original story by Alex Reeves
[ permit ]
Ricky selalu terobsesi dengan hal-hal yang sangat aneh. Obsesi terakhirnya sangat kelewatan hingga aku tak bisa berhenti memikirkannya. Bahwa katanya menurut sejarawan ada efek aneh setelah pemenggalan kepala: Setelah terpisah dari kepalanya, penggalan kepala bisa mendengar, melihat, membuat ekspresi wajah dan berkomunikasi.
Kau tidak salah baca, si orang yang kepalanya baru saja dipotong bisa melihat dan mendengarmu. Ricky sangat terobsesi dengan temuannya hingga dia meriset fenomena itu, bahkan mengutip hasil pada percobaan pemenggalan tikus, tikus bisa tetap sadar selama empat menit.
Kukatakan pada No Sleep beberapa waktu lalu soal Ricky di Fapper. Dulunya dia adalah anak baru di SMA kami dan selalu dibully karena dia terlihat aneh. Alasannya, Ricky punya warna kuning pada kulitnya, mata dan rambutnya, dan dia juga memakai pakaian yang aneh. Tak heran jika dia menjadi sasaran penindasan. Ricky bahkan melakukan balas dendam, tapi balas dendamnya juga unik, dia tidak mengatakan apa pun atau melakukan hal fisik. Yang dia lakukan adalah menggambar sketsa gaib yang mengerikan. Mahakarya artistik yang meramalkan hari terakhir anak-anak atau mengungkapkan rahasia tergelap mereka.
Apa yang tidak tega kutuliskan hingga sekarang adalah bagaimana Ricky meninggal. Kematian Ricky terbukti menjadi 4 menit paling jelas dan paling mengerikan dalam hidupku.
Itu bermula saat aku datang ke rumah Ricky yang rendah dan bergaya peternakan. Hal terakhir yang kuharapkan adalah itu akan menjadi hari terakhirnya untuk selamanya, atau hari terakhir kami bersama. Saat dia membawaku ke garasinya dan menunjukkan guillotine yang terlalu jenius sebagai buatan sendiri, aku tahu bahwa bagi Ricky, sudah tak ada jalan untuk kembali.
“Kau tak perlu melakukan apa-apa, oke?” dia berkata. “Alatnya akan bekerja saat kutarik tuas ini,” yang kemudian dia tarik, menjatuhkan pisau miring berat menuju landasan berbentuk setengah lingkaran dan mengirim listrik dingin yang merayapi punggungku. “Yang kubutuhkan darimu adalah kau tinggal duduk dan menonton, kawan.”
“Sial, tidak.” Aku berbalik pergi. Begitu aku sampai di pintu belakang menuju dapur, Ricky mengatakan satu-satunya hal yang penting dan dengan keputusasaan yang dalam di suaranya, aku membeku.
“Aku tak ingin mati sendirian. Kau orang terakhir yang kumiliki.” Dia benar. Ibu dan ayahnya meninggal saat dia di bangku kuliah, dia tak punya saudara, anjing terpercayanya Rukus sudah mati sebulan sebelumnya, yang artinya, aku benar-benar satu-satunya teman yang dia miliki.
“Kau bisa duduk di sana dan... hanya di sana, agar aku tak sendirian, kemudian pergilah, tak ada seorangpun yang akan tahu.”
Aku berjalan masuk lagi dan duduk dan melihat ke temanku yang sudah lama menderita, “Lalu apa, Ricky?”
“Mudah, satu kedipan untuk ya, dua untuk tidak. Dan, untuk jaga-jaga, jika aku buka mulut artinya sungguh luar biasa. Aku tak akan bilang-bilang jika ternyata mengerikan, kau tak perlu tahu hal itu.”
Aku tak sanggup bicara dan pemikiran bahwa aku akan kehilangan temanku hari itu membuatku kewalahan. Tubuhku gemetar dengan duka mendalam yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Lalu aku memandang Ricky dan melihat dia tersenyum, dia bahagia.
“Tanyakan pertanyaan ya atau tidak, bicaralah padaku dan tanyalah apa saja. Ini kesempatan langka; ini sesuatu yang harus aku ketahui. Di semua percobaan yang kubaca, katanya aku akan punya maksimal 4 menit setelah pemotongan, jadi tanyakan apa aku merasakan sakit, apa aku melihat cahaya putih atau malaikat atau apa aku melihat rahasia kehidupan dan alam semesta.”
“Ya ampun, Ricky, pemotongan? Ini gila, kawan.” Ricky menunduk dan mengangguk, lalu melihat padaku lagi, kali ini ada air mata di mata kuningnya yang aneh dan aku tahu aku akan membantu temanku, tak peduli betapa kacaunya hal itu.
“Aku ingin melakukan ini sebelum rasa sakitnya mulai. Penyakit sialan yang kuderita ini, aku membaca katanya akan sangat menyiksa di akhir nanti. Aku ingin mengalahkannya dengan caraku sendiri, dengan mencurangi kematian.”
Kami duduk-duduk selama beberapa waktu di garasi aneh itu sebelum Ricky mati. Dia sudah melakukan semua persiapannya, dia sudah merencanakan segalanya, hingga ke mana kepalanya akan mendarat—di tempat tidur Rukus si anjing tua. Rukus, anjing yang pernah menjadi temannya satu-satunya.
Ricky akan meletakkan kepalanya miring di guillotine seperti saat dia tidur miring di ranjang. Aku akan duduk menatapnya di lantai dan kami akan berkomunikasi.
“Kau tahu, hidupku menjadi lebih baik karena dirimu. Aku tak pernah memberitahumu itu. Ini memalukan dan aku tak pintar dengan emosi, tapi bertemu denganmu di SMA membuat semua hal kacau menjadi bisa ditoleransi.”
Mataku penuh dengan air mata yang aku takut akan jatuh, aku tak mau ambil resiko dengan menjawab Ricky. Yang kutahu adalah, aku menyayangi Ricky dan tak akan pernah bisa mengatakannya.
Sureal adalah rasa ketika aku melihat Ricky berlutut di guillotine, berbaring dan memiringkan kepalanya. Dia mengatur kepalanya perlahan di dasar alat prakaryanya sendiri. Kemudian, sebelum aku sempat berkedip, pisau miring sialan itu melesat turun saat Ricky berkata, “Terima ka—“
Tapi napas Ricky terputus dan kata terakhirnya terhenti. Dalam satu detik yang janggal, kepala temanku tergeletak di tempat tidur Rukus dan matanya yang terbuka menatap mataku. Bukan mata mati. Mata cokelatku, pada mata kuningnya yang sangat hidup.
Aku berusaha tidak melihat lehernya, tapi meski tak langsung, aku melihat darah merah di tunggul lehernya dan pusat tulang belakangnya yang putih terpotong. Tanganku gemetar tanpa sengaja saat aku memaksa diriku untuk melihat ke dalam mata Ricky.
“Ricky, kau bisa mendengarku?” Satu kedipan cepat, untuk 'ya'. Astaga, ini pasti tak nyata.
“Apakah sakit, seperti apa sakitmu?” aku menyembur. Ricky berkedip dua kali untuk tidak.
“Bisakah kau melihatku?” Satu kedipan cepat.
“Apa kau melihat malaikat atau semacamnya?” Dua kedipan.
“Apakah aneh?” Lagi, dua kedipan untuk tidak. Kemudian dia berhenti dan syukurlah mulutnya terbuka, menampakkan giginya dan bahkan malah terlihat seperti seringai pelawak, aku tahu itu artinya apapun yang dia lihat atau rasakan, itu sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tak perlu ditakuti.
“Jadi, kau tidak takut?” Dua kedipan dan lagi, mulutnya terbuka. Sungguh melegakan.
Tiba-tiba, aku kehabisan pertanyaan, tapi kami masih berkomunikasi. Ricky menatap mataku dan rasanya menenangkan, terasa aman—jika itu masuk akal. Kemudian mata Ricky tertutup dan aku khawatir jika itulah saatnya, bahwa dia pergi demi kebaikan. Aku harus memikirkan sesuatu, jadi aku berkata cepat: “Ricky apa kau melihat hal-hal sekarang, seperti rahasia alam semesta atau kehidupan atau apa saja?”
Matanya terbuka lebih pelan kali ini dan dia berkedip sekali dan aku bersumpah mulutnya bergerak seakan dia sedang berusaha untuk bicara, aku ketakutan mengetahui bicara bukanlah hal yang bisa dia lakukan, tidak tanpa paru-parunya, jadi aku bergegas ke pertanyaanku selanjutnya, “Apakah mengerikan? Apakah mati adalah hal mengerikan?”
Lagi, matanya membuka lebih pelan dan dia mengedip dua kali untuk tidak.
“Apakah ada yang lain, orang lain di sekitarmu? Apa mereka orang baik?”
Dia mengedip sekali untuk ya, tapi aku tak bisa bertanya siapa mereka, meski dia tahu orang-orang disekitarnya.
Akhirnya, aku tak punya pertanyaan lagi, karena pada saat itu, tak ada lagi pertanyaan yang penting.
Setelah itu, aku dan Ricky tetap bertatapan dan waktu tampaknya menyertai kami. Hingga tiba-tiba matanya melebar dan dia memandang melampauiku, dan aku melihatnya tersenyum. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang bisa dia lihat dan aku tak bisa lihat, apapun itu, yang jelas adalah hal baik. Tapi kemudian, Ricky melakukan sesuatu yang tak ada dalam rencana, dia berkedip empat kali dengan cepat sebelum dia pergi demi kebaikan. Dan begitulah Ricky meninggal.
“Ricky? Empat? Apa arti kedipanmu! Ricky!” Aku jelas menghitungnya empat kali dan sial, dia tak pernah mengatakan apa-apa soal empat. Aku kebingungan, aku syok dan lebih besar lagi, hatiku sedih karena kehilangan temanku.
Aku pasti duduk di sana memandanginya untuk waktu yang lama, karena saat aku bangkit untuk pergi, di luar sudah gelap. Saat aku menghidupkan lampu dapur aku melihat map di meja dengan sebuah nama tertulis.
Di dalamnya adalah surat wasiat dan catatan Ricky. ‘Menjengkelkan aku tak pernah bisa memberitahumu betapa berartinya persahabatanmu bagiku. Terima kasih mau berteman dengan si aneh. Kau teman terbaikku. Itu arti empat kedipan, aku menyayangimu, kau teman terbaikku.’
Ricky meninggalkan segalanya untukku, rumah, yang aku tinggali sekarang dan empat ribu dollar tunai. Setelah membayar kremasi, aku mengirim separuh uangnya ke fasilitas anak-anak terlantar setempat, separuhnya lagi untuk tempat perlindungan hewan untuk mengenang Rukus. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk pria yang hidupnya telah dipenuhi dengan kesedihan, dan aku tahu, Ricky pasti akan menyukainya.
[ permit ]
Ricky selalu terobsesi dengan hal-hal yang sangat aneh. Obsesi terakhirnya sangat kelewatan hingga aku tak bisa berhenti memikirkannya. Bahwa katanya menurut sejarawan ada efek aneh setelah pemenggalan kepala: Setelah terpisah dari kepalanya, penggalan kepala bisa mendengar, melihat, membuat ekspresi wajah dan berkomunikasi.
Kau tidak salah baca, si orang yang kepalanya baru saja dipotong bisa melihat dan mendengarmu. Ricky sangat terobsesi dengan temuannya hingga dia meriset fenomena itu, bahkan mengutip hasil pada percobaan pemenggalan tikus, tikus bisa tetap sadar selama empat menit.
Kukatakan pada No Sleep beberapa waktu lalu soal Ricky di Fapper. Dulunya dia adalah anak baru di SMA kami dan selalu dibully karena dia terlihat aneh. Alasannya, Ricky punya warna kuning pada kulitnya, mata dan rambutnya, dan dia juga memakai pakaian yang aneh. Tak heran jika dia menjadi sasaran penindasan. Ricky bahkan melakukan balas dendam, tapi balas dendamnya juga unik, dia tidak mengatakan apa pun atau melakukan hal fisik. Yang dia lakukan adalah menggambar sketsa gaib yang mengerikan. Mahakarya artistik yang meramalkan hari terakhir anak-anak atau mengungkapkan rahasia tergelap mereka.
Apa yang tidak tega kutuliskan hingga sekarang adalah bagaimana Ricky meninggal. Kematian Ricky terbukti menjadi 4 menit paling jelas dan paling mengerikan dalam hidupku.
Itu bermula saat aku datang ke rumah Ricky yang rendah dan bergaya peternakan. Hal terakhir yang kuharapkan adalah itu akan menjadi hari terakhirnya untuk selamanya, atau hari terakhir kami bersama. Saat dia membawaku ke garasinya dan menunjukkan guillotine yang terlalu jenius sebagai buatan sendiri, aku tahu bahwa bagi Ricky, sudah tak ada jalan untuk kembali.
“Kau tak perlu melakukan apa-apa, oke?” dia berkata. “Alatnya akan bekerja saat kutarik tuas ini,” yang kemudian dia tarik, menjatuhkan pisau miring berat menuju landasan berbentuk setengah lingkaran dan mengirim listrik dingin yang merayapi punggungku. “Yang kubutuhkan darimu adalah kau tinggal duduk dan menonton, kawan.”
“Sial, tidak.” Aku berbalik pergi. Begitu aku sampai di pintu belakang menuju dapur, Ricky mengatakan satu-satunya hal yang penting dan dengan keputusasaan yang dalam di suaranya, aku membeku.
“Aku tak ingin mati sendirian. Kau orang terakhir yang kumiliki.” Dia benar. Ibu dan ayahnya meninggal saat dia di bangku kuliah, dia tak punya saudara, anjing terpercayanya Rukus sudah mati sebulan sebelumnya, yang artinya, aku benar-benar satu-satunya teman yang dia miliki.
“Kau bisa duduk di sana dan... hanya di sana, agar aku tak sendirian, kemudian pergilah, tak ada seorangpun yang akan tahu.”
Aku berjalan masuk lagi dan duduk dan melihat ke temanku yang sudah lama menderita, “Lalu apa, Ricky?”
“Mudah, satu kedipan untuk ya, dua untuk tidak. Dan, untuk jaga-jaga, jika aku buka mulut artinya sungguh luar biasa. Aku tak akan bilang-bilang jika ternyata mengerikan, kau tak perlu tahu hal itu.”
Aku tak sanggup bicara dan pemikiran bahwa aku akan kehilangan temanku hari itu membuatku kewalahan. Tubuhku gemetar dengan duka mendalam yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Lalu aku memandang Ricky dan melihat dia tersenyum, dia bahagia.
“Tanyakan pertanyaan ya atau tidak, bicaralah padaku dan tanyalah apa saja. Ini kesempatan langka; ini sesuatu yang harus aku ketahui. Di semua percobaan yang kubaca, katanya aku akan punya maksimal 4 menit setelah pemotongan, jadi tanyakan apa aku merasakan sakit, apa aku melihat cahaya putih atau malaikat atau apa aku melihat rahasia kehidupan dan alam semesta.”
“Ya ampun, Ricky, pemotongan? Ini gila, kawan.” Ricky menunduk dan mengangguk, lalu melihat padaku lagi, kali ini ada air mata di mata kuningnya yang aneh dan aku tahu aku akan membantu temanku, tak peduli betapa kacaunya hal itu.
“Aku ingin melakukan ini sebelum rasa sakitnya mulai. Penyakit sialan yang kuderita ini, aku membaca katanya akan sangat menyiksa di akhir nanti. Aku ingin mengalahkannya dengan caraku sendiri, dengan mencurangi kematian.”
Kami duduk-duduk selama beberapa waktu di garasi aneh itu sebelum Ricky mati. Dia sudah melakukan semua persiapannya, dia sudah merencanakan segalanya, hingga ke mana kepalanya akan mendarat—di tempat tidur Rukus si anjing tua. Rukus, anjing yang pernah menjadi temannya satu-satunya.
Ricky akan meletakkan kepalanya miring di guillotine seperti saat dia tidur miring di ranjang. Aku akan duduk menatapnya di lantai dan kami akan berkomunikasi.
“Kau tahu, hidupku menjadi lebih baik karena dirimu. Aku tak pernah memberitahumu itu. Ini memalukan dan aku tak pintar dengan emosi, tapi bertemu denganmu di SMA membuat semua hal kacau menjadi bisa ditoleransi.”
Mataku penuh dengan air mata yang aku takut akan jatuh, aku tak mau ambil resiko dengan menjawab Ricky. Yang kutahu adalah, aku menyayangi Ricky dan tak akan pernah bisa mengatakannya.
Sureal adalah rasa ketika aku melihat Ricky berlutut di guillotine, berbaring dan memiringkan kepalanya. Dia mengatur kepalanya perlahan di dasar alat prakaryanya sendiri. Kemudian, sebelum aku sempat berkedip, pisau miring sialan itu melesat turun saat Ricky berkata, “Terima ka—“
Tapi napas Ricky terputus dan kata terakhirnya terhenti. Dalam satu detik yang janggal, kepala temanku tergeletak di tempat tidur Rukus dan matanya yang terbuka menatap mataku. Bukan mata mati. Mata cokelatku, pada mata kuningnya yang sangat hidup.
Aku berusaha tidak melihat lehernya, tapi meski tak langsung, aku melihat darah merah di tunggul lehernya dan pusat tulang belakangnya yang putih terpotong. Tanganku gemetar tanpa sengaja saat aku memaksa diriku untuk melihat ke dalam mata Ricky.
“Ricky, kau bisa mendengarku?” Satu kedipan cepat, untuk 'ya'. Astaga, ini pasti tak nyata.
“Apakah sakit, seperti apa sakitmu?” aku menyembur. Ricky berkedip dua kali untuk tidak.
“Bisakah kau melihatku?” Satu kedipan cepat.
“Apa kau melihat malaikat atau semacamnya?” Dua kedipan.
“Apakah aneh?” Lagi, dua kedipan untuk tidak. Kemudian dia berhenti dan syukurlah mulutnya terbuka, menampakkan giginya dan bahkan malah terlihat seperti seringai pelawak, aku tahu itu artinya apapun yang dia lihat atau rasakan, itu sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tak perlu ditakuti.
“Jadi, kau tidak takut?” Dua kedipan dan lagi, mulutnya terbuka. Sungguh melegakan.
Tiba-tiba, aku kehabisan pertanyaan, tapi kami masih berkomunikasi. Ricky menatap mataku dan rasanya menenangkan, terasa aman—jika itu masuk akal. Kemudian mata Ricky tertutup dan aku khawatir jika itulah saatnya, bahwa dia pergi demi kebaikan. Aku harus memikirkan sesuatu, jadi aku berkata cepat: “Ricky apa kau melihat hal-hal sekarang, seperti rahasia alam semesta atau kehidupan atau apa saja?”
Matanya terbuka lebih pelan kali ini dan dia berkedip sekali dan aku bersumpah mulutnya bergerak seakan dia sedang berusaha untuk bicara, aku ketakutan mengetahui bicara bukanlah hal yang bisa dia lakukan, tidak tanpa paru-parunya, jadi aku bergegas ke pertanyaanku selanjutnya, “Apakah mengerikan? Apakah mati adalah hal mengerikan?”
Lagi, matanya membuka lebih pelan dan dia mengedip dua kali untuk tidak.
“Apakah ada yang lain, orang lain di sekitarmu? Apa mereka orang baik?”
Dia mengedip sekali untuk ya, tapi aku tak bisa bertanya siapa mereka, meski dia tahu orang-orang disekitarnya.
Akhirnya, aku tak punya pertanyaan lagi, karena pada saat itu, tak ada lagi pertanyaan yang penting.
Setelah itu, aku dan Ricky tetap bertatapan dan waktu tampaknya menyertai kami. Hingga tiba-tiba matanya melebar dan dia memandang melampauiku, dan aku melihatnya tersenyum. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang bisa dia lihat dan aku tak bisa lihat, apapun itu, yang jelas adalah hal baik. Tapi kemudian, Ricky melakukan sesuatu yang tak ada dalam rencana, dia berkedip empat kali dengan cepat sebelum dia pergi demi kebaikan. Dan begitulah Ricky meninggal.
“Ricky? Empat? Apa arti kedipanmu! Ricky!” Aku jelas menghitungnya empat kali dan sial, dia tak pernah mengatakan apa-apa soal empat. Aku kebingungan, aku syok dan lebih besar lagi, hatiku sedih karena kehilangan temanku.
Aku pasti duduk di sana memandanginya untuk waktu yang lama, karena saat aku bangkit untuk pergi, di luar sudah gelap. Saat aku menghidupkan lampu dapur aku melihat map di meja dengan sebuah nama tertulis.
Di dalamnya adalah surat wasiat dan catatan Ricky. ‘Menjengkelkan aku tak pernah bisa memberitahumu betapa berartinya persahabatanmu bagiku. Terima kasih mau berteman dengan si aneh. Kau teman terbaikku. Itu arti empat kedipan, aku menyayangimu, kau teman terbaikku.’
Ricky meninggalkan segalanya untukku, rumah, yang aku tinggali sekarang dan empat ribu dollar tunai. Setelah membayar kremasi, aku mengirim separuh uangnya ke fasilitas anak-anak terlantar setempat, separuhnya lagi untuk tempat perlindungan hewan untuk mengenang Rukus. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk pria yang hidupnya telah dipenuhi dengan kesedihan, dan aku tahu, Ricky pasti akan menyukainya.
⨁
Antara creepy dan mengharukan
ReplyDelete