original story by 1000vultures
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal
This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.
> Part 1
> Part 2
> Part 3
> Part 4
Layar
Aku sengaja menyembunyikan beberapa detail dari ceritaku. Aku membiarkan harapanku mempengaruhi penaksiranku tentang bagaimana hal-hal sebenarnya terjadi. Aku tak berpikir semua itu masih ada gunanya.
Di akhir musim panas antara TK dan kelas satu aku terserang flu perut. Flu ini memiliki semua komponen flu biasa; namun, dengan flu perut, kau muntah di ember dan bukan toilet karena kau harus selalu membawanya—penyakitnya hilang dengan penuh perjuangan. Ini berlangsung selama sekitar sepuluh hari, tapi tepat sebelum itu berlalu, penyakit itu punya lanjutan dalam wujud mata merah muda. Kelopak mataku begitu menyatu oleh lendir kering yang dihasilkan pada malam hari sehingga pada hari pertama aku terbangun dengan infeksi, kupikir aku jadi buta. Ketika aku memulai kelas satu, aku memiliki kerutan di leherku dari sepuluh hari istirahat dan dua mata merah yang bengkak. Josh ada di kelompok lain dan aku belum makan siang, jadi meski kantin penuh dengan dua ratus anak, aku masih punya meja untuk diriku sendiri.
Aku mulai menyimpan makanan cadangan di ranselku yang akan kubawa ke kamar mandi untuk dimakan setelah makan siang karena jatah makananku biasanya diambil oleh anak-anak yang lebih tua yang tahu aku tak akan menentang mereka karena tak ada yang mau membelaku. Dinamika ini bertahan bahkan setelah kondisiku membaik karena tak ada yang mau berteman dengan anak yang ditindas, karena mereka tak ingin ikut kena getahnya juga. Satu-satunya penyebab semua itu berhenti adalah karena tindakan seorang anak bernama Alex.
Alex duduk di kelas tiga dan lebih besar daripada kebanyakan anak-anak lain di kelas berapa pun. Sekitar pekan ketiga sekolah, dia mulai duduk denganku saat makan siang, dan ini segera mengakhiri kekurangan pasokan makananku. Dia cukup baik, tapi dia tampak agak lambat; kami tak pernah mengobrol panjang lebar kecuali saat aku akhirnya bertanya kenapa dia duduk bersamaku.
Dia naksir saudara perempuan Josh, Veronica.
Veronica duduk di kelas empat dan mungkin gadis tercantik di sekolah. Bahkan sebagai anak berusia enam tahun yang sepenuhnya mendukung gagasan bahwa gadis makhluk menjijikkan, aku masih menyadari betapa cantiknya Veronica. Ketika dia berada di kelas tiga, Josh mengatakan padaku, ada dua anak laki-laki terlibat perkelahian fisik yang dipicu oleh pertengkaran mengenai makna pesan yang Veronica tulis di buku tahunan mereka. Salah satu anak laki-laki itu akhirnya memukul dahi laki-laki satunya dengan ujung buku tahunan dan lukanya butuh dijahit agar menutup. Meskipun Alex bukan salah satu dari dua anak laki-laki itu, dia ingin Veronica menyukainya dan tahu bahwa dia mengenal Josh dan aku adalah teman baiknya; aku berkesimpulan bahwa dia berharap aku akan menyampaikan tindakan filantropisnya yang nyata kepada Veronica dan dia mungkin akan sangat tersentuh oleh ketidakegoisannya sehingga dia tertarik padanya. Jika aku sampaikan itu pada Veronica dia akan terus duduk denganku selama aku membutuhkannya.
Karena itu adalah waktu ketika Josh sering tinggal di rumahku membangun rakit dan menavigasi anak sungai bersamaku, aku tak punya kesempatan untuk menyampaikannya ke Veronica karena aku tak pernah melihatnya. Aku memberi tahu Josh tentang hal itu dan dia mengolok-olok Alex, tapi bilang bahwa dia akan memberi tahu kakaknya karena aku menginginkannya. Aku ragu dia akan melakukannya. Josh kesal karena orang-orang sepertinya begitu perhatian dengan kakak perempuannya. Aku ingat dia memanggilnya gagak jelek. Aku tak pernah mengatakan apa pun kepada Josh, tapi aku ingat ingin mengatakan, bahkan pada saat itu, bahwa dia cantik dan suatu hari akan menjadi wanita cantik.
Aku benar.
Ketika aku berusia lima belas tahun, aku sedang menonton film di tempat yang biasa disebut oleh aku dan teman-temanku sebagai Bioskop Buluk. Tempat itu mungkin dulunya bagus, tapi waktu dan kelalaian telah menggerogoti tempat itu dengan parah. Bioskop itu memiliki meja dan kursi yang dapat dipindahkan di lantai yang datar, jadi ketika bioskop penuh, hanya ada sedikit tempat yang bisa kau duduki untuk bisa melihat keseluruhan layar. Kukira bioskop itu masih buka karena tiga alasan:
Aku pergi untuk dua alasan pertama, dan malam itu mereka memutar Scanners oleh David Cronenberg dengan tiket $ 1,00.
Aku dan teman-temanku duduk di belakang. Aku ingin duduk lebih dekat ke depan untuk pandangan yang lebih baik, tapi Ryan menahan kami, jadi aku menyerah. Beberapa menit sebelum film dimulai, sekelompok gadis berjalan masuk. Semuanya cukup menarik, tapi kecantikan apa pun yang mungkin mereka miliki telah dikalahkan oleh gadis dengan rambut pirang cokelat, meskipun aku hanya melihat sekelebat profilnya. Ketika dia berbalik untuk menggeser kursinya, aku menangkap pemandangan penuh wajahnya yang membuat kupu-kupu beterbangan di perutku—itu adalah Veronica.
Sudah lama aku tak melihatnya. Josh dan aku semakin jarang bertemu satu sama lain sejak kami menyelinap ke rumah lamaku malam-malam sewaktu kami berusia sepuluh tahun itu, dan biasanya ketika aku mengunjunginya dia akan keluar dengan teman-teman. Sementara semua orang menatap layar, aku menatap Veronica—hanya memalingkan muka ketika perasaan bahwa diriku menjadi orang brengsek mengalahkanku, tapi perasaan itu dengan cepat mereda dan mataku akan kembali kepadanya. Dia benar-benar cantik, sama seperti yang kupikirkan ketika aku masih kecil. Ketika kredit mulai bergulir, teman-temanku bangkit dan beranjak; hanya ada satu pintu keluar dan mereka tak ingin terjebak menunggu kerumunan bersih. Aku bertahan dengan harapan bisa menarik perhatian Veronica. Ketika dia dan teman-temannya lewat, aku mengambil kesempatan.
“Hei, Veronica.”
Dia menoleh ke arahku, tampak sedikit terkejut.
“Ya?”
Aku bangkit dari kursiku dan melangkah sedikit ke cahaya yang masuk melalui pintu yang terbuka.
“Ini aku. Teman lama Josh dahulu ... Bagaimana ... Bagaimana kabarmu?”
“Ya Tuhan! HAI! Sudah lama tak jumpa!” dia memberi tahu teman-temannya bahwa dia akan keluar sebentar lagi.
“Ya, beberapa tahun paling tidak! Tidak sejak terakhir kali aku menginap bersama Josh. Omong-omong bagaimana kabarnya?”
“Oh, benar. Aku ingat semua permainan kalian. Apa kau masih bermain Kura-kura Ninja dengan teman-temanmu?”
Dia tertawa sedikit dan aku tersipu.
“Tidak. Aku bukan anak kecil lagi ... Aku dan teman-temanku bermain X-men sekarang.” Aku benar-benar berharap dia tertawa.
Dia tertawa. “Haha! Kau lucu. Kau sering nonton film seperti ini?”
Aku masih terkejut dengan yang dia katakan.
Apa dia benar-benar berpikir aku lucu? Apa maksudnya aku lucu? Apa dia pikir aku menarik?
Tiba-tiba aku menyadari bahwa dia telah mengajukan pertanyaan kepadaku, dan pikiranku memahami apa itu.
“YA!” Aku mengatakan terlalu keras. “Ya, aku usahakan ... bagaimana denganmu?”
“Hanya sesekali. Pacarku tak suka film-film macam ini tapi kami baru saja putus jadi aku berencana untuk sering datang mulai sekarang.”
Aku berusaha untuk bersikap santai, tapi gagal. “Oh, yah, itu keren ... bukan soal kalian putus! Maksudku kau akan bisa datang lebih sering.”
Dia tertawa lagi.
Aku mencoba untuk memulihkan diri, “Jadi, apa kau akan datang minggu depan? Mereka seharusnya memutar Day of the Dead. Film itu benar-benar keren.”
“Ya, aku akan ke sini.”
Dia tersenyum, dan aku sudah akan mengajukan bahwa mungkin kami bisa duduk bersama ketika dia dengan cepat menutup ruang di antara kami dan memelukku.
“Senang bertemu denganmu,” katanya dengan tangan mengelilingiku.
Aku mencoba memikirkan apa yang harus kukatakan ketika aku menyadari masalah terbesarnya adalah aku lupa caranya berbicara. Untunglah Ryan, yang bisa kudengar mendekat dari lorong, datang dan berbicara padaku.
“Kawan. Kau tahu filmnya sudah selesai? Ayo kita per—OHHH YEAAHHH.”
Veronica melepaskanku dan berkata bahwa kami akan bertemu lagi lain kali. Dia keluar ruangan diiringi musik porno yang dibuat Ryan dengan mulutnya. Aku sangat marah, tapi langsung surut begitu mendengar Veronica tertawa dari lobi.
Day of the Dead tak bisa segera datang. Keluarga Ryan pergi ke luar kota sehingga dia tak akan bisa mengantar kami, dan teman-temanku yang lain di malam itu tak punya mobil. Beberapa hari sebelum film diputar aku bertanya pada ibuku apakah dia bisa mengantarku. Dia segera menjawab dengan menolak permintaanku, tapi aku bersikeras dan dia menangkap nada keputusasaan dalam suaraku. Dia bertanya kenapa aku sangat ingin pergi karena aku pernah menonton film itu dan aku ragu sebelum mengatakan bahwa aku akan bertemu seorang gadis di sana. Dia tersenyum dan bertanya dengan main-main apakah dia tahu gadis itu dan dengan enggan aku katakan padanya itu Veronica. Senyum menghilang dari wajahnya dan dia dengan dingin berkata, “Tidak.”
Aku memutuskan akan menelepon Veronica untuk mencari tahu apa dia bisa menjemputku. Aku tak tahu apakah dia masih tinggal di rumah lamanya, tapi patut dicoba. Tapi kemudian aku menyadari bahwa mungkin Josh yang menjawab telepon. Sudah hampir tiga tahun aku tak berbicara dengannya, dan jika dia yang menjawab jelas aku tak bisa meminta untuk berbicara dengan saudara perempuannya. Aku merasa bersalah karena menelepon demi Veronica dan bukan demi Josh, tapi aku menyangkal perasaan itu dengan cepat; Josh sudah bertahun-tahun tak meneleponku. Aku mengangkat telepon dan memutar nomor yang masih tertanam dalam memori ototku karena sering memutarnya bertahun-tahun silam.
Telepon berdering beberapa kali sebelum seseorang mengangkatnya. Itu bukan Josh. Aku merasakan campuran antara kelegaan dan kekecewaan—aku menyadari pada saat itu bahwa aku benar-benar merindukan Josh. Aku akan menelepon setelah akhir pekan ini dan berbicara dengannya, tapi ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk melihat apakah Veronica bisa atau mau menjemputku, jadi aku bertanya padanya.
Orang itu memberitahu aku telah memutar nomor yang salah.
Aku mengulangi nomor itu kembali kepadanya, dan dia mengkonfirmasinya. Dia mengatakan mereka pasti telah mengubah nomor mereka dan aku setuju. Aku minta maaf telah mengganggu dan menutup telepon. Aku tiba-tiba sangat sedih karena sekarang tak dapat menghubungi Josh saat menginginkannya; aku merasa tak enak karena takut dia akan menjawab telepon. Dia adalah teman baikku. Aku menyadari bahwa satu-satunya cara aku dapat berhubungan kembali dengannya adalah melalui Veronica, jadi sekarang, bukan karena aku membutuhkannya, aku punya alasan lain untuk menemuinya.
Aku memberi tahu ibuku sehari sebelum film diputar bahwa aku tak lagi memikirkannya, tapi berharap dia bisa mengantarku ke rumah temanku, Chris. Dia mengalah dan menurunkanku pada hari Sabtu beberapa jam sebelum film diputar. Rencanaku adalah berjalan dari rumahnya ke bioskop karena dia hanya tinggal sekitar setengah mil jauhnya. Mereka pergi ke gereja lebih awal pada hari Minggu sehingga orang tuanya akan pergi tidur lebih awal di Sabtu malam, dan Chris tak keberatan tidak ikut denganku karena dia punya rencana untuk mengobrol dengan gadis yang dia temui online. Dia mengatakan bahwa perjalananku kembali ke rumahnya akan lebih sepi setelah Veronica menertawakanku saat aku mencoba menciumnya, dan aku mengatakan padanya untuk tak menyetrum dirinya sendiri ketika dia mencoba berhubungan seks dengan komputernya.
Aku meninggalkan rumahnya pukul 23:15.
Aku mencoba mengatur kecepatan langkahku agar sampai di sana sesaat sebelum film dimulai. Aku pergi sendirian jadi aku tak ingin keluyuran sendiri di sana. Dalam perjalanan ke bioskop aku membayangkan jika Veronica benar-benar datang, akan sangat beruntung bagi kami andai tiba pada waktu yang bersamaan, jadi aku berdebat apakah aku harus menunggu di luar atau langsung masuk. Keduanya punya keunggulan dan kekurangan. Saat aku bergulat dengan kekhawatiran ini, aku perhatikan bahwa aliran cahaya mobil yang mendahuluiku kini digantikan oleh satu sorot lampu yang konstan tak mau lewat. Jalan itu tidak diterangi oleh lampu jalan, jadi aku berjalan di rumput sekitar setengah meter dari kiri jalan; aku melangkah sedikit lebih ke kanan dan menjulurkan leher ke bahu kiri untuk melihat apa yang ada di belakangku.
Sebuah mobil berhenti sekitar tiga meter di belakangku.
Yang bisa kulihat hanyalah lampu depan yang terang benderang yang memotong-motong kegelapan di sekitarnya. Kupikir itu mungkin salah satu dari orangtua Chris; mungkin mereka datang untuk memeriksa kami dan melihat bahwa aku sudah pergi. Tak butuh banyak tekanan bagi Chris untuk mengaku. Aku mengambil satu langkah ke arah mobil, dan mobil itu berhenti dan mulai berjalan ke arahku dengan kecepatan pelan. Mobil itu melewatiku dan aku melihat itu bukan mobil orangtua Chris, atau mobil siapa pun yang kukenali. Aku mencoba melihat pengemudinya, tapi terlalu gelap, dan pupil mataku menyusut ketika dihadapkan dengan cahaya yang menyilaukan dari mobil beberapa saat sebelumnya. Mereka menyesuaikan dengan cukup cepat sehingga aku bisa melihat retakan besar di jendela belakang ketika mobil itu melaju pergi.
Aku tak terlalu memikirkannya; beberapa orang merasa senang menakuti orang lain—toh aku sering bersembunyi di sudut dan melompat ke arah ibuku.
Aku mengatur waktu dengan benar dan sampai di sana sekitar sepuluh menit sebelum film dimulai. Aku memutuskan untuk menunggu di luar sampai sekitar 23:57, karena itu akan memberiku waktu untuk menemukan Veronica di dalam jika dia sudah duduk. Ketika aku sedang mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia mungkin tidak muncul, aku melihatnya.
Dia sendirian, dan dia cantik.
Aku melambai padanya dan berjalan untuk menutup jarak. Dia tersenyum dan bertanya apakah teman-temanku sudah di dalam. Aku bilang bahwa mereka tidak datang dan menyadari bahwa sekarang aku tampak merencanakan kencan ini. Dia tampak tidak keberatan dengan itu, juga tidak keberatan ketika aku menyerahkan tiket yang sudah kubeli. Dia menatapku dengan heran, dan aku berkata, “Jangan khawatir, aku kaya.” Dia tertawa dan kami masuk.
Aku membelikan satu popcorn dan dua minuman dan menghabiskan sebagian besar durasi film untuk berdebat apakah aku harus memasukkan tanganku ke kantong popcorn atau tidak ketika dia meraihnya sehingga tangan kami akan bersentuhan. Dia tampak menikmati film itu dan sebelum aku menyadarinya, filmnya sudah berakhir. Kami tak berlama-lama di bioskop, dan karena ini adalah pertunjukan tengah malam, kami tak bisa berkeliaran di lobi, jadi kami berjalan ke luar.
Tempat parkir teater itu besar karena terhubung dengan mal yang sudah gulung tikar. Tak ingin malam segera berakhir, aku melanjutkan percakapan sambil berjalan santai menuju mal lama. Ketika kami hendak berbelok di tikungan dan menjadikan bioskop tak terlihat, aku menoleh ke belakang dan melihat mobil Veronica bukan satu-satunya yang tersisa di tempat parkir.
Mobil satunya memiliki retakan besar di jendela belakang.
Ketidaknyamananku langsung beralih ke pemahaman.
Masuk akal. Pengemudi mobil itu bekerja di sini dan pasti menyadari aku sedang dalam perjalanan ke bioskop.
Menyuntikkan horor nyata ke dalam kehidupan penggemar horor adalah sebuah tindakan jitu.
Kami berjalan di sekitar mal dan mendiskusikan filmnya. Aku mengatakan kepadanya bahwa kupikir Day of the Dead lebih baik daripada Dawn of the Dead, tapi dia menolak untuk setuju. Aku memberi tahu dia ketika aku menelepon nomor lamanya dan soal dilemaku tentang siapa yang akan menjawab telepon. Dia tidak menganggapnya lucu seperti caraku menceritakannya, tapi dia mengambil ponselku dan memasukkan nomornya di dalamnya. Dia berkomentar bahwa itu mungkin ponsel terburuk yang pernah dia lihat. Penilaiannya tidak gugur ketika aku mengatakan padanya bahwa aku bahkan tak bisa menerima gambar dengannya. Aku meneleponnya sehingga dia memiliki nomorku dan dia menyimpannya.
Dia mengatakan padaku bahwa dia akan lulus, tapi sejauh ini dia merasa belum berhasil di sekolah sehingga tak yakin apakah dia akan masuk perguruan tinggi. Aku mengatakan padanya untuk melampirkan foto dirinya ke aplikasi dan mereka akan membayarnya untuk masuk ke universitas hanya agar mereka bisa melihatnya. Dia tidak menertawakan itu dan kukira dia mungkin tersinggung—dia mungkin mengira aku menyiratkan bahwa dia tak bisa masuk berdasarkan kecerdasannya. Dengan gugup aku meliriknya dan dia hanya tersenyum dan bahkan dalam cahaya yang buruk ini aku bisa melihat dia merona. Aku ingin memegang tangannya tapi tak mampu.
Ketika kami berjalan di sisi terakhir mal untuk kembali ke bioskop, aku bertanya padanya soal Josh. Dia berkata padaku bahwa dia tak ingin membicarakannya. Aku bertanya apakah Josh setidaknya baik-baik saja dan dia hanya berkata, “Aku tak tahu.” Kupikir Josh pasti telah salah jalan di suatu tempat dan mulai mendapat masalah. Aku merasa tak enak. Aku merasa bersalah.
Ketika kami mendekati tempat parkir, aku perhatikan bahwa mobil dengan jendela belakang yang retak sudah tak ada dan sekarang mobilnya adalah satu-satunya yang ada di tempat parkir. Dia bertanya apa aku perlu tumpangan, dan meskipun sebenarnya tidak, aku bilang bahwa aku berterima kasih karenanya. Aku telah minum seluruh sodaku selama film dan semua perjalanan itu telah memberi tekanan pada kandung kemihku. Aku tahu bahwa aku bisa menunggu sampai kembali ke rumah Chris, tapi aku telah memutuskan akan mencoba menciumnya ketika dia menurunkanku, dan aku tak ingin gangguan biologis ini membuatku terburu-buru keluar dari mobil. Ini akan menjadi ciuman pertamaku.
Aku tak bisa memikirkan tipu muslihat untuk menyembunyikan apa yang perlu kulakukan. Bioskop sudah lama tutup jadi aku hanya punya satu pilihan. Aku mengatakan padanya bahwa aku akan pergi ke belakang bioskop untuk kencing dan akan kembali dalam “dua goyangan”. Jelas bahwa kupikir itu lucu dan dia sepertinya lebih banyak menertawakan betapa lucunya aku bisa memikirkannya daripada betapa lucunya kalimat itu.
Dalam perjalanan menuju bioskop aku berhenti dan menoleh ke arahnya. Aku bertanya padanya apakah Josh pernah mengatakan padanya bahwa anak bernama Alex telah berbuat baik untukku. Dia berhenti untuk berpikir sejenak dan menjawab pernah; dia bertanya mengapa aku bertanya, tapi kubilang itu bukan apa-apa. Josh benar-benar teman yang baik.
Ketika aku pergi ke belakang bioskop aku menyadari bahwa ada pagar rantai yang memanjang sejajar dengan dinding bangunan. Di tempatku berdiri, dia masih bisa melihatku, dan pagar itu sepertinya merentang tanpa henti, jadi kupikir aku akan melompat, menghilang dari pandangan, dan kembali secepat mungkin. Mungkin terlalu banyak usaha, tapi kupikir itu hal yang sopan. Aku memanjat pagar dan berjalan sedikit saja sampai tak terlihat dan kencing.
Untuk sesaat satu-satunya suara adalah jangkrik di rumput di belakangku dan benturan cairan dan semen. Suara-suara ini ditimpa oleh kebisingan yang masih bisa kudengar karena suasana yang sepi dan tak ada suara lain yang mengalihkan pendengaranku.
Di kejauhan aku mendengar pekikan samar yang dengan cepat mereda untuk kemudian digantikan dengan gelombang getaran yang bergemuruh. Aku cukup cepat menyadari apa itu.
Itu sebuah mobil.
Geraman mesin semakin keras. Dan kemudian aku berpikir.
Tidak. Bukan lebih keras. Lebih dekat.
Segera setelah aku menyadari itu, aku segera kembali ke pagar, tapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, aku mendengar jeritan singkat yang terpotong, dan deru mesin berakhir dengan bunyi memekakkan telinga. Aku mulai berlari, tapi setelah hanya dua atau tiga langkah aku tersandung oleh sepotong batu yang lepas dan jatuh dengan keras dan cepat ke lantai beton—kepalaku membentur sudut sebuah kursi ketika aku jatuh. Aku bingung selama mungkin tiga puluh detik, tapi gemuruh mesin yang baru menarik kembali pikiranku dan keseimbanganku dipulihkan oleh adrenalin. Aku menggandakan upayaku. Aku khawatir siapa pun yang menabrakkan mobil bisa menyakiti Veronica. Ketika aku memanjat pagar, aku melihat hanya ada satu mobil di tempat parkir. Aku tak melihat tanda-tanda kecelakaan. Kupikir mungkin aku salah menilai arah atau jaraknya. Ketika aku berlari ke arah mobil Veronica dan orientasiku berubah, aku melihat apa yang ditabrak mobil itu. Kakiku berhenti bekerja hampir sepenuhnya.
Itu adalah Veronica.
Mobil Veronica diam di antara kami dan ketika aku menutup jarak dan berjalan mendekat, dia baru sepenuhnya terlihat.
Tubuhnya terpuntir dan kusut seperti sosok yang dibuang untuk mewakili katalog hal-hal yang tak bisa dilakukan tubuh manusia. Aku bisa melihat tulang betis kanannya menembus celana jinsnya, dan lengan kirinya memeluk rapat dari belakang lehernya hingga ke dada kanannya. Kepalanya mendongak ke belakang dan mulutnya terbuka lebar ke arah langit. Ada begitu banyak darah. Ketika aku melihatnya, aku benar-benar merasa sulit untuk membedakan apakah dia terbaring atau telungkup, dan ilusi optik ini membuatku merasa mual. Ketika kau dihadapkan dengan sesuatu di dunia yang tak kau percayai, pikiranmu mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kau sedang bermimpi, dan untuk itu ia memberimu perasaan berbeda bahwa semua bergerak lambat seolah-olah menembus getah. Pada saat itu sejujurnya aku merasa akan bangun sebentar lagi.
Tapi aku tidak terbangun.
Aku meraba-raba ponselku untuk meminta bantuan tapi aku tak mendapat sinyal. Aku bisa melihat telepon Veronica mencuat dari apa yang kupikir adalah saku kanan depannya. Aku tak punya pilihan. Dengan gemetar, aku meraih teleponnya dan ketika aku mengeluarkannya, dia bergerak dan tersengal dengan keras seolah sedang berusaha menghirup udara di seluruh dunia.
Itu sangat mengejutkanku hingga aku terhuyung mundur dan jatuh ke aspal dengan teleponnya di tanganku. Dia berusaha menyesuaikan tubuhnya untuk mendapatkan posisi alami, tapi dengan setiap kejang dan sentakan aku bisa mendengar retakan dan derak tulangnya. Tanpa pikir panjang, aku bergegas mendekatinya dan mendekati wajahnya dan berkata:
“Veronica, jangan bergerak. Jangan bergerak, oke? Tetap diam. Jangan bergerak. Veronica, tolong jangan bergerak.”
Aku terus mengatakannya tapi kata-kataku mulai berantakan ketika air mata mengalir di wajahku. Aku membuka teleponnya. Masih berfungsi. Masih di layar saat dia menyimpan nomorku dan ketika aku melihat itu, aku merasakan hatiku hancur. Aku menelepon 911 dan menunggu bersamanya, mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja, dan merasa bersalah karena berbohong kepadanya setiap kali aku mengatakannya.
Ketika suara sirene merobek udara, dia tampak lebih waspada. Dia tetap sadar sejak aku menemukannya, tapi sekarang lebih banyak cahaya kembali ke matanya. Otaknya masih melindunginya dari rasa sakit, meskipun kelihatannya itu akan membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengannya. Matanya berguling ke bibirku dan bibirnya bergerak. Dia berjuang, tapi aku mendengarnya.
“Ddd... di.. D... Dia. F... fotoku... dia mengambilnya.”
Aku tak mengerti apa yang dia maksudkan, jadi aku mengatakan satu-satunya hal yang kubisa. “Maafkan aku, Veronica.”
Aku naik ke ambulans bersamanya di mana dia akhirnya kehilangan kesadaran. Aku menunggu di kamar yang telah mereka pesan untuknya. Aku masih membawa ponselnya jadi aku meletakkannya bersama dompetnya dan aku menelepon ibuku dari telepon rumah sakit. Itu sekitar jam 4 pagi. Aku mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja, tapi Veronica tidak. Dia mengutukku dan berkata dia akan ke sana, tapi aku mengatakan padanya bahwa aku tak akan pergi sampai Veronica keluar dari ruang operasi. Dia bilang akan tetap datang.
Ibuku dan aku tak banyak bicara. Aku mengatakan padanya bahwa aku menyesal telah berbohong, dan dia berkata bahwa kami akan membicarakannya nanti. Kupikir, seandainya kami berbicara lebih banyak di ruangan itu—jika saja aku memberitahunya tentang Boxes atau malam dengan rakit; jika saja dia memberitahuku lebih banyak tentang apa yang dia tahu—kupikir segala sesuatunya akan berubah. Tapi kami duduk diam di sana. Dia mengatakan padaku bahwa dia mencintaiku dan bahwa aku bisa memanggilnya kapan pun aku ingin dia datang menjemputku.
Ketika ibuku pergi, orangtua Veronica bergegas masuk. Ayahnya dan ibuku bertukar kata-kata yang tampaknya cukup serius sementara ibu Veronica berbicara dengan orang di meja. Ibunya adalah seorang perawat, tapi tak bekerja di rumah sakit ini. Aku yakin dia mencoba untuk mentransfer Veronica, tapi kondisinya menjadi penghalang. Sementara kami menunggu, polisi datang dan berbicara dengan masing-masing dari kami—aku memberitahu mereka apa yang terjadi, mereka membuat beberapa catatan, kemudian mereka pergi. Dia keluar dari ruang operasi dengan sembilan puluh persen tubuhnya ditutupi gips putih tebal. Lengan kanannya bebas, tapi sisanya terikat seperti kepompong. Dia masih belum sadar, tapi aku ingat bagaimana perasaanku ketika memakai gips sebelum masuk TK. Aku meminta spidol kepada perawat, tapi aku tak bisa memikirkan apa pun untuk ditulis. Aku tidur di kursi di sudut, dan pulang keesokan harinya.
Aku kembali setiap sore selama beberapa hari. Pada suatu waktu mereka telah memindahkan pasien lain ke kamarnya dan memasang layar pembatas di sekitar tempat tidur Veronica sebagai partisi. Dia tampaknya tidak merasa lebih baik, tapi dia membuat lebih banyak momen jernih. Tapi bahkan selama periode ini kami tidak benar-benar mengobrol. Rahangnya patah oleh mobil, jadi para dokter menahannya tertutup. Aku duduk dengannya untuk sementara waktu, tapi tak banyak yang bisa kukatakan. Aku bangkit dan berjalan menghampirinya. Aku mencium dahinya dan dia berbisik melalui giginya yang terkatup:
“Josh ...”
Ini sedikit mengejutkanku, tapi aku memandangnya dan berkata, “Apa dia tak datang menjengukmu?”
“Tidak...”
Aku menemukan diriku benar-benar kesal. “Bahkan meski Josh punya masalah, dia harus tetap datang menjenguk kakak perempuannya,” pikirku.
Aku baru akan mengungkapkan ini ketika dia berkata, “Tidak ... Josh ... dia pergi dari rumah ... aku seharusnya memberitahumu.”
Aku merasakan darahku berubah menjadi es.
“Kapan? Kapan itu terjadi?”
“Saat dia tiga belas tahun.”
“Apakah ... apakah dia meninggalkan pesan atau sesuatu?”
“Di atas bantalnya ...”
Dia mulai menangis dan aku mengikutinya, tapi kupikir sekarang kami menangis karena alasan yang berbeda meski aku tidak menyadarinya. Pada titik ini ada banyak hal yang aku masih tak ingat tentang masa kecilku, dan ada banyak koneksi yang belum kubuat. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus pergi tapi dia bisa mengirimi aku pesan kapan saja.
Aku mendapat pesan darinya pada hari berikutnya yang memintaku untuk tidak kembali. Aku bertanya kenapa dan dia bilang dia tak ingin aku melihatnya seperti itu. Aku setuju dengan enggan. Kami saling mengirim SMS setiap hari, meskipun aku merahasiakan ini dari ibuku karena aku tahu dia tak suka aku berbicara dengan Veronica. Biasanya pesannya cukup pendek, dan sebagian besar hanya sebagai balasan terhadap pesan yang lebih panjang yang akan aku kirimkan kepadanya. Aku mencoba meneleponnya sekali, aku yakin dia menyaring panggilan masuknya, tapi aku berharap bisa mendengar suaranya; dia mengangkat telepon tapi tidak mengatakan apa-apa—aku bisa mendengar betapa sulitnya dia bernapas. Sekitar seminggu setelah dia mengatakan kepadaku untuk tidak datang menemuinya lagi dia mengirimiku sebuah pesan yang terbaca:
“Aku mencintaimu.”
Aku dipenuhi dengan banyak emosi yang berbeda, tapi aku menjawab dengan mengungkapkan yang paling umum. Aku membalas:
“Aku juga mencintaimu.”
Dia berkata bahwa dia ingin bersamaku, dan bahwa dia tak sabar untuk bertemu denganku lagi. Dia mengatakan padaku bahwa dia sudah dipulangkan dan sedang dalam pemulihan di rumahnya. Pertukaran ini berlangsung selama beberapa minggu, tapi setiap kali aku meminta untuk datang menemuinya, dia akan mengatakan “segera”. Aku terus bersikeras dan minggu berikutnya dia berkata bahwa dia pikir mungkin dia bisa menonton film tengah malam berikutnya. Aku tak bisa mempercayainya, tapi dia bersikeras bahwa dia akan mencoba. Aku mendapat pesan darinya pada sore hari pemutaran film yang mengatakan:
“Sampai jumpa nanti malam.”
Aku meminta Ryan mengantarku karena orang tua Chris telah mengetahui apa yang telah terjadi dan mengatakan aku tak lagi diterima di rumah mereka. Aku menjelaskan kepada Ryan bahwa Veronica mungkin dalam kondisi yang buruk, tapi aku benar-benar peduli padanya jadi aku ingin dia memberi kami ruang. Dia menerimanya dan kami berangkat.
Veronica tidak datang.
Aku sudah menyiapkan kursi untuknya tepat di sebelahku di dekat pintu keluar sehingga dia bisa masuk dan keluar dengan mudah, tapi sepuluh menit setelah film dimulai seorang pria menduduki kursinya. Aku berbisik, “Maaf, kursi ini sudah dipesan,” tapi dia tak menanggapi sama sekali; dia hanya menatap layar. Aku ingat ingin pindah karena ada yang salah dengan caranya bernapas. Aku mengalah karena menyadari Veronica tak akan datang.
Aku mengirim sms kepadanya pada hari berikutnya menanyakan apakah dia baik-baik saja dan aku bertanya mengapa dia tak muncul malam sebelumnya. Dia menjawab dengan apa yang akan menjadi pesan terakhir yang kuterima darinya. Dia hanya berkata:
“Sampai ketemu lagi. Segera.”
Dia mengigau, dan aku mengkhawatirkannya. Aku mengiriminya beberapa balasan mengingatkannya soal film dan mengatakan itu bukan masalah besar tapi dia berhenti menjawab. Aku menjadi semakin kesal selama beberapa hari berikutnya. Aku tak bisa menghubungi rumahnya karena tak tahu nomornya, dan aku bahkan tak yakin di mana mereka tinggal. Suasana hatiku menjadi semakin tertekan, dan ibuku, yang sangat baik akhir-akhir ini, bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku mengatakan padanya bahwa aku belum mendengar kabar dari Veronica selama berhari-hari, dan aku merasa semua kehangatan meninggalkannya.
“Apa maksudmu?”
“Dia seharusnya menemuiku di bioskop kemarin. Aku tahu baru tiga minggu sejak dia kecelakaan, tapi dia bilang akan berusaha datang, dan setelah itu dia sama sekali berhenti bicara padaku. Dia pasti membenciku.”
Ibuku tampak bingung, dan aku bisa membaca di wajahnya bahwa dia berusaha mengatakan apakah pikiranku bermasalah. Ketika dia tahu pikiranku tidak bermasalah, matanya mulai berair dan dia menarikku ke arahnya, memelukku. Dia mulai terisak-isak, tapi sepertinya itu adalah reaksi yang terlalu berlebihan untuk masalahku, dan aku tak punya alasan untuk berpikir bahwa dia diam-diam perhatian pada Veronica. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengatakan sesuatu yang masih membuat mual, bahkan sekarang. Dia berkata:
“Veronica sudah meninggal, Sayang. Ya Tuhan, kupikir kau tahu. Dia meninggal pada hari terakhir kau mengunjunginya. Oh sayang, dia sudah meninggal beberapa minggu yang lalu.”
Dia benar-benar sedih, tapi aku tahu itu bukan karena Veronica. Aku melepas pelukan dan terhuyung mundur. Pikiranku berenang. Ini tak mungkin. Aku baru saja bertukar pesan dengannya kemarin. Aku hanya bisa terpikir untuk mengajukan satu pertanyaan, dan itu mungkin yang paling sepele yang bisa kutanyakan.
“Lalu kenapa ponselnya masih menyala?”
Dia terus menangis. Dia tak menjawab.
Aku meledak, “KENAPA MEREKA BUTUH WAKTU LAMA UNTUK MEMATIKAN PONSELNYA?”
Tangisannya pecah untuk bergumam, “Foto-fotonya...”
Kemudian aku mengetahui bahwa orang tuanya berpikir ponselnya hilang dalam kecelakaan itu, meskipun faktanya aku memasukkannya ke dompetnya pada malam dia dibawa ke rumah sakit. Ketika mereka mengambil barang-barangnya, telepon itu tak ada di antaranya. Mereka bermaksud menghubungi perusahaan telepon pada akhir masa tagihan nanti untuk menonaktifkan jaringan, tapi mereka menerima panggilan yang memberitahu mereka soal biaya besar yang akan datang untuk ratusan gambar yang telah dikirim dari teleponnya. Foto-foto. Foto yang semuanya dikirim ke ponselku. Foto yang tak pernah kudapatkan karena ponselku tak dapat menerimanya. Mereka kemudian tahu bahwa itu semua dikirim di malam setelah dia meninggal. Mereka segera menonaktifkan ponselnya.
Aku berusaha untuk tidak memikirkan isi dari foto-foto itu. Tapi aku ingat bertanya-tanya karena suatu alasan pasti fotoku akan menjadi salah satu di antaranya.
Mulutku mengering dan aku merasakan sengatan keputusasaan yang menyakitkan ketika aku memikirkan pesan terakhir yang kuterima dari ponselnya ...
Sampai jumpa lagi. Segera.
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal
This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.
> Part 1
> Part 2
> Part 3
> Part 4
Layar
Aku sengaja menyembunyikan beberapa detail dari ceritaku. Aku membiarkan harapanku mempengaruhi penaksiranku tentang bagaimana hal-hal sebenarnya terjadi. Aku tak berpikir semua itu masih ada gunanya.
Di akhir musim panas antara TK dan kelas satu aku terserang flu perut. Flu ini memiliki semua komponen flu biasa; namun, dengan flu perut, kau muntah di ember dan bukan toilet karena kau harus selalu membawanya—penyakitnya hilang dengan penuh perjuangan. Ini berlangsung selama sekitar sepuluh hari, tapi tepat sebelum itu berlalu, penyakit itu punya lanjutan dalam wujud mata merah muda. Kelopak mataku begitu menyatu oleh lendir kering yang dihasilkan pada malam hari sehingga pada hari pertama aku terbangun dengan infeksi, kupikir aku jadi buta. Ketika aku memulai kelas satu, aku memiliki kerutan di leherku dari sepuluh hari istirahat dan dua mata merah yang bengkak. Josh ada di kelompok lain dan aku belum makan siang, jadi meski kantin penuh dengan dua ratus anak, aku masih punya meja untuk diriku sendiri.
Aku mulai menyimpan makanan cadangan di ranselku yang akan kubawa ke kamar mandi untuk dimakan setelah makan siang karena jatah makananku biasanya diambil oleh anak-anak yang lebih tua yang tahu aku tak akan menentang mereka karena tak ada yang mau membelaku. Dinamika ini bertahan bahkan setelah kondisiku membaik karena tak ada yang mau berteman dengan anak yang ditindas, karena mereka tak ingin ikut kena getahnya juga. Satu-satunya penyebab semua itu berhenti adalah karena tindakan seorang anak bernama Alex.
Alex duduk di kelas tiga dan lebih besar daripada kebanyakan anak-anak lain di kelas berapa pun. Sekitar pekan ketiga sekolah, dia mulai duduk denganku saat makan siang, dan ini segera mengakhiri kekurangan pasokan makananku. Dia cukup baik, tapi dia tampak agak lambat; kami tak pernah mengobrol panjang lebar kecuali saat aku akhirnya bertanya kenapa dia duduk bersamaku.
Dia naksir saudara perempuan Josh, Veronica.
Veronica duduk di kelas empat dan mungkin gadis tercantik di sekolah. Bahkan sebagai anak berusia enam tahun yang sepenuhnya mendukung gagasan bahwa gadis makhluk menjijikkan, aku masih menyadari betapa cantiknya Veronica. Ketika dia berada di kelas tiga, Josh mengatakan padaku, ada dua anak laki-laki terlibat perkelahian fisik yang dipicu oleh pertengkaran mengenai makna pesan yang Veronica tulis di buku tahunan mereka. Salah satu anak laki-laki itu akhirnya memukul dahi laki-laki satunya dengan ujung buku tahunan dan lukanya butuh dijahit agar menutup. Meskipun Alex bukan salah satu dari dua anak laki-laki itu, dia ingin Veronica menyukainya dan tahu bahwa dia mengenal Josh dan aku adalah teman baiknya; aku berkesimpulan bahwa dia berharap aku akan menyampaikan tindakan filantropisnya yang nyata kepada Veronica dan dia mungkin akan sangat tersentuh oleh ketidakegoisannya sehingga dia tertarik padanya. Jika aku sampaikan itu pada Veronica dia akan terus duduk denganku selama aku membutuhkannya.
Karena itu adalah waktu ketika Josh sering tinggal di rumahku membangun rakit dan menavigasi anak sungai bersamaku, aku tak punya kesempatan untuk menyampaikannya ke Veronica karena aku tak pernah melihatnya. Aku memberi tahu Josh tentang hal itu dan dia mengolok-olok Alex, tapi bilang bahwa dia akan memberi tahu kakaknya karena aku menginginkannya. Aku ragu dia akan melakukannya. Josh kesal karena orang-orang sepertinya begitu perhatian dengan kakak perempuannya. Aku ingat dia memanggilnya gagak jelek. Aku tak pernah mengatakan apa pun kepada Josh, tapi aku ingat ingin mengatakan, bahkan pada saat itu, bahwa dia cantik dan suatu hari akan menjadi wanita cantik.
Aku benar.
Ketika aku berusia lima belas tahun, aku sedang menonton film di tempat yang biasa disebut oleh aku dan teman-temanku sebagai Bioskop Buluk. Tempat itu mungkin dulunya bagus, tapi waktu dan kelalaian telah menggerogoti tempat itu dengan parah. Bioskop itu memiliki meja dan kursi yang dapat dipindahkan di lantai yang datar, jadi ketika bioskop penuh, hanya ada sedikit tempat yang bisa kau duduki untuk bisa melihat keseluruhan layar. Kukira bioskop itu masih buka karena tiga alasan:
- harganya murah untuk menonton film di sana
- mereka memutar film cult yang berbeda dua kali dalam sebulan saat tengah malam; dan
- mereka menjual bir kepada anak-anak di bawah umur selama pemutaran tengah malam.
Aku pergi untuk dua alasan pertama, dan malam itu mereka memutar Scanners oleh David Cronenberg dengan tiket $ 1,00.
Aku dan teman-temanku duduk di belakang. Aku ingin duduk lebih dekat ke depan untuk pandangan yang lebih baik, tapi Ryan menahan kami, jadi aku menyerah. Beberapa menit sebelum film dimulai, sekelompok gadis berjalan masuk. Semuanya cukup menarik, tapi kecantikan apa pun yang mungkin mereka miliki telah dikalahkan oleh gadis dengan rambut pirang cokelat, meskipun aku hanya melihat sekelebat profilnya. Ketika dia berbalik untuk menggeser kursinya, aku menangkap pemandangan penuh wajahnya yang membuat kupu-kupu beterbangan di perutku—itu adalah Veronica.
Sudah lama aku tak melihatnya. Josh dan aku semakin jarang bertemu satu sama lain sejak kami menyelinap ke rumah lamaku malam-malam sewaktu kami berusia sepuluh tahun itu, dan biasanya ketika aku mengunjunginya dia akan keluar dengan teman-teman. Sementara semua orang menatap layar, aku menatap Veronica—hanya memalingkan muka ketika perasaan bahwa diriku menjadi orang brengsek mengalahkanku, tapi perasaan itu dengan cepat mereda dan mataku akan kembali kepadanya. Dia benar-benar cantik, sama seperti yang kupikirkan ketika aku masih kecil. Ketika kredit mulai bergulir, teman-temanku bangkit dan beranjak; hanya ada satu pintu keluar dan mereka tak ingin terjebak menunggu kerumunan bersih. Aku bertahan dengan harapan bisa menarik perhatian Veronica. Ketika dia dan teman-temannya lewat, aku mengambil kesempatan.
“Hei, Veronica.”
Dia menoleh ke arahku, tampak sedikit terkejut.
“Ya?”
Aku bangkit dari kursiku dan melangkah sedikit ke cahaya yang masuk melalui pintu yang terbuka.
“Ini aku. Teman lama Josh dahulu ... Bagaimana ... Bagaimana kabarmu?”
“Ya Tuhan! HAI! Sudah lama tak jumpa!” dia memberi tahu teman-temannya bahwa dia akan keluar sebentar lagi.
“Ya, beberapa tahun paling tidak! Tidak sejak terakhir kali aku menginap bersama Josh. Omong-omong bagaimana kabarnya?”
“Oh, benar. Aku ingat semua permainan kalian. Apa kau masih bermain Kura-kura Ninja dengan teman-temanmu?”
Dia tertawa sedikit dan aku tersipu.
“Tidak. Aku bukan anak kecil lagi ... Aku dan teman-temanku bermain X-men sekarang.” Aku benar-benar berharap dia tertawa.
Dia tertawa. “Haha! Kau lucu. Kau sering nonton film seperti ini?”
Aku masih terkejut dengan yang dia katakan.
Apa dia benar-benar berpikir aku lucu? Apa maksudnya aku lucu? Apa dia pikir aku menarik?
Tiba-tiba aku menyadari bahwa dia telah mengajukan pertanyaan kepadaku, dan pikiranku memahami apa itu.
“YA!” Aku mengatakan terlalu keras. “Ya, aku usahakan ... bagaimana denganmu?”
“Hanya sesekali. Pacarku tak suka film-film macam ini tapi kami baru saja putus jadi aku berencana untuk sering datang mulai sekarang.”
Aku berusaha untuk bersikap santai, tapi gagal. “Oh, yah, itu keren ... bukan soal kalian putus! Maksudku kau akan bisa datang lebih sering.”
Dia tertawa lagi.
Aku mencoba untuk memulihkan diri, “Jadi, apa kau akan datang minggu depan? Mereka seharusnya memutar Day of the Dead. Film itu benar-benar keren.”
“Ya, aku akan ke sini.”
Dia tersenyum, dan aku sudah akan mengajukan bahwa mungkin kami bisa duduk bersama ketika dia dengan cepat menutup ruang di antara kami dan memelukku.
“Senang bertemu denganmu,” katanya dengan tangan mengelilingiku.
Aku mencoba memikirkan apa yang harus kukatakan ketika aku menyadari masalah terbesarnya adalah aku lupa caranya berbicara. Untunglah Ryan, yang bisa kudengar mendekat dari lorong, datang dan berbicara padaku.
“Kawan. Kau tahu filmnya sudah selesai? Ayo kita per—OHHH YEAAHHH.”
Veronica melepaskanku dan berkata bahwa kami akan bertemu lagi lain kali. Dia keluar ruangan diiringi musik porno yang dibuat Ryan dengan mulutnya. Aku sangat marah, tapi langsung surut begitu mendengar Veronica tertawa dari lobi.
Day of the Dead tak bisa segera datang. Keluarga Ryan pergi ke luar kota sehingga dia tak akan bisa mengantar kami, dan teman-temanku yang lain di malam itu tak punya mobil. Beberapa hari sebelum film diputar aku bertanya pada ibuku apakah dia bisa mengantarku. Dia segera menjawab dengan menolak permintaanku, tapi aku bersikeras dan dia menangkap nada keputusasaan dalam suaraku. Dia bertanya kenapa aku sangat ingin pergi karena aku pernah menonton film itu dan aku ragu sebelum mengatakan bahwa aku akan bertemu seorang gadis di sana. Dia tersenyum dan bertanya dengan main-main apakah dia tahu gadis itu dan dengan enggan aku katakan padanya itu Veronica. Senyum menghilang dari wajahnya dan dia dengan dingin berkata, “Tidak.”
Aku memutuskan akan menelepon Veronica untuk mencari tahu apa dia bisa menjemputku. Aku tak tahu apakah dia masih tinggal di rumah lamanya, tapi patut dicoba. Tapi kemudian aku menyadari bahwa mungkin Josh yang menjawab telepon. Sudah hampir tiga tahun aku tak berbicara dengannya, dan jika dia yang menjawab jelas aku tak bisa meminta untuk berbicara dengan saudara perempuannya. Aku merasa bersalah karena menelepon demi Veronica dan bukan demi Josh, tapi aku menyangkal perasaan itu dengan cepat; Josh sudah bertahun-tahun tak meneleponku. Aku mengangkat telepon dan memutar nomor yang masih tertanam dalam memori ototku karena sering memutarnya bertahun-tahun silam.
Telepon berdering beberapa kali sebelum seseorang mengangkatnya. Itu bukan Josh. Aku merasakan campuran antara kelegaan dan kekecewaan—aku menyadari pada saat itu bahwa aku benar-benar merindukan Josh. Aku akan menelepon setelah akhir pekan ini dan berbicara dengannya, tapi ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk melihat apakah Veronica bisa atau mau menjemputku, jadi aku bertanya padanya.
Orang itu memberitahu aku telah memutar nomor yang salah.
Aku mengulangi nomor itu kembali kepadanya, dan dia mengkonfirmasinya. Dia mengatakan mereka pasti telah mengubah nomor mereka dan aku setuju. Aku minta maaf telah mengganggu dan menutup telepon. Aku tiba-tiba sangat sedih karena sekarang tak dapat menghubungi Josh saat menginginkannya; aku merasa tak enak karena takut dia akan menjawab telepon. Dia adalah teman baikku. Aku menyadari bahwa satu-satunya cara aku dapat berhubungan kembali dengannya adalah melalui Veronica, jadi sekarang, bukan karena aku membutuhkannya, aku punya alasan lain untuk menemuinya.
Aku memberi tahu ibuku sehari sebelum film diputar bahwa aku tak lagi memikirkannya, tapi berharap dia bisa mengantarku ke rumah temanku, Chris. Dia mengalah dan menurunkanku pada hari Sabtu beberapa jam sebelum film diputar. Rencanaku adalah berjalan dari rumahnya ke bioskop karena dia hanya tinggal sekitar setengah mil jauhnya. Mereka pergi ke gereja lebih awal pada hari Minggu sehingga orang tuanya akan pergi tidur lebih awal di Sabtu malam, dan Chris tak keberatan tidak ikut denganku karena dia punya rencana untuk mengobrol dengan gadis yang dia temui online. Dia mengatakan bahwa perjalananku kembali ke rumahnya akan lebih sepi setelah Veronica menertawakanku saat aku mencoba menciumnya, dan aku mengatakan padanya untuk tak menyetrum dirinya sendiri ketika dia mencoba berhubungan seks dengan komputernya.
Aku meninggalkan rumahnya pukul 23:15.
Aku mencoba mengatur kecepatan langkahku agar sampai di sana sesaat sebelum film dimulai. Aku pergi sendirian jadi aku tak ingin keluyuran sendiri di sana. Dalam perjalanan ke bioskop aku membayangkan jika Veronica benar-benar datang, akan sangat beruntung bagi kami andai tiba pada waktu yang bersamaan, jadi aku berdebat apakah aku harus menunggu di luar atau langsung masuk. Keduanya punya keunggulan dan kekurangan. Saat aku bergulat dengan kekhawatiran ini, aku perhatikan bahwa aliran cahaya mobil yang mendahuluiku kini digantikan oleh satu sorot lampu yang konstan tak mau lewat. Jalan itu tidak diterangi oleh lampu jalan, jadi aku berjalan di rumput sekitar setengah meter dari kiri jalan; aku melangkah sedikit lebih ke kanan dan menjulurkan leher ke bahu kiri untuk melihat apa yang ada di belakangku.
Sebuah mobil berhenti sekitar tiga meter di belakangku.
Yang bisa kulihat hanyalah lampu depan yang terang benderang yang memotong-motong kegelapan di sekitarnya. Kupikir itu mungkin salah satu dari orangtua Chris; mungkin mereka datang untuk memeriksa kami dan melihat bahwa aku sudah pergi. Tak butuh banyak tekanan bagi Chris untuk mengaku. Aku mengambil satu langkah ke arah mobil, dan mobil itu berhenti dan mulai berjalan ke arahku dengan kecepatan pelan. Mobil itu melewatiku dan aku melihat itu bukan mobil orangtua Chris, atau mobil siapa pun yang kukenali. Aku mencoba melihat pengemudinya, tapi terlalu gelap, dan pupil mataku menyusut ketika dihadapkan dengan cahaya yang menyilaukan dari mobil beberapa saat sebelumnya. Mereka menyesuaikan dengan cukup cepat sehingga aku bisa melihat retakan besar di jendela belakang ketika mobil itu melaju pergi.
Aku tak terlalu memikirkannya; beberapa orang merasa senang menakuti orang lain—toh aku sering bersembunyi di sudut dan melompat ke arah ibuku.
Aku mengatur waktu dengan benar dan sampai di sana sekitar sepuluh menit sebelum film dimulai. Aku memutuskan untuk menunggu di luar sampai sekitar 23:57, karena itu akan memberiku waktu untuk menemukan Veronica di dalam jika dia sudah duduk. Ketika aku sedang mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia mungkin tidak muncul, aku melihatnya.
Dia sendirian, dan dia cantik.
Aku melambai padanya dan berjalan untuk menutup jarak. Dia tersenyum dan bertanya apakah teman-temanku sudah di dalam. Aku bilang bahwa mereka tidak datang dan menyadari bahwa sekarang aku tampak merencanakan kencan ini. Dia tampak tidak keberatan dengan itu, juga tidak keberatan ketika aku menyerahkan tiket yang sudah kubeli. Dia menatapku dengan heran, dan aku berkata, “Jangan khawatir, aku kaya.” Dia tertawa dan kami masuk.
Aku membelikan satu popcorn dan dua minuman dan menghabiskan sebagian besar durasi film untuk berdebat apakah aku harus memasukkan tanganku ke kantong popcorn atau tidak ketika dia meraihnya sehingga tangan kami akan bersentuhan. Dia tampak menikmati film itu dan sebelum aku menyadarinya, filmnya sudah berakhir. Kami tak berlama-lama di bioskop, dan karena ini adalah pertunjukan tengah malam, kami tak bisa berkeliaran di lobi, jadi kami berjalan ke luar.
Tempat parkir teater itu besar karena terhubung dengan mal yang sudah gulung tikar. Tak ingin malam segera berakhir, aku melanjutkan percakapan sambil berjalan santai menuju mal lama. Ketika kami hendak berbelok di tikungan dan menjadikan bioskop tak terlihat, aku menoleh ke belakang dan melihat mobil Veronica bukan satu-satunya yang tersisa di tempat parkir.
Mobil satunya memiliki retakan besar di jendela belakang.
Ketidaknyamananku langsung beralih ke pemahaman.
Masuk akal. Pengemudi mobil itu bekerja di sini dan pasti menyadari aku sedang dalam perjalanan ke bioskop.
Menyuntikkan horor nyata ke dalam kehidupan penggemar horor adalah sebuah tindakan jitu.
Kami berjalan di sekitar mal dan mendiskusikan filmnya. Aku mengatakan kepadanya bahwa kupikir Day of the Dead lebih baik daripada Dawn of the Dead, tapi dia menolak untuk setuju. Aku memberi tahu dia ketika aku menelepon nomor lamanya dan soal dilemaku tentang siapa yang akan menjawab telepon. Dia tidak menganggapnya lucu seperti caraku menceritakannya, tapi dia mengambil ponselku dan memasukkan nomornya di dalamnya. Dia berkomentar bahwa itu mungkin ponsel terburuk yang pernah dia lihat. Penilaiannya tidak gugur ketika aku mengatakan padanya bahwa aku bahkan tak bisa menerima gambar dengannya. Aku meneleponnya sehingga dia memiliki nomorku dan dia menyimpannya.
Dia mengatakan padaku bahwa dia akan lulus, tapi sejauh ini dia merasa belum berhasil di sekolah sehingga tak yakin apakah dia akan masuk perguruan tinggi. Aku mengatakan padanya untuk melampirkan foto dirinya ke aplikasi dan mereka akan membayarnya untuk masuk ke universitas hanya agar mereka bisa melihatnya. Dia tidak menertawakan itu dan kukira dia mungkin tersinggung—dia mungkin mengira aku menyiratkan bahwa dia tak bisa masuk berdasarkan kecerdasannya. Dengan gugup aku meliriknya dan dia hanya tersenyum dan bahkan dalam cahaya yang buruk ini aku bisa melihat dia merona. Aku ingin memegang tangannya tapi tak mampu.
Ketika kami berjalan di sisi terakhir mal untuk kembali ke bioskop, aku bertanya padanya soal Josh. Dia berkata padaku bahwa dia tak ingin membicarakannya. Aku bertanya apakah Josh setidaknya baik-baik saja dan dia hanya berkata, “Aku tak tahu.” Kupikir Josh pasti telah salah jalan di suatu tempat dan mulai mendapat masalah. Aku merasa tak enak. Aku merasa bersalah.
Ketika kami mendekati tempat parkir, aku perhatikan bahwa mobil dengan jendela belakang yang retak sudah tak ada dan sekarang mobilnya adalah satu-satunya yang ada di tempat parkir. Dia bertanya apa aku perlu tumpangan, dan meskipun sebenarnya tidak, aku bilang bahwa aku berterima kasih karenanya. Aku telah minum seluruh sodaku selama film dan semua perjalanan itu telah memberi tekanan pada kandung kemihku. Aku tahu bahwa aku bisa menunggu sampai kembali ke rumah Chris, tapi aku telah memutuskan akan mencoba menciumnya ketika dia menurunkanku, dan aku tak ingin gangguan biologis ini membuatku terburu-buru keluar dari mobil. Ini akan menjadi ciuman pertamaku.
Aku tak bisa memikirkan tipu muslihat untuk menyembunyikan apa yang perlu kulakukan. Bioskop sudah lama tutup jadi aku hanya punya satu pilihan. Aku mengatakan padanya bahwa aku akan pergi ke belakang bioskop untuk kencing dan akan kembali dalam “dua goyangan”. Jelas bahwa kupikir itu lucu dan dia sepertinya lebih banyak menertawakan betapa lucunya aku bisa memikirkannya daripada betapa lucunya kalimat itu.
Dalam perjalanan menuju bioskop aku berhenti dan menoleh ke arahnya. Aku bertanya padanya apakah Josh pernah mengatakan padanya bahwa anak bernama Alex telah berbuat baik untukku. Dia berhenti untuk berpikir sejenak dan menjawab pernah; dia bertanya mengapa aku bertanya, tapi kubilang itu bukan apa-apa. Josh benar-benar teman yang baik.
Ketika aku pergi ke belakang bioskop aku menyadari bahwa ada pagar rantai yang memanjang sejajar dengan dinding bangunan. Di tempatku berdiri, dia masih bisa melihatku, dan pagar itu sepertinya merentang tanpa henti, jadi kupikir aku akan melompat, menghilang dari pandangan, dan kembali secepat mungkin. Mungkin terlalu banyak usaha, tapi kupikir itu hal yang sopan. Aku memanjat pagar dan berjalan sedikit saja sampai tak terlihat dan kencing.
Untuk sesaat satu-satunya suara adalah jangkrik di rumput di belakangku dan benturan cairan dan semen. Suara-suara ini ditimpa oleh kebisingan yang masih bisa kudengar karena suasana yang sepi dan tak ada suara lain yang mengalihkan pendengaranku.
Di kejauhan aku mendengar pekikan samar yang dengan cepat mereda untuk kemudian digantikan dengan gelombang getaran yang bergemuruh. Aku cukup cepat menyadari apa itu.
Itu sebuah mobil.
Geraman mesin semakin keras. Dan kemudian aku berpikir.
Tidak. Bukan lebih keras. Lebih dekat.
Segera setelah aku menyadari itu, aku segera kembali ke pagar, tapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, aku mendengar jeritan singkat yang terpotong, dan deru mesin berakhir dengan bunyi memekakkan telinga. Aku mulai berlari, tapi setelah hanya dua atau tiga langkah aku tersandung oleh sepotong batu yang lepas dan jatuh dengan keras dan cepat ke lantai beton—kepalaku membentur sudut sebuah kursi ketika aku jatuh. Aku bingung selama mungkin tiga puluh detik, tapi gemuruh mesin yang baru menarik kembali pikiranku dan keseimbanganku dipulihkan oleh adrenalin. Aku menggandakan upayaku. Aku khawatir siapa pun yang menabrakkan mobil bisa menyakiti Veronica. Ketika aku memanjat pagar, aku melihat hanya ada satu mobil di tempat parkir. Aku tak melihat tanda-tanda kecelakaan. Kupikir mungkin aku salah menilai arah atau jaraknya. Ketika aku berlari ke arah mobil Veronica dan orientasiku berubah, aku melihat apa yang ditabrak mobil itu. Kakiku berhenti bekerja hampir sepenuhnya.
Itu adalah Veronica.
Mobil Veronica diam di antara kami dan ketika aku menutup jarak dan berjalan mendekat, dia baru sepenuhnya terlihat.
Tubuhnya terpuntir dan kusut seperti sosok yang dibuang untuk mewakili katalog hal-hal yang tak bisa dilakukan tubuh manusia. Aku bisa melihat tulang betis kanannya menembus celana jinsnya, dan lengan kirinya memeluk rapat dari belakang lehernya hingga ke dada kanannya. Kepalanya mendongak ke belakang dan mulutnya terbuka lebar ke arah langit. Ada begitu banyak darah. Ketika aku melihatnya, aku benar-benar merasa sulit untuk membedakan apakah dia terbaring atau telungkup, dan ilusi optik ini membuatku merasa mual. Ketika kau dihadapkan dengan sesuatu di dunia yang tak kau percayai, pikiranmu mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kau sedang bermimpi, dan untuk itu ia memberimu perasaan berbeda bahwa semua bergerak lambat seolah-olah menembus getah. Pada saat itu sejujurnya aku merasa akan bangun sebentar lagi.
Tapi aku tidak terbangun.
Aku meraba-raba ponselku untuk meminta bantuan tapi aku tak mendapat sinyal. Aku bisa melihat telepon Veronica mencuat dari apa yang kupikir adalah saku kanan depannya. Aku tak punya pilihan. Dengan gemetar, aku meraih teleponnya dan ketika aku mengeluarkannya, dia bergerak dan tersengal dengan keras seolah sedang berusaha menghirup udara di seluruh dunia.
Itu sangat mengejutkanku hingga aku terhuyung mundur dan jatuh ke aspal dengan teleponnya di tanganku. Dia berusaha menyesuaikan tubuhnya untuk mendapatkan posisi alami, tapi dengan setiap kejang dan sentakan aku bisa mendengar retakan dan derak tulangnya. Tanpa pikir panjang, aku bergegas mendekatinya dan mendekati wajahnya dan berkata:
“Veronica, jangan bergerak. Jangan bergerak, oke? Tetap diam. Jangan bergerak. Veronica, tolong jangan bergerak.”
Aku terus mengatakannya tapi kata-kataku mulai berantakan ketika air mata mengalir di wajahku. Aku membuka teleponnya. Masih berfungsi. Masih di layar saat dia menyimpan nomorku dan ketika aku melihat itu, aku merasakan hatiku hancur. Aku menelepon 911 dan menunggu bersamanya, mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja, dan merasa bersalah karena berbohong kepadanya setiap kali aku mengatakannya.
Ketika suara sirene merobek udara, dia tampak lebih waspada. Dia tetap sadar sejak aku menemukannya, tapi sekarang lebih banyak cahaya kembali ke matanya. Otaknya masih melindunginya dari rasa sakit, meskipun kelihatannya itu akan membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengannya. Matanya berguling ke bibirku dan bibirnya bergerak. Dia berjuang, tapi aku mendengarnya.
“Ddd... di.. D... Dia. F... fotoku... dia mengambilnya.”
Aku tak mengerti apa yang dia maksudkan, jadi aku mengatakan satu-satunya hal yang kubisa. “Maafkan aku, Veronica.”
Aku naik ke ambulans bersamanya di mana dia akhirnya kehilangan kesadaran. Aku menunggu di kamar yang telah mereka pesan untuknya. Aku masih membawa ponselnya jadi aku meletakkannya bersama dompetnya dan aku menelepon ibuku dari telepon rumah sakit. Itu sekitar jam 4 pagi. Aku mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja, tapi Veronica tidak. Dia mengutukku dan berkata dia akan ke sana, tapi aku mengatakan padanya bahwa aku tak akan pergi sampai Veronica keluar dari ruang operasi. Dia bilang akan tetap datang.
Ibuku dan aku tak banyak bicara. Aku mengatakan padanya bahwa aku menyesal telah berbohong, dan dia berkata bahwa kami akan membicarakannya nanti. Kupikir, seandainya kami berbicara lebih banyak di ruangan itu—jika saja aku memberitahunya tentang Boxes atau malam dengan rakit; jika saja dia memberitahuku lebih banyak tentang apa yang dia tahu—kupikir segala sesuatunya akan berubah. Tapi kami duduk diam di sana. Dia mengatakan padaku bahwa dia mencintaiku dan bahwa aku bisa memanggilnya kapan pun aku ingin dia datang menjemputku.
Ketika ibuku pergi, orangtua Veronica bergegas masuk. Ayahnya dan ibuku bertukar kata-kata yang tampaknya cukup serius sementara ibu Veronica berbicara dengan orang di meja. Ibunya adalah seorang perawat, tapi tak bekerja di rumah sakit ini. Aku yakin dia mencoba untuk mentransfer Veronica, tapi kondisinya menjadi penghalang. Sementara kami menunggu, polisi datang dan berbicara dengan masing-masing dari kami—aku memberitahu mereka apa yang terjadi, mereka membuat beberapa catatan, kemudian mereka pergi. Dia keluar dari ruang operasi dengan sembilan puluh persen tubuhnya ditutupi gips putih tebal. Lengan kanannya bebas, tapi sisanya terikat seperti kepompong. Dia masih belum sadar, tapi aku ingat bagaimana perasaanku ketika memakai gips sebelum masuk TK. Aku meminta spidol kepada perawat, tapi aku tak bisa memikirkan apa pun untuk ditulis. Aku tidur di kursi di sudut, dan pulang keesokan harinya.
Aku kembali setiap sore selama beberapa hari. Pada suatu waktu mereka telah memindahkan pasien lain ke kamarnya dan memasang layar pembatas di sekitar tempat tidur Veronica sebagai partisi. Dia tampaknya tidak merasa lebih baik, tapi dia membuat lebih banyak momen jernih. Tapi bahkan selama periode ini kami tidak benar-benar mengobrol. Rahangnya patah oleh mobil, jadi para dokter menahannya tertutup. Aku duduk dengannya untuk sementara waktu, tapi tak banyak yang bisa kukatakan. Aku bangkit dan berjalan menghampirinya. Aku mencium dahinya dan dia berbisik melalui giginya yang terkatup:
“Josh ...”
Ini sedikit mengejutkanku, tapi aku memandangnya dan berkata, “Apa dia tak datang menjengukmu?”
“Tidak...”
Aku menemukan diriku benar-benar kesal. “Bahkan meski Josh punya masalah, dia harus tetap datang menjenguk kakak perempuannya,” pikirku.
Aku baru akan mengungkapkan ini ketika dia berkata, “Tidak ... Josh ... dia pergi dari rumah ... aku seharusnya memberitahumu.”
Aku merasakan darahku berubah menjadi es.
“Kapan? Kapan itu terjadi?”
“Saat dia tiga belas tahun.”
“Apakah ... apakah dia meninggalkan pesan atau sesuatu?”
“Di atas bantalnya ...”
Dia mulai menangis dan aku mengikutinya, tapi kupikir sekarang kami menangis karena alasan yang berbeda meski aku tidak menyadarinya. Pada titik ini ada banyak hal yang aku masih tak ingat tentang masa kecilku, dan ada banyak koneksi yang belum kubuat. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus pergi tapi dia bisa mengirimi aku pesan kapan saja.
Aku mendapat pesan darinya pada hari berikutnya yang memintaku untuk tidak kembali. Aku bertanya kenapa dan dia bilang dia tak ingin aku melihatnya seperti itu. Aku setuju dengan enggan. Kami saling mengirim SMS setiap hari, meskipun aku merahasiakan ini dari ibuku karena aku tahu dia tak suka aku berbicara dengan Veronica. Biasanya pesannya cukup pendek, dan sebagian besar hanya sebagai balasan terhadap pesan yang lebih panjang yang akan aku kirimkan kepadanya. Aku mencoba meneleponnya sekali, aku yakin dia menyaring panggilan masuknya, tapi aku berharap bisa mendengar suaranya; dia mengangkat telepon tapi tidak mengatakan apa-apa—aku bisa mendengar betapa sulitnya dia bernapas. Sekitar seminggu setelah dia mengatakan kepadaku untuk tidak datang menemuinya lagi dia mengirimiku sebuah pesan yang terbaca:
“Aku mencintaimu.”
Aku dipenuhi dengan banyak emosi yang berbeda, tapi aku menjawab dengan mengungkapkan yang paling umum. Aku membalas:
“Aku juga mencintaimu.”
Dia berkata bahwa dia ingin bersamaku, dan bahwa dia tak sabar untuk bertemu denganku lagi. Dia mengatakan padaku bahwa dia sudah dipulangkan dan sedang dalam pemulihan di rumahnya. Pertukaran ini berlangsung selama beberapa minggu, tapi setiap kali aku meminta untuk datang menemuinya, dia akan mengatakan “segera”. Aku terus bersikeras dan minggu berikutnya dia berkata bahwa dia pikir mungkin dia bisa menonton film tengah malam berikutnya. Aku tak bisa mempercayainya, tapi dia bersikeras bahwa dia akan mencoba. Aku mendapat pesan darinya pada sore hari pemutaran film yang mengatakan:
“Sampai jumpa nanti malam.”
Aku meminta Ryan mengantarku karena orang tua Chris telah mengetahui apa yang telah terjadi dan mengatakan aku tak lagi diterima di rumah mereka. Aku menjelaskan kepada Ryan bahwa Veronica mungkin dalam kondisi yang buruk, tapi aku benar-benar peduli padanya jadi aku ingin dia memberi kami ruang. Dia menerimanya dan kami berangkat.
Veronica tidak datang.
Aku sudah menyiapkan kursi untuknya tepat di sebelahku di dekat pintu keluar sehingga dia bisa masuk dan keluar dengan mudah, tapi sepuluh menit setelah film dimulai seorang pria menduduki kursinya. Aku berbisik, “Maaf, kursi ini sudah dipesan,” tapi dia tak menanggapi sama sekali; dia hanya menatap layar. Aku ingat ingin pindah karena ada yang salah dengan caranya bernapas. Aku mengalah karena menyadari Veronica tak akan datang.
Aku mengirim sms kepadanya pada hari berikutnya menanyakan apakah dia baik-baik saja dan aku bertanya mengapa dia tak muncul malam sebelumnya. Dia menjawab dengan apa yang akan menjadi pesan terakhir yang kuterima darinya. Dia hanya berkata:
“Sampai ketemu lagi. Segera.”
Dia mengigau, dan aku mengkhawatirkannya. Aku mengiriminya beberapa balasan mengingatkannya soal film dan mengatakan itu bukan masalah besar tapi dia berhenti menjawab. Aku menjadi semakin kesal selama beberapa hari berikutnya. Aku tak bisa menghubungi rumahnya karena tak tahu nomornya, dan aku bahkan tak yakin di mana mereka tinggal. Suasana hatiku menjadi semakin tertekan, dan ibuku, yang sangat baik akhir-akhir ini, bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku mengatakan padanya bahwa aku belum mendengar kabar dari Veronica selama berhari-hari, dan aku merasa semua kehangatan meninggalkannya.
“Apa maksudmu?”
“Dia seharusnya menemuiku di bioskop kemarin. Aku tahu baru tiga minggu sejak dia kecelakaan, tapi dia bilang akan berusaha datang, dan setelah itu dia sama sekali berhenti bicara padaku. Dia pasti membenciku.”
Ibuku tampak bingung, dan aku bisa membaca di wajahnya bahwa dia berusaha mengatakan apakah pikiranku bermasalah. Ketika dia tahu pikiranku tidak bermasalah, matanya mulai berair dan dia menarikku ke arahnya, memelukku. Dia mulai terisak-isak, tapi sepertinya itu adalah reaksi yang terlalu berlebihan untuk masalahku, dan aku tak punya alasan untuk berpikir bahwa dia diam-diam perhatian pada Veronica. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengatakan sesuatu yang masih membuat mual, bahkan sekarang. Dia berkata:
“Veronica sudah meninggal, Sayang. Ya Tuhan, kupikir kau tahu. Dia meninggal pada hari terakhir kau mengunjunginya. Oh sayang, dia sudah meninggal beberapa minggu yang lalu.”
Dia benar-benar sedih, tapi aku tahu itu bukan karena Veronica. Aku melepas pelukan dan terhuyung mundur. Pikiranku berenang. Ini tak mungkin. Aku baru saja bertukar pesan dengannya kemarin. Aku hanya bisa terpikir untuk mengajukan satu pertanyaan, dan itu mungkin yang paling sepele yang bisa kutanyakan.
“Lalu kenapa ponselnya masih menyala?”
Dia terus menangis. Dia tak menjawab.
Aku meledak, “KENAPA MEREKA BUTUH WAKTU LAMA UNTUK MEMATIKAN PONSELNYA?”
Tangisannya pecah untuk bergumam, “Foto-fotonya...”
Kemudian aku mengetahui bahwa orang tuanya berpikir ponselnya hilang dalam kecelakaan itu, meskipun faktanya aku memasukkannya ke dompetnya pada malam dia dibawa ke rumah sakit. Ketika mereka mengambil barang-barangnya, telepon itu tak ada di antaranya. Mereka bermaksud menghubungi perusahaan telepon pada akhir masa tagihan nanti untuk menonaktifkan jaringan, tapi mereka menerima panggilan yang memberitahu mereka soal biaya besar yang akan datang untuk ratusan gambar yang telah dikirim dari teleponnya. Foto-foto. Foto yang semuanya dikirim ke ponselku. Foto yang tak pernah kudapatkan karena ponselku tak dapat menerimanya. Mereka kemudian tahu bahwa itu semua dikirim di malam setelah dia meninggal. Mereka segera menonaktifkan ponselnya.
Aku berusaha untuk tidak memikirkan isi dari foto-foto itu. Tapi aku ingat bertanya-tanya karena suatu alasan pasti fotoku akan menjadi salah satu di antaranya.
Mulutku mengering dan aku merasakan sengatan keputusasaan yang menyakitkan ketika aku memikirkan pesan terakhir yang kuterima dari ponselnya ...
Sampai jumpa lagi. Segera.
**
> Part 6
The power of stalker, kalo gue nyampe dapet kejadian di dunia nyata kayak gitu bisa-bisa jadi trauma gue ('_').
ReplyDeleteBTW gue tunggu buat cerita yang selanjutnya min, semangat buat ngetranslate ya.
Gila ending nya bikin patah hatiðŸ˜, dari tengah cerita udah bisa nebak kalo ini bad ending, gw cuma kaya "plis... Ini ceritanya udah sweet, Jangan bad ending,
ReplyDeletePenasaran dgn endingnya krn ktnya ini salah satu cerita terbaik di nosleep sm disturbingnya kek borrasca
ReplyDeleteSemangat translate bang, aku tunggu lanjutannya
ReplyDeletengap-ngapan bacanya asli... ending nya bakal gimana ni cerita..
ReplyDeleteJadi inget temen kuliah gue yang gapernah angkat telpon, kecuali nomor yg terdaftar di kontak. Mau itu sebenernya kurir, temennya, atau kerabatnya. Kalau ga terdaftar di kontak pasti ga diangkat. Karena pas SMP dia pernah trauma sama hal yg berhubungan dengan itu. Tapi sampe sekarang gapernah cerita detailnya gimana.
ReplyDelete