Skip to main content

Sabit Malaikat Kematian tidak digunakan untukmu. Itu untuk melindungimu dari sesuatu di perjalananmu.

original story by TobiasWade

--> visit web: http://tobiaswade.com/
[ permit ]


Tak ada rasa takut yang lebih kuat dari rasa takut pada hal tak dikenal. Tak ada wajah seram yang bisa mengimbangi horor tak berujung yang ada ketika topeng masih belum dibuka.

Itu sebabnya kita manusia, dalam ketidaktahuan yang sama, tercengkeram oleh rasa takut akan kematian. Kita menganggapnya sebagai garis batas—yang paling tak terbayangkan di pantai penumbra tempat para penjelajah tak boleh kembali. Sehingga kita masih setia pada kehidupan yang paling suram dan menderitakan, menghadapi keburukan melampaui kebebasan diri kita.

Tapi kematian tidak untuk ditakuti, karena kematian sangat bisa dipahami. Kita sudah menyaksikannya, menyebabkannya, mengukur dan merekamnya hingga denyut terakhir kedipan neuron yang sekarat. Meski aku terbaring sekarat, rasanya konyol bagiku untuk takut pada kekosongan yang menjanjikan dan sudah pasti datang.

Saat aku hidup aku tak merasakan mati, jadi tak ada alasan untuk takut sekarang. Saat aku mati, aku tak akan merasakan apapun, tetap saja takut tak ada gunanya. Pemikiran itu menenangkanku di saat jantungku sedang tak menentu menghadapi kesimpulan tak terelakan yang sedang kudekati. Ini tak terjadi hingga akhirnya aku terseret tidur dan keraguan akhir yang mengusik menggelembung di otakku:

Bagaimana jika bukan kematian yang sebenarnya kita takuti? Tapi apa yang ada di seberangnya?

Bagaikan masalah, aku menyelinap melampaui pemahaman fana, melangkah menuju dunia sejauh yang ditinggalkan alasan untuk hidup. Aku masih di kamar rumah sakit, tapi hiruk-pikuk para perawat dan suara kedipan mesin kehilangan kejelasannya sementara aku terperosok dalam senja yang turun cepat. Tampaknya semua suara hanyalah gema dari yang sebelumnya; semua penampakan hanya refleksi. Sementara waktu terus berlalu, dunia mulai berkurang kesejatiannya...

Tapi semua penampakan dan suara—semua yang ada—tidak menghilang begitu saja. Semua berubah menjadi sosok di sampingku. Semakin ruangannya menjadi tak nyata, semakin nyata sosok itu, hingga akhirnya keberadaannya tampak begitu tajam sehingga semua yang ada di sampingnya menjadi sama sekali tak nyata.

Jubahnya hitam. Tidak hitam warnanya, tapi keberadannya. Seperti melihat harimau setelah sepanjang hidup hanya melihat gambar harimau kasar seorang anak dan berpikir seperti itulah harimau. Kenyataan mengalir di sabitnya seperti sapuan kuas cat air, dan aku bisa melihat partikel elemen dan waktu terbelah oleh sisi tajamnya.

Pasti ini, pikirku. Inilah kenapa kita diajarkan tanpa kata untuk takut pada kematian. Aku mencengkeram selimut rumah sakit untuk berlindung dari intensitas kehadiran sang malaikat maut, tapi kapas lembutnya sekarang mengalir bagaikan kabut tembus pandang di tanganku. Aku tahu pada saat itu bahwa tak ada yang bisa menyembunyikanku dari sang perenggut jiwa, dialah satu-satunya yang nyata di dunia ini.

Kau terlambat.

Itu bukanlah kalimat. Kepalaku sakit oleh alunan pengetahuan itu dan keterlambatanku terbakar menjadi kewaspadaan, disampaikan bagai hukum fisika yang setegas gravitasi.

Kita tak punya waktu untuk percakapan. Bergegaslah.

Aku merasakan tubuhku tersapu bagaikan debu di tengah angin topan. Sebelum aku tahu yang terjadi, kami sudah di luar rumah sakit, bergerak dengan langkah gila sehingga dunia di sekitarku kabur seperti terowongan yang memusingkan dan kilatan cahaya.

Jika kau beruntung, DIA mungkin sudah bosan menunggumu.

Aku punya terlalu banyak pertanyaan, semua mencari perhatian di garis terdepan otakku tanpa menemukan jalan keluar.

Kau pendiam. Kuhargai itu. Biasanya manusia bertanya terlalu banyak.

“Apa gunanya?” aku bertanya. Suaraku terasa datar dan mati dibandingkan kehadirannya yang luar biasa. “Bagaimana aku bisa memahami sesuatu yang ada di luar pemahaman manusia?”

Kau tak akan bisa. Tapi sudah kodratnya manusia bertanya.

Kami tidak mengurangi kecepatan. Bahkan mungkin, kecepatan kami bertambah. Aku tidak berlari, atau terbang, atau apapun di dunia semacam itu. Itu seperti seluruh dunia bergerak di sekeliling kami sementara kami hanya diam. Kegelapan samar dan aroma lembap kuat membuatku menerka bahwa kami pergi ke bawah tanah, tapi aku tak yakin.

“Satu pertanyaan kalau begitu,” aku bertanya. “Siapa yang di sini selain dirimu?”

Itulah kenapa pertanyaan tak ada artinya. Kematian bukanlah tempat, atau sosok. Tapi semua ini.

Ada lebih banyak lolongan yang mulai bergemuruh di bebatuan sekitarku. Tampaknya kami masih menuju kedalaman Bumi, dan udara kini mulai menghangat dan memadat. Suara terus meningkat seakan dunia sedang menjerit.

“Lalu siapa DIA?”

Aku di sini untuk melindungimu.

Bebatuan terbelah oleh kilatan sabitnya, dan tanah membuka lebih jauh menuju goa besar yang didominasi oleh danau bawah tanah.

“Tapi kukira kau bilang kau adalah semua yang ada di sini.”

Tidak, kubilang Kematian adalah semua ini.

Kami tidak bergerak lagi. Cahaya menyinari sabit dari sumber yang tak terlihat dan mengalir ke danau seperti anak sungai. Begitu di dalam, cahayanya tidak memantul atau menghilang, tapi berputar dan menari seperti minyak yang menyala.

“Kukira kaulah Kematian.”

Kematian bukanlah sosok.

Cahaya padam di dalam air. Permukaannya yang diam mulai bergolak dengan energi yang membingungkan. Butuh waktu lama bagi pikiranku yang tercerai untuk menyadari bahwa akulah energi yang mengalir ke dalam danau. Aku masih merasa terikat dengan tubuhku, tapi sekarang kami ada sebagai cahaya yang mendidihkan air.

Aku tahu aku tak akan mengerti, tapi itu tak menghentikanku dari merasa frustrasi. Jika Kematian adalah semua ini, lalu siapa DIA? Apa yang sedang menungguku? Air menekanku dan aku tak bisa bicara, tapi entah bagaimana aku masih bisa bernapas.

Dia di sini.

Sesuatu ada di dalam air di sekitarku. Tangan-tangan menyambar kakiku dan mulai menarikku turun. Aku bahkan kagum saat sadar aku kembali memiliki tubuh. Rasanya sangat asing bagiku sehingga hampir kukira ini bukanlah tubuhku sendiri. Cahaya menyala dari sabit—dan lagi. Tangan-tangan terlepas, dan lolongan kembali muncul. Sang malaikat sedang melawan sesuatu, meski aku tak bisa tahu pertarungan macam apa selain deraan air yang menggila.

Lolongan Bumi meraih suara terkerasnya, dan jeritan-jeritan itu membuat air di sekitarku bergetar dan mengejang seperti cairan hidup. Apa sang malaikat menyayatnya? Apa aku aman? Aku mulai mengeksplorasi tubuh baruku di dalam air, tapi ketika kupikir aku bisa mulai mengendalikan, tangan-tangan itu mencengkeramku sekali lagi. Aku merosot turun, berjuang sia-sia melawan cengkeraman mereka yang kuat.

“Ada apa di sini?” aku mencoba berteriak ke air yang mencekik. “Apa yang terjadi?”

Tapi aku tak bisa merasakan kehadiran sang malaikat lagi. Panasnya tak tertahankan, tapi dinginnya kedalaman yang dituju tangan-tangan yang menarikku lebih parah lagi. Aku mulai menyadari cahaya menyilaukan yang ada di dasar danau, dan meski aku memberontak, tangan-tangan terus menarikku tanpa ampun.

Maaf. Aku tak sanggup melawannya. Rasanya datang dari tempat yang sangat jauh sekarang. Kita akan coba lagi di kesempatan berikutnya.

Tekanannya—panasnya—keriuhannya—tangan-tangan menarikku ke cahaya yang membutakan. Aku menutup mataku dan menjerit. Aku bebas dari air sekarang, tapi aku terus menjerit. Aku tak tahan menatap-NYA—apapun yang sudah membawaku. Apapun yang bukan Kematian dan tak bisa dikalahkan sang malaikat.

Lalu kata-kata terucap. Nyata, kata-kata manusia dari mulut manusia nyata. Perasaanku begitu kacau sehingga aku tak bisa memahaminya, tapi kukira kata-kata itu sesuatu semacam:

“Selamat! Dia adalah bayi laki-laki yang sehat.”

Kebanyakan orang tak bisa mengingat hari kematian mereka, atau hari kelahiran mereka. Aku bisa mengingat keduanya, dan aku tahu bahwa keduanya sama.


Comments

Terpopuler sepekan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Seram Api Unggun

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Cerita Horor Kaskus

Catatan Atas Awan

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?