original story by 1000vultures
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal
This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.
Langkah Kaki
Ini cerita yang panjang, jadi sebelumnya maaf. Aku tidak pernah bisa menceritakan kisah ini dengan cukup detail untuk benar-benar menjelaskan semuanya, tapi ini nyata dan terjadi ketika aku berusia sekitar enam tahun.
Di ruangan yang sunyi, jika kau menempelkan telinga ke bantal, kau bisa mendengar detak jantungmu. Sebagai seorang anak, ketukan ritmis yang teredam ini, terdengar seperti langkah kaki lembut di lantai berkarpet, sehingga sebagai anak kecil, hampir setiap malam—tepat ketika aku hampir tertidur—aku akan mendengar langkah kaki ini dan aku akan terbangun, ketakutan.
Sepanjang masa kecilku, aku tinggal bersama ibuku di lingkungan yang cukup baik yang berada dalam fase transisi—orang-orang dengan ekonomi rendah secara bertahap datang, dan aku dan ibuku adalah dua di antara orang-orang itu. Kami tinggal di jenis rumah yang kau lihat sedang diangkut menjadi dua bagian melewati antar negara bagian, tetapi ibuku merawatnya dengan baik. Ada banyak hutan di sekitar lingkunganku tempat aku akan bermain dan menjelajah di siang hari, tetapi di malam hari—seperti yang sering terjadi pada semua anak-anak—tempat itu terasa lebih jahat. Itu, ditambah dengan fakta bahwa jenis rumah kami adalah yang memiliki kolong rumah yang cukup besar di bawahnya, akan memenuhi pikiranku dengan monster khayalan dan skenario tak terhindarkan yang akan menyibukkan pikiranku ketika aku terbangun oleh suara langkah kaki.
Aku memberi tahu ibuku soal langkah kaki itu dan dia berkata bahwa aku hanya membayangkannya; aku bersikeras agar dia mencuci bagian dalam telingaku dengan air untuk menenangkanku, karena kupikir itu akan membantu. Tentu saja tidak. Terlepas dari semua kengerian dan langkah kakinya, satu-satunya hal aneh yang pernah terjadi adalah, seringkali, aku akan terbangun di bawah walaupun sudah tidur di atas, tapi ini tidak terlalu aneh karena aku kadang bangun untuk kencing atau mengambil sesuatu untuk diminum dan ingat bisa kembali tidur di ranjang bawah (aku anak tunggal jadi tidak masalah). Ini akan terjadi sekali atau dua kali seminggu, tetapi bangun di ranjang bawah tidak terlalu menakutkan. Namun suatu malam aku tidak terbangun di ranjang bawah.
Aku telah mendengar langkah kaki, tapi itu tak cukup keras untuk membangunkanku, dan ketika aku akhirnya terbangun itu bukan karena suara langkah kaki atau mimpi buruk, melainkan karena aku kedinginan. Sangat dingin. Ketika aku membuka mata, aku melihat bintang-bintang. Aku berada di hutan. Aku langsung duduk dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Kukira aku sedang bermimpi, tetapi itu tampaknya tidak benar, meskipun aku juga tidak berada di hutan. Ada pelampung karet tepat di depanku—salah satu yang berbentuk seperti hiu. Hanya menjadikannya semakin sureal, tetapi setelah beberapa saat sepertinya aku tidak akan bangun karena aku tidak tidur. Aku berdiri untuk mencaritahu posisiku, tapi aku tidak mengenali hutan ini. Aku bermain di hutan dekat rumahku sepanjang waktu, jadi aku mengenal mereka dengan sangat baik, tapi jika ini bukan hutan yang sama bagaimana aku bisa keluar? Aku mengambil satu langkah dan merasakan sakit yang menusuk di kakiku, yang membuatku kembali ke tempatku baru saja berbaring. Aku menginjak duri. Dengan cahaya bulan aku bisa melihat ada duri di mana-mana. Aku memandangi kakiku yang lain, rupanya baik-baik saja, dan anggota lain tubuhku juga baik-baik saja. Badanku tidak tergores dan bahkan aku tidak kotor. Aku menangis sebentar kemudian kembali berdiri.
Aku tak tahu harus ke mana, jadi aku hanya asal memilih arah. Aku menahan diri untuk berteriak memanggil karena tak tahu apa atau siapa yang bakal menemukanku di luar sana.
Aku berjalan selama rasanya berjam-jam.
Aku mencoba berjalan dalam garis lurus, dan mencoba untuk memperbaiki arah ketika aku harus mengambil jalan memutar, tapi aku masih kecil dan aku takut. Tak ada lolongan atau jeritan, dan hanya sekali aku mendengar suara yang membuatku takut. Seperti suara bayi yang menangis. Kupikir itu hanya kucing, tapi aku panik. Aku berlari ke arah yang berbeda untuk menghindari semak-semak besar dan pohon-pohon yang tumbang. Dan aku sangat berhati-hati di mana aku menginjakkan kaki karena pada saat itu kakiku dalam kondisi yang sangat buruk. Aku lebih memperhatikan di mana aku menginjakkan kaki daripada ke mana arah langkahku, karena tak lama setelah mendengar tangisan aku melihat sesuatu yang mengisi diriku dengan semacam keputusasaan yang belum pernah kualami sebelumnya. Itu pelampung karet tadi.
Aku hanya tiga meter dari tempatku terbangun.
Ini bukan sihir atau pembengkokan-ruang supernatural. Aku tersesat. Sampai saat itu aku lebih memikirkan cara keluar dari hutan daripada bagaimana aku masuk, tetapi kembali ke awal menyebabkan pikiranku berenang. Aku bahkan tidak yakin jika ini adalah hutanku; aku hanya berharap. Apakah aku berlari dalam lingkaran besar di sekitar tempat ini, atau apakah aku baru saja berbalik arah dan berjalan kembali? Bagaimana aku bisa keluar? Pada waktu itu kupikir bintang utara adalah bintang paling terang, jadi aku melihat dan menemukan yang paling terang dan mengikutinya.
Akhirnya segalanya mulai terlihat lebih akrab dan ketika aku melihat “parit” (sebuah parit tanah tempat aku dan teman-temanku akan terlibat perang tanah), aku tahu aku telah berhasil. Pada saat itu aku berjalan sangat lambat karena kakiku sangat sakit, tapi aku sangat senang berada begitu dekat dengan rumah sehingga aku berlari kecil. Ketika aku benar-benar melihat atap rumahku di atas rumah tetangga yang letaknya lebih rendah, aku mengeluarkan isakan ringan dan berlari lebih cepat. Aku hanya ingin segera pulang. Aku sudah memutuskan bahwa aku tak akan mengatakan apa-apa karena aku tidak tahu apa yang bisa kukatakan. Aku akan kembali ke rumah, membersihkan diri, dan tidur. Jantungku berdegup kencang saat aku berbelok di tikungan dan rumahku sepenuhnya terlihat.
Semua lampu di rumah menyala.
Aku tahu ibuku sudah bangun, dan aku tahu aku harus menjelaskan (atau mencoba menjelaskan) dari mana saja aku, dan aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Lariku menjadi joging yang kemudian menjadi berjalan. Aku melihat siluetnya melalui tirai, dan meskipun aku khawatir bagaimana caraku menjelaskan kepadanya, itu tak penting lagi sekarang. Aku berjalan beberapa langkah ke teras dan meletakkan tanganku di atas gagang pintu dan memutarnya. Tepat sebelum aku mendorongnya terbuka, dua lengan melingkariku dan menarikku mundur. Aku berteriak sekeras yang kubisa: “IBU! TOLONG AKU! TOLONG! IBU!” Perasaan sangat dekat dengan keselamatan dan kemudian secara fisik ditarik darinya membuatku merasakan semacam ketakutan, yang bahkan setelah bertahun-tahun, tak terlukiskan.
Pintu tempatku direnggut terbuka, dan secercah harapan melesat di dadaku. Tapi itu bukan ibuku.
Itu seorang pria, dan dia sangat besar. Aku meronta-ronta dan menendang tulang kering orang yang memegangku sementara berusaha juga untuk menjauh dari orang yang baru saja keluar dari rumahku. Aku takut, namun aku sangat marah.
“LEPASKAN AKU! DI MANA DIA? DI MANA IBUKU? APA YANG KAU LAKUKAN PADANYA?”
Ketika tenggorokanku terasa sakit karena berteriak dan aku menarik napas lagi, aku menyadari sudah ada suara lain sedari tadi. “Sayang, tenanglah. Aku bersamamu.” Itu terdengar seperti ibuku.
Dekapan lengannya melonggar dan menurunkanku, dan ketika seorang pria yang mendekatiku menghalangi cahaya lampu teras dengan kepalanya, aku melihat pakaiannya. Ternyata dia polisi. Aku berbalik menghadap suara di belakangku dan melihat bahwa itu benar-benar ibuku. Semuanya baik-baik saja. Aku mulai menangis, dan kami bertiga masuk ke dalam.
“Aku senang kau pulang, sayang. Aku khawatir tidak akan pernah melihatmu lagi.” Pada saat itu dia juga menangis.
“Maaf, aku tak tahu apa yang terjadi. Aku hanya ingin pulang. Maaf.”
“Tidak apa-apa, hanya saja jangan pernah mengulanginya lagi. Aku tak yakin tulang keringku bisa menerimanya...”
Tawa kecil menerobos isakanku dan aku tersenyum sedikit. “Maaf sudah menendangmu, tapi kenapa kau harus menangkapku seperti itu?!”
“Aku cuma takut kau akan lari lagi.”
Aku bingung. “Apa maksudmu?”
“Kami menemukan catatanmu di bantalmu,” kata ibuku, dan menunjuk ke selembar kertas yang diluncurkan sang petugas di atas meja.
Aku mengambil catatan itu dan membacanya. Itu adalah surat “melarikan diri”. Tertulis bahwa aku tidak bahagia dan tak ingin melihat lagi ibuku atau teman-temanku. Sang petugas bertukar beberapa kata dengan ibuku di teras sementara aku menatap surat itu. Aku tidak ingat telah menulis surat. Aku tidak mengingat apa pun tentang semua ini. Bahkan meski aku terkadang pergi ke kamar mandi di malam hari dan tidak ingat, atau pergi ke hutan sendirian, bahkan meski semua itu benar, satu-satunya hal yang kusadari pada saat itu adalah,
“Ini bukan cara mengeja namaku... aku tidak menulis surat ini.”
--> website: https://1000vultures.com
--> buy the books: www.amazon.com/Penpal-Dathan-Auerbach-ebook/dp/B008WVVKCQ/
--> source: https://creepypasta.fandom.com/wiki/Penpal
This article uses material from the “Penpal” article on the Creepypasta wiki at Fandom and is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike License.
Saya terjemahkan karena banyak yang request. Cerita ini terdiri dari 6 bagian dan panjang-panjang. Akan update setiap akhir pekan.
Langkah Kaki
Ini cerita yang panjang, jadi sebelumnya maaf. Aku tidak pernah bisa menceritakan kisah ini dengan cukup detail untuk benar-benar menjelaskan semuanya, tapi ini nyata dan terjadi ketika aku berusia sekitar enam tahun.
Di ruangan yang sunyi, jika kau menempelkan telinga ke bantal, kau bisa mendengar detak jantungmu. Sebagai seorang anak, ketukan ritmis yang teredam ini, terdengar seperti langkah kaki lembut di lantai berkarpet, sehingga sebagai anak kecil, hampir setiap malam—tepat ketika aku hampir tertidur—aku akan mendengar langkah kaki ini dan aku akan terbangun, ketakutan.
Sepanjang masa kecilku, aku tinggal bersama ibuku di lingkungan yang cukup baik yang berada dalam fase transisi—orang-orang dengan ekonomi rendah secara bertahap datang, dan aku dan ibuku adalah dua di antara orang-orang itu. Kami tinggal di jenis rumah yang kau lihat sedang diangkut menjadi dua bagian melewati antar negara bagian, tetapi ibuku merawatnya dengan baik. Ada banyak hutan di sekitar lingkunganku tempat aku akan bermain dan menjelajah di siang hari, tetapi di malam hari—seperti yang sering terjadi pada semua anak-anak—tempat itu terasa lebih jahat. Itu, ditambah dengan fakta bahwa jenis rumah kami adalah yang memiliki kolong rumah yang cukup besar di bawahnya, akan memenuhi pikiranku dengan monster khayalan dan skenario tak terhindarkan yang akan menyibukkan pikiranku ketika aku terbangun oleh suara langkah kaki.
Aku memberi tahu ibuku soal langkah kaki itu dan dia berkata bahwa aku hanya membayangkannya; aku bersikeras agar dia mencuci bagian dalam telingaku dengan air untuk menenangkanku, karena kupikir itu akan membantu. Tentu saja tidak. Terlepas dari semua kengerian dan langkah kakinya, satu-satunya hal aneh yang pernah terjadi adalah, seringkali, aku akan terbangun di bawah walaupun sudah tidur di atas, tapi ini tidak terlalu aneh karena aku kadang bangun untuk kencing atau mengambil sesuatu untuk diminum dan ingat bisa kembali tidur di ranjang bawah (aku anak tunggal jadi tidak masalah). Ini akan terjadi sekali atau dua kali seminggu, tetapi bangun di ranjang bawah tidak terlalu menakutkan. Namun suatu malam aku tidak terbangun di ranjang bawah.
Aku telah mendengar langkah kaki, tapi itu tak cukup keras untuk membangunkanku, dan ketika aku akhirnya terbangun itu bukan karena suara langkah kaki atau mimpi buruk, melainkan karena aku kedinginan. Sangat dingin. Ketika aku membuka mata, aku melihat bintang-bintang. Aku berada di hutan. Aku langsung duduk dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Kukira aku sedang bermimpi, tetapi itu tampaknya tidak benar, meskipun aku juga tidak berada di hutan. Ada pelampung karet tepat di depanku—salah satu yang berbentuk seperti hiu. Hanya menjadikannya semakin sureal, tetapi setelah beberapa saat sepertinya aku tidak akan bangun karena aku tidak tidur. Aku berdiri untuk mencaritahu posisiku, tapi aku tidak mengenali hutan ini. Aku bermain di hutan dekat rumahku sepanjang waktu, jadi aku mengenal mereka dengan sangat baik, tapi jika ini bukan hutan yang sama bagaimana aku bisa keluar? Aku mengambil satu langkah dan merasakan sakit yang menusuk di kakiku, yang membuatku kembali ke tempatku baru saja berbaring. Aku menginjak duri. Dengan cahaya bulan aku bisa melihat ada duri di mana-mana. Aku memandangi kakiku yang lain, rupanya baik-baik saja, dan anggota lain tubuhku juga baik-baik saja. Badanku tidak tergores dan bahkan aku tidak kotor. Aku menangis sebentar kemudian kembali berdiri.
Aku tak tahu harus ke mana, jadi aku hanya asal memilih arah. Aku menahan diri untuk berteriak memanggil karena tak tahu apa atau siapa yang bakal menemukanku di luar sana.
Aku berjalan selama rasanya berjam-jam.
Aku mencoba berjalan dalam garis lurus, dan mencoba untuk memperbaiki arah ketika aku harus mengambil jalan memutar, tapi aku masih kecil dan aku takut. Tak ada lolongan atau jeritan, dan hanya sekali aku mendengar suara yang membuatku takut. Seperti suara bayi yang menangis. Kupikir itu hanya kucing, tapi aku panik. Aku berlari ke arah yang berbeda untuk menghindari semak-semak besar dan pohon-pohon yang tumbang. Dan aku sangat berhati-hati di mana aku menginjakkan kaki karena pada saat itu kakiku dalam kondisi yang sangat buruk. Aku lebih memperhatikan di mana aku menginjakkan kaki daripada ke mana arah langkahku, karena tak lama setelah mendengar tangisan aku melihat sesuatu yang mengisi diriku dengan semacam keputusasaan yang belum pernah kualami sebelumnya. Itu pelampung karet tadi.
Aku hanya tiga meter dari tempatku terbangun.
Ini bukan sihir atau pembengkokan-ruang supernatural. Aku tersesat. Sampai saat itu aku lebih memikirkan cara keluar dari hutan daripada bagaimana aku masuk, tetapi kembali ke awal menyebabkan pikiranku berenang. Aku bahkan tidak yakin jika ini adalah hutanku; aku hanya berharap. Apakah aku berlari dalam lingkaran besar di sekitar tempat ini, atau apakah aku baru saja berbalik arah dan berjalan kembali? Bagaimana aku bisa keluar? Pada waktu itu kupikir bintang utara adalah bintang paling terang, jadi aku melihat dan menemukan yang paling terang dan mengikutinya.
Akhirnya segalanya mulai terlihat lebih akrab dan ketika aku melihat “parit” (sebuah parit tanah tempat aku dan teman-temanku akan terlibat perang tanah), aku tahu aku telah berhasil. Pada saat itu aku berjalan sangat lambat karena kakiku sangat sakit, tapi aku sangat senang berada begitu dekat dengan rumah sehingga aku berlari kecil. Ketika aku benar-benar melihat atap rumahku di atas rumah tetangga yang letaknya lebih rendah, aku mengeluarkan isakan ringan dan berlari lebih cepat. Aku hanya ingin segera pulang. Aku sudah memutuskan bahwa aku tak akan mengatakan apa-apa karena aku tidak tahu apa yang bisa kukatakan. Aku akan kembali ke rumah, membersihkan diri, dan tidur. Jantungku berdegup kencang saat aku berbelok di tikungan dan rumahku sepenuhnya terlihat.
Semua lampu di rumah menyala.
Aku tahu ibuku sudah bangun, dan aku tahu aku harus menjelaskan (atau mencoba menjelaskan) dari mana saja aku, dan aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Lariku menjadi joging yang kemudian menjadi berjalan. Aku melihat siluetnya melalui tirai, dan meskipun aku khawatir bagaimana caraku menjelaskan kepadanya, itu tak penting lagi sekarang. Aku berjalan beberapa langkah ke teras dan meletakkan tanganku di atas gagang pintu dan memutarnya. Tepat sebelum aku mendorongnya terbuka, dua lengan melingkariku dan menarikku mundur. Aku berteriak sekeras yang kubisa: “IBU! TOLONG AKU! TOLONG! IBU!” Perasaan sangat dekat dengan keselamatan dan kemudian secara fisik ditarik darinya membuatku merasakan semacam ketakutan, yang bahkan setelah bertahun-tahun, tak terlukiskan.
Pintu tempatku direnggut terbuka, dan secercah harapan melesat di dadaku. Tapi itu bukan ibuku.
Itu seorang pria, dan dia sangat besar. Aku meronta-ronta dan menendang tulang kering orang yang memegangku sementara berusaha juga untuk menjauh dari orang yang baru saja keluar dari rumahku. Aku takut, namun aku sangat marah.
“LEPASKAN AKU! DI MANA DIA? DI MANA IBUKU? APA YANG KAU LAKUKAN PADANYA?”
Ketika tenggorokanku terasa sakit karena berteriak dan aku menarik napas lagi, aku menyadari sudah ada suara lain sedari tadi. “Sayang, tenanglah. Aku bersamamu.” Itu terdengar seperti ibuku.
Dekapan lengannya melonggar dan menurunkanku, dan ketika seorang pria yang mendekatiku menghalangi cahaya lampu teras dengan kepalanya, aku melihat pakaiannya. Ternyata dia polisi. Aku berbalik menghadap suara di belakangku dan melihat bahwa itu benar-benar ibuku. Semuanya baik-baik saja. Aku mulai menangis, dan kami bertiga masuk ke dalam.
“Aku senang kau pulang, sayang. Aku khawatir tidak akan pernah melihatmu lagi.” Pada saat itu dia juga menangis.
“Maaf, aku tak tahu apa yang terjadi. Aku hanya ingin pulang. Maaf.”
“Tidak apa-apa, hanya saja jangan pernah mengulanginya lagi. Aku tak yakin tulang keringku bisa menerimanya...”
Tawa kecil menerobos isakanku dan aku tersenyum sedikit. “Maaf sudah menendangmu, tapi kenapa kau harus menangkapku seperti itu?!”
“Aku cuma takut kau akan lari lagi.”
Aku bingung. “Apa maksudmu?”
“Kami menemukan catatanmu di bantalmu,” kata ibuku, dan menunjuk ke selembar kertas yang diluncurkan sang petugas di atas meja.
Aku mengambil catatan itu dan membacanya. Itu adalah surat “melarikan diri”. Tertulis bahwa aku tidak bahagia dan tak ingin melihat lagi ibuku atau teman-temanku. Sang petugas bertukar beberapa kata dengan ibuku di teras sementara aku menatap surat itu. Aku tidak ingat telah menulis surat. Aku tidak mengingat apa pun tentang semua ini. Bahkan meski aku terkadang pergi ke kamar mandi di malam hari dan tidak ingat, atau pergi ke hutan sendirian, bahkan meski semua itu benar, satu-satunya hal yang kusadari pada saat itu adalah,
“Ini bukan cara mengeja namaku... aku tidak menulis surat ini.”
Akhirnya setelah nungguin sekian lama,di tunggu part selanjutnya bang
ReplyDeleteYeay... My favorite no-sleep story, pen pal!! Udah baca yg versi inggris nya, cuma part2 terakhirnya gak nemu
ReplyDeleteMas habis penpal, terjemahin yang judulnya correspondence yaa hehehe, semangaattt
ReplyDeletesaya tampung dulu. sekarang agak sulit buat nerjemahin dari nosleep karena copyrights gan.
DeleteAda yg bisa jelasin ga, bentuk pelampung karet nya itu kek gimana ya?
ReplyDeletemungkin seperti ini >> pelampung karet hiu
Delete