Skip to main content

Bunuh Dirinya Bradley Alligan

by: CK. Walker
[ permit ]

Bradley Alligan tewas di sebuah Rabu pagi pada Agustus 1999.

Dari segi manapun dia adalah pria 29 tahun yang bahagia, sehat, dan mapan. Dia adalah profesor biologi di universitas setempat dan tinggal bersama kekasihnya, Megan, dan putranya yang berusia 4 tahun. Megan masih tidur saat dua polisi mengetuk pintu rumahnya beberapa menit sebelum jam 9 pagi.

“Selamat pagi, nyonya. Apakah Anda Megan Owens?”

“Ya, benar... apa ada masalah?”

“Apa Anda kenal seseorang bernama Bradley Alligan?”

“Ya, tentu, dia kekasihku.”

“Maukah Anda duduk?”

Megan memanggil putra kecilnya untuk duduk di sampingnya dan menggoncangnya dengan air mata berderai saat petugas menjelaskan bahwa ditemukan sesosok mayat yang jatuh dari Jembatan Lengkung Cold Spring Canyon setelah matahari terbit pagi tadi. Saksi menghubungi polisi. Mobil Bradley ditemukan terparkir di jembatan dengan kamera video di dasbor yang merekam detik-detik terakhirnya.

“Ya, Tuhan... dan, apakah... apakah kau melihat rekamannya?”

“Benar, nyonya, kami melihatnya.”

“Dan apakah dia... m-melompat?”

“Benar, nyonya.”

Ini adalah detail yang akan dipikul Megan di hampir sepanjang hidupnya. Setelah syok berlalu dan duka memuncak hingga akhirnya berubah menjadi rasa sakit yang tertahan, bertahun-tahun sejak Megan mengalami pagi traumatis itu... dia tak pernah bisa mengikhlaskannya. Detail ini yang membuatnya muak, itu tidak masuk akal dan sangat berlawanan dengan karakter Bradley. Kenapa kau merekam kematianmu?

Apakah karena dia ingin agar kekasihnya tahu, tanpa keraguan, bahwa dia melakukannya sendiri? Apakah dia melakukannya karena dia tahu tak akan ada yang percaya bahwa dia bunuh diri dan dia ingin menghindarkan investigasi pada keluarganya? Apakah sebenarnya dia merekam sesuatu yang lain namun malah terjatuh dari pembatas menuju jurang?

Setelah pemeriksa medis resmi menyatakan sebab kematian adalah bunuh diri, Megan meminta jenazah Bradley. Keluarganya turun tangan dan mengambil hak kuasanya, memilih untuk mengkremasi putranya dan menaburkan abunya ke tanah pertanian mereka di desa. Megan tak punya posisi legal untuk menghentikan mereka.

Jadi saat polisi menawari Megan rekaman di hari kematian Bradley dia menerimanya, meski mereka menekankan padanya bahwa rekaman itu harus dihancurkan dan bahwa menontonnya hanya akan membuatnya bertambah sedih.

Dia tidak menonton rekamannya, tapi dia juga tidak menghancurkannya. Rekamannya hanya tergeletak di atas VCR di kamarnya selama 10 tahun, membuatnya gila dengan perlahan.

Megan menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya mengunci diri di dalam kamar, minum gin dan anggur dan kadangkala merawat putranya. Aku adalah anak yang baik; aku tidak pernah berkelahi atau membuat masalah atau bahkan sakit, tapi ibuku selalu menatapku dengan pandangan kecewa. Dia bilang padaku bahwa aku mirip dengan ayahku. Kupikir dia tidak menyukai hal itu.

Aku terus bertahan seperti ini hingga menginjak 18 tahun, tapi kemudian, pada suatu hari yang biasa, ibuku menghilang. Aku masih 16 tahun saat itu dan sedang menginap di rumah temanku malam sebelumnya. Terasa aneh saat aku pulang pagi harinya dan menemukan mobil ibuku sudah tak ada di hari dia tak bekerja, tapi aku senang. Aku berangkat sekolah seperti biasa tapi saat dia tetap belum kembali ketika aku pulang aku mulai khawatir. Aku menghabiskan sebagian besar malam itu berdebat apakah sebaiknya aku menelepon polisi atau tidak.

Aku tak menelepon polisi, tapi mereka muncul di depan pintuku esok paginya.

“Siapa namamu, nak?”

“Robby. Ah, Robert Alligan.”

“Dan apakah ibumu Megan Owens?”

“Dia—dia menghilang.”

“Apakah Megan Owens ibumu?”

“Ya.”

“Kapan terakhir kali kau melihatnya?”

“Selasa pagi sebelum sekolah. Apa dia baik-baik saja? Apa semua baik-baik saja?”

“Semua baik-baik saja, maukah kau duduk?”

Mereka memberitahuku bahwa seorang pejalan kaki menemukan tubuh ibuku di jurang. Harusnya aku kaget mendengarnya tapi nyatanya tidak. Jika dia memang mau melakukannya, dia akan melakukannya dengan cara yang sama seperti ayahku, untuk bersamanya. Mereka bilang mobilnya terparkir di bahu jalan setelah Jembatan Lengkung. Mereka bertanya apakah dia sedang depresi atau sedang menjalani suatu pengobatan. Aku bilang tidak, tapi mataku pergi ke pintu kamarnya.

Salah satu polisi keluar untuk membuat panggilan telepon dan yang lain memintaku naik dan berkemas, bertanya apakah aku punya sanak saudara. Hanya keluarga ayahku, kubilang padanya, yang tinggal di wilayah pertanian dan belum pernah kutemui.

Aku mengemas tasku dengan lega namun juga sedih. Paling tidak penderitaannya sudah berakhir. Paling tidak dia tidak hidup untuk melayani kaset rekaman itu lagi. Tapi aku tahu bahwa dia akhirnya menontonnya. Dan aku tahu aku tak bisa meninggalkannya.

Kaset itu tergeletak di atas VCR tua ibuku, di luar kotaknya. Aku mengambilnya dan menjejalkannya ke dalam VCR kemudian duduk di tempat tidur.

Layar TV berkedip biru dengan huruf putih tebal PLAY menyala di sudut kanan atas.

Aku selalu menghargai niat ibuku untuk menghormati rekaman itu. Kebenarannya adalah aku tak pernah ingin menontonnya. Aku tidak mengenal ayahku dan aku tidak mengingatnya. Tapi sekarang aku ingin tahu apa yang sudah dilihat ibuku. Aku harus tahu. Apa pun yang ada di dalam kaset itu telah membunuh kedua orangtuaku dan aku harus tahu itu apa. Karena sekarang, semua yang kurasakan hanyalah kekosongan yang menenangkan. Apa aku sedang terguncang? Apa ada sesuatu yang salah denganku? Aku tahu mungkin aku akan menyesalinya tapi aku harus melihatnya.

Aku menggulung kasetnya mundur 3 menit. Lalu aku menekan PLAY.

Layarnya berkedip sedetik kemudian aku melihat sebuah jembatan kosong dengan pembatas beton di sebelah kanan. Tak ada apa pun di sisi lain pembatas kecuali langit redup. Saat itu juga sedang gerimis ringan, yang mana adalah hal yang tidak diceritakan ibuku pada hari itu. POV-nya dari kaca depan sebuah mobil, seperti kamera dasbor modern.

Tak ada orang yang ditangkap kamera. Aku kurang jauh memutar mundur.

Aku menekan STOP kemudian REWIND. Aku mundur sekitar 20 menit kemudian menekan PLAY lagi.

Kali ini, kameranya bergerak, atau lebih tepat, mobilnya bergerak. Satu-satunya suara adalah dengung jalan raya, tepukan hujan di kaca depan dan napas terburu ayahku. Setelah beberapa menit aku bisa mendengar suara lain juga—suara tangisnya yang pelan.

Aku bisa melihat jembatannya mendekat dari kejauhan dalam cahaya tipis fajar dan saat itulah dia menepi, napas dan tangisannya telah berhenti. Ayahku memarkir mobilnya di sisi jembatan dan aku mendengar dia menurunkan semua kaca jendela. Kemudian dia keluar dan aku mendengar suara pintu belakang terbuka dan gemerisik di belakang kamera.

Saat dia kembali muncul di hadapan kamera, dia sedang menyeret sesuatu di belakangnya. Saat dia sudah cukup jauh di depan mobil aku melihat itu adalah seorang bocah kecil. Dia berbalik menghadap kamera.

Kengerian dingin merambati tubuhku saat aku mengenali bocah kecil itu adalah diriku. Aku di sana hari itu? Aku melihat ayahku mati? Aku tidak mengingatnya. Aku memeluk tubuhku sendiri dan menaikkan volume saat ayahku mulai bicara ke kamera.

“Apa yang kau lakukan, Megan? Kita adalah keluarga, kita saling mencintai. Kita bahagia.”

Sementara dia bicara aku melihat wajah kecilku di layar. Bukannya takut atau bingung atau tak nyaman, aku malah tersenyum. Itu adalah senyum anak yang berhasil mencuri kukis dari lemari. Senyum mengejek yang puas.

“Aku sudah mencoba lusinan kali dengan lusinan cara. Aku menggunakan peralatan kontrol, peralatan lab dari sekolah, aku membuat catatan penelitian, dan aku menghancurkan itu semua karena hasilnya selalu sama. Dia selalu kembali.”

Kemudian, dia mengangkat si bocah ke lengannya dan 4 tahun diriku memandang ke kamera.

“Ini tidak lazim, Megan. Ini tak benar. Kita harusnya baik-baik saja. Kenapa kau melakukannya?” Aku bisa mendengar emosi tersiksa mengalir dari suaranya, bebannya akan tertumpah. Aku tak bisa memastikan karena hujan tapi aku yakin ayahku sedang menangis.

“Dia selalu kembali. Aku tak tahu bagaimana caranya. Apa yang kau lakukan, Megan?” suaranya serak dan si bocah kecil di lengannya mengangkat kepala dan mulai terkikik. Wajah ayahku menampakkan ketakutan dan kemudian dia mengambil dua langkah penuh tekad ke pembatas beton dan melempar si bocah melewati tepian jembatan. Kikiknya berubah menjadi tawa yang mulai pudar menuju dasar sementara aku jatuh bersama hujan.

Aku menjatuhkan remot dan merasakan mual naik ke tenggorokanku. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa aku selamat setelah jatuh dari jembatan setinggi 122 meter? Cepat, dengan tak perlu, aku memeriksa tubuhku untuk melihat bekas luka, bagian yang sakit, atau kerusakan permanen.

Saat akhirnya aku kembali memandang layar ayahku sedang menatap dari dalamnya, memandang tepat ke arahku seakan sedang menunggu perhatianku.

“Apa yang kau lakukan, Megan?” dia berbisik untuk terakhir kali. Lalu dengan biasa berjalan ke sisi jembatan, melangkahkan satu kakinya melewati pembatas kemudian langsung berguling dari tepinya.

Sisa rekamannya adalah yang kulihat sebelumnya: langit yang berkilat dan hujan yang membubung. Kemudian rekamannya habis. Aku membawanya bersamaku. Aku tak pernah menontonnya lagi.

Aku menghabiskan tahun berikutnya di tanah pertanian kakekku, memakai obat-obatan yang bisa kudapatkan di kota kecilnya, berusaha menghindari pemikiran dan pertanyaan di kepalaku dan arti dari rekaman yang habis kulihat. Pada akhir waktuku di sana aku sadar untuk waktu yang cukup lama untuk kemudian menyadari bahwa tak ada jalan keluar. Aku memutuskan untuk mencari polisi yang menangani saat ayahku bunuh diri.

Dari tiga orang yang sudah melihat rekamannya, hanya satu yang masih ada. Aku memberondong kantornya dengan telepon yang tak pernah dia angkat. Aku meninggalkan pesan dan mengirim lusinan email. Aku sedang berdebat untuk kembali ke kotaku dan mendatangi kantornya saat sebuah surat datang padaku. Itu dari sang petugas, dia detektif sekarang. Dia memintaku untuk berhenti menelepon kantornya dan untuk tidak menghubunginya lagi. Dia tak ingin berurusan denganku, saat ini atau nanti. Tapi itu adalah surat yang sopan dan dia menjawab pertanyaanku.

Tubuh ayahmu adalah satu-satunya yang ditemukan di bawah jembatan. Saat kami ingin mengabari ibumu bahwa suami dan juga anaknya telah meninggal, kami menemukanmu sedang bermain di sampingnya. Bagaimana bisa kami menuntut orang mati atas pembunuhann anak-anak yang masih hidup? Kami melupakan kasus itu dan sebenarnya aku berusaha untuk tidak mengingatnya.

Meski aku terlalu takut untuk melanjutkan eksperimen ayahku, aku punya beberapa konfirmasi yang sepertinya akan memiliki hasil yang sama. Saat aku dalam fase teler yang terparah aku memakai heroin yang cukup untuk membunuh 10 Keith Richards, karena aku tak yakin mau melanjutkan hidupku lagi. Tapi aku terbangun esok harinya dengan kondisi baik-baik saja. Kemudian tahun lalu aku mengalami kecelakaan yang mengubah trukku menjadi 2 meter persegi logam bengkok. Polisi menemukanku linglung, sedang duduk di samping puing-puing—bajuku berlumuran darahku sendiri dan robek tercabik. Tapi tentu saja aku tidak terluka sama sekali.

Terkadang aku tersadar cukup lama hingga awan memudar dan turun. Aku mengingat sebagian besar masa kecilku pada saat seperti itu, dan aku mengingat lebih jauh dari yang seharusnya. Ingatan yang hilang muncul seperti paus dari kedalaman samudera, singkat memecah permukaan air kemudian kembali tenggelam dalam palung.

Aku ingat betapa ayah dan ibuku saling mencintai. Aku ingat betapa mereka mencintaiku. Aku bisa melihat ibuku tersenyum; aku tak pernah melihat dia tersenyum sebelumnya. Kadang aku mengingat sakit itu juga. Terbaring di ranjang hangatku di rumah selama berbulan-bulan kemudian terbaring di salah satu rumah sakit yang dingin. Begitu banyak rasa sakit. Wajah sedih, dokter yang tenang dan air mata orangtuaku. Tapi kemudian kenangan lain muncul dan aku sedang bermain di luar, layaknya bocah 3 tahun biasa dan sehat. Kemudian aku mengingat ayahku di dalam rekaman, bingung dan ketakutan dan putus asa.

“Apa yang kau lakukan, Megan?”


Comments

  1. memang cerita yang absurd. saya masukin karena unik dan storytellingnya bagus.

    ReplyDelete
  2. Jadi ini maksudnya gmana ?

    ReplyDelete
  3. Oh.. I get it😂😉

    ReplyDelete
  4. Cerita dari C.K Walker memang kadang ambigu. Tapi itu yg bikin jd bagus

    ReplyDelete
  5. bisa tolong jelaskan . ane gagal paham

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin anaknya korban penelitian ilmiah dan jadi punya kekuatan super gak bisa mati.

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus