Skip to main content

Aku Menjawab Telepon Spam

original story by FirstBreath1

--> Reddit: https://www.reddit.com/r/MattRichardsen/
--> Facebook: https://facebook.com/MattRichardsen2
[ permit ]


“Halo, apakah ini Mr. Henderson?”

Tak ada alasan yang jelas bagiku untuk mengangkat telepon itu. Aplikasi spam di ponselku menghubungi sebuah nomor misterius. Tapi, sialan. Persetan. Tak ada orang lagi yang bisa kuajak bicara. Bahkan seorang debt kolektor terdengar bagus pada saat itu.

Istriku terbunuh di tahun 2015. Benar-benar tak ada cara mudah untuk menyampaikannya selain mengungkapkan sedari awal. Itu adalah aksi perampokan yang berujung keliru. Di suatu malam berhujan, ada orang gila yang menyelinap ke rumah kami dan menembaknya.

Tersangkanya berhasil diringkus, dua hari kemudian, dan dihukum seumur hidup di penjara. Dia masih di sana hari ini.

Aku bekerja di web developer sejak saat itu. Pekerjaannya sedikit, dan tempat kerja yang mendukung perilaku-seperti-pertapa-ku ada di area hutan sebelah utara New Jersey. Ketiadaan tes pemakaian obat-obatan hanya keuntungan tambahan. Aku bebas untuk mengacaukan sisa hidupku.

Aku sudah tak punya teman. Tidak terlalu. Terkadang... kurasa akan mudah mencari persahabatan di tempat-tempat yang salah.

“Senior atau junior?” aku membalas si wanita dengan desahan napas sebelum duduk di kursi lengan di kantorku dengan sebotol wine. Malam itu sedang hujan. Angin meniup pohon cemara tua di halaman belakang kami begitu keras hingga rasanya akan membuatnya tumbang.

“Uhh... Senior,” kata suara merdu dan teduh di ujung lain. Dia terdengar familier, tapi aku menyalahkan botol setengah kosong di tanganku untuk gagasan itu.

“Maaf, Bu, tapi... Senior wafat enam tahun yang lalu.” Aku berkata, sedikit jengkel dengan kurangnya pendataan di perusahaan ini.

Dia berhenti.

“Ya ampun... ya ampun itu bukan yang ada dalam catatan kami. Maafkan saya, Pak. Kami tidak sadar. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Maukah Anda menunggu sementara saya memeriksa catatan?”

Lemari arsip menceklik tenang di latar belakang sementara statis bergemerisik. Sepertinya si wanita sedang menahan telepon dengan bahunya. Aku sedikit tercengang dengan jeleknya kualitas suara.

“Tidak, tidak, tak apa-apa, bukan masalah sama sekali. Jangan khawatir. Kenapa kau tidak mengatakan siapa namamu?” aku bertanya, mengutuk diriku sendiri untuk nada rayuan di akhir kalimat.

Dia terkikik. Sesuatu dari tawa itu terdengar sangat akrab. “Nama saya Emily, dan saya bekerja di perusahaan kartu kredit ini,” dia berkata dengan suara terlatih. “Sayangnya, kami tidak bisa menyebutkan nama perusahaan lewat telepon jika Anda tidak punya akun... yang mana, uh... baru saja Anda akui sendiri.”

“Baiklah.”

“Saya kira Anda adalah putra Mr. Henderson,” dia bergumam sambil membolak-balikkan kertas.

“Ya, Bu, benar. Tapi itu sudah bertahun-tahun lalu... aku tidak sedang terjerat hutang seorang pria tua kan?” tanyaku penuh harap.

“Baiklah. Bolehkah kita periksa dulu?” terdengar suara cepat buku terseret dan terbuka di latar belakang. “Maafkan saya, Pak,” dia menjawab dengan nada menyesal. “Aturannya ada di sebuah binder tiga cincin, dan sangat sulit ditemukan. Mohon tunggu sebentar.”

“Tak apa... tak menyangka masih ada yang mendata dengan cara seperti itu... bisakah aku mendapat konfirmasi email untuk urusan ini?”

“Maaf?”

“Email... seperti... surat elektronik. Surat konfirmasi?” aku bertanya lagi, membuat kebingunganku berubah menjadi rasa frustrasi. Punya masalah apa wanita ini?

“Kami tidak melakukan itu... kita masih bertahun-tahun jauhnya dari fitur mewah itu,” dia melanjutkan. “Tapi seperti Anda tahu, pembayaran yang terlambat bisa menjadi masalah yang serius. Bisa mempengaruhi nilai kredit seseorang saat sejumlah besar tidak dibayar.”

“Oke, oke, tentu,” kataku, mulai benar-benar cemas dan sedikit bingung. “Apa yang bisa kulakukan?”

“Apakah ada Mrs. Henderson di rumah?” dia bertanya pelan.

“Mrs. Henderson meninggal tahun ‘06.”

“Apa Anda bilang? Ya ampun. Itu sangat mengerikan. Aku benar-benar sukses 100%.”

Aku terkesiap. Itu dia. Kalimat itu. Aku tak tahu apakah dari cara dia mengatakannya, atau fakta bahwa tak banyak orang yang menggunakan kata persis seperti itu. Tetapi ketika dia melakukannya... sesuatu meletup di ingatanku.

Istriku bekerja di sebuah perusahaan kartu kredit sebelum kami bertemu. Dia juga bernama Emily. Suaranya seperti dia... tapi lebih muda. Lebih optimis dari yang kuingat.

“Siapa nama belakangmu?” aku bertanya.

Teleponnya diam.

“Dengar, dengar, aku tahu ini pertanyaan aneh. Tapi tolong, menurutku kita saling mengenal.”

“Saya tidak bisa memberikan informasi itu...” dia memulai.

“Baiklah. Apa kau dari SMA Jefferson Memorial?”

“Ya...” dia berkata, heran. “Dari mana kau tahu itu?”

Ini tak mungkin. Emily sudah mati. Namun suara di telepon mirip dengan suaranya. Tapi lebih muda, lebih bahagia, lebih optimistik. Mimpi ini pasti hasil dari barang yang membuatku terjaga dari jutaan malam tanpa tidur di masa lalu. Tapi aku sedang terjaga. Mungkinkah ini kebetulan?

“Apa ibumu bernama Eva?”

Hanya ada kesunyian di ujung lain telepon. Kemudian jawabannya yang seperti tikus meyakinkan kecurigaanku.

“Siapa ini?”

Aku mengambil napas dalam. Antara aku memahami apa yang terjadi, atau aku kehilangan akal sehatku. Mungkin juga aku menikmatinya. “Pertanyaan berikutnya akan terdengar aneh. Tanggal berapa sekarang?”

“Maafkan saya, Pak... apa...? Sebentar.” Dia berhenti dan membalik beberapa kertas lagi. “Hari ini 9 Juli 1999.”

Ini tak mungkin. Apakah ini badainya? Ulang tahun kematian?

“Emily, dengarkan aku.”

“Baiklah, Pak, percakapan ini mulai sedikit aneh... mari kembali ke rencana pembayaran...”

“Dengarkan aku baik-baik... Suatu hari... suatu hari kau akan bertemu seorang pria. Kau akan mencintainya, Emily. Dan dia akan mencintaimu lebih dari yang kau tahu.” Aku harus memberinya sesuatu untk diingat. “Pada liburan kalian yang pertama, dia akan membelikanmu satu hadiah untuk keduabelas hari natal.”

“Kedengarannya hebat,” dia membalas dengan tawa dan desahan. “Apakah Anda seorang cenayang?”

“Aku serius. Kau akan menikahi pria ini, Emily. Dia akan membelikanmu cincin yang selalu kau dambakan. Upacaranya akan diadakan dengan indah di kota kelahiranmu. Seluruh keluargamu akan hadir, termasuk Bibi Zelda dan nenekmu dari Tennessee...”

“Aku suka kukis keberuntungan ini,” dia berkata dengan sedikit sarkasme.

“Tapi dua tahun kemudian, pada 9 Juli 2015, kau akan terbunuh di rumah kalian.”

Dia memindahkan telepon dengan gugup.

“Jadi apa yang harus kulakukan?”

Pertama, aku berusaha memberitahunya untuk menghindari rumah pada hari itu. Untuk jangan pernah berkencan denganku, untuk menjauh selamanya dan menemukan kehidupan yang lebih baik di suatu tempat. Tapi di suatu titik di tengah omelanku, sambungan terputus oleh suara jeritan yang membekukan darah. Aku menelepon balik dan menemukan nomor tidak aktif. Dia tak pernah menjawab lagi.

Aku jatuh tertidur mendengarkan guntur bergulung melewati langit. Jeritan dari malam itu terus berulang sepanjang waktu ketika kelebatan tubuhnya di lantai kadang kala menyerbu pikiranku. Aku tak pernah mempertanyakan telepon itu. Aku tak pernah bertanya mengapa. Mungkin itu Tuhan; mungkin itu hanya waktu. Tapi kemarin pagi, saat aku terbangun...

Emily ada di sisiku.


Comments

  1. Aku gak paham nih. Yg punya blog nya yg dulu sering posting di kaskus yg trit reddit short scary story ya? ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. si aku mengubah masa lalu. istrinya jadi hidup lagi.

      enggak sering sih. tapi emang pernah ngepost beberapa kali di sana. :)

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Cerita Seram Api Unggun

Pengalaman diculik jin

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Catatan Atas Awan

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?