Skip to main content

Laurie

by Stephen King

Enam bulan setelah istri selama 40 tahunnya meninggal, saudari Lloyd Sunderland berkendara dari Boca Raton ke Caymen Key untuk mengunjunginya. Dia membawakan Lloyd seekor anak anjing abu-abu gelap yang dia bilang persilangan Border Collie-Mudi. Lloyd tak tahu apa itu Mudi, dan tak peduli.

“Aku tak ingin anjing, Beth. Anjing adalah hal terakhir yang kuinginkan di dunia. Aku hampir tak bisa mengurus diriku sendiri.”

“Sudah jelas,” kata Beth, melepas tali pengikat si anjing yang seukuran mainan. “Berapa banyak berat badanmu turun?”

“Aku tak tahu.”

Beth mengira-ngira. “Kukira 6 kilogram. Yang memang bisa kau relakan, tapi tidak lebih banyak lagi. Aku mau membuat orak-arik sosis. Dengan roti bakar. Kau punya telur?”

“Aku tak ingin orak-arik sosis,” kata Lloyd, menatap si anjing. Si anjing sedang duduk di karpet bulu putih, dan Lloyd bertanya-tanya berapa lama lagi hingga dia akan membuang kotoran di sana. Karpetnya butuh divacuum dan mungkin shampo, tapi paling tidak belum pernah dikencingi. Si anjing memandangnya dengan mata ambernya. Hampir seperti sedang mempelajarinya.

“Kau punya telur apa tidak?”

“Ya, tapi—“

“Dan sosis? Tidak, tentu saja tidak. Kau mungkin hidup dengan wafel beku dan sup Campbell’s. Aku akan beli beberapa di Publix. Tapi pertama aku mau daftar inventaris kulkasmu agar tahu apa lagi yang kau butuhkan.”

Beth adalah kakak perempuan yang 5 tahun lebih tua, yang telah banyak merawatnya setelah ibu mereka wafat, dan sebagai seorang anak-anak Lloyd tak pernah bisa menentangnya. Sekarang mereka sudah tua, dan dia masih tak bisa menentangnya, terutama setelah Marian tiada. Bagi Lloyd rasanya seperti ada yang hilang di dalam perutnya. Itu mungkin akan pulih; mungkin tidak. 65 sudah cukup tua untuk regenerasi. Lalu si anjing—akan berada di pihak seberang. Demi Tuhan apa yang Bethie pikirkan?

“Aku tak mau menjaganya,” Lloyd berkata, berbicara pada punggung Beth sementara membuntuti kaki bangaunya ke dapur. “Kau yang membelinya, kau bisa membawanya pulang.”

“Aku tak membelinya. Induknya turunan asli Border Collie yang keluar dan kawin dengan anjing tetangga. Itulah asal Mudi-nya. Pemilik induknya sudah membagikan tiga anak anjing, tapi yang ini kerdil dan tak ada yang mau. Si pria—dia di dalam truk pertanian kecil—sedang akan membawanya ke penampungan ketika aku datang dan melihat pengumuman ditempelkan di tiang telepon. SIAPA MAU ANJING, begitu bunyinya.”

“Dan kau berpikir tentangku.” Masih memandang si anak anjing, yang balas memandangnya. Telinganya yang terangkat tampaknya adalah bagian terbesar dari tubuhnya.

“Ya.”

“Aku sedang berduka, Beth.” Hanya kepadanyalah Lloyd bisa mengungkapkan situasinya dengan jujur, dan itu membuatnya lega.

“Aku tahu itu.” Botol-botol berderak di bukaan kulkas. Lloyd bisa melihat bayangannya di dinding saat Beth membungkuk dan menata ulang. Dia benar-benar bangau, pikir Lloyd, manusia bangau, dan mungkin dia akan hidup selamanya. “Orang yang berduka butuh sesuatu untuk menyibukkan pikirannya. Sesuatu untuk dirawat. Itulah yang kupikirkan saat aku melihat pengumuman itu. Ini bukan soal siapa yang ingin anjing, ini soal siapa yang membutuhkan anjing. Itu kau. Astaga, ini kulkas tempat budidaya jamur. Aku mau muntah.”

Si anak anjing berdiri, mengambil langkah coba-coba ke Lloyd, kemudian berubah pikiran (dengan asumsi dia punya) dan duduk lagi.

“Kau rawat saja sendiri.”

“Tentu saja tidak. Jim punya alergi.”

“Bethie, kau punya dua ekor kucing. Dia tak alergi pada mereka?”

“Ya. Dan kucing sudah cukup. Jika itu yang kau mau, aku akan membawa anak anjing ini ke penampungan hewan di Pompano Beach. Mereka akan memberinya waktu beberapa minggu sebelum dia ditidurkan. Dia makhluk kecil lucu dengan bulu lebat. Mungkin seseorang akan mengambilnya sebelum waktunya habis.”

Lloyd memutar matanya, meski Beth tidak ada di sana untuk melihatnya melakukan itu. Dia sudah sering melakukan hal itu sejak usianya delapan, ketika Beth bilang jika dia tak membersihkan kamarnya, dia akan menampar bokongnya dengan raket badminton. Beberapa hal tak pernah berubah.

“Kemasi tasmu,” kata Lloyd, “kita akan mengikuti perjalanan Beth Muda dengan biaya perasaan berdosa.”

Beth menutup kulkas dan kembali ke ruang tengah. Si anjing melirik padanya, kemudian meneruskan inspeksinya pada Lloyd. “Aku mau ke Publix, di mana aku sepertinya akan menghabiskan lebih dari seratus dolar. Akan kubawakan struknya lalu kau bisa menggantinya.”

“Dan apa yang harus kulakukan selama waktu itu?”

“Kenapa kau tidak berkenalan dengan anak anjing tak berdaya yang akan kau kirim ke kamar gas itu?” dia membungkuk untuk mengelus atas kepala si anak anjing. “Lihat mata tanpa harapan ini.”

Apa yang Lloyd lihat di mata amber itu hanya pandangan tanpa henti. Evaluasi.

“Apa yang harus kulakukan jika dia kencing di karpet? Marian baru memasangnya sebelum dia jatuh sakit.”

Beth menunjuk pengikat seukuran mainan di bantal kaki. “Bawa dia keluar. Kenalkan dia pada bunga-bungaan Marian yang tumbuh liar. Dan omong-omong, kencing tak akan terlalu menyakiti karpet itu. Sudah kotor.”

Dia menyambar dompetnya dan berjalan ke pintu, kaki kurus seperti gunting melangkah dengan gaya tua sok pentingnya.

“Binatang adalah hadiah terburuk yang bisa kau berikan pada seseorang,” kata Lloyd. “Aku baca itu di internet.”

“Di mana segalanya benar, kurasa.”

Beth berhenti untuk memandangnya. Cahaya tajam pantai barat Florida di bulan September jatuh di wajahnya, menampakkan bagaimana lipstiknya telah melebar ke kerutan kecil di sekitar bibirnya, dan bagaimana kelopak bawahnya mulai turun menjauh dari matanya, dan nadi pegas jam yang berdenyut di rongga pelipisnya. Dia akan 70 tak lama lagi. Kakak perempuannya yang kuat, suka berkomentar, atletik, jangan-sisakan-tawanan, sudah tua. Begitu juga dirinya. Mereka adalah bukti bahwa hidup bukanlah apa-apa kecuali mimpi pendek di siang musim panas. Hanya saja Bethie masih punya suaminya, dua anak dewasa, dan empat cucu—perkalian alamiah yang cantik. Lloyd punya Marian, tapi Marian telah tiada dan tak ada anak. Apa dia harus menggantikan istrinya dengan seekor anak anjing kampung? Gagasan itu sekonyol dan sebodoh kartu Hallmark, dan sama tak realistisnya.

“Aku tak mau menjaganya.”

Beth memberinya pandangan seorang gadis 13 tahun, pandangan yang bilang bahwa raket badminton akan segera beraksi jika dia tak kunjung bergerak. “Kau akan menjaganya paling tidak hingga aku kembali dari Publix. Aku punya urusan lain untuk dilakukan, dan anjing akan mati di dalam mobil yang kepanasan. Terutama anjing kecil.”

Dia menutup pintu. Lloyd Sunderland, pensiunan, 6 bulan menduda, dan tak tertarik pada makanan belakangan ini (atau kenikmatan hidup lain), duduk menatap tamu tak diundang di atas karpet bulunya. Si anjing menatap balik. “Apa yang kau lihat, bodoh?” dia bertanya.

Si anak anjing bangkit dan berjalan ke arahnya. Terhuyung sebenarnya, seakan sedang mabuk ganja. Dia duduk lagi di atas kaki belakangnya, menengadah. Lloyd menurunkan tangannya coba-coba, berharap endusan. Tapi si anjing malah menjilatinya. Dia mengambil tali pengikat seukuran mainan dan memasangnya pada ban leher pink kecil si anjing. “Ayo. Kita singkirkan dirimu dari atas karpet selagi ada waktu.”

Dia menarik talinya. Si anjing hanya duduk dan menatapnya. Lloyd mendesah lalu mengangkatnya. Si anjing menjilat tangannya lagi. Lloyd membawanya keluar dan menurunkannya di rerumputan. Sudah butuh dipangkas, dan si anjing sudah hampir lenyap. Beth juga benar soal bunganya. Mereka terlihat parah, setengahnya sudah semati Marian. Pikiran ini membuatnya tersenyum, meski tersenyum pada perbandingan semacam itu membuatnya merasa seperti orang jahat.

Langkah terhuyung si anjing terlihat lebih jelas di atas rumput. Dia pergi selusin atau entah berapa langkah, kemudian menurunkan tubuh belakangnya dan kencing.

“Lumayan, tapi aku tetap tak mau merawatmu.”

Sudah menduga bahwa sekembalinya Beth ke Boca si anjing tak akan mau pergi bersamanya. Tidak, tamu tak diundang ini akan di sini bersama Lloyd, di rumahnya yang berjarak setengah mil dari jembatan angkat yang menghubungkan Key ke pulau utama. Ini tak akan berhasil, dia belum pernah punya anjing seumur hidupnya, tapi hingga Lloyd menemukan seseorang yang mau merawatnya, si anjing mungkin akan memberinya sesuatu untuk dilakukan selain menonton TV atau duduk di depan komputernya, bermain solitaire dan berselancar di situs yang awalnya menarik di awal pensiunnya dan sekarang membuatnya bosan setengah mati.

Saat Beth kembali hampir dua jam kemudian, Lloyd sudah kembali ke kursi santainya dan si anjing sudah kembali ke karpet, tidur. Saudarinya, yang dia sayangi tapi terus mengganggunya seumur hidup, mengganggunya lebih jauh lagi hari ini dengan datang membawa lebih banyak dari yang dia harapkan. Beth membawa satu kantong besar makanan anjing (organik, tentu saja) dan plain yogurt (yang mana, ketika ditambahkan ke makanan anjing, akan menguatkan tulang rawan di kuping radar lebar itu). Dia juga membeli alas pipis anjing, kasur anjing, tiga mainan kunyah (dua diantaranya bersuara sangat menganggu), dan pagar anak-anak. Itu akan menghalangi si anjing berkeliaran saat malam, katanya.

“Jesus, Bethie, berapa harga semua ini?”

“Ini barang diskon di Target,” katanya, menghindari pertanyaan dengan caranya yang biasa. “Tanpa biaya. Layanan dariku. Dan sekarang setelah kubelikan ini semua, apa kau masih mau mengembalikannya? Jika begitu, kau sendiri yang harus mengembalikan barang-barang ini.”

Lloyd sudah biasa diakali saudarinya. “Akan kuberi kesempatan percobaan, tapi aku tidak menghargai dibebani tanggung jawab ini. Kau selalu suka sewenang-wenang.”

“Ya,” kata Beth. “Dengan ibu tiada dan ayah sehat tapi pada dasarnya tukang mabuk, aku harus begitu. Sekarang bagaimana orak-ariknya?”

“Baiklah.”

“Apa dia sudah kencing di karpet?”

“Belum.”

“Dia akan kencing nanti.” Beth terdengar senang dengan gagasan itu. “Bukan kehilangan besar juga. Kau akan menamainya apa?”

Jika aku menamainya, dia milikku, pikir Lloyd, hanya saja dia sudah menduganya, sejak jilatan coba-coba pertama itu. Seperti saat Marian menjadi miliknya dari ciuman pertama. Perbandingan bodoh lagi, tapi bisakah kau kendalikan bagaimana pikiranmu memilah hal-hal? Tak lebih dari kau mengontrol mimpimu.

“Laurie,” kata Lloyd.

“Kenapa Laurie?”

“Aku tak tahu. Muncul begitu saja.”

“Baiklah,” kata Beth, “itu tak apa-apa.”

Laurie mengikuti mereka ke dapur. Terhuyung-huyung.

2

Lloyd melapisi karpet bulu putihnya dengan alas anjing dan menaruh pagar anak-anak di kamar tidurnya (jarinya terjepit saat melakukannya), lalu mulai belajar, menyalakan komputer, dan mulai membaca sebuah artikel berjudul Jadi Kau Punya Anak Anjing Baru! Setengah jalan, dia menjadi sadar bahwa Laurie sedang duduk di samping sepatunya, memandang ke atas padanya. Dia putuskan untuk memberinya makan dan menemukan genangan kencing di pintu lengkung antara dapur dan ruang tengah, lima belas sentimeter dari alas anjing terdekat. Dia mengangkat Laurie, menghadapkannya pada genangan kencingnya, dan berkata, “Tidak di sini.” Dia lalu menurunkannya di alas yang benar. “Lakukan di sini.”

Laurie menatapnya, kemudian melakukan jalan terhuyungnya dan kembali ke dapur, di mana dia tiduran di dekat kompor dengan moncongnya di salah satu kakinya, menonton Lloyd. Lloyd menyambar segenggam tisu kamar mandi. Dia merasa akan menggunakannya dalam jumlah besar di beberapa pekan ke depan.

Begitu genangannya dibersihkan (sangat sedikit), dia menuang seperempat cangkir makanan anjing—porsi yang direkomendasikan, menurut Jadi Kau Punya Anak Anjing Baru!—di mangkuk sereal dan mencampurnya dengan yogurt. Si anjing membenamkan tubuh dengan sukarela. Sementara Lloyd menontonnya makan, teleponnya berdering. Itu Beth, memanggil dari rest area di suatu tempat di belantara Alligator Alley.

“Kau harus membawanya ke klinik hewan,” dia berkata. “Aku lupa memberitahumu.”

“Aku tahu, Bethie.” Ada di Jadi Kau Punya Anak Anjing Baru!

Beth melanjutkan seakan Lloyd tak bicara, sifat yang juga dikenal baik Lloyd. “Dia butuh vitamin, kukira, dan obat cacing hati, ditambah sesuatu untuk kutu-kutunya—mungkin pil yang dicampur di makanannya. Juga, dia harus dibetulkan. Dimandulkan, kau tahu, tapi mungkin tidak hingga beberapa bulan.”

“Baik,” kata Lloyd. “Jika aku memeliharanya.”

Laurie selesai makan dan keluyuran ke ruang tengah. Dengan perut penuh, jalan terhuyungnya makin kentara. Bagi Lloyd, dia terlihat sedikit teler.

“Jangan lupa mengajaknya jalan-jalan.”

“Baik.” Setiap empat jam, menurut Jadi Kau Punya Anak Anjing Baru! Yang mana menggelikan. Dia tak punya niat untuk terbangun jam dua pagi dan membawa tamu tak diundang ini jalan-jalan.

Membaca pikiran adalah salah satu spesialisasi saudarinya. “Kau mungkin berpikir bangun di tengah malam akan merepotkan.”

“Itu yang terlintas di benakku.”

Dia mengabaikan ini, seperti yang biasa Bethie lakukan. “Tapi jika kau jujur saat bilang punya insomnia sejak Marian tak ada, kupikir itu bukan usaha yang keras.”

“Sungguh pengertian dan peduli sekali kau, Bethie.”

“Lihat saja nanti, itulah yang kukatakan. Beri gadis kecil itu kesempatan.” Dia berhenti. “Berilah dirimu kesempatan saat kau sudah melakukannya. Aku khawatir padamu, Lloyd. Aku sudah hampir 40 tahun bekerja di perusahaan asuransi, dan bisa kukatakan padamu bahwa pria di usiamu lebih rentan terserang penyakit setelah istrinya meninggal. Kemudian mati, tentu saja.”

Untuk hal ini, Lloyd tak bicara apa-apa.

“Kau mau?”

“Mau apa?” Seakan Lloyd tak tahu.

“Beri dia kesempatan.”

Beth sedang mendorong komitmen yang Lloyd harap tak diberikan padanya. Lloyd melihat berkeliling, seakan mencari inspirasi, dan menemukan sepotong kotoran—satu sosis kecil—tepat di mana genangan kencing berada sebelumnya, lima belas sentimeter dari alas anjing terdekat.

“Yah, si gadis kecil di sini sekarang,” dia berkata. Hanya ini yang bisa dia berikan untuknya. “Hati-hati berkendara.”

“Selalu di kecepatan 65. Aku disalip banyak sekali, dan beberapa orang mengklaksonku, tapi sedikit lebih cepat lagi dan aku tak percaya pada reflekku.”

Lloyd mengucapkan selamat tinggal, mengambil beberapa tisu, dan mengangkat kotoran. Laurie menonton dengan mata ambernya. Lloyd membawanya keluar, di mana si anjing tak melakukan apa pun. Begitu dia menyelesaikan artikel memelihara anak anjing lainnya 20 menit kemudian, dia menemukan genangan kencing lagi di pintu lengkung.

Lima belas sentimeter dari alas anjing terdekat.

Dia membungkuk, tangan di lutut, punggungnya memberi peringatan yang biasa. “Kau dalam masa percobaan, anjing.”

Laurie menatapnya.

Terlihat memperlajarinya.

3

Akhir siang itu—dua kencing anjing lagi, yang satu di alas anjing terdekat dengan dapur—Lloyd memasang tali ukuran-mainan dan membawa Laurie keluar, mengepitnya dengan siku tangan seperti bola futbol. Dia menurunkannya dan membiarkannya berjalan di jalur yang mengular di belakang komplek perumahan kecil itu. Jalur itu mengarah ke kanal dangkal yang mengalir ke bawah jembatan angkat. Air di sana sedang menggenang, menunggu mainan Tuan Kaya Raya lewat dari Oscar’s Bay menuju Gulf of Mexico. Si anak anjing berjalan dengan terhuyung kiri-kanan yang biasa, berhenti setiap beberapa waktu untuk mengendus serumpun rumput yang dari sudut pandangnya pasti terlihat seperti hutan semak belukar yang tak tertembus.

Jembatan papan bobrok yang dikenal dengan nama Six Mile Path—jalur enam mil (untuk alasan yang tak pernah Lloyd pahami, karena panjangnya paling hanya 1 mil) terpasang di pinggiran kanal, dan tetangga sebelah rumahnya sedang berdiri di sana sekarang di antara tanda bertuliskan DILARANG BUANG SAMPAH dan DILARANG MEMANCING. Lebih jauh lagi ada satu lagi yang harusnya berbunyi AWAS BUAYA, hanya saja BUAYA-nya sudah disemprot cat dan diganti dengan DEMOKRAT.

Melihat Don Pitcher membungkuk di atas tongkat mahoganinya yang mewah dan penahan punggungnya selalu memberi Lloyd kepuasan jahat yang kecil namun pasti. Pria itu adalah tukang komentar politik yang menjemukan, dan juga orang yang tak pernah merasa bersalah. Jika ada orang di lingkungan itu yang mati, Don yang tahu paling dahulu. Jika ada orang di lingkungan itu yang kesulitan keuangan, dia akan tahu itu juga. Punggung Lloyd sendiri sudah tak seperti dahulu, begitu juga mata dan telinganya, tapi dia masih bertahun-tahun dari tongkat berjalan dan penahan punggung. Atau begitulah dia harap.

“Lihat kapal itu,” Don berkata saat Lloyd bergabung dengannya di jembatan papan (Laurie, mungkin takut dengan air, menjauh sejauh talinya bisa). “Menurutmu berapa banyak orang Afrika yang bisa diberi makan dengannya?”

“Aku tak mengira orang kelaparan mau makan kapal, Don.”

“Kau tahu... maksudku, apa yang kau punya itu? Anjing baru? Bukankah dia tampan?”

“Dia betina,” kata Lloyd. “Aku menjaganya untuk saudariku.”

“Hai, manis,” kata Don, mencondongkan tubuh dan menjulurkan tangannya. Laurie mundur dan menggonggong untuk pertama kalinya sejak Beth membawanya: dua dengkingan tinggi tajam, kemudian diam. Don menegakkan tubuh lagi. “Dia tidak terlalu ramah, ya?”

“Dia tak kenal kau.”

“Dia berak sembarangan?”

“Tidak terlalu parah,” kata Lloyd, dan untuk sementara mereka menonton sekoci motor. Laurie duduk di tepi sambungan jembatan papan dan melihat Lloyd.

“Istriku tak mau anjing,” Don berkata. “Katanya mereka semua kacau dan bermasalah. Aku punya satu saat masih kecil, Collie tua yang manis. Dia jatuh ke sumur. Penutupnya sudah busuk dan dia jatuh. Harus mengangkatnya naik dengan apa itu namanya.”

“Benarkah?”

“Ya. Kau harus hati-hati dengannya di dekat jalan. Dia berlari ke sana, itulah akhir buatmu. Lihat ukuran kapal itu! Taruhan dia akan tersangkut.”

Perahu motornya tak tersangkut.

Saat jembatan angkatnya kembali turun dan lalu lintas bergerak lagi, Lloyd melihat si anjing dan menemukannya tertidur di sampingnya. Laurie membuka matanya, menjilat tangannya, dan kembali tidur.

“Harus pulang dan memasak sedikit hidangan. Santailah, Don.”

“Kau juga. Dan awasi anjing itu, atau dia akan mengunyah semua barang-barangmu.”

“Aku punya beberapa mainan yang bisa dia kunyah.”

Don tersenyum, menampakkan set gigi tak serasi yang membuat Lloyd merinding. “Dia lebih suka perabotmu. Tunggu dan lihat saja.”

4

Sementara dia menonton berita di TV malam itu, Laurie datang ke samping kursi santainya dan memberi dua salakan tajam tadi. Lloyd mempertimbangkan tatapan mata-bening Laurie, menimbang plus dan minusnya, lalu mengangkat dan menaruhnya di pangkuan.

“Kencingi aku, kau mati,” katanya.

Laurie tidak mengencinginya. Dia tidur dengan moncong di bawah ekornya. Lloyd mengelusnya tanpa sadar sementara menonton sebuah rekaman ponsel serangan teroris di Belgia. Saat berita habis, dia membawa Laurie keluar, sekali lagi dengan cara membawa bola futbol. Dia memasang tali dan membiarkannya berjalan di pinggiran Oscar Road, di mana dia bersquat dan melakukan hajatnya.

“Pemikiran bagus,” kata Lloyd. “Ingat-ingat itu.”

Pada jam 21.00, dia memasang pagar anak-anak dengan alas anjing lapis dua—dia tahu harus membeli lebih banyak besok, juga tisu—dan menaruh Laurie di dalamnya. Laurie duduk, memandang Lloyd. Saat Lloyd memberinya air di dalam cangkir teh, dia menjilatinya, kemudian tiduran, masih memandang Lloyd.

Lloyd melepas baju hingga celana dalamnya dan mulai berbaring sendiri, tidak mau repot-repot menarik selimut. Dia belajar dari pengalaman bahwa jika dia melakukannya, dia akan menemukannya di lantai saat pagi hari, korban jejakan kaki dan polah tubuhnya. Malam ini, bagaimanapun, dia tertidur hampir seketika dan tidak terbangun hingga jam 2 pagi, oleh suara desahan tinggi.

Laurie tiduran dengan moncong dimasukkan ke dalam pembatas pagar seperti tahanan kesepian di tengah ruang isolasi. Ada beberapa kotoran di alas anjing. Mempertimbangkan pada jam selarut itu tak akan ada orang lewat di Oscar Road yang terganggu oleh penampakan seorang pria dengan boxernya dan kaus dalam, Lloyd memakai sandalnya dan membawa tamunya (begitulah dia masih menganggap Laurie) keluar. Dia menurunkannya di jalan masuk. Si anjing terhuyung-huyung sedikit, mengendus cipratan kotoran burung, dan mengencinginya. Lloyd memintanya lagi mengingat-ingat itu. Laurie duduk dan memandang ke jalanan kosong. Lloyd menengadah memandang bintang. Dia pikir rasanya belum pernah melihat bintang sebanyak itu, kemudian memutuskan pasti pernah. Cuma tidak akhir-akhir ini. Dia berusaha mengingat kapan terakhir kali dia di luar pada jam 2 pagi, dan tak bisa ingat. Dia memandang ke arah Bima Sakti, nyaris terkesima, hingga menyadari dia tertidur di atas kakinya. Dia membawa si anjing kembali masuk.

Laurie memandangnya dalam diam saat Lloyd mengganti alas anjing yang dia duduki, tapi semangatnya kembali muncul saat Lloyd menaruhnya kembali di tengah pagar. Lloyd menimbang untuk membawanya tidur di kasur bersamanya, tapi itu gagasan yang sangat buruk, menurut Jadi Kau Punya Anak Anjing Baru! Sang penulis (drh. Suzanne Morris), menyatakan dengan tegas, “Begitu kau melakukannya, kau akan sangat kesulitan menghentikannya.” Juga, gagasan terbangun dan menemukan segumpal sosis cokelat di sisi kasur tempat istrinya pernah tidur tidak membuatnya terhibur. Tak hanya secara simbolis kurang ajar, itu juga berarti mengganti kasur, tugas yang juga tidak menghiburnya karena dia selalu mengacaukannya.

Lloyd pergi ke ruangan yang disebut Marian sarangnya. Sebagian besar barang-barangnya masih di sana, karena, mengesampingkan saran kuat saudarinya untuk membiarkannya, Lloyd belum punya hati untuk membereskannya. Seringnya dia menghindar dari ruang ini sejak kematian Marian. Bahkan hanya melihat fotonya di dinding pun menyakitkan, terutama pada jam 2 pagi. Dia pikir kulit orang akan lebih tipis saat jam 2 pagi. Dan tidak menebal lagi hingga jam 5 pagi, saat cahaya pertama mulai terlihat di timur.

Marian tak pernah upgrade ke iPod, tapi CD player potabel yang biasa dia bawa ke grup olah raga dwi-mingguannya ada di rak di atas koleksi kecil albumnya. Lloyd membuka casing baterai dan melihat tak ada karat di slot AAA-nya. Dia menyusuri CD-nya, berhenti pada Hall and Oates, kemudian lanjut ke Joan Baez’s Greatest Hits. Dia memasang CD-nya dan benda itu berputar memuaskan saat dia menutupnya. Dia membawanya ke kamar tidur. Laurie berhenti merengek saat melihatnya. Lloyd menekan PLAY, dan Joan Baez mulai bernyanyi “The Night They Drove Old Dixie Down.” Dia meletakkan CD-nya di salah satu alas anjing yang baru. Laurie mengendusnya, kemudian berbaring di sampingnya, hidungnya nyaris menyentuh label selotip bertuliskan MILIK MARIAN SUNDERLAND.

“Akankah terjadi?” Lloyd bertanya. “Aku sangat berharap.”

Dia kembali ke kasur dan berbaring dengan tangan di bawah bantal, di mana dulu terlihat keren. Dia mendengarkan musik. Saat Baez menyanyikan “Forever Young,” dia sedikit tersentuh. Sangat terduga, pikirnya. Klise. Lalu dia jatuh tertidur.

5

September memberi jalan untuk Oktober, bulan terbaik di bagian utara New York, di mana dia dan Marian hidup hingga pensiun, dan menurut opini Lloyd (IMHO, seperti yang mereka katakan di Facebook) bulan terbaik di sini di pantai barat Florida. Panas yang parah sudah hilang, tapi hari masih hangat dan malam dingin Januari dan Februari masih di kalender berikutnya. Kebanyakan burung salju juga di kalender berikutnya, dan alih-alih terbuka dan tertutup lima puluh kali sehari, Jembatan Angkat Oscar hanya menghambat lalu lintas sepuluh atau dua puluh kali. Dan hanya ada sedikit lalu lintas untuk dihambat.

The Cayman Key Fish House buka kembali setelah tiga bulan hiatus, dan anjing-anjing diperbolehkan di tempat yang disebut Puppy Patio. Lloyd sering membawa Laurie ke sana, keduanya berjalan di sepanjang Six Mile Path di samping kanal. Lloyd mengangkat si anjing di beberapa tempat jembatan papan yang ditumbuhi rumput; Laurie mudah sekali berlarian di bawah palmetto sehingga Lloyd harus masuk, kepala tertunduk, tangan terulur untuk menyingkap rumpun tebal, selalu takut jika ada tikus pohon yang mungkin jatuh ke kepalanya, meski sekalipun belum pernah. Saat mereka tiba di restoran, Laurie duduk diam di samping sepatu Lloyd di bawah sinar matahari, kadang-kadang dihadiahi sepotong kentang goreng dari keranjang ikan dan keripik milik Lloyd karena perilaku baiknya. Semua palayan ber-ooh padanya, membungkuk untuk mengelus bulu kelabunya yang tebal.

Terutama Bernadette, sang nyonya pemilik, yang sangat tertarik padanya. “Lihat wajah itu,” dia selalu berkata, seakan itu menjelaskan segalanya. Dia akan berlutut di samping Laurie, untuk memberi Lloyd pemandangan belahan dadanya yang luar biasa dan selalu Lloyd apresiasi. “Oooh, lihat wajah itu!”

Laurie menerima perhatian itu, tapi tidak terlalu mendambakannya. Dia hanya duduk, melihat ke pemuja barunya sebelum mengembalikan perhatiannya pada Lloyd. Sebagian perhatian itu mungkin dia berikan untuk kentang gorengnya, tapi tak semuanya; dia memandang Lloyd setekun Lloyd menonton TV. Hingga dia tertidur.

Laurie terlatih buang air dengan cepat, dan tidak sesuai prediksi Don, dia tidak mengunyah perabot. Dia mengunyah mainannya, beberapa kali dari tiga hingga enam hingga selusin. Lloyd menemukan sebuah krat tua untuk menyimpannya. Laurie akan pergi ke krat ini di pagi hari, menaruh telapak depannya di tepinya, dan memeriksa isinya seperti pengunjung Publix memeriksa produk. Akhirnya dia akan menemukan satu, membawanya ke sudut, dan mengunyahnya hingga bosan. Lalu dia akan kembali ke krat dan mencari yang lain. Di penghujung hari, semua mainan akan tersebar di kamar tidur, di ruang tengah, dan di dapur. Tugas terakhir Lloyd sebelum tidur adalah mengumpulkannya dan mengembalikannya ke dalam krat. Bukan karena kekacauannya, tapi karena si anjing tampak puas mengukur jumlah rampasannya setiap pagi.

Beth sering menelepon, bertanya soal kebiasaan makannya, mengingatkannya pada ulang tahun dan hari peringatan kawan lama atau saudara, membuatnya terus mengikuti perkembangan soal siapa yang sudah menendang ember (mati). Beth selalu mengakhiri dengan bertanya apa Laurie masih dalam masa percobaan. Lloyd menjawab ya hingga suatu hari di tengah bulan Oktober. Mereka baru saja kembali dari Fish House, dan Laurie sedang tidur telentang di tengah lantai ruang tengah, kaki terentang ke empat titik kompas. Angin sepoi dari AC mengibarkan bulu di perutnya, dan Lloyd menyadari dia sangat cantik. Ini bukan hal sentimen, hanya fakta alam. Dia merasakannya juga pada bintang saat sedang membawanya keluar untuk kencing terakhir di malam hari.

“Tidak, kukira kami sudah melewati masa percobaan. Tapi jika dia hidup lebih lama dariku, Bethie, kau harus membawanya—dan persetan dengan alergi Jim—atau carikan rumah yang baik untuknya.”

“Dimengerti, Bebek Karet.” Bebek Karet adalah sesuatu yang dia ambil dari lagu truk lawas saat 17 tahun dan terbawa hingga sekarang. Itu hal lain lagi soal Beth yang bagi Lloyd menawan sekaligus mengganggu. “Aku senang ternyata berhasil.” Dia merendahkan suara. “Sebenarnya, aku tak berpikir akan berhasil.”

“Lalu kenapa kau membawanya?”

“Aku hanya coba-coba. Aku tahu kau butuh sesuatu yang lebih menyibukkan dari ikan mas. Dia sudah belajar menggonggong?”

“Lebih seperti berkukuk. Dia melakukannya saat tukang pos datang, atau UPS, atau saat Don mampir minum bir. Selalu cuma dua kali. Kuk-kuk, dan sudah. Kapan kau kemari lagi?”

“Aku sudah habis dari sana. Giliranmu yang datang kemari.”

“Aku harus membawa Laurie. Tak mungkin aku meninggalkannya bersama Don dan Evelyn Pitcher.” Memandang anjingnya yang tidur, dia menyadari bahwa dia tak mungkin meninggalkannya bersama siapa pun juga. Bahkan perjalanan singkat ke supermarket membuatnya cemas padanya, dan dia selalu lega melihatnya menunggu di pintu saat dirinya pulang.

“Maka bawa dia. Aku akan senang melihat sebesar apa dia tumbuh.”

“Bagaimana dengan alergi Jim?”

“Persetan alergi Jim,” katanya, menutup telepon, tertawa.

6

Setelah melamun dan berseru pada Laurie—yang lebih dari satu pemberhentian untuk menguras kandung kemihnya, tidur di kursi belakang selama perjalanan ke Boca—Beth kembali menjadi kakak yang superior. Meski dia bisa mengomeli Lloyd dalam banyak hal (dia ahlinya dalam hal itu), topik utamanya kali ini adalah Dr. Albright, dan Lloyd harus menemuinya untuk pemeriksaan rutin yang sudah lewat batas waktu.

“Meski kau terlihat baik-baik saja,” dia berkata. “Aku harus mengatakannya. Kulitmu mulai cokelat. Kuasumsikan itu bukan penyakit kuning.”

“Aku selalu berharap kau punya pikiran yang menyenangkan, Bethie. Ini cuma matahari. Aku mengajak Laurie jalan-jalan tiga kali sehari. Ke pantai saat kami bangun tidur, ke Six Mile Path menuju Fish House, di mana aku makan siang, dan kembali ke pantai sore hari. Melihat matahari tenggelam. Dia tak peduli padanya—anjing tak punya selera estetis—tapi aku menikmatinya.”

“Kau membawanya ke jembatan papan di kanal itu? Jesus, Lloyd, benda itu sudah hancur. Bisa rubuh pada suatu hari dan akan mencemplungkanmu ke kanal, bersama sang putri ini.” Dia menggaruk puncak kepala Laurie. Si anjing separuh memejamkan mata dan tampak tersenyum.

“Benda itu sudah di sana selama 40 tahun atau lebih. Kukira akan bertahan lebih lama dariku.”

“Sudahkah kau membuat janji dokter?”

“Belum, tapi akan kulakukan.”

Beth mengambilkan telepon. “Lakukan sekarang, kenapa tak mau? Aku mau melihatnya.”

Lloyd bisa lihat dari matanya bahwa Beth berharap Lloyd tak akan melakukannya, yang menjadi alasan baginya untuk melakukannya. Tapi bukan satu-satuny alasan. Di tahun-tahun sebelumnya, dia takut pergi ke dokter; selalu mengharap momen (tak diragukan lagi karena terlalu banyak acara TV) saat dokter menatapnya dengan serius dan berkata, “Aku punya kabar buruk.”

Sekarang, bagaimanapun, dia merasa sehat. Tungkainya kaku saat terbangun di pagi hari, mungkin karena terlalu banyak berjalan, dan punggungnya lebih sering berderak, tapi saat dia menatap ke dalam batinnya, dia tak menemukan hal yang pantas dicemaskan. Dia tahu bahwa hal buruk bisa tumbuh tanpa bisa dirasakan di dalam tubuh seorang pria tua selama beberapa waktu—merangkak hingga tiba waktunya untuk berlari—tapi tak ada apa pun yang berkembang menuju titik di mana ada hasil yang tampak: tak ada kotoran atau dahak berdarah, tak ada rasa sakit di perut, tak ada masalah menelan, tak ada kencing yang menyakitkan. Dia menganggap bahwa lebih mudah pergi ke dokter saat tubuhmu mengatakan bahwa tak ada alasan untuk pergi.

“Kenapa kau tersenyum?” Beth terlihat curiga.

“Tidak. Berikan itu.”

Lloyd meraih teleponnya. Beth menjauhkannya. “Jika kau benar-benar ingin melakukannya, gunakan punyamu sendiri.”

7

Dua minggu setelah periksa, Dr. Albright memintanya untuk datang melihat hasilnya. Semua bagus.

“Berat badanmu sangat ideal, tekanan darahmu bagus, juga refleks. Angka kolesterolmu lebih baik dibanding saat terakhir kali kau mengizinkan kami mengambil darahmu...”

“Aku tahu, itu sudah lama,” kata Lloyd. “Mungkin terlalu lama.”

“Tak ada mungkin kalau itu. Omong-omong, kau tak butuh lipids untuk sekarang, yang mana harus kau pandang sebagai kemenangan. Setidaknya setengah pasienku yang semumuranmu membutuhkannya.”

“Aku banyak berjalan kaki,” kata Lloyd. “Saudariku memberiku anjing. Anak anjing.”

“Anak anjing adalah ide Tuhan untuk program oleh raga. Apa yang kau lakukan jika sedang tidak melakukannya? Apa kau kesulitan?”

Albright tak perlu lebih spesifik lagi. Marian juga pasiennya, dan jauh lebih bertanggung jawab pada cek kesehatan 6 bulanannya—sangat proaktif dalam segala hal, begitulah Marian Sunderland—tapi tumor yang merampoknya dari kepandaiannya kemudian membunuhnya sudah lebih dari sekadar proaktif. Tumor itu terlalu jauh mengeram di dalam. Sebuah glioblastoma, Lloyd pikir, adalah versi Tuhan dari kaliber .45 untuk otak.

“Cukup baik,” kata Lloyd. “Tidur lagi. Aku ke tempat tidur dengan lebih lelah setiap malamnya, dan itu membantu.”

“Karena si anjing?”

“Ya. Sebagian besar.”

“Kau harus menghubungi saudarimu dan berterima kasih,” ujar Albright.

Lloyd pikir itu ide bagus. Dia meneleponnya sore itu dan berterima kasih. Beth bilang padanya sangat, sangat, sama-sama. Lloyd membawa Laurie ke pantai dan menggiringnya. Lloyd memandang matahari terbenam. Laurie menemukan ikan mati dan mengencinginya. Mereka berdua pulang dengan puas.

8

6 Desember tahun itu bermula dengan biasa, dengan jalan kaki di pantai kemudian sarapan: Gaines Meal untuk Laurie, orak-arik telur dan selembar roti panggang untuk Lloyd. Tidak ada firasat bahwa Tuhan sedang mengokang kaliber .45-Nya.

Lloyd menonton jam pertama acara Today, lalu pergi ke sarang Marian. Dia mengambil pekerjaan akunting kecil dari Fish House dan sebuah dealer mobil di Sarasota. Itu hal bertekanan-rendah, tak ada stres, dan meski kebutuhan finansialnya tercukupi, rasanya menyenangkan bisa kembali bekerja. Dan dia menemukan bahwa dia lebih suka meja milik Marian dibanding mejanya sendiri. Dia suka musik-musik Marian juga. Selalu. Dia pikir Marian akan senang kekosongannya bisa terisi.

Laurie duduk di samping kursinya, mengunyah salah satu mainan kelincinya dengan serius, lalu tidur siang. Jam sepuluh-tiga puluh, Lloyd menyimpan pekerjaannya dan mundur dari komputer. “Waktunya camilan, Nak,”

Laurie mengikutinya ke dapur dan menerima stik-kunyah kulit. Lloyd mengambil susu dan beberapa kukis pemberian Beth dari kunjungannya terdahulu. Kukisnya gosong di bagian bawah (menggosongkan kukis Natal adalah salah satu keistimewaan Beth), tapi masih bisa dimakan.

Dia membaca sebentar—dia sedang membaca salah satu karya berat John Sandford—dan dibangunkan oleh gemerincing yang akrab. Itu Laurie, di depan pintu. Pengikatnya melingkar di kenop, dan dia menggosok penjepit besinya maju-mundur dengan moncongnya. Lloyd melihat jamnya dan melihat saat itu jam dua belas kurang seperempat. “Oke, baiklah.”

Dia menyentak pengikatnya, meremas saku kiri depannya untuk memastikan membawa dompet, dan membiarkan Laurie memimpinnya keluar ke cahaya menyilaukan tengah hari. Saat mereka berjalan menuju Six Mile Path, dia melihat Don sudah mengeluarkan koleksi mengerikan dekorasi liburan plastiknya yang biasa: adegan Kelahiran (keramat), Sinterklas plastik besar (kotor), dan satu koleksi jembalang kebun yang diatur sedemikian rupa agar mirip peri (paling tidak begitulah yang Lloyd kira). Sebentar lagi Don akan mempertaruhkan hidupnya dengan memanjat tangga dan merangkai lampu yang berkedip, membuat bungalo keluarga Pitcher terlihat seperti kasino perahu sungai terkecil di dunia. Tahun sebelumnya, dekorasi Don membuat Lloyd merasa sedih, tapi hari ini dia tertawa. Kau harus memberi brengsek ini penghargaan. Dia punya arthritis, penglihatan buruk, dan punggung yang buruk, tapi dia tak menyerah. Bagi Don ini adalah Natal atau gagal.

Evelyn muncul ke dek belakang rumah Pitcher. Dia mengenakan gaun selubung merah muda yang salah kancing, ada semacam krim kuning-keputihan belepotan di pipinya, dan rambutnya ke segala arah. Don sudah meyakinkan Lloyd bahwa istrinya sudah mulai kehilangan akal, dan hari ini dia terlihat seperti itu.

“Apa kau melihatnya?” dia memanggil.

Laurie menengadah dan memberi sapaannya yang khas: Kuk, kuk.

“Siapa? Don?”

“Bukan, John Wayne! Tentu saja Don, siapa lagi?”

“Belum,” jawab Lloyd.

“Jika melihatnya, sampaikan padanya untuk berhenti keluyuran dan selesaikan dekorasinya. Lampunya bergantungan dan sang Pria Bijak masih di luar garasi! Pria itu gila!

Jika dia begitu, berarti kalian berdua sama, pikir Lloyd. “Akan kusampaikan jika aku melihatnya.”

Evelyn mencondongkan tubuh ke pembatas dengan mengkhawatirkan. “Kau punya anjing yang cantik! Siapa namanya?”

“Laurie,” Lloyd memberitahunya, seperti yang sudah seringkali dia lakukan.

“Oh, jalang, jalang, jalang!” Evelyn berteriak dengan semangat Shakerpearian, lalu menyuarakan celoteh. “Aku akan senang jika Natal segera berakhir, kau bisa sampaikan itu juga!”

Dia menegakkan tubuh (lega; Lloyd kira dirinya tak akan sanggup menangkapnya jika dia terjungkal) dan kembali masuk ke dalam. Laurie mulai berlari di jembatan papan, mengarahkan moncongnya ke aroma makanan goreng yang menghembus dari Fish House. Lloyd ikut-ikutan, membayangkan sepotong salmon panggang di atas kasur nasi. Dia mulai tak suka dengan makanan goreng.

Kanal berliku-liku; Six Mile Path ikut berliku bersamanya, dengan malas berbelok ke sini dan ke situ, memeluk pinggiran sungai yang meluap. Di sana sini papan terlepas. Laurie berhenti untuk melihat seekor pelikan menyelam dan muncul kembali dengan seekor ikan menggeliat di paruhnya yang seperti tas, kemudian masuk. Laurie berhenti pada setangkai semak yang mencuat di antara dua papan yang melengkung terpisah. Lloyd mengangkatnya pada perutnya—dia terlalu besar untuk diangkat seperti bola futbol sekarang. Sedikit lebih jauh, di depan belokan berikutnya, semak palmetto telah tumbuh di atas jembatan papan, berbentuk lengkungan pendek. Laurie cukup kecil untuk berjalan di bawahnya, tapi dia berhenti, mengendus sesuatu. Lloyd menyusulnya dan membungkuk untuk melihat apa yang dia temukan. Itu adalah tongkat Don Pitcher. Dan meski itu terbuat dari kayu mahoni yang kuat, retakan telah muncul di permukaannya naik dari ujung karetnya.

Lloyd mengambilnya dan mengenali tiga atau empat titik darah di kayunya. “Ini gawat. Kupikir sebaiknya kita—“

Tapi Laurie melesat ke depan, menyentakkan tali pengikat dari tangan Lloyd. Dia menghilang di bawah lengkung semak, pegangan tali pengikat bergemerincing dan berputar di belakangnya. Kemudian dia mulai menyalak, bukan dua gonggongannya yang biasa, tapi rentetan suara lebih rendah sesanggup yang dia bisa keluarkan. Khawatir, Lloyd membungkuk ke bawah palmetto, melambaikan tongkat sedemikian rupa untuk menyingkirkan tandannya ke samping. Dahannya balas mencambuk, menggores tongkat dan dahinya. Beberapa daunnya bertotol dan terciprat darah. Lebih banyak lagi darah di atas jembatan papan.

Di sisi lain, Laurie berdiri dengan kaki depan terentang, punggung merendah, dan moncongnya menyentuh permukaan papan. Dia sedang menyalak pada seekor buaya. Warnanya hijau kusam dengan belepotan noda hitam, buaya dewasa paling tidak 3 meter panjangnya. Dia menatap anjing Lloyd yang menggonggong dengan mata tak bercahaya. Dia terentang di atas tubuh Don Pitcher, hidungnya yang tumpul seperti sekop di atas leher Don yang terbakar matahari, kaki depan pendeknya yang bersisik dengan posesif mendekam bahu kurus Don. Itu buaya pertama yang Lloyd lihat sejak perjalanan ke Jungle Gardens di Sarasota bersama Marian, dan itu sudah bertahun-tahun lalu.

Puncak kepala Don sudah lenyap cukup banyak. Lloyd bisa melihat serpihan tengkorak dengan sisa rambut tetangganya. Aliran darah, masih basah, menggenang dan mengering di pipinya. Ada sesuatu mirip oatmeal di tengahnya. Lloyd menyadari dia baru saja melihat otak Don Pitcher. Gagasan bahwa Don menggunakan benda itu untuk berpikir mungkin beberapa menit yang lalu membuat isi dunia terasa tak berarti.

Pegangan tali Laurie sudah jatuh ke sisi jembatan papan dan masuk ke kanal. Dia melanjutkan menggonggong. Si buaya menyadari kehadirannya, untuk sesaat tak bergerak. Terlihat sangat bodoh.

“Laurie! Diam! Tutup mulutmu!”

Lloyd memikirkan Evelyn Pitcher berdiri di dek belakang rumahnya seperti aktris di atas panggung, menangis, Oh, jalang, jalang, jalang!

Laurie berhenti menggonggong, tapi masih menggeram dengan tenggorokannya. Tampaknya dia jadi dua kali lebih besar, karena bulu kelabu gelapnya berdiri tak hanya di lehernya tapi di sekujur tubuhnya. Lloyd merendah dan bertumpu pada satu lututnya, tak pernah mengalihkan pandangan dari si buaya, lalu mencemplungkan tangan kirinya ke kanal, mencari-cari tali pengikat. Dia menemukan talinya, menanrik handelnya naik, menggenggamnya, dan kembali berdiri, tak pernah mengalihkan matanya dari makhluk hijau-hitam di atas tubuh Don. Dia menarik talinya. Awalnya seperti menarik sebuah tonggak yang tertancap di tanah—Laurie sekukuh itu—tapi kemudian Laurie bergerak ke arah Lloyd. Saat dia melakukannya, si buaya mengangkat ekor dan membantingnya, sebuah pukulan keras yang menyemburkan tetesan air dan membuat jembatan papan bergetar.

Lloyd membungkuk dan mengangkat Laurie, tak pernah mengalihkan perhatian dari si buaya. Tubuh Laurie bergetar, seakan ada listrik yang mengalirinya. Matanya cukup lebar untuk memperlihatkan bagian putihnya melingkar. Lloyd terlalu syok oleh penampakan buaya mengangkang di atas tubuh mati tetangganya untuk merasa takut, dan saat perasaan itu kembali, itu bukanlah rasa takut melainkan kemarahan protektif. Dia melepas tali dari kerah Laurie dan menjatuhkannya.

“Pulanglah. Kau dengar aku? Pulang. Aku akan di belakangmu.”

Lloyd membungkuk, masih belum melepas pandangan dari si buaya (yang tak pernah mengalihkan mata darinya). Dia telah menjinjing Laurie seperti bola futbol berulang kali saat lebih kecil, sekarang dia melepasnya berjalan seperti itu, melewati kakinya  langsung ke lengkungan pamletto.

Tak ada waktu untuk melihat ke mana dia pergi. Si buaya datang untuk Lloyd. Dia bergerak dengan kecepatan luar biasa dan mengejutkan, menendang tubuh Don sekian meter di belakangnya dengan kaki belakangnya yang pendek gemuk saat dia menjejak maju. Mulutnya terbuka, menampakkan gigi seperti pagar runcing kotor. Pada lidahnya yang kasar merah muda-kehitaman, Lloyd dapat melihat sedikit kaus Don.

Dia menyerang dengan tongkatnya, menyapukannya ke samping. Tongkatnya mengenai sisi kepala si buaya di bawah salah satu mata anehnya yang tanpa ekspresi, dan patah pada retakan mahoninya. Potongan kayunya berputar dan mencebur ke kanal. Si buaya berhenti sesaat, seakan terkejut, kemudian datang. Lloyd bisa mendengar suara cakarnya. Mulutnya menganga, rahang bawahnya menggelincir di sepanjang jembatan papan dan menyebabkan serpihan kelabu.

Lloyd tidak memikirkan apa-apa. Sesuatu di dalam dirinya mengambil kendali. Dia menusuk dengan apa yang tersisa dari tongkat Don, menancapkan ujung bergeriginya ke daging keputihan di sisi kepala si buaya yang seperti sekop. Menggenggam pegangan tongkat dengan kedua tangan, dia menjatuhkan diri ke depan, menempatkan berat tubuhnya dan menekan sekeras yang dia bisa. Si buaya dengan sekejap bergerak menyamping. Sebelum dia pulih, datang serangkaian suara retakan dengan cepat, seperti suara pistol lari. Bagian jembatan papan yang sudah tua merosot, menjatuhkan sebagian tubuh si buaya ke kanal. Ekornya turun, menghantam papan yang melintir dan membuat mayat Don melompat. Air meluap. Lloyd berjuang mencari keseimbangan dan melangkah mundur saat permukaan kepala si buaya, rahangnya, menggertak. Lloyd menikam lagi, tanpa membidik, tapi ujung bergerigi tongkatnya mengenai mata si buaya. Si buaya mundur, dan jika Lloyd tidak melepas pegangan tongkat yang melengkung, mungkin dia akan ikut terseret ke air di atas si buaya.

Lloyd berbalik dan berlari menembus palmetto dengan tangan terentang di depan, bersiap pada datangnya gigitan dari belakang atau tusukan dari bawah saat si buaya berenang di bawah jembatan papan, mengubur diri dalam lumpur, dan mengamuk membuat jalan untuk mengejarnya. Lloyd muncul di sisi lain, bernoda dan bertotolan darah Don dan darah dari lusinan goresan.

Laurie belum pulang ke rumah. Dia berdiri tiga meter jauhnya, dan saat dia melihat Lloyd, dia berlari mendatanginya, menekuk bagian belakang tubuhnya dan melompat. Lloyd menangkapnya (seperti futbol, seperti operan Hail Mary) dan berlari, sulit menyadari bahwa Laurie menggeliat di lengannya, dan mendengking, dan menutupi wajah Lloyd dengan jilatan gila-gilaan. Meski dia akan mengingat ini nanti.

Begitu dia meninggalkan jembatan papan dan tiba di jalur kerikil, dia menoleh ke belakang, berharap melihat si buaya buru-buru mengejarnya di sepanjang jembatan papan dengan seringainya, kecepatan tak terduga.

Dia berhasil melewati setengah perjalanan ke rumahnya sebelum tungkainya menyerah dan dia terduduk. Dia bergetar dan menangis habis-habisan. Dia terus melihat ke belakang, mengamati si buaya. Laurie terus menjilati wajahnya, tapi gemetarnya sudah mulai surut. Saat dia merasa sanggup berjalan lagi, dia membawa Laurie di sisa perjalanan pulang. Untuk kali kedua dia merasa lemah dan harus berhenti.

Evelyn muncul lagi ke dek belakang rumahnya saat Lloyd terseok menuju pintu belakang. “Kau tahu jika kau membawa anjing berkeliling seperti itu, dia akan terus-terusan memintanya. Kau melihat Don? Dia harus merampungkan dekorasi Natalnya.”

Apa dia tak lihat ada darah, Lloyd bertanya-tanya, atau dia tak mau melihatnya? “Ada kecelakaan.”

“Kecelakaan macam apa? Ada orang yang berlari menuju jembatan angkat lagi?”

“Masuklah,” kata Lloyd.

Dia masuk sendiri ke rumahnya tanpa menungga apakah Evelyn akan masuk juga. Dia mengambilkan Laurie semangkuk air segar, dan Laurie menjilatinya dengan tak sabar. Saat dia melakukannya, Lloyd menghubungi 911.

9

Polisi pasti langsung pergi ke rumah Pitcher setelah menemukan tubuh Don, karena Lloyd mendengar Evelyn menjerit. Jeritan itu mungkin tak lama, tapi terasa lama. Lloyd bertanya-tanya apakah sebaiknya pergi ke sana, mungkin mencoba menenangkannya, tapi dia tak merasa mampu melakukannya. Dia lebih lelah dari kapan pun yang pernah dia ingat, bahkan dari latihan futbol sekolah di siang hari bulan Agustus. Yang ingin dia lakukan hanya duduk di kursi santainya dengan Laurie di pangkuannya. Laurie sudah tidur, hidung di ekor.

Polisi datang dan mewawancarainya. Mereka bilang bahwa dia sangat beruntung.

“Di samping beruntung, kau juga berpikir cepat,” salah satu polisi berkata, “menggunakan tongkat Mr. Pitcher seperti itu.”

“Dia tetap akan memangsaku jika bagian luar jembatan papan tidak runtuh karena beratnya,” kata Lloyd. Mungkin dia akan memangsa Laurie juga. Karena Laurie tak pulang. Laurie menunggu.

Malam itu Lloyd membawanya ke tempat tidur bersamanya. Dia tidur di tempat Marian. Lloyd sendiri cuma tidur sedikit. Setiap kali dia mulai tertidur, dia terpikir bagaimana si buaya mengangkang di atas tubuh Don, dengan sikap posesif yang bodoh. Mata hitamnya yang mati. Bagaimana dia tampak menyeringai. Kecepatan tak terduga saat dia mendatanginya. Kemudian dia akan mengelus si anjing yang tertidur di sampingnya.

Beth datang dari Boca hari berikutnya. Dia memarahi Lloyd, tapi tidak sampai dia mulai memeluk dan mencium Lloyd berulang kali, membuat Lloyd berpikir bagaimana kalutnya Laurie menjilati wajahnya saat dirinya muncul dari rumpun palmetto.

“Aku menyayangimu, keparat tua bodoh,” kata Beth. “Syukurlah kau hidup.”

Lalu dia mengangkat Laurie dan memeluknya. Laurie sabar menerimanya, tapi begitu Beth menurunkannya, dia langsung pergi untuk mencari kelinci karetnya. Dia membawanya ke pojokan, di mana dia membuatnya mencicit berulang kali. Lloyd bertanya-tanya apakah si anjing sedang berfantasi mencabik-cabik si buaya jadi serpihan kecil, kemudian menyadarkan dirinya sendiri bahwa dia bodoh. Jangan membuatnya melakukan hal yang tidak mereka lakukan. Dia tidak membacanya di Jadi Kau Punya Anak Anjing Baru! Itu adalah salah satu hal yang kau temukan sendiri.

10

Di hari setelah kunjungan Beth, seorang polisi hutan dari Florida Fish and Wildlife datang mengunjungi Lloyd. Mereka duduk di dapur, dan si polisi hutan, yang bernama Gibson, menerima segelas es teh. Laurie menikmati mengendus sepatu dan borgol di celananya untuk sementara, kemudian meringkuk di bawah meja.

“Kami menangkap buayanya,” ujar Gibson. “Kau beruntung bisa hidup, Mr. Sunderland. Itu buaya yang besar.”

“Aku tahu,” kata Lloyd. “Apa dia sudah ditidurkan?”

“Belum, dan ada sedikit diskusi apakah hal itu sebaiknya dilakukan atau tidak. Saat dia menyerang Mr. Pitcher, dia sedang melindungi segenggam telur.”

“Sebuah sarang?”

“Benar sekali.”

Lloyd memanggil Laurie. Laurie datang. Dia mengangkatnya dan mulai mengelusnya. “Berapa lama benda itu ada di sana? Aku berjalan lewat jembatan papan itu menuju Fish House bersama anjingku hampir setiap hari.”

“Periode inkubasi normalnya adalah enam puluh lima hari.”

“Benda itu ada di sana selama ini?”

Gibson mengangguk. “Sebagian besar, ya. Di dalam dedaunan dan semak.”

“Mengawasi kami lewat.”

“Kau dan semua orang yang menggunakan jembatan papan. Mr. Pitcher pasti telah melakukan sesuatu, pasti karena tak sengaja, yang membuatnya terbangun... yah...” Gibson mengangkat bahu. “Bukan insting keibuan, aku tak berpikir kau bisa mengatakan demikian, tapi mereka diprogram untuk melindungi sarang mereka.”

“Mungkin dia mengayunkan tongkatnya ke arahnya,” kata Lloyd. “Dia selalu mengayun-ayunkan tongkatnya. Bahkan mungkin mengenai si buaya. Atau sarangnya.”

Gibson menandaskan es tehnya dan berdiri. “Kukira kau ingin tahu.”

“Terima kasih.”

“Tentu. Kau punya anjing yang manis sekali. Border Collie dan apa?”

“Mudi.”

“Yeah, benar, aku tahu sekarang. Dan dia bersamamu hari itu.”

“Di depanku, sebenarnya. Dia melihatnya lebih dulu.”

“Dia juga beruntung bisa hidup.”

“Ya.” Lloyd mengelusnya. Laurie memandang dengan mata ambernya. Lloyd bertanya-tanya, seperti yang sering dia lakukan, apa yang Laurie lihat pada wajah yang melihatnya. Seperti bintang-bintang yang Lloyd lihat saat membawanya keluar di malam hari, itu adalah misteri.

Gibson berterima kasih padanya untuk estehnya dan pergi. Lloyd duduk di tempatnya untuk sementara, menelusurkan tangannya melewati bulu kelabu-mendung itu. Lalu dia menurunkan anjingnya untuk melakukan urusannya sementara Lloyd mengerjakan urusannya sendiri. Ini adalah hidup, kau terjebak di dalamnya, dan yang bisa kau lakukan hanya menjalaninya.


Teringat Vixen

Comments

Terpopuler sepekan

Cerita Horor Kaskus

4 Cerita Horor Tokyo

Catatan Atas Awan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]