original story by 1000vultures
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal
This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.
> Part 1
> Part 2
> Part 3
> Part 4
> Part 5
Sahabat
Pada hari pertama TK, ibuku memilih untuk mengantarku ke sekolah; kami berdua gugup dan dia ingin di sana bersamaku sampai aku masuk kelas. Butuh waktu sedikit lebih lama bagiku untuk bersiap di pagi hari karena lenganku yang masih proses pemulihan. Gipsnya menjorok beberapa inci melewati sikuku yang berarti bahwa aku harus menutupi seluruh lengan dengan kantong lateks yang dibuat khusus ketika aku mandi. Kantong itu dibuat untuk menutup kencang di sekitar lubang untuk menghalau air yang mungkin merembes dan menghancurkan gips. Aku sudah benar-benar mahir dalam memasang kantong itu sendiri; tapi pagi itu, mungkin karena kegembiraan atau kegugupanku, aku belum menarik talinya cukup erat dan saat setengah jalan mandi aku bisa merasakan air menggenang di dalam kantong di sekitar jari-jariku. Aku melompat keluar dan merobek pelindung lateksnya, tapi bisa merasakan bahwa gips yang sebelumnya kaku menjadi lunak setelah menyerap air.
Karena tidak ada cara efektif untuk membersihkan area antara tubuhmu dan gips, kulit mati yang biasanya hilang hanya akan diam di sana. Ketika bercampur oleh uap seperti keringat, ia mengeluarkan bau, dan ternyata bau ini sebanding dengan jumlah kelembaban, karena segera setelah aku mulai mengeringkannya, aku dikejutkan oleh bau busuk yang amat kuat. Ketika aku terus menggosoknya dengan handuk, gips itu mulai hancur. Aku menjadi semakin tertekan—aku telah berupaya semaksimal mungkin untuk ukuran seorang anak di hari pertamanya sekolah. Aku sudah duduk dengan ibuku untuk memilih pakaianku malam sebelumnya; aku sudah menghabiskan banyak waktu menentukan ransel pilihanku; dan aku sudah sangat bersemangat untuk menunjukkan pada semua orang kotak makan siangku yang punya Kura-kura Ninja di atasnya. Aku sudah mengikuti kebiasaan ibuku memanggil anak-anak yang belum kukenal ini dengan “teman-temanku”, tapi karena kondisi gipsku semakin memburuk, aku menjadi sangat kesal pada pemikiran bahwa aku tak akan bisa menggunakan label itu pada siapa pun saat hari ini berakhir.
Kalah, aku menunjukkannya pada ibuku.
Butuh waktu tiga puluh menit untuk menghilangkan sebagian besar kelembaban sambil berusaha menyelamatkan sisa gipsnya. Untuk mengatasi masalah bau, ibuku memotong irisan sabun dan memasukkannya ke sela gips, dan kemudian menggosokkan sisa sabun di luar dalam upaya menyaring bau tengik di dalamnya agar lebih ramah. Pada saat kami tiba di sekolah, teman-teman sekelasku sudah terlibat dalam kegiatan kedua mereka dan aku diseret ke salah satu kelompok. Aku tidak begitu jelas memahami pedoman kegiatan itu dan dalam waktu sekitar lima menit, aku telah melanggar peraturan dengan sangat buruk hingga setiap anggota kelompok mengeluh kepada guru dan bertanya mengapa aku harus masuk kelompok mereka. Aku sudah membawa spidol ke sekolah dengan harapan dapat mengumpulkan beberapa tanda tangan atau gambar pada gips di sebelah coretan ibuku, dan tiba-tiba aku merasa sangat bodoh telah menaruh spidol itu di sakuku pagi itu.
TK memiliki ruang makan sendiri, tapi beberapa mejanya terlarang, jadi aku tidak perlu duduk sendirian. Aku secara sadar memungut ujung-ujung gipsku ketika seorang anak duduk di depanku.
“Aku suka kotak makanmu,” katanya.
Aku tahu dia mengolok-olokku, dan aku menjadi sangat marah; dalam pikiranku kotak makan siang itu adalah hal baik terakhir di hariku. Aku tidak mengangkat wajah dari lenganku, dan aku merasakan mataku terbakar karena air mata yang kutahan. Aku mendongak untuk memberi tahu anak itu agar meninggalkanku sendiri, tapi sebelum aku bisa mengeluarkan kata-kata, aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam.
Dia memiliki kotak makan siang yang sama persis.
Aku tertawa. “Aku juga suka kotak makanmu!”
“Menurutku Michelangelo adalah yang paling keren,” katanya sambil menirukan gerakan nunchaku.
Aku tengah membantah dengan mengatakan bahwa Raphael adalah favoritku ketika dia menjatuhkan karton susu yang terbuka dari meja ke pangkuannya.
Aku berusaha keras untuk menahan tawa karena aku tidak mengenalnya sama sekali, tapi raut wajahku yang berjuang pasti dia anggap lucu karena dia mulai tertawa lebih dulu. Tiba-tiba, aku tidak merasa sedih soal gipsku, dan berpikir bahwa anak ini akan sulit memperhatikannya juga. Saat itu, aku berpikir untuk mencoba keberuntunganku.
“Hei! Apa kau mau menandatangani gipsku?”
Ketika aku mengeluarkan spidol dia bertanya kepadaku bagaimana aku mematahkan tulangku. Aku mengatakan padanya bahwa aku jatuh dari pohon tertinggi di daerahku; dia tampak terkesan. Aku menyaksikannya dengan susah payah menggambar namanya, dan ketika dia selesai aku bertanya apa bacanya.
Dia mengatakan padaku itu dibaca “Josh”.
Aku dan Josh makan siang bersama setiap hari, dan kapan pun kami bisa kami berpasangan untuk berbagai tugas. Aku membantunya menulis, dan dia menyalahkan ketika aku menulis “Kentut!” di dinding dengan spidol permanen. Aku akan mengenal anak-anak lain, tapi kupikir aku tahu bahwa Josh adalah satu-satunya teman sejatiku.
Memindahkan pertemanan di luar sekolah saat kau berusia lima tahun sebenarnya lebih sulit daripada yang kita sadari. Pada hari kami meluncurkan balon-balon kami, kami bersenang-senang sehingga aku bertanya kepada Josh apakah dia mau datang ke rumahku hari berikutnya untuk bermain. Dia bilang mau dan akan membawa beberapa mainannya; aku mengatakan bahwa kami juga bisa pergi menjelajah dan mungkin berenang di danau. Ketika aku sampai di rumah, aku bertanya pada ibuku dan dia berkata tak keberatan. Antusiasmeku tidak terbatas sampai aku menyadari bahwa aku tidak punya cara untuk menghubungi Josh untuk mengabarinya. Aku menghabiskan seluruh akhir pekan khawatir bahwa persahabatan kami akan bubar pada hari Senin.
Ketika aku melihatnya setelah akhir pekan, aku lega mendapati bahwa dia telah mengalami hambatan yang sama dan menganggapnya lucu. Minggu itu kami berdua ingat untuk menuliskan nomor telepon kami di rumah dan kemudian menukarnya di sekolah. Ibuku berbicara dengan ayah Josh, dan diputuskan bahwa ibuku akan menjemput Josh dan aku dari sekolah pada hari Jumat itu. Kami mengganti struktur dasar ini hampir setiap akhir pekan; fakta bahwa kami hidup sangat dekat membuat segalanya lebih mudah bagi orang tua kami, yang tampaknya bekerja terus-menerus.
Ketika aku dan ibuku pindah melintasi kota pada akhir kelas satu, aku yakin bahwa persahabatan kami telah menemui hari terakhirnya; ketika kami pergi dari rumah yang telah aku tinggali sepanjang hidupku, aku merasakan kesedihan yang aku tahu bukan hanya karena rumah—aku mengucapkan selamat tinggal kepada temanku selamanya. Tapi, Josh dan aku—yang membuatku terkejut dan senang —tetap dekat.
Terlepas dari kenyataan bahwa kami menghabiskan sebagian besar waktu kami secara terpisah dan hanya bertemu satu sama lain di akhir pekan, kami tetap sangat mirip dalam bertumbuh. Kepribadian kami menyatu, selera humor kami saling melengkapi, dan kami sering menemukan bahwa kami mulai menyukai hal-hal baru secara mandiri. Suara kami bahkan terdengar cukup mirip sehingga ketika aku tinggal bersama Josh, dia terkadang memanggil ibuku dan berpura-pura menjadi aku; tingkat keberhasilannya sangat mengesankan. Ibuku terkadang bercanda bahwa satu-satunya cara dia bisa membedakan kami adalah dari rambut kami—ia memiliki rambut lurus, pirang-cokelat seperti kakak perempuannya, sementara aku memiliki rambut keriting, cokelat gelap seperti ibuku.
Orang akan berpikir bahwa hal yang paling mungkin untuk memisahkan dua teman belia adalah apa yang di luar kendali mereka; namun, kupikir katalisator perpisahan bertahap kami adalah desakanku untuk menyelinap ke rumah lamaku untuk mencari Boxes. Akhir pekan berikutnya aku mengundang Josh ke rumahku, sesuai tradisi kami bertukar-tukar rumah, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak merasa sanggup melakukannya. Kami mulai semakin jarang melihat satu sama lain selama sekitar satu tahun ke depan; itu berubah dari seminggu sekali, menjadi sebulan sekali, menjadi sekali setiap beberapa bulan.
Saat ulang tahunku yang keduabelas, ibuku mengadakan pesta untukku. Aku tidak punya banyak teman sejak kami pindah, jadi itu bukan pesta kejutan karena ibuku tidak tahu siapa yang harus diundang. Aku memberitahu beberapa anak yang kukenal dan menghubungi Josh untuk melihat apakah dia ingin datang. Awalnya, dia mengatakan bahwa dia pikir tak akan bisa melakukannya, tapi sehari sebelum pesta dia menghubungiku untuk mengatakan bahwa dia akan datang. Aku sangat senang karena aku belum melihatnya selama beberapa bulan.
Pesta berjalan cukup lancar. Kekhawatiran terbesarku adalah bahwa Josh dan anak-anak lain tidak akan akrab, tapi mereka tampaknya cukup menyukai satu sama lain. Josh menjadi pendiam. Dia tidak membawakan aku hadiah dan meminta maaf karenanya, tapi aku bilang padanya bahwa itu bukan masalah besar—aku sudah senang dia bisa datang. Aku mencoba memulai beberapa percakapan dengannya, tapi sepertinya terus menemui jalan buntu. Aku bertanya kepadanya apa yang salah; aku mengatakan padanya bahwa aku tidak mengerti kenapa keadaan menjadi begitu canggung di antara kami—tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dahulu kami biasa bersama hampir setiap akhir pekan dan berbicara di telepon setiap beberapa hari. Aku bertanya kepadanya apa yang terjadi di antara kami. Dia mendongak dari menatap sepatunya dan hanya berkata:
“Kau pergi.”
Tepat setelah dia mengatakan itu ibuku berteriak dari kamar lain bahwa sudah waktunya membuka hadiah. Aku memaksakan senyum dan berjalan ke ruang makan saat mereka menyanyikan “Selamat Ulang Tahun”. Ada beberapa kotak terbungkus dan banyak kartu karena sebagian besar kerabatku tinggal di luar negara bagian. Sebagian besar hadiah itu konyol dan tak penting, tapi aku ingat bahwa Brian memberiku mainan Mighty Max yang berbentuk seperti ular yang aku simpan selama bertahun-tahun sesudahnya. Ibuku bersikeras bahwa aku harus membuka semua kartu yang datang dan mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang memberikannya, karena beberapa tahun sebelumnya saat Natal, aku telah merobek kertas pembungkus dan amplop dengan begitu bersemangat hingga aku menghancurkan segala kemungkinan untuk mengenali siapa yang mengirim hadiah atau berapa jumlah uangnya. Kami memisahkan yang dikirim melalui pos dan yang dibawa hari itu sehingga teman-temanku tidak perlu duduk bersamaku membuka kartu dari orang-orang yang belum pernah mereka temui. Sebagian besar kartu dari teman-temanku punya beberapa dolar di dalamnya, dan yang dari sanak saudaraku berisi lebih besar.
Satu amplop tidak tertulis namaku di atasnya, tapi itu ada di tumpukan jadi aku membukanya. Kartu itu memiliki pola bunga yang umum di muka dan tampaknya kartu yang pernah diterima oleh orang itu dan ia gunakan lagi untuk ulang tahunku, karena agak kumal. Aku benar-benar menghargai gagasan bahwa itu adalah kartu yang digunakan kembali karena aku selalu berpikir bahwa kartu itu konyol. Aku memiringkannya agar uangnya tidak jatuh ke lantai ketika aku membukanya, tapi satu-satunya yang ada di dalam adalah pesan yang telah tercetak di kartu.
“Aku mencintaimu.”
Siapa pun yang memberiku kartu ini tidak menulis apa pun di dalamnya, tapi dia telah melingkari pesan itu dengan pensil beberapa kali.
Aku sedikit tergelak dan berkata, “Wah, terima kasih untuk kartu yang luar biasa, Mom.”
Dia menatapku dengan heran kemudian mengalihkan perhatiannya ke kartu. Dia mengatakan padaku bahwa itu bukan dari dia dan tampak geli ketika dia menunjukkan kepada teman-temanku, memandangi wajah-wajah mereka yang mencoba mengenali siapa yang memainkan lelucon itu. Tidak ada anak yang melangkah maju, jadi ibuku berkata:
“Jangan khawatir sayang, setidaknya sekarang kau tahu ada dua orang yang mencintaimu.”
Dia mengikutinya dengan ciuman yang sangat panjang dan menyiksa dahiku yang mengubah kebingungan bersama menjadi histeria. Mereka semua tertawa sehingga bisa jadi itu salah satu di antara mereka, tapi Mike tampaknya yang tertawa paling keras. Untuk ikut serta alih-alih menjadi subjek lelucon, aku katakan kepadanya bahwa hanya karena dia telah memberiku kartu itu, dia seharusnya tidak berpikir bahwa aku akan menciumnya nanti. Kami semua tertawa, dan ketika aku melihat Josh, aku melihat dia akhirnya tersenyum.
“Yah, kupikir hadiah itu mungkin adalah pemenangnya, tapi kau memiliki beberapa lagi untuk dibuka.”
Ibuku memberikan hadiah lain di depanku. Aku masih merasakan getaran tawa tertekan di perutku saat merobek kertas warna-warni itu. Ketika aku melihat hadiah itu, aku tidak perlu lagi menahan tawa. Senyumku turun saat aku melihat apa yang telah diberikan padaku.
Itu adalah sepasang HT.
“Ayo! Tunjukkan pada semuanya!”
Aku mengangkatnya, dan semua orang tampaknya menyetujuinya, tapi ketika aku menarik perhatianku pada Josh aku bisa melihat bahwa dia telah sepucat orang sakit. Kami mengunci mata sejenak kemudian dia berbalik dan berjalan ke dapur. Ketika aku memperhatikan dia memutar nomor di telepon kabel yang terpasang di dinding, ibuku berbisik di telingaku bahwa dia tahu aku dan Josh tidak banyak bicara sejak salah satu HT-nya rusak, jadi dia pikir aku akan menyukainya. Aku dipenuhi rasa menghargai yang kuat atas perhatian ibuku, tapi perasaan ini dengan mudah dikalahkan oleh emosi yang dibangkitkan oleh ingatan yang kembali sehingga aku berusaha keras untuk menguburnya.
Ketika semua orang sedang makan kue, aku bertanya pada Josh siapa yang dia hubungi. Dia bilang padaku bahwa dia tidak enak badan sehingga dia meminta ayahnya menjemputnya. Aku mengerti bahwa dia ingin pergi, tapi aku mengatakan kepadanya bahwa aku berharap kami bisa lebih sering bersama. Aku mengulurkan salah satu HT kepadanya, tapi dia menolak.
Merasa sedih, aku berkata, “Yah, terima kasih sudah datang, kurasa. Kuharap aku bisa menemuimu sebelum ulang tahunku berikutnya.”
“Maafkan aku ... aku akan mencoba meneleponmu kembali lebih sering. Sungguh,” katanya.
Percakapan mandek ketika kami menunggu kedatangan ayahnya di dekat pintu. Aku melihat wajahnya. Josh tampak benar-benar menyesal karena dia tidak berusaha lebih keras. Suasana hatinya tiba-tiba tampak ditopang oleh gagasan yang telah mengejutkannya. Dia memberitahuku bahwa dia tahu apa yang akan aku dapatkan untuk ulang tahunku—itu akan memakan waktu cukup lama, tapi dia pikir aku akan sangat menyukainya. Aku mengatakan padanya bahwa itu bukan masalah besar, tapi dia bersikeras. Dia tampak bersemangat dan meminta maaf karena menjadi penghambat di pestaku. Dia berkata bahwa dia lelah—bahwa dia tidak bisa tidur nyenyak. Aku bertanya apa sebabnya ketika dia membuka pintu sebagai tanggapan bunyi klakson ayahnya di jalan masuk. Dia berbalik ke arahku dan melambaikan tangan saat dia menjawab:
“Kupikir aku berjalan dalam tidur.”
Itu terakhir kali aku melihat temanku, dan beberapa bulan kemudian dia menghilang.
Selama beberapa minggu terakhir, hubungan antara aku dan ibuku semakin tegang karena usahaku untuk mempelajari detail masa kecilku. Sering kali seseorang tidak dapat mengetahui titik kehancuran suatu benda sampai benda itu hancur, dan setelah percakapan terakhir dengan ibuku, aku membayangkan bahwa kami akan menghabiskan sisa hidup kami dengan berusaha memperbaiki apa yang perlu seumur hidup untuk membangunnya. Dia telah mengerahkan begitu banyak energi untuk menjagaku tetap aman, baik secara fisik maupun psikologis, tapi kupikir dinding yang dimaksudkan untuk melindungiku dari bahaya juga melindungi stabilitas emosinya. Ketika kebenaran mengalir keluar saat terakhir kami berbicara, aku bisa mendengar suaranya bergetar yang kupikir merupakan gema kehancuran dunianya. Aku tidak membayangkan ibuku dan aku akan banyak berbicara lagi, dan kendati masih ada beberapa hal yang tidak kumengerti, kupikir aku cukup tahu.
Setelah Josh menghilang, orangtuanya telah melakukan semua yang mereka bisa untuk menemukannya. Sejak hari pertama, polisi telah menyarankan agar mereka menghubungi semua orangtua teman-teman Josh untuk melihat apakah dia bersama mereka. Mereka melakukannya, tentu saja, tapi tidak ada yang melihatnya atau tahu di mana dia berada. Polisi tidak dapat menyerahkan informasi baru tentang keberadaan Josh, meskipun fakta bahwa mereka telah menerima beberapa panggilan telepon anonim dari seorang wanita yang mendesak mereka untuk menyandingkan kasus ini dengan kasus penguntit yang dibuka sekitar enam tahun sebelumnya.
Jika cengkeraman ibu Josh pada dunia melonggar ketika putranya hilang, cengkraman itu lepas ketika Veronica meninggal. Dia telah melihat banyak orang meninggal di rumah sakit, tapi tidak ada desensitisasi yang dapat memperkuat seseorang terhadap kematian anaknya sendiri. Dia akan mengunjungi Veronica dua kali sehari karena Veronica memulihkan diri di rumah sakit yang berbeda; sekali sebelum shiftnya, dan sekali sesudahnya. Pada hari Veronica meninggal, ibunya terlambat berangkat kerja, dan saat dia tiba di rumah sakit putrinya, Veronica sudah meninggal. Ini terlalu berat baginya dan selama beberapa minggu berikutnya dia menjadi semakin tidak stabil; dia sering berkeliaran di luar berteriak agar Josh dan Veronica pulang, dan beberapa kali suaminya menemukannya berkeliaran di lingkungan lamaku pada tengah malam—setengah berpakaian dan dengan panik mencari putra putrinya.
Karena kerusakan mental istrinya, ayah Josh tak lagi bisa bekerja jauh dan mulai mengambil pekerjaan konstruksi yang bergaji lebih kecil, sehingga ia bisa lebih dekat ke rumah. Ketika mereka mulai memperluas lagi daerah lamaku, sekitar tiga bulan setelah Veronica meninggal, ayah Josh melamar untuk setiap posisi dan dipekerjakan. Dia memenuhi syarat untuk memimpin proyek pembangunan, tapi dia mengambil pekerjaan sebagai buruh, membantu membangun kerangka dan membersihkan lokasi dan apa pun yang diperlukan. Dia bahkan mengambil pekerjaan sambilan yang sesekali datang; memotong rumput, memperbaiki pagar—apa pun agar tidak perlu pergi jauh. Mereka mulai menebangi hutan di daerah sebelah anak sungai untuk mengubah lokasi menjadi tanah yang layak huni. Ayah Josh ditugasi dengan tanggung jawab meratakan tanah yang baru saja digunduli, dan pekerjaan ini menjaminnya setidaknya beberapa minggu bekerja.
Pada hari ketiga, dia tiba di tempat yang tidak bisa dia ratakan. Setiap kali dia melewatinya, tanah itu tetap lebih rendah dari tanah di sekitarnya. Frustrasi, dia turun dari mesin untuk mensurvei daerah tersebut. Dia tergoda untuk memasukkan lebih banyak tanah ke dalam turunan, tapi dia tahu itu hanya akan menjadi solusi estetika dan sementara. Dia sudah bekerja menjadi kontraktor selama bertahun-tahun dan tahu bahwa sistem akar dari pohon-pohon besar yang baru-baru ini ditebang banyak yang membusuk, meninggalkan kelembekan di tanah yang akan bermanifestasi menjadi kelembekan pada pondasi di atas. Dia menimbang pilihannya dan memilih untuk menggali sedikit dengan sekop kalau-kalau masalahnya cukup dangkal untuk diperbaiki tanpa perlu mesin yang harus dibawa dari lokasi lain. Dan ketika ibuku menjelaskan di mana lokasi itu, aku tahu aku telah berada di tempat itu sebelum tanahnya rusak dan sebelum ditimbun.
Aku merasakan dadaku mengencang.
Ayah Josh menggali lubang kecil sekitar satu meter sampai sekopnya membentur sesuatu yang keras. Dia membenturkan sekopnya berulang kali dalam upaya mengukur ketebalan akar dan kepadatan jaringan ketika tiba-tiba sekopnya amblas saat dia melakukannya.
Kebingungan, dia melebarkan lubangnya. Setelah sekitar setengah jam penggalian, ia mendapati dirinya berdiri di atas sebuah kotak cokelat yang tertutup selimut, sekitar 2,1 meter panjangnya dan lebar 1,2 meter. Pikiran kita bekerja untuk menghindari kejanggalan—jika kita memegang keyakinan dengan cukup kuat, pikiran kita akan dengan kuat menolak bukti yang saling bertentangan sehingga kita dapat mempertahankan integritas pemahaman kita pada dunia.
Berikutnya, terlepas dari apa yang ditunjukkan oleh akal sehat—terlepas dari kenyataan bahwa sebagian kecil dari dirinya yang tercekik menyadari apa yang menopang kakinya—pria ini percaya, ia tahu, putranya masih hidup.
Ibuku menerima telepon pada jam 6 sore. Dia tahu siapa orang itu, tapi dia tidak bisa mengerti apa yang dikatakannya. Tapi apa yang dia pahami membuatnya segera pergi.
“DI BAWAH DI SINI ... SEKARANG ... PUTRA ... KUMOHON TUHAN.”
Ketika dia tiba, dia mendapati ayah Josh duduk diam dengan punggung menghadap ke lubang. Dia memegang sekop dengan sangat erat sehingga kelihatannya akan mematahkannya, dan dia menatap lurus ke depan dengan mata yang tampak tak bernyawa seperti mata hiu. Dia tidak menanggapi kata-kata ibuku, dan hanya bereaksi ketika ibuku mencoba mengambil sekop darinya dengan perlahan.
Dia menarik matanya perlahan ke mata ibuku dan hanya berkata, “Aku tidak mengerti.” Dia mengulangi itu seolah-olah telah lupa pada semua kata-kata lain, dan ibuku bisa mendengarnya masih bergumam ketika dia berjalan melewatinya untuk melihat ke dalam lubang.
Ibuku berkata padaku dia berharap telah mencungkil matanya sebelum dia melihat ke bawah ke dalam kawah itu, dan aku mengatakan padanya bahwa aku tahu apa yang akan dia katakan dan dia tidak perlu melanjutkan. Aku melihat wajahnya yang menunjukkan ekspresi keputusasaan kuat yang menyebabkan perutku jungkir balik. Aku menyadari bahwa dia telah mengetahui hal ini selama hampir sepuluh tahun dan berharap dia tidak akan pernah memberitahuku. Akibatnya, dia tidak pernah menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dia lihat, dan ketika aku duduk di sini aku bertemu dengan kesulitan yang sama.
Josh sudah meninggal. Wajahnya tenggelam dan berkerut sedemikian rupa hingga seolah kesengsaraan dan keputusasaan di seluruh dunia telah dipindahkan ke sana. Bau busuk yang menyengat naik dari bawah tanah, dan ibuku harus menutup hidung dan mulutnya agar tidak muntah. Kulitnya pecah, hampir seperti kulit buaya, dan aliran darah yang mengikuti garis-garis ini mengering di wajahnya setelah menggenang dan menodai kayu di sekitar kepalanya. Matanya berbaring setengah terbuka menghadap lurus ke atas. Ibuku berkata dari penampilannya, Josh belum lama meninggal, dan waktu tidak membawa belas kasihan untuk mengurangi penderitaan dan teror yang sekarang terukir di wajahnya. Dia mengatakan seolah-olah Josh telah mengubah pandangannya ke arahnya, mulutnya yang terbuka menawarkan permohonan yang sangat terlambat untuk bantuan. Tapi sisa tubuhnya, tidak terlihat.
Tubuh seseorang menutupinya.
Pria itu bertubuh besar dan berbaring telungkup di atas Josh, dan ketika pikiran ibuku meregang untuk menerima apa yang ingin disampaikan oleh matanya, dia menjadi sadar akan arti penting telungkupnya orang itu.
Pria itu menahan Josh.
Kaki mereka membeku karena kematian, tapi berbelit seperti tanaman rambat di hutan tropis yang rimbun. Satu lengan diletakkan di bawah leher Josh untuk memeluk tubuhnya sehingga mereka bisa berbaring lebih dekat.
Ketika matahari melewati pepohonan, cahayanya dipantulkan oleh sesuatu yang disematkan pada baju Josh. Ibuku membungkuk dengan satu lutut dan mengangkat kerah kemeja ke atas hidungnya untuk menghalangi bau. Ketika dia melihat apa yang ditangkap matahari, kekuatan kakinya meninggalkannya dan dia hampir jatuh ke dalam kubur.
Itu sebuah foto ...
Itu adalah fotoku saat aku masih anak-anak.
Dia terhuyung mundur, terengah-engah dan gemetar dan bertabrakan dengan ayah Josh yang masih duduk memunggungi lubang. Kini dia mengerti kenapa ayah Josh memanggilnya, tapi dia tidak bisa memberitahunya apa yang dia simpan dari semua orang selama bertahun-tahun. Keluarga Josh tidak pernah tahu tentang malam aku terbangun di hutan. Dia tahu sekarang bahwa dia seharusnya memberi tahu mereka, tapi mengatakan kepadanya sekarang tidak akan membantu apa-apa. Ketika dia duduk di sana, bersandar di punggung ayah Josh. Ayah Josh berbicara.
“Aku tidak bisa memberi tahu istriku. Aku tak bisa memberitahunya bahwa putra kecil kami—“ pidatonya sempoyongan ketika dia menekankan wajahnya yang basah ke tangannya yang kotor. “Dia tak akan sanggup...”
Setelah beberapa saat, dia berdiri, masih gemetaran dan berjalan menuju kuburan. Dengan isakan terakhir, dia turun ke peti mati. Ayah Josh adalah pria besar, tapi tidak sebesar pria di dalam kotak. Dia meraih bagian belakang kerah pria itu dan menariknya dengan keras—seolah bermaksud melemparkan pria itu keluar dari kubur dalam satu gerakan. Tapi kerah itu robek dan tubuh itu jatuh kembali ke atas putranya.
“KAU BAJINGAN!”
Dia meraih pria itu di pundaknya dan mendorongnya kembali sampai dia terlepas dari Josh dan duduk dengan canggung tapi tegak di dinding kubur. Dia memandang pria itu dan terhuyung mundur satu langkah.
“Ya Tuhan ... Ya Tuhan, tidak. Tidak, tidak, tidak. Kumohon Tuhan, KUMOHON TUHAN.”
Dengan gerakan keras namun kuat, dia mengangkat dan mendorong mayat itu sepenuhnya dari tanah dan mereka berdua mendengar suara kaca berguling di atas kayu. Itu adalah sebuah botol. Dia menyerahkannya kepada ibuku.
Itu cairan eter—obat bius.
“Oh Josh,” isaknya. “Anakku ... anakku. Kenapa ada begitu banyak darah ?! APA YANG DIA LAKUKAN PADAMU?!”
Ketika ibuku memandang pria yang sekarang berbaring menghadap ke atas, dia menyadari sedang memandang orang yang telah menghantui hidup kami selama lebih dari satu dekade. Dia sudah membayangkannya berkali-kali, selalu jahat dan selalu menakutkan, dan tangisan ayah Josh sepertinya menegaskan ketakutan terburuknya. Tapi ketika dia menatap wajahnya, dia berpikir itu bukan seperti orang yang dia bayangkan—ini hanya seorang pria biasa.
Saat dia melihat ekspresinya yang membeku, itu malahan terlihat tenteram. Sudut bibirnya terangkat sedikit; dia melihat bahwa pria itu sedang tersenyum. Bukan senyum yang diharapkan dari seorang maniak dari film atau cerita horor; bukan senyum jahat, atau senyum iblis. Itu adalah senyum syukur dan kepuasan. Itu adalah senyum kebahagiaan.
Itu adalah senyum cinta.
Ketika dia melihat turun dari wajahnya, dia melihat luka besar di lehernya dari tempat kulitnya terkelupas. Awalnya dia merasa lega ketika dia menyadari bahwa darah itu bukan milik Josh. Mungkin Josh tidak begitu menderita. Tapi kenyamanan ini hanya singkat karena dia menyadari betapa kelirunya dia. Dia mengangkat tangan ke mulut dan berbisik, seolah-olah dia takut untuk mengingatkan dunia apa yang telah terjadi:
“Mereka tadinya hidup.”
Josh pasti menggigit leher lelaki itu dalam upaya untuk membebaskan diri, dan meskipun lelaki itu telah meninggal, Josh tidak bisa memindahkannya. Aku mulai menangis ketika memikirkan berapa lama dia berbaring di sana.
Dia memeriksa ke dalam saku pria itu untuk identifikasi, tapi dia hanya menemukan selembar kertas. Di atasnya ada gambar seorang pria bergandengan tangan dengan anak laki-laki dan di sebelah gambar anak itu ada inisial.
Inisialku.
Aku ingin berpikir bahwa dia mengingat bagian cerita itu secara tidak akurat, tapi aku tidak akan pernah tahu pasti.
Ketika ayah Josh membawa putranya keluar dari kubur, ibuku memasukkan potongan kertas itu ke sakunya. Ayah Josh terus bergumam bahwa rambut putranya telah dicat. Ibuku sudah melihatnya—sekarang cokelat gelap, dan dia memperhatikan bahwa Josh berpakaian aneh; pakaiannya terlalu kecil. Setelah ayah Josh dengan hati-hati meletakkan putranya di tanah yang empuk, dia mulai dengan lembut menekankan tangannya ke celana putranya untuk meraba-raba kantongnya; dia mendengar kersakan. Dengan hati-hati, dia mengambil selembar kertas terlipat dari saku Josh. Dia melihatnya dan merasa kesal. Tanpa sadar, dia menyerahkannya kepada ibuku, tapi ibuku juga tidak mengenalinya. Aku bertanya apa itu.
Dia mengatakan padaku bahwa itu sebuah peta, dan aku merasa hatiku hancur. Dia sedang menyelesaikan peta itu—itu pasti idenya untuk hadiah ulang tahunku. Aku mendapati diriku dengan aneh berharap bahwa dia tidak diculik saat mengerjakannya—seakan itu penting sekarang.
Ibuku mendengar ayah Josh mendengus dan melihat, kemudian mendorong tubuh pria itu kembali ke tanah. Ketika dia berjalan kembali ke mesin yang membantunya menemukan tempat itu, dia meletakkan tangannya di tabung bensin dan berhenti dengan punggung menghadap ibuku.
“Kau sebaiknya pergi.”
“Maafkan aku.”
“Ini bukan salahmu. Ini semua karenaku.”
“Kau tidak bisa berpikir seperti itu. Tak ada—“
Dia menyela dengan datar, hampir tanpa emosi sama sekali. “Sekitar sebulan yang lalu, seorang pria mendekatiku ketika aku sedang membersihkan lokasi untuk pengembangan baru satu blok jauhnya. Dia bertanya padaku apakah aku ingin mendapat uang tambahan, dan karena istriku sekarang tidak bekerja, aku menerimanya. Dia mengatakan padaku bahwa beberapa anak telah menggali banyak lubang di propertinya dan dia menawariku seratus dolar untuk menutupnya. Dia mengatakan bahwa dia ingin mengambil beberapa gambar untuk perusahaan asuransi terlebih dahulu, tapi jika aku kembali setelah jam 5 sore, hari berikutnya, semua akan baik-baik saja. Kupikir orang ini penipu karena tempat itu sudah akan dibersihkan jadi seseorang pasti akan melakukannya juga, tapi aku butuh uangnya jadi aku setuju. Kupikir dia bahkan tak punya seratus dolar, tapi dia meletakkan bayarannya di tanganku, dan aku melakukan pekerjaan itu keesokan harinya. Aku sudah sangat lelah hingga aku bahkan tidak memikirkannya setelah selesai. Aku tidak melakukannya. Aku tidak memikirkannya sampai hari ini ketika aku menarik lelaki itu dari atas putraku.”
Dia menunjuk ke makam dan emosinya mulai meluap saat dia menangis tersedu-sedu.
“Dia membayarku seratus dolar agar aku menguburnya dengan putraku ...”
Seolah-olah jika mengatakan itu dengan keras akan bisa memaksanya menerima apa yang terjadi, dan dia jatuh ke tanah sambil menangis. Ibuku tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan dan berdiri di sana dalam kesunyian yang terasa seperti seumur hidup. Dia akhirnya bertanya apa yang akan dia lakukan pada Josh.
“Tempat peristirahatan terakhirnya tak akan di sini bersama monster ini.”
Ketika ibuku melihat ke belakang setelah mencapai mobilnya, dia bisa melihat asap hitam mengepul dan menyebar ke langit kuning dan dia berharap atas semua harapan bahwa orang tua Josh akan baik-baik saja.
Aku meninggalkan rumah ibuku tanpa banyak bicara. Aku katakan padanya bahwa aku menyayanginya dan bahwa aku akan segera berbicara dengannya, tapi aku tidak tahu apa artinya “segera” bagi kami. Aku masuk ke mobilku dan pergi.
Aku mengerti sekarang kenapa peristiwa masa kecilku berhenti bertahun-tahun yang lalu. Sebagai orang dewasa, sekarang aku melihat koneksi yang hilang pada seorang anak yang cenderung melihat dunia sebagai cuplikan bukannya urutan. Aku memikirkan Josh. Aku menyayanginya saat itu, dan aku masih menyayanginya. Aku semakin merindukannya sekarang setelah tahu aku tidak akan pernah melihatnya lagi, dan aku mendapati diriku berharap bahwa aku memeluknya saat terakhir kali aku melihatnya. Aku memikirkan orangtua Josh—seberapa besar kehilangan mereka dan seberapa cepat kehilangan itu terjadi. Mereka tidak tahu tentang hubunganku dengan semua ini, tapi aku tidak pernah bisa menatap mata mereka sekarang. Aku memikirkan Veronica. Aku baru benar-benar mengenalnya di saat-saat terakhir, tapi selama beberapa minggu singkat itu kupikir aku benar-benar mencintainya. Aku memikirkan ibuku. Dia telah berusaha sangat keras untuk melindungiku dan menjadi lebih kuat daripada yang pernah aku bisa. Aku berusaha untuk tidak memikirkan pria itu dan apa yang telah ia lakukan dengan Josh selama lebih dari dua tahun.
Kebanyakan aku hanya memikirkan Josh. Terkadang aku berharap dia tidak pernah duduk di hadapanku hari itu di TK; bahwa aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki teman sejati. Terkadang aku suka bermimpi bahwa dia ada di tempat yang lebih baik, tapi itu hanya mimpi, dan aku tahu itu. Dunia adalah tempat yang kejam dan dibuat semakin kejam oleh manusia. Tak akan ada keadilan bagi temanku, tak ada konfrontasi akhir, tak ada pembalasan; sudah hampir satu dekade berlalu bagi semua orang kecuali aku sekarang.
Aku merindukanmu, Josh. Maaf kau telah memilihku, tapi aku akan selalu menyimpan dalam hati kenanganku tentangmu.
Kita adalah penjelajah.
Kita adalah petualang.
Kita adalah sahabat.
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal
This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.
> Part 1
> Part 2
> Part 3
> Part 4
> Part 5
Sahabat
Pada hari pertama TK, ibuku memilih untuk mengantarku ke sekolah; kami berdua gugup dan dia ingin di sana bersamaku sampai aku masuk kelas. Butuh waktu sedikit lebih lama bagiku untuk bersiap di pagi hari karena lenganku yang masih proses pemulihan. Gipsnya menjorok beberapa inci melewati sikuku yang berarti bahwa aku harus menutupi seluruh lengan dengan kantong lateks yang dibuat khusus ketika aku mandi. Kantong itu dibuat untuk menutup kencang di sekitar lubang untuk menghalau air yang mungkin merembes dan menghancurkan gips. Aku sudah benar-benar mahir dalam memasang kantong itu sendiri; tapi pagi itu, mungkin karena kegembiraan atau kegugupanku, aku belum menarik talinya cukup erat dan saat setengah jalan mandi aku bisa merasakan air menggenang di dalam kantong di sekitar jari-jariku. Aku melompat keluar dan merobek pelindung lateksnya, tapi bisa merasakan bahwa gips yang sebelumnya kaku menjadi lunak setelah menyerap air.
Karena tidak ada cara efektif untuk membersihkan area antara tubuhmu dan gips, kulit mati yang biasanya hilang hanya akan diam di sana. Ketika bercampur oleh uap seperti keringat, ia mengeluarkan bau, dan ternyata bau ini sebanding dengan jumlah kelembaban, karena segera setelah aku mulai mengeringkannya, aku dikejutkan oleh bau busuk yang amat kuat. Ketika aku terus menggosoknya dengan handuk, gips itu mulai hancur. Aku menjadi semakin tertekan—aku telah berupaya semaksimal mungkin untuk ukuran seorang anak di hari pertamanya sekolah. Aku sudah duduk dengan ibuku untuk memilih pakaianku malam sebelumnya; aku sudah menghabiskan banyak waktu menentukan ransel pilihanku; dan aku sudah sangat bersemangat untuk menunjukkan pada semua orang kotak makan siangku yang punya Kura-kura Ninja di atasnya. Aku sudah mengikuti kebiasaan ibuku memanggil anak-anak yang belum kukenal ini dengan “teman-temanku”, tapi karena kondisi gipsku semakin memburuk, aku menjadi sangat kesal pada pemikiran bahwa aku tak akan bisa menggunakan label itu pada siapa pun saat hari ini berakhir.
Kalah, aku menunjukkannya pada ibuku.
Butuh waktu tiga puluh menit untuk menghilangkan sebagian besar kelembaban sambil berusaha menyelamatkan sisa gipsnya. Untuk mengatasi masalah bau, ibuku memotong irisan sabun dan memasukkannya ke sela gips, dan kemudian menggosokkan sisa sabun di luar dalam upaya menyaring bau tengik di dalamnya agar lebih ramah. Pada saat kami tiba di sekolah, teman-teman sekelasku sudah terlibat dalam kegiatan kedua mereka dan aku diseret ke salah satu kelompok. Aku tidak begitu jelas memahami pedoman kegiatan itu dan dalam waktu sekitar lima menit, aku telah melanggar peraturan dengan sangat buruk hingga setiap anggota kelompok mengeluh kepada guru dan bertanya mengapa aku harus masuk kelompok mereka. Aku sudah membawa spidol ke sekolah dengan harapan dapat mengumpulkan beberapa tanda tangan atau gambar pada gips di sebelah coretan ibuku, dan tiba-tiba aku merasa sangat bodoh telah menaruh spidol itu di sakuku pagi itu.
TK memiliki ruang makan sendiri, tapi beberapa mejanya terlarang, jadi aku tidak perlu duduk sendirian. Aku secara sadar memungut ujung-ujung gipsku ketika seorang anak duduk di depanku.
“Aku suka kotak makanmu,” katanya.
Aku tahu dia mengolok-olokku, dan aku menjadi sangat marah; dalam pikiranku kotak makan siang itu adalah hal baik terakhir di hariku. Aku tidak mengangkat wajah dari lenganku, dan aku merasakan mataku terbakar karena air mata yang kutahan. Aku mendongak untuk memberi tahu anak itu agar meninggalkanku sendiri, tapi sebelum aku bisa mengeluarkan kata-kata, aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam.
Dia memiliki kotak makan siang yang sama persis.
Aku tertawa. “Aku juga suka kotak makanmu!”
“Menurutku Michelangelo adalah yang paling keren,” katanya sambil menirukan gerakan nunchaku.
Aku tengah membantah dengan mengatakan bahwa Raphael adalah favoritku ketika dia menjatuhkan karton susu yang terbuka dari meja ke pangkuannya.
Aku berusaha keras untuk menahan tawa karena aku tidak mengenalnya sama sekali, tapi raut wajahku yang berjuang pasti dia anggap lucu karena dia mulai tertawa lebih dulu. Tiba-tiba, aku tidak merasa sedih soal gipsku, dan berpikir bahwa anak ini akan sulit memperhatikannya juga. Saat itu, aku berpikir untuk mencoba keberuntunganku.
“Hei! Apa kau mau menandatangani gipsku?”
Ketika aku mengeluarkan spidol dia bertanya kepadaku bagaimana aku mematahkan tulangku. Aku mengatakan padanya bahwa aku jatuh dari pohon tertinggi di daerahku; dia tampak terkesan. Aku menyaksikannya dengan susah payah menggambar namanya, dan ketika dia selesai aku bertanya apa bacanya.
Dia mengatakan padaku itu dibaca “Josh”.
Aku dan Josh makan siang bersama setiap hari, dan kapan pun kami bisa kami berpasangan untuk berbagai tugas. Aku membantunya menulis, dan dia menyalahkan ketika aku menulis “Kentut!” di dinding dengan spidol permanen. Aku akan mengenal anak-anak lain, tapi kupikir aku tahu bahwa Josh adalah satu-satunya teman sejatiku.
Memindahkan pertemanan di luar sekolah saat kau berusia lima tahun sebenarnya lebih sulit daripada yang kita sadari. Pada hari kami meluncurkan balon-balon kami, kami bersenang-senang sehingga aku bertanya kepada Josh apakah dia mau datang ke rumahku hari berikutnya untuk bermain. Dia bilang mau dan akan membawa beberapa mainannya; aku mengatakan bahwa kami juga bisa pergi menjelajah dan mungkin berenang di danau. Ketika aku sampai di rumah, aku bertanya pada ibuku dan dia berkata tak keberatan. Antusiasmeku tidak terbatas sampai aku menyadari bahwa aku tidak punya cara untuk menghubungi Josh untuk mengabarinya. Aku menghabiskan seluruh akhir pekan khawatir bahwa persahabatan kami akan bubar pada hari Senin.
Ketika aku melihatnya setelah akhir pekan, aku lega mendapati bahwa dia telah mengalami hambatan yang sama dan menganggapnya lucu. Minggu itu kami berdua ingat untuk menuliskan nomor telepon kami di rumah dan kemudian menukarnya di sekolah. Ibuku berbicara dengan ayah Josh, dan diputuskan bahwa ibuku akan menjemput Josh dan aku dari sekolah pada hari Jumat itu. Kami mengganti struktur dasar ini hampir setiap akhir pekan; fakta bahwa kami hidup sangat dekat membuat segalanya lebih mudah bagi orang tua kami, yang tampaknya bekerja terus-menerus.
Ketika aku dan ibuku pindah melintasi kota pada akhir kelas satu, aku yakin bahwa persahabatan kami telah menemui hari terakhirnya; ketika kami pergi dari rumah yang telah aku tinggali sepanjang hidupku, aku merasakan kesedihan yang aku tahu bukan hanya karena rumah—aku mengucapkan selamat tinggal kepada temanku selamanya. Tapi, Josh dan aku—yang membuatku terkejut dan senang —tetap dekat.
Terlepas dari kenyataan bahwa kami menghabiskan sebagian besar waktu kami secara terpisah dan hanya bertemu satu sama lain di akhir pekan, kami tetap sangat mirip dalam bertumbuh. Kepribadian kami menyatu, selera humor kami saling melengkapi, dan kami sering menemukan bahwa kami mulai menyukai hal-hal baru secara mandiri. Suara kami bahkan terdengar cukup mirip sehingga ketika aku tinggal bersama Josh, dia terkadang memanggil ibuku dan berpura-pura menjadi aku; tingkat keberhasilannya sangat mengesankan. Ibuku terkadang bercanda bahwa satu-satunya cara dia bisa membedakan kami adalah dari rambut kami—ia memiliki rambut lurus, pirang-cokelat seperti kakak perempuannya, sementara aku memiliki rambut keriting, cokelat gelap seperti ibuku.
Orang akan berpikir bahwa hal yang paling mungkin untuk memisahkan dua teman belia adalah apa yang di luar kendali mereka; namun, kupikir katalisator perpisahan bertahap kami adalah desakanku untuk menyelinap ke rumah lamaku untuk mencari Boxes. Akhir pekan berikutnya aku mengundang Josh ke rumahku, sesuai tradisi kami bertukar-tukar rumah, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak merasa sanggup melakukannya. Kami mulai semakin jarang melihat satu sama lain selama sekitar satu tahun ke depan; itu berubah dari seminggu sekali, menjadi sebulan sekali, menjadi sekali setiap beberapa bulan.
Saat ulang tahunku yang keduabelas, ibuku mengadakan pesta untukku. Aku tidak punya banyak teman sejak kami pindah, jadi itu bukan pesta kejutan karena ibuku tidak tahu siapa yang harus diundang. Aku memberitahu beberapa anak yang kukenal dan menghubungi Josh untuk melihat apakah dia ingin datang. Awalnya, dia mengatakan bahwa dia pikir tak akan bisa melakukannya, tapi sehari sebelum pesta dia menghubungiku untuk mengatakan bahwa dia akan datang. Aku sangat senang karena aku belum melihatnya selama beberapa bulan.
Pesta berjalan cukup lancar. Kekhawatiran terbesarku adalah bahwa Josh dan anak-anak lain tidak akan akrab, tapi mereka tampaknya cukup menyukai satu sama lain. Josh menjadi pendiam. Dia tidak membawakan aku hadiah dan meminta maaf karenanya, tapi aku bilang padanya bahwa itu bukan masalah besar—aku sudah senang dia bisa datang. Aku mencoba memulai beberapa percakapan dengannya, tapi sepertinya terus menemui jalan buntu. Aku bertanya kepadanya apa yang salah; aku mengatakan padanya bahwa aku tidak mengerti kenapa keadaan menjadi begitu canggung di antara kami—tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dahulu kami biasa bersama hampir setiap akhir pekan dan berbicara di telepon setiap beberapa hari. Aku bertanya kepadanya apa yang terjadi di antara kami. Dia mendongak dari menatap sepatunya dan hanya berkata:
“Kau pergi.”
Tepat setelah dia mengatakan itu ibuku berteriak dari kamar lain bahwa sudah waktunya membuka hadiah. Aku memaksakan senyum dan berjalan ke ruang makan saat mereka menyanyikan “Selamat Ulang Tahun”. Ada beberapa kotak terbungkus dan banyak kartu karena sebagian besar kerabatku tinggal di luar negara bagian. Sebagian besar hadiah itu konyol dan tak penting, tapi aku ingat bahwa Brian memberiku mainan Mighty Max yang berbentuk seperti ular yang aku simpan selama bertahun-tahun sesudahnya. Ibuku bersikeras bahwa aku harus membuka semua kartu yang datang dan mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang memberikannya, karena beberapa tahun sebelumnya saat Natal, aku telah merobek kertas pembungkus dan amplop dengan begitu bersemangat hingga aku menghancurkan segala kemungkinan untuk mengenali siapa yang mengirim hadiah atau berapa jumlah uangnya. Kami memisahkan yang dikirim melalui pos dan yang dibawa hari itu sehingga teman-temanku tidak perlu duduk bersamaku membuka kartu dari orang-orang yang belum pernah mereka temui. Sebagian besar kartu dari teman-temanku punya beberapa dolar di dalamnya, dan yang dari sanak saudaraku berisi lebih besar.
Satu amplop tidak tertulis namaku di atasnya, tapi itu ada di tumpukan jadi aku membukanya. Kartu itu memiliki pola bunga yang umum di muka dan tampaknya kartu yang pernah diterima oleh orang itu dan ia gunakan lagi untuk ulang tahunku, karena agak kumal. Aku benar-benar menghargai gagasan bahwa itu adalah kartu yang digunakan kembali karena aku selalu berpikir bahwa kartu itu konyol. Aku memiringkannya agar uangnya tidak jatuh ke lantai ketika aku membukanya, tapi satu-satunya yang ada di dalam adalah pesan yang telah tercetak di kartu.
“Aku mencintaimu.”
Siapa pun yang memberiku kartu ini tidak menulis apa pun di dalamnya, tapi dia telah melingkari pesan itu dengan pensil beberapa kali.
Aku sedikit tergelak dan berkata, “Wah, terima kasih untuk kartu yang luar biasa, Mom.”
Dia menatapku dengan heran kemudian mengalihkan perhatiannya ke kartu. Dia mengatakan padaku bahwa itu bukan dari dia dan tampak geli ketika dia menunjukkan kepada teman-temanku, memandangi wajah-wajah mereka yang mencoba mengenali siapa yang memainkan lelucon itu. Tidak ada anak yang melangkah maju, jadi ibuku berkata:
“Jangan khawatir sayang, setidaknya sekarang kau tahu ada dua orang yang mencintaimu.”
Dia mengikutinya dengan ciuman yang sangat panjang dan menyiksa dahiku yang mengubah kebingungan bersama menjadi histeria. Mereka semua tertawa sehingga bisa jadi itu salah satu di antara mereka, tapi Mike tampaknya yang tertawa paling keras. Untuk ikut serta alih-alih menjadi subjek lelucon, aku katakan kepadanya bahwa hanya karena dia telah memberiku kartu itu, dia seharusnya tidak berpikir bahwa aku akan menciumnya nanti. Kami semua tertawa, dan ketika aku melihat Josh, aku melihat dia akhirnya tersenyum.
“Yah, kupikir hadiah itu mungkin adalah pemenangnya, tapi kau memiliki beberapa lagi untuk dibuka.”
Ibuku memberikan hadiah lain di depanku. Aku masih merasakan getaran tawa tertekan di perutku saat merobek kertas warna-warni itu. Ketika aku melihat hadiah itu, aku tidak perlu lagi menahan tawa. Senyumku turun saat aku melihat apa yang telah diberikan padaku.
Itu adalah sepasang HT.
“Ayo! Tunjukkan pada semuanya!”
Aku mengangkatnya, dan semua orang tampaknya menyetujuinya, tapi ketika aku menarik perhatianku pada Josh aku bisa melihat bahwa dia telah sepucat orang sakit. Kami mengunci mata sejenak kemudian dia berbalik dan berjalan ke dapur. Ketika aku memperhatikan dia memutar nomor di telepon kabel yang terpasang di dinding, ibuku berbisik di telingaku bahwa dia tahu aku dan Josh tidak banyak bicara sejak salah satu HT-nya rusak, jadi dia pikir aku akan menyukainya. Aku dipenuhi rasa menghargai yang kuat atas perhatian ibuku, tapi perasaan ini dengan mudah dikalahkan oleh emosi yang dibangkitkan oleh ingatan yang kembali sehingga aku berusaha keras untuk menguburnya.
Ketika semua orang sedang makan kue, aku bertanya pada Josh siapa yang dia hubungi. Dia bilang padaku bahwa dia tidak enak badan sehingga dia meminta ayahnya menjemputnya. Aku mengerti bahwa dia ingin pergi, tapi aku mengatakan kepadanya bahwa aku berharap kami bisa lebih sering bersama. Aku mengulurkan salah satu HT kepadanya, tapi dia menolak.
Merasa sedih, aku berkata, “Yah, terima kasih sudah datang, kurasa. Kuharap aku bisa menemuimu sebelum ulang tahunku berikutnya.”
“Maafkan aku ... aku akan mencoba meneleponmu kembali lebih sering. Sungguh,” katanya.
Percakapan mandek ketika kami menunggu kedatangan ayahnya di dekat pintu. Aku melihat wajahnya. Josh tampak benar-benar menyesal karena dia tidak berusaha lebih keras. Suasana hatinya tiba-tiba tampak ditopang oleh gagasan yang telah mengejutkannya. Dia memberitahuku bahwa dia tahu apa yang akan aku dapatkan untuk ulang tahunku—itu akan memakan waktu cukup lama, tapi dia pikir aku akan sangat menyukainya. Aku mengatakan padanya bahwa itu bukan masalah besar, tapi dia bersikeras. Dia tampak bersemangat dan meminta maaf karena menjadi penghambat di pestaku. Dia berkata bahwa dia lelah—bahwa dia tidak bisa tidur nyenyak. Aku bertanya apa sebabnya ketika dia membuka pintu sebagai tanggapan bunyi klakson ayahnya di jalan masuk. Dia berbalik ke arahku dan melambaikan tangan saat dia menjawab:
“Kupikir aku berjalan dalam tidur.”
Itu terakhir kali aku melihat temanku, dan beberapa bulan kemudian dia menghilang.
Selama beberapa minggu terakhir, hubungan antara aku dan ibuku semakin tegang karena usahaku untuk mempelajari detail masa kecilku. Sering kali seseorang tidak dapat mengetahui titik kehancuran suatu benda sampai benda itu hancur, dan setelah percakapan terakhir dengan ibuku, aku membayangkan bahwa kami akan menghabiskan sisa hidup kami dengan berusaha memperbaiki apa yang perlu seumur hidup untuk membangunnya. Dia telah mengerahkan begitu banyak energi untuk menjagaku tetap aman, baik secara fisik maupun psikologis, tapi kupikir dinding yang dimaksudkan untuk melindungiku dari bahaya juga melindungi stabilitas emosinya. Ketika kebenaran mengalir keluar saat terakhir kami berbicara, aku bisa mendengar suaranya bergetar yang kupikir merupakan gema kehancuran dunianya. Aku tidak membayangkan ibuku dan aku akan banyak berbicara lagi, dan kendati masih ada beberapa hal yang tidak kumengerti, kupikir aku cukup tahu.
Setelah Josh menghilang, orangtuanya telah melakukan semua yang mereka bisa untuk menemukannya. Sejak hari pertama, polisi telah menyarankan agar mereka menghubungi semua orangtua teman-teman Josh untuk melihat apakah dia bersama mereka. Mereka melakukannya, tentu saja, tapi tidak ada yang melihatnya atau tahu di mana dia berada. Polisi tidak dapat menyerahkan informasi baru tentang keberadaan Josh, meskipun fakta bahwa mereka telah menerima beberapa panggilan telepon anonim dari seorang wanita yang mendesak mereka untuk menyandingkan kasus ini dengan kasus penguntit yang dibuka sekitar enam tahun sebelumnya.
Jika cengkeraman ibu Josh pada dunia melonggar ketika putranya hilang, cengkraman itu lepas ketika Veronica meninggal. Dia telah melihat banyak orang meninggal di rumah sakit, tapi tidak ada desensitisasi yang dapat memperkuat seseorang terhadap kematian anaknya sendiri. Dia akan mengunjungi Veronica dua kali sehari karena Veronica memulihkan diri di rumah sakit yang berbeda; sekali sebelum shiftnya, dan sekali sesudahnya. Pada hari Veronica meninggal, ibunya terlambat berangkat kerja, dan saat dia tiba di rumah sakit putrinya, Veronica sudah meninggal. Ini terlalu berat baginya dan selama beberapa minggu berikutnya dia menjadi semakin tidak stabil; dia sering berkeliaran di luar berteriak agar Josh dan Veronica pulang, dan beberapa kali suaminya menemukannya berkeliaran di lingkungan lamaku pada tengah malam—setengah berpakaian dan dengan panik mencari putra putrinya.
Karena kerusakan mental istrinya, ayah Josh tak lagi bisa bekerja jauh dan mulai mengambil pekerjaan konstruksi yang bergaji lebih kecil, sehingga ia bisa lebih dekat ke rumah. Ketika mereka mulai memperluas lagi daerah lamaku, sekitar tiga bulan setelah Veronica meninggal, ayah Josh melamar untuk setiap posisi dan dipekerjakan. Dia memenuhi syarat untuk memimpin proyek pembangunan, tapi dia mengambil pekerjaan sebagai buruh, membantu membangun kerangka dan membersihkan lokasi dan apa pun yang diperlukan. Dia bahkan mengambil pekerjaan sambilan yang sesekali datang; memotong rumput, memperbaiki pagar—apa pun agar tidak perlu pergi jauh. Mereka mulai menebangi hutan di daerah sebelah anak sungai untuk mengubah lokasi menjadi tanah yang layak huni. Ayah Josh ditugasi dengan tanggung jawab meratakan tanah yang baru saja digunduli, dan pekerjaan ini menjaminnya setidaknya beberapa minggu bekerja.
Pada hari ketiga, dia tiba di tempat yang tidak bisa dia ratakan. Setiap kali dia melewatinya, tanah itu tetap lebih rendah dari tanah di sekitarnya. Frustrasi, dia turun dari mesin untuk mensurvei daerah tersebut. Dia tergoda untuk memasukkan lebih banyak tanah ke dalam turunan, tapi dia tahu itu hanya akan menjadi solusi estetika dan sementara. Dia sudah bekerja menjadi kontraktor selama bertahun-tahun dan tahu bahwa sistem akar dari pohon-pohon besar yang baru-baru ini ditebang banyak yang membusuk, meninggalkan kelembekan di tanah yang akan bermanifestasi menjadi kelembekan pada pondasi di atas. Dia menimbang pilihannya dan memilih untuk menggali sedikit dengan sekop kalau-kalau masalahnya cukup dangkal untuk diperbaiki tanpa perlu mesin yang harus dibawa dari lokasi lain. Dan ketika ibuku menjelaskan di mana lokasi itu, aku tahu aku telah berada di tempat itu sebelum tanahnya rusak dan sebelum ditimbun.
Aku merasakan dadaku mengencang.
Ayah Josh menggali lubang kecil sekitar satu meter sampai sekopnya membentur sesuatu yang keras. Dia membenturkan sekopnya berulang kali dalam upaya mengukur ketebalan akar dan kepadatan jaringan ketika tiba-tiba sekopnya amblas saat dia melakukannya.
Kebingungan, dia melebarkan lubangnya. Setelah sekitar setengah jam penggalian, ia mendapati dirinya berdiri di atas sebuah kotak cokelat yang tertutup selimut, sekitar 2,1 meter panjangnya dan lebar 1,2 meter. Pikiran kita bekerja untuk menghindari kejanggalan—jika kita memegang keyakinan dengan cukup kuat, pikiran kita akan dengan kuat menolak bukti yang saling bertentangan sehingga kita dapat mempertahankan integritas pemahaman kita pada dunia.
Berikutnya, terlepas dari apa yang ditunjukkan oleh akal sehat—terlepas dari kenyataan bahwa sebagian kecil dari dirinya yang tercekik menyadari apa yang menopang kakinya—pria ini percaya, ia tahu, putranya masih hidup.
Ibuku menerima telepon pada jam 6 sore. Dia tahu siapa orang itu, tapi dia tidak bisa mengerti apa yang dikatakannya. Tapi apa yang dia pahami membuatnya segera pergi.
“DI BAWAH DI SINI ... SEKARANG ... PUTRA ... KUMOHON TUHAN.”
Ketika dia tiba, dia mendapati ayah Josh duduk diam dengan punggung menghadap ke lubang. Dia memegang sekop dengan sangat erat sehingga kelihatannya akan mematahkannya, dan dia menatap lurus ke depan dengan mata yang tampak tak bernyawa seperti mata hiu. Dia tidak menanggapi kata-kata ibuku, dan hanya bereaksi ketika ibuku mencoba mengambil sekop darinya dengan perlahan.
Dia menarik matanya perlahan ke mata ibuku dan hanya berkata, “Aku tidak mengerti.” Dia mengulangi itu seolah-olah telah lupa pada semua kata-kata lain, dan ibuku bisa mendengarnya masih bergumam ketika dia berjalan melewatinya untuk melihat ke dalam lubang.
Ibuku berkata padaku dia berharap telah mencungkil matanya sebelum dia melihat ke bawah ke dalam kawah itu, dan aku mengatakan padanya bahwa aku tahu apa yang akan dia katakan dan dia tidak perlu melanjutkan. Aku melihat wajahnya yang menunjukkan ekspresi keputusasaan kuat yang menyebabkan perutku jungkir balik. Aku menyadari bahwa dia telah mengetahui hal ini selama hampir sepuluh tahun dan berharap dia tidak akan pernah memberitahuku. Akibatnya, dia tidak pernah menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dia lihat, dan ketika aku duduk di sini aku bertemu dengan kesulitan yang sama.
Josh sudah meninggal. Wajahnya tenggelam dan berkerut sedemikian rupa hingga seolah kesengsaraan dan keputusasaan di seluruh dunia telah dipindahkan ke sana. Bau busuk yang menyengat naik dari bawah tanah, dan ibuku harus menutup hidung dan mulutnya agar tidak muntah. Kulitnya pecah, hampir seperti kulit buaya, dan aliran darah yang mengikuti garis-garis ini mengering di wajahnya setelah menggenang dan menodai kayu di sekitar kepalanya. Matanya berbaring setengah terbuka menghadap lurus ke atas. Ibuku berkata dari penampilannya, Josh belum lama meninggal, dan waktu tidak membawa belas kasihan untuk mengurangi penderitaan dan teror yang sekarang terukir di wajahnya. Dia mengatakan seolah-olah Josh telah mengubah pandangannya ke arahnya, mulutnya yang terbuka menawarkan permohonan yang sangat terlambat untuk bantuan. Tapi sisa tubuhnya, tidak terlihat.
Tubuh seseorang menutupinya.
Pria itu bertubuh besar dan berbaring telungkup di atas Josh, dan ketika pikiran ibuku meregang untuk menerima apa yang ingin disampaikan oleh matanya, dia menjadi sadar akan arti penting telungkupnya orang itu.
Pria itu menahan Josh.
Kaki mereka membeku karena kematian, tapi berbelit seperti tanaman rambat di hutan tropis yang rimbun. Satu lengan diletakkan di bawah leher Josh untuk memeluk tubuhnya sehingga mereka bisa berbaring lebih dekat.
Ketika matahari melewati pepohonan, cahayanya dipantulkan oleh sesuatu yang disematkan pada baju Josh. Ibuku membungkuk dengan satu lutut dan mengangkat kerah kemeja ke atas hidungnya untuk menghalangi bau. Ketika dia melihat apa yang ditangkap matahari, kekuatan kakinya meninggalkannya dan dia hampir jatuh ke dalam kubur.
Itu sebuah foto ...
Itu adalah fotoku saat aku masih anak-anak.
Dia terhuyung mundur, terengah-engah dan gemetar dan bertabrakan dengan ayah Josh yang masih duduk memunggungi lubang. Kini dia mengerti kenapa ayah Josh memanggilnya, tapi dia tidak bisa memberitahunya apa yang dia simpan dari semua orang selama bertahun-tahun. Keluarga Josh tidak pernah tahu tentang malam aku terbangun di hutan. Dia tahu sekarang bahwa dia seharusnya memberi tahu mereka, tapi mengatakan kepadanya sekarang tidak akan membantu apa-apa. Ketika dia duduk di sana, bersandar di punggung ayah Josh. Ayah Josh berbicara.
“Aku tidak bisa memberi tahu istriku. Aku tak bisa memberitahunya bahwa putra kecil kami—“ pidatonya sempoyongan ketika dia menekankan wajahnya yang basah ke tangannya yang kotor. “Dia tak akan sanggup...”
Setelah beberapa saat, dia berdiri, masih gemetaran dan berjalan menuju kuburan. Dengan isakan terakhir, dia turun ke peti mati. Ayah Josh adalah pria besar, tapi tidak sebesar pria di dalam kotak. Dia meraih bagian belakang kerah pria itu dan menariknya dengan keras—seolah bermaksud melemparkan pria itu keluar dari kubur dalam satu gerakan. Tapi kerah itu robek dan tubuh itu jatuh kembali ke atas putranya.
“KAU BAJINGAN!”
Dia meraih pria itu di pundaknya dan mendorongnya kembali sampai dia terlepas dari Josh dan duduk dengan canggung tapi tegak di dinding kubur. Dia memandang pria itu dan terhuyung mundur satu langkah.
“Ya Tuhan ... Ya Tuhan, tidak. Tidak, tidak, tidak. Kumohon Tuhan, KUMOHON TUHAN.”
Dengan gerakan keras namun kuat, dia mengangkat dan mendorong mayat itu sepenuhnya dari tanah dan mereka berdua mendengar suara kaca berguling di atas kayu. Itu adalah sebuah botol. Dia menyerahkannya kepada ibuku.
Itu cairan eter—obat bius.
“Oh Josh,” isaknya. “Anakku ... anakku. Kenapa ada begitu banyak darah ?! APA YANG DIA LAKUKAN PADAMU?!”
Ketika ibuku memandang pria yang sekarang berbaring menghadap ke atas, dia menyadari sedang memandang orang yang telah menghantui hidup kami selama lebih dari satu dekade. Dia sudah membayangkannya berkali-kali, selalu jahat dan selalu menakutkan, dan tangisan ayah Josh sepertinya menegaskan ketakutan terburuknya. Tapi ketika dia menatap wajahnya, dia berpikir itu bukan seperti orang yang dia bayangkan—ini hanya seorang pria biasa.
Saat dia melihat ekspresinya yang membeku, itu malahan terlihat tenteram. Sudut bibirnya terangkat sedikit; dia melihat bahwa pria itu sedang tersenyum. Bukan senyum yang diharapkan dari seorang maniak dari film atau cerita horor; bukan senyum jahat, atau senyum iblis. Itu adalah senyum syukur dan kepuasan. Itu adalah senyum kebahagiaan.
Itu adalah senyum cinta.
Ketika dia melihat turun dari wajahnya, dia melihat luka besar di lehernya dari tempat kulitnya terkelupas. Awalnya dia merasa lega ketika dia menyadari bahwa darah itu bukan milik Josh. Mungkin Josh tidak begitu menderita. Tapi kenyamanan ini hanya singkat karena dia menyadari betapa kelirunya dia. Dia mengangkat tangan ke mulut dan berbisik, seolah-olah dia takut untuk mengingatkan dunia apa yang telah terjadi:
“Mereka tadinya hidup.”
Josh pasti menggigit leher lelaki itu dalam upaya untuk membebaskan diri, dan meskipun lelaki itu telah meninggal, Josh tidak bisa memindahkannya. Aku mulai menangis ketika memikirkan berapa lama dia berbaring di sana.
Dia memeriksa ke dalam saku pria itu untuk identifikasi, tapi dia hanya menemukan selembar kertas. Di atasnya ada gambar seorang pria bergandengan tangan dengan anak laki-laki dan di sebelah gambar anak itu ada inisial.
Inisialku.
Aku ingin berpikir bahwa dia mengingat bagian cerita itu secara tidak akurat, tapi aku tidak akan pernah tahu pasti.
Ketika ayah Josh membawa putranya keluar dari kubur, ibuku memasukkan potongan kertas itu ke sakunya. Ayah Josh terus bergumam bahwa rambut putranya telah dicat. Ibuku sudah melihatnya—sekarang cokelat gelap, dan dia memperhatikan bahwa Josh berpakaian aneh; pakaiannya terlalu kecil. Setelah ayah Josh dengan hati-hati meletakkan putranya di tanah yang empuk, dia mulai dengan lembut menekankan tangannya ke celana putranya untuk meraba-raba kantongnya; dia mendengar kersakan. Dengan hati-hati, dia mengambil selembar kertas terlipat dari saku Josh. Dia melihatnya dan merasa kesal. Tanpa sadar, dia menyerahkannya kepada ibuku, tapi ibuku juga tidak mengenalinya. Aku bertanya apa itu.
Dia mengatakan padaku bahwa itu sebuah peta, dan aku merasa hatiku hancur. Dia sedang menyelesaikan peta itu—itu pasti idenya untuk hadiah ulang tahunku. Aku mendapati diriku dengan aneh berharap bahwa dia tidak diculik saat mengerjakannya—seakan itu penting sekarang.
Ibuku mendengar ayah Josh mendengus dan melihat, kemudian mendorong tubuh pria itu kembali ke tanah. Ketika dia berjalan kembali ke mesin yang membantunya menemukan tempat itu, dia meletakkan tangannya di tabung bensin dan berhenti dengan punggung menghadap ibuku.
“Kau sebaiknya pergi.”
“Maafkan aku.”
“Ini bukan salahmu. Ini semua karenaku.”
“Kau tidak bisa berpikir seperti itu. Tak ada—“
Dia menyela dengan datar, hampir tanpa emosi sama sekali. “Sekitar sebulan yang lalu, seorang pria mendekatiku ketika aku sedang membersihkan lokasi untuk pengembangan baru satu blok jauhnya. Dia bertanya padaku apakah aku ingin mendapat uang tambahan, dan karena istriku sekarang tidak bekerja, aku menerimanya. Dia mengatakan padaku bahwa beberapa anak telah menggali banyak lubang di propertinya dan dia menawariku seratus dolar untuk menutupnya. Dia mengatakan bahwa dia ingin mengambil beberapa gambar untuk perusahaan asuransi terlebih dahulu, tapi jika aku kembali setelah jam 5 sore, hari berikutnya, semua akan baik-baik saja. Kupikir orang ini penipu karena tempat itu sudah akan dibersihkan jadi seseorang pasti akan melakukannya juga, tapi aku butuh uangnya jadi aku setuju. Kupikir dia bahkan tak punya seratus dolar, tapi dia meletakkan bayarannya di tanganku, dan aku melakukan pekerjaan itu keesokan harinya. Aku sudah sangat lelah hingga aku bahkan tidak memikirkannya setelah selesai. Aku tidak melakukannya. Aku tidak memikirkannya sampai hari ini ketika aku menarik lelaki itu dari atas putraku.”
Dia menunjuk ke makam dan emosinya mulai meluap saat dia menangis tersedu-sedu.
“Dia membayarku seratus dolar agar aku menguburnya dengan putraku ...”
Seolah-olah jika mengatakan itu dengan keras akan bisa memaksanya menerima apa yang terjadi, dan dia jatuh ke tanah sambil menangis. Ibuku tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan dan berdiri di sana dalam kesunyian yang terasa seperti seumur hidup. Dia akhirnya bertanya apa yang akan dia lakukan pada Josh.
“Tempat peristirahatan terakhirnya tak akan di sini bersama monster ini.”
Ketika ibuku melihat ke belakang setelah mencapai mobilnya, dia bisa melihat asap hitam mengepul dan menyebar ke langit kuning dan dia berharap atas semua harapan bahwa orang tua Josh akan baik-baik saja.
Aku meninggalkan rumah ibuku tanpa banyak bicara. Aku katakan padanya bahwa aku menyayanginya dan bahwa aku akan segera berbicara dengannya, tapi aku tidak tahu apa artinya “segera” bagi kami. Aku masuk ke mobilku dan pergi.
Aku mengerti sekarang kenapa peristiwa masa kecilku berhenti bertahun-tahun yang lalu. Sebagai orang dewasa, sekarang aku melihat koneksi yang hilang pada seorang anak yang cenderung melihat dunia sebagai cuplikan bukannya urutan. Aku memikirkan Josh. Aku menyayanginya saat itu, dan aku masih menyayanginya. Aku semakin merindukannya sekarang setelah tahu aku tidak akan pernah melihatnya lagi, dan aku mendapati diriku berharap bahwa aku memeluknya saat terakhir kali aku melihatnya. Aku memikirkan orangtua Josh—seberapa besar kehilangan mereka dan seberapa cepat kehilangan itu terjadi. Mereka tidak tahu tentang hubunganku dengan semua ini, tapi aku tidak pernah bisa menatap mata mereka sekarang. Aku memikirkan Veronica. Aku baru benar-benar mengenalnya di saat-saat terakhir, tapi selama beberapa minggu singkat itu kupikir aku benar-benar mencintainya. Aku memikirkan ibuku. Dia telah berusaha sangat keras untuk melindungiku dan menjadi lebih kuat daripada yang pernah aku bisa. Aku berusaha untuk tidak memikirkan pria itu dan apa yang telah ia lakukan dengan Josh selama lebih dari dua tahun.
Kebanyakan aku hanya memikirkan Josh. Terkadang aku berharap dia tidak pernah duduk di hadapanku hari itu di TK; bahwa aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki teman sejati. Terkadang aku suka bermimpi bahwa dia ada di tempat yang lebih baik, tapi itu hanya mimpi, dan aku tahu itu. Dunia adalah tempat yang kejam dan dibuat semakin kejam oleh manusia. Tak akan ada keadilan bagi temanku, tak ada konfrontasi akhir, tak ada pembalasan; sudah hampir satu dekade berlalu bagi semua orang kecuali aku sekarang.
Aku merindukanmu, Josh. Maaf kau telah memilihku, tapi aku akan selalu menyimpan dalam hati kenanganku tentangmu.
Kita adalah penjelajah.
Kita adalah petualang.
Kita adalah sahabat.
⨁
josh 😥😥😥
ReplyDeletejadi si stalker nya salah ngira josh sbg si aku gitu..
entah salah mengira atau sengaja nyulik josh karena ada kesempatan dan menjadikannya pelampiasan karena tak bisa mendapatkan si aku. atau tak ingin menyakiti si aku.
DeleteSakit bgt si mental nya,
DeleteBtw, ini kisah nyata atau fiktif si?
Seharian nungguin critanya ini bang.. akhirnya setelah di baca jdi nyesek,
ReplyDeleteCuma ga paham kenapa dia bunuh Veronica? Apa krna cemburu? Trus yg bunuh nenek tua berarti si stalkernya ya? Trus dia itu bunuh diri gitu sama si Josh apa gmana ya? Bisa di jelasin ga bang?
saya sih nangkepnya si stalker ini over posesif & sick. jadi dia gak terima ada orang lain yg deket sama si aku. akhirnya dia menyingkirkan/membunuh org2 yang dekat sama si aku. iya dia juga yg bunuh si nenek. untuk yg bagian bunuh diri kurang ngerti juga. mungkin ada temen2 yg bisa menjelaskan lebih detail.
DeleteMakasih bang buat crita dan penjelasannya, bsok2 bkin begini lgi ya bang..
Deletetpi klo bisa yg happy ending gitu..
Mungkin si pedo bukan niat bunuh diri,
DeleteJadi keknya si josh ini setiap diperkosa sama si pedo, selalu dikasih bius dulu,
Cuma mungkin karna bius nya kurang atau bagaimana, si josh bangun, membrontak, terus gigit leher si pedo
Plot twist, meski sebelumnya aku udah ngira emang si Josh ini kalo gak diculik ya dibunuh sama pelaku. Veronica sama nenek tua juga yg bunuh si pelaku, untuk Veronica sepertinya dilandasi rasa cemburu, dan dia ngebunuh nenek tua itu karena takut ketahuan dia ini stalker, karena emang nenek tua itu sering liat mereka main dan salahnya dia nyangka si pelaku adalah suaminya, jadi waktu itu dia bilang kalo suaminya pulang padahal dia si stalker terus dibunuh deh.
ReplyDeleteDan yg paling creepy bayangin ini org sering kirim surat or pesan yg bilang I LOVE YOU,holly SH*t!! Parah! Selama dia stalkerin si Aku dia ini cemburu banget kek nya sama Josh, sama pertemanan mereka. Dia mau dapetin si Aku tapi tanpa mesti culik apa sakitin si aku, you know lah giamana seorang pedo, karena dia ini cinta! Dia berharap hubungan yg sehat keknya pokoknya harus mulus tanpa harus ada drama penyiksaan sama si aku, seperti misal "aku cinta kamu" dengan segala kenyataan dia yg lakik udah tua mau dibalas sama si aku "aku juga cinta kamu." Anjir. Tapi sepertinya karena ibunya si Aku ini bener2 ngelindungin dia bahkan sampe hampir satu dekade ibunya bungkam baru cerita dia udah gede, jadi si pelaku susah mau dapetin dia apalagi deketin ngejelasin dia itu cinta. Pas Josh di ajak ke rumah lama buat cari boxes di situ Josh udah tau ada yg gak beres dan dia ketemu Ama nih org. Semenjak itu Josh ngejauh karena si pelaku udah mulai ganggu Josh, dia culik Josh dan buat seolah dia kabur dari rumah sama seperti yg dialami si aku pas masih kecil. SH*t! Selama si Josh diculik dia buat Josh seakan-akan adalah si Aku yg bener2 dia pengenin. Dari rambut bahkan pakaian yg bener2 buat aku mual, dia pake in Josh pakaian anak kecil, anjir�� gak kebayang 2taun Josh di culik. Si pelaku ngelampiasin keinginan dia sama Josh. Dia pengen punya kisah cinta sempurna, jadi dia gak mau buat sia aku terluka dan dia lakuin itu sama Josh! Untuk terakhir dia bunuh diri sepertinya udah frustasi dan epicnya dia buat bapak nya Josh yg nguburin mereka berdua. Atau bisa juga si pelaku suka ke Josh dengan bagaimana dia suka kriteria seperti ke si aku dan dia mau mati bareng, gila��
Semangat bang translate cerita kayak gini�� maaf kepanjangan komenya emosi campur aduk bacanya. Lanjut obloo bang��
wih lengkap penjabarannya.
Deletecoba deh saya cari obloo. belum pernah baca.
Yeayy..... Si sahabat pena (penpal) dan sahabat karib nya mati bersama dalam keadaan berpelukan😊
ReplyDeleteOhh... Saya suka happy ending😂😂
Yang jadi pertanyaan ketika ibunya tau ada yg ga beres kenapa gak lapor polisi
ReplyDelete:'( RIP josh n Veronica
sepertinya udah pernah lapor tp polisi tak mendapat kemajuan. wanita misterius yg nelpon polisi dan nyuruh menghubungkan hilangnya josh sama kasus penguntit enam tahun sebelumnya juga tampaknya adalah ibunya si aku.
DeleteBang kalau udah gak capek, terjemahin cerita nosleep yg correspondence dong hehehe
ReplyDeleteIya bang . Baru juga saya mau minta yg itu
DeleteLu translate sendiri apa nyomot bro?
ReplyDeletetranslate sendiri.
DeleteSerem banget sih bang ceritanya Ampe engos engosan bacanya
ReplyDelete