke tempatnya. Tapi tidak ada yang menghentikan kami.

Rakit itu berfungsi dengan sangat baik, dan sementara kami berdua bertingkah dan mengobrol sementara rakit itu bekerja, aku sadar sedikit terkejut dengan hasilnya. Kami masing-masing memiliki dahan pohon yang cukup panjang untuk digunakan sebagai dayung, tapi kami menyadari lebih mudah untuk mendorong tanah di bawah air daripada benar-benar menggunakannya sebagai dayung. Ketika air menjadi terlalu dalam kami hanya akan tengkurap dan menggunakan tangan kami untuk mendayung air, yang mana masih bisa—meskipun kurang baik. Saat pertama kali kami menggunakan metode propulsi itu, aku berpikir bahwa dari jauh kami pasti terlihat seperti seorang pria yang sangat gemuk dengan lengan kecil terjulur keluar untuk berenang.

Sebenarnya butuh beberapa kali jalan untuk membawa rakit ke petak hutan yang tidak bisa dilewati yang menandai lokasi terjauh yang pernah kami capai. Setelah kami memiliki gagasan untuk menandai tanah dengan tongkat, kami harus  melewati hutan sampai tiba di tongkat itu kemudian, dengan hati-hati, memetakan jalan kami. Ini berarti bahwa jalan tak terlewati itu sebenarnya agak jauh, sehingga untuk berlayar dari rumahku sampai ke hutan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Kami berlayar sebentar kemudian menepikan rakit, kemudian kali berikutnya kami berjalan melewati hutan menuju rakit dan pergi sedikit lebih jauh.

Kami melanjutkan ini hingga kelas satu. Josh dan aku ditugaskan dalam kelompok yang berbeda tahun itu, jadi karena kami tidak benar-benar bertemu satu sama lain selama jam sekolah, orangtua kami lebih longgar membiarkan kami main bersama sepanjang akhir pekan setiap minggunya. Terlebih lagi, ayah Josh telah mendapat pekerjaan konstruksi yang panjang hingga mengharuskannya bekerja selama akhir pekan, dan ibunya selalu siaga jika mendapat panggilan, jadi artinya Josh akan lebih sering tinggal di rumahku setiap akhir pekan selama berminggu-minggu.

Kami harusnya sudah membuat kemajuan besar, tetapi ketika kami akhirnya berhasil mencapai jalur tak terlewati dan memiliki kesempatan untuk menjelajahinya, kami tidak dapat menemukan tempat untuk melabuhkan rakit. Hutannya terlalu tebal, dan air telah mengikis tanah sampai-sampai ada dinding tanah di atas anak sungai setinggi 0,6 meter yang memperlihatkan akar yang meliuk dan lembab dari pohon di atasnya. Kami harus selalu kembali dan meninggalkan rakit di bagian hutan tempat kami membuat rakit. Lebih buruk lagi, musim dingin telah tiba, jadi kami tak bisa meninggalkan rumah dengan pakaian renang kami; kami tidak membuat kemajuan—kami harus selalu pulang sebelum bisa menambah pencapaian.

Pada hari Sabtu, sekitar jam 7 malam, Josh dan aku sedang bermain ketika salah satu rekan kerja ibuku mengetuk pintu kami. Namanya Samantha, dan aku mengingatnya dengan baik sekarang karena aku akan menemuinya beberapa tahun kemudian ketika aku mengunjungi ibuku di tempat kerja. Ibuku berkata bahwa dia harus ke tempat kerja karena ada masalah dan dia akan kembali dalam waktu sekitar dua jam. Mobilnya sedang diperbaiki, jadi dia harus pergi bersama Samantha, tapi aku tahu masalah itu karena kesalahan Samantha dan mereka mendiskusikannya di mobil, itu sebabnya dia hanya perlu dua jam. Dia mengatakan bahwa dalam keadaan apa pun kami tidak boleh meninggalkan rumah atau membuka pintu untuk siapa pun, dan dia sedang menjelaskan bahwa dia akan menelepon setiap jam untuk memeriksa ketika dia sudah tiba di sana, tapi dia mengakhiri pernyataan itu sebelum waktunya karena dia ingat bahwa telepon kami telah diputus karena menunggak—itu sebabnya Samantha datang tanpa memberi kabar. Dia menatap mataku saat menutup pintu dan berkata, “Tetap di sini.”

Inilah kesempatan kami.

Kami melihatnya menjauh di jalan yang mengular menuju pintu keluar, dan begitu mobil memutari tikungan terakhir yang terlihat, kami berlari kembali ke kamarku. Aku mengeluarkan ranselku sementara Josh mengambil peta.

“Hei, apa kau punya senter?” Josh berkata.

“Tidak, tapi kita akan kembali jauh sebelum gelap.”

“Kupikir kita harus berjaga-jaga, kita harus bawa satu.”

“Ibuku punya satu, tapi aku tidak tahu di mana dia menyimpannya ... Tunggu!”

Aku berlari ke lemari dan menarik sebuah kotak dari rak paling atas.

“Kau punya senter di sana?” Josh bertanya.

“Tidak juga...”

Aku membuka kotak itu dan memperlihatkan tiga kembang api yang telah kuambil dari tumpukan yang dikumpulkan ibuku untuk peringatan 4 Juli pada musim panas lalu; sekaligus korek api yang berhasil kuambil darinya beberapa bulan sebelumnya, ini akan memastikan bahwa kami setidaknya memiliki sedikit cahaya jika membutuhkannya. Itu sebelum aku akan ketakutan pada hutan di malam hari, jadi bukan rasa takut yang memotivasi pencarian kami akan sumber cahaya—karena memang butuh. Kami melemparkan semuanya ke dalam ransel dan berlari keluar melalui pintu belakang, memastikan untuk menutupnya agar Boxes tidak keluar. Kami punya satu jam lima puluh menit.

Kami berlari melewati hutan secepat mungkin dan berhasil mencapai rakit dalam waktu sekitar lima belas menit. Kami mengenakan baju renang di bawah pakaian kami, jadi kami menanggalkan kemeja dan celana pendek kami dan meninggalkannya dalam dua tumpukan terpisah sekitar 1,2 meter dari tepi air. Kami melepaskan ikatan rakit dari pohon, mengambil dayung dahan kami, dan bertolak.

Kami mencoba bergerak cepat untuk mencapai titik di luar isi peta kami yang terus berkembang, karena kami tidak punya waktu untuk melihat-lihat pemandangan. Kami tahu bahwa kami lebih lambat menggunakan rakit daripada melewati daratan, dan bahwa kami akan tetap di rakit untuk beberapa saat setelah sampai karena hutan terlalu tebal untuk dilalui dan tidak ada tempat untuk berlabuh; ini berarti bahwa kami harus naik rakit kembali ke lokasi berlabuh awal bahkan meski kami menemukan tempat untuk berlabuh yang lebih jauh.

Setelah kami melewati bagian terakhir dari peta kami, air mulai menjadi sangat dalam dan akhirnya kami tidak bisa lagi menyentuh dasar sungai dengan dahan pohon kami, jadi kami tengkurap dan mengayuh dengan tangan kami. Sudah mulai gelap dan, akibatnya, menjadi lebih sulit untuk membedakan pohon yang satu dengan yang lain, dan kami berdua menjadi sedikit gugup. Untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, kami mengayuh lebih cepat dengan tangan kami, tetapi itu menimbulkan banyak suara saat tangan kami berulang kali berhadapan dan menembus permukaan air. Selama periode itu kami berdua bisa mendengar kersak daun mati dan derak dahan yang jatuh di hutan di sebelah kanan kami. Ketika kami memperlambat dayungan dan bergerak lebih perlahan, gemerisik di hutan akan berhenti, dan kami mulai bertanya-tanya apakah suara itu nyata. Kami tidak tahu jenis binatang apa yang tinggal sejauh ini di hutan, tetapi kami yakin tak ingin mengetahuinya.

Ketika Josh mengubah peta yang kuberi cahaya dengan korek api, kami tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa suara-suara itu bukan khayalan. Dengan cepat dan ritmis kami mendengar:

Kersak daun.
Dahan patah.
Kersak daun.

Suara itu tampaknya bergerak menjauh dari kami, menembus hutan di luar jangkauan peta kami. Sudah terlalu gelap untuk melihat sekitar. Kami salah menerka berapa lama matahari akan tinggal.

Dengan gugup, aku memanggil.

“Halo?”

Ada ketegangan singkat saat kami terdiam di atas air. Keheningan ini tiba-tiba dipecahkan oleh tawa.

“Halo?” Josh terkekeh.

“Terus?”

“Halo, Tuan Monster-di-hutan. Aku tahu kau mengendap-endap, tapi mungkin kau mau menjawab ‘halo’-ku? Halooooooo!”

Aku menyadari betapa bodohnya itu. Hewan apa pun itu, dia tidak akan menjawab. Aku bahkan tidak menyadari telah mengatakannya, tapi jika benar-benar ada sesuatu di sana jelas aku tidak akan mendapat jawaban.

Josh melanjutkan, “Haloooooo,” dengan falsetto tinggi.

“Haloooo,” aku membalas dengan bariton sedalam mungkin.

“Halo sobat di sana!”

“Hal-lo. Beep boop.”

“HhhaaaAAALLLLOOOoooo.”

Kami terus saling ejek, dan sedang dalam proses memutar rakit untuk kembali ketika kami mendengar:

“Halo.”

Suara itu dibisikkan dan keluar dengan terpaksa seolah dari napas terakhir sepasang paru-paru yang mengempis, tetapi tidak terdengar sakit. Itu berasal dari tempat tak jauh dari peta, yang mana adalah di belakang kami setelah kami memutar rakit. Perlahan-lahan aku bergeser di atas rakit dan menghadap ke arah suara sementara tanganku meraba-raba kembang api. Aku ingin melihatnya.

“Apa yang kau lakukan?!” Josh mendesis.

Tapi aku sudah menyalakannya. Saat sumbu api yang memercik tenggelam ke dalam bungkusnya, aku mengarahkannya langit. Aku belum pernah benar-benar menembakkan itu sendiri dan berpikir untuk menggunakannya seperti suar di film. Sebuah bola hijau bercahaya meroket ke arah bintang-bintang dan kemudian dengan cepat padam. Aku menurunkan lenganku ke arah cakrawala; aku ingat ada beberapa warna, tetapi aku tidak ingat berapa kali semua itu ditembakkan hingga akhirnya habis. Bola cahaya merah kedua meledak dan melayang di atas pepohonan, tapi aku masih tidak melihat apa-apa.

“Ayo pergi, bung!” Josh mendesak, seraya berbalik menghadap arah pulang dan mulai mendayung dengan putus asa.

“Tinggal satu lagi...”

Menurunkan lenganku langsung ke hutan di depanku, bola api merah lainnya meluncur dari tabung. Ia melaju lurus ke depan hingga bertabrakan dengan sebuah pohon, secara singkat meledakkan cahaya dalam diameter yang jauh lebih besar.

Tetap tak ada apa-apa.

Aku menjatuhkan kembang api ke air dan menyaksikan satu bola api lagi berjuang meledak kemudian mati dengan cepat, tercekik oleh air. Ketika kami mulai mendayung ke arah rumahku, kami mendengar suara gemerisik yang keras dan tidak jelas di hutan. Hancurnya ranting-ranting dan terinjak-injaknya daun-daun yang jatuh mengalahkan suara percikan kami.

Sesuatu itu berlari.

Dalam kepanikan, kami menyentak rakit terlalu keras dan aku merasa salah satu tali di bawah dadaku kendur.

“Josh, hati-hati!”

Tapi sudah terlambat. Rakit kami hancur. Tak butuh waktu lama untuk hancur berantakan. Kami masing-masing memegang sepotong styrofoam yang terpisah, tetapi potongan-potongan itu tidak cukup besar untuk membuat kami benar-benar mengapung, dan kaki kami menjuntai di bawah kami di dalam air musim dingin.

“Josh! Cepat!” Aku berteriak seraya menunjuk air tepat di sebelahnya.

Dia bergegas, tapi terlalu dingin untuk bergerak dengan cepat dan kami berdua menyaksikan peta itu menjauh hanyut.

“Aku d-d-dingin, bung,” Josh bergidik, dengan sedih. “A-ayo keluar dari a-air.”

Kami mendekati pantai, namun setiap kali kami berusaha menarik diri, kami akan mendengar gemeresik dan gemuruh mendekati kami dari hutan di atas. Akhirnya kami terlalu kedinginan dan lemah untuk mencoba lagi.

Kami terus menendangkan kaki dan mendapati diri kami mendekati lokasi dermaga. Kami menaiki puing-puing dan mencoba menariknya ke darat, tetapi puing Josh meggelincir dan hanyut ke arah danau. Kami melepas pakaian renang kami dan sangat ingin segera masuk ke pakaian kering untuk melindungi kami dari dinginnya udara yang menggigit. Aku menyelipkan celana pendekku, tapi ada yang salah. Aku menoleh ke arah Josh.

“Di mana bajuku?”

Dia mengangkat bahu dan menebak, “Mungkin ketendang masuk dalam air dan hanyut ke danau?”

Aku menyuruh Josh untuk kembali ke rumahku, dan untuk bilang bahwa kami bermain petak umpet jika ibuku sudah di rumah. Aku harus menemukan bajuku.

Aku berlari ke belakang rumah-rumah dan mengintip ke atas air dan mengintai di sepanjang garis pantai. Terpikir olehku bahwa dengan sedikit keberuntungan, mungkin aku bisa menemukan petanya juga. Aku bergerak cukup cepat karena harus segera pulang, dan hampir menyerah ketika konsentrasiku terganggu oleh suara yang datang dari belakangku.

“Halo.”

Aku berbalik. Itu adalah Mrs. Maggie. Aku belum pernah melihatnya saat malam hari, dan dalam cahaya yang buruk ini, dia tampak sangat lemah. Kehangatan yang biasa menyelimuti sikapnya tampak padam karena dingin. Aku tidak ingat pernah melihatnya tanpa senyum, dan wajahnya tampak ganjil.

“Halo, Mrs. Maggie.”

“Oh, hai Chris!” kehangatan dan senyum telah kembali padanya, bahkan meski ingatannya belum. “Aku tidak tahu itu kau karena gelapnya.”

Dengan bercanda, aku bertanya kepadanya apakah dia akan mengundangku untuk makan camilan, tapi dia menjawab mungkin lain kali; aku terlalu sibuk mencari peta dan bajuku untuk benar-benar memperhatikannya, tetapi dia terdengar senang sehingga aku tidak merasa jahat. Dia mengatakan beberapa hal lain, tapi aku terlalu sibuk untuk memperhatikan. Aku mengucapkan selamat malam dan berlari menyusuri jalan masuk menuju rumahku. Di belakangku, aku bisa mendengarnya berjalan melintasi halaman yang beku, namun aku tidak berbalik untuk melambai; aku harus pulang.

Aku sampai di rumah beberapa menit sebelum ibuku, dan saat dia datang, Josh dan aku sudah berganti pakaian dan menghangatkan diri. Kami berhasil lolos, meskipun kami kehilangan petanya.

“Tak bisa menemukannya?”

“Nggak, tapi aku melihat Mrs. Maggie. Dia memanggilku Chris lagi. Kuberitahu kau, bersyukurlah kau belum pernah melihatnya di malam hari.”

Kami berdua tertawa dan dia bertanya apakah dia mengundangku untuk camilan, bercanda bahwa camilan itu pasti mengerikan karena dia bahkan kesulitan memberikannya. Aku mengatakan pada Josh tidak dan dia terkejut, dan sekarang aku punya waktu untuk memikirkannya, maka aku memikirkannya. Sebenarnya, setiap kali kami melihatnya dia akan mengundang kami untuk makan camilan, dan sekarang, meski aku menawarkan diri secara sarkastik, dia bilang tidak.

Ketika Josh berbicara lebih banyak tentang Mrs. Maggie, aku tiba-tiba menyadari bahwa korek api itu masih ada di sakuku dan akan sangat berbahaya jika ibuku menemukannya. Aku mengambil celana pendekku dari lantai dan memeriksa sakuku; aku merasakan sesuatu, namun itu bukan korek api. Dari saku belakang, aku mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dan jantungku mencelos. “Peta?” pikirku, “Tapi aku melihatnya hanyut.” Ketika aku membuka kertasnya, perutku berputar ketika mencoba memahami apa yang kulihat. Digambar di atas kertas dalam sebuah oval besar adalah dua stick figure berpegangan tangan. Satu jauh lebih besar dari yang lain, tapi tak ada yang memiliki wajah. Kertasnya robek sehingga ada sebagian yang hilang, dan ada nomor ditulis di dekat sudut kanan atas. Entah “15” atau “16”. Aku dengan gugup menyerahkan kertas itu pada Josh dan bertanya apakah dia yang memasukkannya ke dalam sakuku, tetapi dia menyangkal gagasan itu dan bertanya kenapa aku begitu kesal. Aku menunjuk ke arah stick figure yang lebih kecil dan apa yang tertulis di sebelahnya.

Itu inisialku.

Aku mengenyahkannya dan memberi tahu Josh sisa percakapan antara Mrs. Maggie dan aku. Aku selalu menganggap perilaku anehnya adalah karena dia sakit, hingga kemudian kupikirkan kembali kejadian-kejadian itu di benakku bertahun-tahun kemudian. Saat aku memikirkannya sekarang, perasaan sedih yang mendalam untuk Mrs. Maggie kembali, namun perasaan itu bertambah dengan rasa putus asa ketika aku mengingat dia berkata “mungkin lain kali.” Aku tahu apa yang dia katakan, tetapi aku tidak mengerti apa artinya malam itu. Aku tidak mengerti apa arti kata-katanya beberapa minggu kemudian ketika aku melihat laki-laki mengenakan setelan bio-hazard oranye yang aneh membawa apa yang kupikir kantong hitam penuh sampah keluar dari rumahnya, atau mengapa seluruh lingkungan berbau seperti bangkai hari itu. Aku masih tidak mengerti ketika mereka menyegel rumah itu dan menutupinya dengan papan beberapa saat sebelum kami pindah. Tapi aku mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa kata-kata terakhirnya kepadaku begitu penting, bahkan meski dia dan aku sama-sama tidak menyadarinya saat itu.

Mrs. Maggie malam itu memberitahuku bahwa Tom sudah pulang, tapi aku tahu sekarang siapa yang sebenarnya datang; seperti yang aku tahu sekarang kenapa aku tidak pernah melihat tubuhnya dibawa keluar dengan tandu.

Kantong-kantong itu tidak berisi sampah.

**
> Part 5

Comments

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus