original story by lukkynumber
[ permit ]
“Jadi... berapa harga untuk gadis ini?”
Aku pernah berurusan dengan berandalan seperti ini sebelumnya, tapi aku tak pernah seputus asa ini—bisa didengar dari suaraku.
”Maaf bung, tak bisa.”
“Ayolah, jangan main-main denganku—berapa?”
Kemarahan menyembur dari tenggorokanku, aku tak mau mengambil resiko kehilangan gadis ini. Dia pantas mendapat yang lebih baik dari membusuk menjalani sisa hidupnya.
”Dengar kuberitahu, kami tidak berjualan. Sekarang pulanglah, Pak Tua!”
Alisku mengerut, aku terus memaksa. “Jangan berlagak tak ada harganya; katakan saja berapa, akan kubayar dengan apapun! Berapa. Harga. Untuk. Gadis. Ini??”
”Kau sungguh berpikir dia istimewa ya?”
Aku mengangguk.
”Baiklah, jadi begini, bung: kami, uh, sudah akan bertolak. Dan semua sudah seperti yang semestinya. Jadi terus terang, kukira bayaran terbaikmu adalah pergilah dari dermaga dan cari orang lain. Gadis ini tak akan pergi ke mana pun. Capisce?—mengerti?”
Aku memandang si gadis, makhluk yang sangat belia. Baru akan mekar menjadi wanita muda. Cantik. Aku tahu aku salah jika membawanya pulang bersamaku, itu tak benar. Tapi aku tak bisa melawan apa yang tak bisa kukendalikan.
“Lihat, tak ada ORANG LAIN. Sekarang tolong maukah kau mendengarku, dengarkan alasanku, sebentar saja? Dia sempurna, aku mencintainya, aku peduli padanya. Jadi PERSETAN! Berapa harga untuk gadis ini, kau bajingan?!”
”Tidak, kita sudah selesai. Persetan denganmu juga, selamat melanjutkan hidup, Kek. Dan, oh—hati-hati!”
Dengan mata membeku dan jantung sakit, aku menyaksikan kapal mulai berlayar—evakuasi terakhir untuk karantina pulau-berwabah kami.
“Maafkan aku sayang... aku sudah berusaha, tapi sudah tak ada ruang tersisa,” aku berbisik di tengah tangisan, merangkul cucu perempuanku dengan lenganku.
[ permit ]
“Jadi... berapa harga untuk gadis ini?”
Aku pernah berurusan dengan berandalan seperti ini sebelumnya, tapi aku tak pernah seputus asa ini—bisa didengar dari suaraku.
”Maaf bung, tak bisa.”
“Ayolah, jangan main-main denganku—berapa?”
Kemarahan menyembur dari tenggorokanku, aku tak mau mengambil resiko kehilangan gadis ini. Dia pantas mendapat yang lebih baik dari membusuk menjalani sisa hidupnya.
”Dengar kuberitahu, kami tidak berjualan. Sekarang pulanglah, Pak Tua!”
Alisku mengerut, aku terus memaksa. “Jangan berlagak tak ada harganya; katakan saja berapa, akan kubayar dengan apapun! Berapa. Harga. Untuk. Gadis. Ini??”
”Kau sungguh berpikir dia istimewa ya?”
Aku mengangguk.
”Baiklah, jadi begini, bung: kami, uh, sudah akan bertolak. Dan semua sudah seperti yang semestinya. Jadi terus terang, kukira bayaran terbaikmu adalah pergilah dari dermaga dan cari orang lain. Gadis ini tak akan pergi ke mana pun. Capisce?—mengerti?”
Aku memandang si gadis, makhluk yang sangat belia. Baru akan mekar menjadi wanita muda. Cantik. Aku tahu aku salah jika membawanya pulang bersamaku, itu tak benar. Tapi aku tak bisa melawan apa yang tak bisa kukendalikan.
“Lihat, tak ada ORANG LAIN. Sekarang tolong maukah kau mendengarku, dengarkan alasanku, sebentar saja? Dia sempurna, aku mencintainya, aku peduli padanya. Jadi PERSETAN! Berapa harga untuk gadis ini, kau bajingan?!”
”Tidak, kita sudah selesai. Persetan denganmu juga, selamat melanjutkan hidup, Kek. Dan, oh—hati-hati!”
Dengan mata membeku dan jantung sakit, aku menyaksikan kapal mulai berlayar—evakuasi terakhir untuk karantina pulau-berwabah kami.
“Maafkan aku sayang... aku sudah berusaha, tapi sudah tak ada ruang tersisa,” aku berbisik di tengah tangisan, merangkul cucu perempuanku dengan lenganku.
⨁
Comments
Post a Comment
Tinggalkan komentar