Skip to main content

A Shattered Life

by M59Gar
--> visit: MattDymerski.com
[ permit ]

Aku tak tahu apa kau akan membaca ini, tapi aku bisa memberitahumu kapan semua ini bermula: aku sedang berjalan sendirian di hutan saat entitas itu datang padaku. Itu melampaui sebuah kekaburan. Itu adalah, tak ada istilah yang lebih tepat, ketiadaan makna. Saat dia bersembunyi, tak ada pepohonan; saat dia merangkak lebih dekat, tak ada rerumputan; bahkan ketika busurnya mengarah padaku, tak ada hembusan udara. Tak ada udara sama sekali.

Ketika dia mengenaiku, aku merasakan sensasi nyata cakar yang menusukku di suatu tempat yang tak terlihat; suatu tempat yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tangan, kaki, dan badanku tampak baik-baik saja dan aku tak berdarah, tapi entah bagaimana aku tahu bahwa aku terluka. Saat aku bergegas pulang dengan penuh rasa takut, aku bisa merasakan bahwa diriku berkurang. Samar-samar aku kelelahan, dan susah sekali untuk fokus pada waktu itu.

Solusi untuk tahap awal itu sangat mudah: secangkir besar kopi akan membantuku merasa normal lagi.

Untuk sementara, aliran halus pada jiwaku menjadi pasang surut karena kafein di dalam sistem tubuhku. Kau boleh bilang hidupku dimulai pada minggu itu, karena saat itulah aku bertemu Mar. Aku sangat mudah akrab dengannya, dan jujur saja, aku yakin sudah jatuh cinta padanya lewat telepon bahkan sebelum kami bertemu.

Sepertinya emosi kuat pada minggu pertama itu yang membuat makhluk itu melawan—dia masih bersamaku, merekat pada bagian tak kasat mata dari diriku.

Beberapa insiden awal hanya hal-hal kecil, dan aku tak terlalu mengkhawatirkannya. Suatu pagi warna mobil tetangga berubah dari biru gelap menjadi hitam, dan aku memandangnya sebelum kemudian menggelengkan kepala untuk mengusir perubahan itu. Dua hari kemudian, di tempat kerja, nama seorang rekan kerja berubah dari Fred menjadi Dan. Aku bertanya ke sekeliling dengan hati-hati, tapi semua orang bilang bahwa namanya memang selalu Dan. Kukira aku cuma keliru.

Berikutnya, sekonyol kedengarannya, aku sedang kencing di kamar mandiku di rumah ketika tiba-tiba aku menemukan diriku sedang berada di tengah jalanan. Aku masih dengan piyamaku, celana diturunkan, dan buang air kecil—tapi sekarang di depan tatapan selusin orang di halte. Katakutan, aku menarik celanaku dan berlari sebelum seseorang memanggil polisi. Aku berhasil sampai di rumah, tapi pengalaman itu memaksaku untuk mengakui bahwa aku masih dalam bahaya. Makhluk itu melakukan sesuatu padaku, dan aku tak tahu bagaimana caranya melawan.

Mar muncul malam itu, tapi dia punya kuncinya sendiri.

“Hei,” aku menanyainya dengan kebingungan. “Dari mana kau dapat kunci?”

Dia hanya tertawa. “Kau lucu. Kau yakin tak masalah dengan ini?” Dia membuka pintu dan memasuki ruangan yang penuh kardus. “Aku tahu tinggal bersama adalah sebuah langkah besar, terutama saat kita baru bersama selama tiga bulan.”

Tinggal bersama? Aku baru bertemu dengannya minggu lalu. Satu hal, ibuku selalu memanggilku pintar karena suatu alasan. Aku tahu kapan saatnya untuk diam. Alih-alih membuat masalah, aku bilang padanya semua baik-baik saja—kemudian aku pergi ke kamarku dan mulai menginvestigasi.

Barang-barangku seperti halnya kutinggalkan mereka tanpa tanda-tanda tiga bulan telah berlalu, tapi aku menemukan sesuatu yang tidak biasa: kalender. Aku gemetar marah saat mulai menyadari kebenarannya.

Makhluk itu telah memangsa tiga bulan kehidupanku.

Apa yang sedang kuhadapi ini? Makhluk macam apa yang bisa memangsa pecahan jiwa seseorang seperti itu? Aku melewatkan bagian paling menyenangkan dari sebuah hubungan baru, dan aku tak akan pernah mengerti cerita-cerita yang kami bagi dan lelucon internal dari periode itu. Sesuatu yang berharga telah direnggut dariku, dan aku marah.

Kemarahan itu bisa menahan makhluk itu. Aku tak pernah minum alkohol. Aku selalu minum kopi. Aku memeriksa kalender setiap bangun tidur. Selama tiga tahun, aku berhasil melewati hari demi hari tanpa mengamati apapun kecuali perubahan-perubahan kecil. Fakta sosial di sana dan di sini—pekerjaan seseorang, berapa anak yang mereka punyai, hal semacam itu—jalanan lingkungan terdekat, jam tayang acara TV favoritku, hal semacam itu. Sehingga, perubahan itu mengingatkanku bahwa makhluk itu masih menancapkan cakarnya dalam-dalam ke jiwaku. Tak sekalipun selama tiga tahun itu kubiarkan diriku lengah.

Suatu hari, aku lengah. Aku membiarkan diriku terlalu masuk dalam season terakhir acara TV favoritku. Acaranya sangat memikat; cerita yang fantastis. Tepat saat puncak aksi, seorang bocah datang ke sofaku dan mengguncang lenganku.

Terkejut, aku bertanya, “Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk kemari?”

Dia tertawa dan tersenyum cerah. “Ayah konyol!”

Jantungku tenggelam di dadaku. Aku langsung tahu apa yang terjadi. Setelah beberapa pertanyaan terselubung, aku menemukan bahwa usianya dua tahun—dan dia adalah putraku.

Penderitaan mendalam dan perih yang mengisi dadaku nyaris tak tertahankan. Tak hanya melewatkan kelahiran putraku, aku juga tak pernah melihat atau tahu tahun pertama pertumbuhannya. Jelas aku dan Mar sudah menikah dan memulai keluarga di waktu yang kulewatkan, dan aku tak tahu kebahagiaan dan penderitaan apa yang ada di tahun-tahun itu.

Salju sedang turun. Menahan putra dadakanku di pangkuanku, aku duduk dan menyaksikan butiran salju berjatuhan di luar. Akan jadi hidup seperti apa ini jika sedikit hilang konsentrasi harus dibayar dengan tahunan? Aku harus mencari bantuan.

Gereja tak tahu apa yang harus dilakukan. Pendeta tidak percaya padaku, dan bilang padaku aku punya masalah kesehatan bukannya kerasukan.

Dokter tak mendapat petunjuk apa-apa. Tak ada yang muncul dalam semua pemindaian dan tes yang dia lakukan, tapi dia senang menerima uangku sebagai imbalan untuk apa yang tidak perlu dia kerjakan.

Akhirnya aku kehabisan pilihan, aku putuskan untuk memberitahu Mar. Tak ada jalan lain untuk tahu seperti apa semua ini terlihat dari sudut pandangnya. Seperti apa diriku saat aku tak di sana? Apa aku masih mengantar anak-anakku ke sekolah? Apakah aku tetap bekerja? Tentu saja aku bekerja, karena dia terlihat tetap tak menyadarinya, tapi aku masih punya perasaan mengerikan bahwa sesuatu telah hilang di hidupnya saat aku tak benar-benar tinggal di dalam kepalaku sendiri.

Malam harinya aku menyiapkan makan malam yang cantik, dia datang tidak dengan membuka pintu depan, tapi dia mengetuknya. Aku menjawab, dan menemukan dia dalam gaun yang sangat cantik.

Dia bahagia mendapat kejutan di meja makan. “Makan malam mewah untuk kencan kedua? Aku tahu kau begitu baik padaku!”

Terima kasih Tuhan aku tahu kapan saatnya tutup mulut. Jika aku menyebut soal pernikahan dan punya putra, mungkin dia sudah pergi. Alih-alih, aku melepas mantelnya dan duduk untuk kencan kedua kami.

Lewat pertanyaan terukur dan hati-hati, aku berhasil tahu kebenarannya. Ini benar-benar kencan kedua kami. Dia melihat kelegaan dan kebahagiaan pada diriku, tapi mengartikannya sebagai kegugupan kencan. Aku senang karena baru saja menyadari makhluk itu tidak memakan seluruh kehidupanku. Gejalanya, sebagaimana baru mulai kupahami, kurang lebih seperti jiwa yang tercerai berai. Makhluk itu sudah mencederaiku; merusakku menjadi kepingan. Mungkin aku menjalani kehidupanku tidak secara berurutan, tapi paling tidak aku benar-benar menjalaninya.

Dan begitulah semua berlanjut selama beberapa tahun—dari sudut pandangku. Sementara perubahan kecil pada politik atau geografi terjadi setiap hari, perubahan besar pada segi mentalku hanya terjadi selama beberapa bulan. Saat aku menemukan diriku di tempat dan waktu baru, aku hanya diam dan mendengarkan, memastikan untuk memahami kondisi dan situasi sebelum melakukan sesuatu untuk menghindari kesalahan. Pada satu lompatan yang paling besar, aku bertemu dengan cucuku yang berusia 6 tahun, dan aku menanyainya ingin jadi apa dia saat sudah dewasa. Dia menjawab, “Penulis.” Aku bilang itu adalah gagasan yang bagus.

Lalu, aku kembali di bulan kedua hubunganku dengan Mar, dan aku menjalani malam terbaik bersamanya di sebuah tepian sungai. Saat kubilang terbaik, itu benar-benar terbaik. Tahu bagaimana dia akan menjadi begitu istimewa bagiku, aku memintanya untuk tinggal bersama. Aku menjalani apa yang sudah kulewatkan sebelumnya—memutarinya, dan aku mulai memahami bahwa aku tak pernah absen. Aku selalu ada di sana—akhirnya. Saat kami memindahkan kardus-kardusnya ke dalam, dia berhenti sesaat dan bilang dia kagum pada cintaku yang luar biasa, seakan aku sudah mengenalnya sepanjang hidupku dan tak pernah ragu sedikitpun bahwa dialah wanita pilihanku.

Itulah kali pertama aku benar-benar tertawa lepas dan sepenuh hati sejak makhluk itu melukaiku. Dia benar soal cintaku padanya, tapi untuk alasan yang dia anggap sebagai analogi cinta yang konyol. Aku sudah mengenalnya seumur hidupku, dan aku mulai menyesuaikan diri dengan situasi itu dan menemukan kedamaian di dalamnya. Tidak buruk mengintip semua hal baik yang ada di depan.

Tapi tentu saja aku tak akan menuliskannya jika kondisi tidak semakin buruk. Makhluk itu tetap bersamaku. Dia tidak melukai ataupun membunuhku seperti yang kukira. Pemahaman paling dekat yang bisa kupahami adalah bahwa makhluk itu menggali lebih dalam ke jiwaku, menghancurkannya hingga berkeping-keping. Alih-alih perubahan terjadi dalam hitungan bulan, aku mulai mengalaminya dalam hitungan minggu. Begitu aku mengetahui tren itu, aku takut diriku akan berakhir dengan berpindah dalam hitungan detak jantungku, kebingungan selamanya, tersesat selamanya. Setiap waktunya begitu singkat hingga aku tak akan pernah bisa bicara dengan siapapun, tak bisa bertahan dalam sebuah percakapan, tak pernah bisa berekspresi atau menerima cinta.

Bersamaan dengan kedatangan rasa takutku itu, aku duduk dalam versi diriku yang lebih tua dan menyaksikan salju turun di luar. Itulah satu hal yang pasti di hidupku: cuaca tak peduli siapa diriku atau penderitaan apa yang harus kuhadapi. Alam selalu ada. Salju yang turun selalu seperti kait yang menahanku tetap di tempat; kemurnian emosi damainya seperti obat mujarab untuk penyakit jiwaku, dan aku tak pernah berpindah ketika melihat pola jatuh putihnya dan memikirkan masa-masa saat aku naik kereta luncur atau membangun benteng salju semasa kecil.

Seorang remaja menyentuh lenganku. “Kakek?”

“Eh?” dia mengejutkanku, jadi aku sudah lebih lengah dari sebelumnya. “Siapa kau?”

Dia setengah menyeringai, seakan tak yakin apakah aku sedang bercanda. Memberiku setumpuk kertas, dia berkata, “Ini percobaan novel pertamaku. Maukah kau membacanya dan memberitahu pendapatmu?”

Ahh, tentu saja. “Mengejar mimpi menjadi seorang penulis, aku tahu.”

Dia merona merah. “Masih mencoba, omong-omong.”

“Baiklah. Pergilah, akan kubaca sekarang.” Hurufnya kabur, dan, tampak menjengkelkan, aku mencari kaca mata yang mungkin kupunyai untuk membaca. Menjadi tua sangat mengerikan, dan aku ingin berpindah lagi ke masa yang lebih muda—tapi tidak sebelum kubaca buku ini. Aku menemukan kacamataku di saku sweaterku, dan mulai membalik halamannya. Mar mondar-mandir di ruang tengah, tetap cantik, tapi aku harus fokus. Aku tak tahu berapa waktu yang kupunya di sini.

Tampaknya kami sedang ada acara keluarga. Apa ini Natal? Sepasang orang dewasa dan beberapa anak yang tak kukenal berjalan melewati koridor, dan aku melihat putraku, sekarang dewasa, berjalan bersama istrinya di jalan di luar. Berkelompok, keluarga besar mulai naik kereta luncur di luar.

Akhirnya, aku menyelesaikan ceritanya, dan aku memanggil cucuku. Dia berlari menuruni tangga menuju ruang tengah. “Bagaimana?”

“Yah, ini mengerikan,” aku mengatakan yang sebenarnya. “Tapi ini mengerikan untuk alasan yang tepat. Kau masih muda, jadi karaktermu berlaku seperti anak muda, tapi struktur ceritanya sudah sangat solid.” Aku berhenti. “Aku tak menyangka ini akan jadi cerita horor.”

Dia mengangguk. “Ini adalah cerminan waktu. Ekspektasi untuk masa depan suram, tidak penuh harapan seperti seharusnya.”

“Kau terlalu muda untuk tahu hal semacam itu,” kuberitahu dia. Sebuah ide terlintas padaku. “Jika kau ingin menulis horor, apa kau tahu sesuatu soal makhluk misterius?”

“Tentu. Aku membca semua yang kubisa. Aku menyukainya.”

Dengan hati-hati, aku mengamati pintu masuk ruang tengah. Semuanya sibuk di luar. Untuk pertama kalinya di hidupku, aku membuka diri pada seseorang soal apa yang kualami. Aku merendahkan suara, aku memberitahunya soal kesadaranku yang terpotong-potong.

Untuk ukuran remaja, dia menghadapinya dengan baik. “Kau serius?”

“Ya.”

Dia menampilkan tekad seorang pria dewasa yang menerima permintaan. “Aku akan mempelajarinya, mencari tahu apa yang bisa kutemukan. Kau harus mulai menulis apa pun yang kau alami. Buatlah data. Mungkin kita bisa memetakan luka jiwamu.”

Wow. “Itu baru namanya rencana.” Aku terkejut. Itu masuk akal, dan aku tak mengharapkan dia akan merespon dengan serius. “Tapi bagaimana aku bisa menyatukan semua catatannya?”

“Mari cari tempat untuk menyimpannya,” dia berkata, mengerutkan alis sambil berpikir. “Lalu aku akan mengurusnya, dan kita bisa melacak jejak yang kau ambil di hidupmu, lihat jika saja ada semacam pola.”

Untuk pertama kalinya sejak masalah ini semakin parah, aku merasakan harapan kembali. “Bagaimana kalau di bawah tangga? Tak ada orang yang pernah ke sana.”

“Tentu.” Dia berbalik dan meninggalkan ruang tengah.

Aku mengintipnya. Aku mendengarnya sibuk di dekat tangga.

Akhirnya, dia kembali bersama sebuah kotak, meletakkannya di karpet, dan membukanya untuk kemudian menemukan gunungan kertas. Dia berteriak, “Astaga!”—tapi tentu saja, sebagai remaja, dia tidak benar-benar mengucapkan astaga.

Kaget, aku berkedip cepat, memaafkan umpatannya karena terkejut. “Apa aku yang menulis itu semua?”

Dia menatapku dengan penasaran. “Yeah. Atau, kau akan menulisnya. Kau tetap harus menulisnya dan menyimpannya di bawah tangga setelah ini.” Dia kembali menunduk ke kertas-kertas—lalu dia menutup kotaknya. “Jadi kau mungkin jangan melihat tulisan ini. Pasti akan aneh.”

Aku juga mengerti. “Benar.”

Dia menelan ludah. “Sepertinya ada 50 kotak di bawah sana, semua sudah terisi seperti ini. Memecahkannya akan butuh waktu sangat lama.” Nadanya turun menjadi kegentingan. “Tapi aku akan menyelamatkanmu, Kakek. Karena kukira tak ada orang lain yang bisa.”

Air mata turun di pipiku, dan aku tak bisa lain kecuali terisak satu atau dua kali. Aku tidak menyadari betapa kesepiannya diriku di penjara perpindahanku hingga akhirnya ada seseorang yang mengerti. “Terima kasih. Terima kasih banyak.”

Kemudian aku menjadi muda lagi, dan sedang bekerja di suatu Selasa. Begitu kesedihan dan kelegaan hilang, kemarahan dan tekad menggantikannya. Setelah kuselesaikan pekerjaanku, aku mengambil beberapa kertas dan mulai menulis. Ketika perpindahan minggu-minggu terjadi, ketika minggu-minggu itu menjadi hari-hari, dan kemudian jam, aku menulis kapan dan di mana diriku sedang berada. Aku menaruhnya di bawah tangga tanpa urutan; kotak pertamaku adalah yang ketiga belas, dan kotak terakhirku adalah yang pertama. Begitu aku punya lebih dari lima puluh kotak yang ditulis dari perspektifku—dan ketika perpindahanku mulai terjadi dalam hitungan menit—aku tahu ini waktunya cucuku yang menyelesaikan sisanya.

Aku menunduk dan berhenti melihat. Aku sudah tak bisa menahan perpindahan kesadaran lagi. Nama dan tempat dan tanggal dan pekerjaan dan warna dan orang semua keliru dan berbeda.

Aku tak pernah lebih tua. Aku duduk menyaksikan salju turun. Pria paling tidak tiga puluh tahun yang samar-samar kukenali memasuki ruangan. “Ayo, kukira akhirnya aku menemukannya.”

Aku sangat lemah hingga bergerak saja menyakitkan. “Apa kau dia? Apa kau cucuku?”

“Ya.” Dia membawaku ke ruangan berisi peralatan asing dan mendudukkanku di kursi karet menghadap cermin besar dua kali lebih tinggi dari pria dewasa. “Polanya akhirnya menunjukkan diri.”

“Berapa lama kau mengerjakannya?” aku bertanya padanya, tercengang. “Katakan kau tidak kehilangan hidupmu seperti aku!”

Ekspresinya dingin sekaligus tegas. “Ini akan sepadan.” Dia membawa dua batang logam kecil ke lenganku kemudian mengangguk ke cermin. “Dengar. Daya kejut ini sudah diperhitungkan dengan hati-hati.”

Sambaran listrik dari alatnya sangat mengagetkan, tapi tidak menyakitkan. Di cermin, aku melihat siluet cahaya yang bergerak cepat muncul di atas kepala dan bahuku. Listriknya mengaliri makhluk itu seperti ombak, secara singkat menampakkan makhluk mengerikan yang menimpaku. Sesuatu yang seperti mulut lintah raksasa membungkus bagian belakang kepalaku, turun ke alisku dan menyentuh kedua telinga, dan tubuhnya yang seperti siput melilit bahuku dan masuk ke dalam jiwaku.

Itu sebuah parasit.

Dan dia memakan pikiranku.

Cucu-dewasaku menggenggam tanganku saat aku menatap horor itu. Setelah beberapa saat, dia bertanya, “Menyingkirkannya akan sangat sakit. Apa kau sudah siap?”

Ketakutan, aku bertanya, “Apa Mar di sini?”

Wajahnya melunak. “Tidak. Tidak untuk beberapa tahun dari sekarang.”

Aku bisa tahu dari reaksinya dengan apa yang telah terjadi, tapi aku tak ingin itu menjadi nyata. “Bagaimana bisa?”

“Kita sudah berulang kali membicarakannya,” dia menjawab. “Apa kau yakin ingin tahu? Ini tak akan membuatmu merasa lebih baik.”

Air mata meluap di mataku. “Maka aku tak peduli jika ini akan menyakitkan, atau jika aku akan mati. Aku tak ingin tinggal di waktu di mana dia tak hidup.”

Cucuku membuat suara simpatik tanda mengerti kemudian kembali ke mesinnya untuk mengaitkan beberapa kabel, dioda, dan beberapa bagian dari teknologi ke anggota tubuh dan keningku. Saat melakukannya, dia berkata. “Aku sudah bekerja selama dua puluh tahun untuk mencari jawabannya, dan aku sudah mendapat banyak bantuan dari peneliti hal-hal gaib. Parasit ini secara teknis tidak hidup di dimensi kita. Ini salah satu telur dari µ¬ßµ, dan dia memakan jaringan pikiran, jiwa, dan kuantum kesadaran/kenyataan. Saat rincian seperti nama dan warna suatu obyek berubah, kau tidak sedang gila. Jaringan eksistensimu hanya kehilangan helainya saat makhluk ini makan untuk mencari jalan memasukimu.”

Aku tak sepenuhnya mengerti. Aku mengangkat muka dengan bingung saat dia memasang gelang elektronik seperti mahkota di kepalaku di garis yang tepat dengan mulut makhluk itu melingkariku. “Apa itu µ¬ßµ?”

Dia menghentikan pekerjaannya dan berubah pucat. “Aku lupa kau seharusnya tak perlu tahu. Kau beruntung, percayalah.” Setelah bernapas dalam, dia mulai bergerak lagi, dan menempatkan jarinya dekat beberapa tombol. “Siap? Ini akan membuat sistem syarafmu menjadi sangat tidak enak bagi si parasit, tapi sebenarnya ini adalah electro-shock therapy.”

Aku masih bisa melihat senyum Mar. meski dia sudah mati, aku baru bersamanya beberapa saat lalu. “Lakukan.”

Bunyi klik saklar bergema di telingaku, dan aku hampir tertawa pada betapa lembutnya listrik itu. Itu tak terasa seperti apa pun—paling tidak pada awalnya. Lalu, aku melihat cerminnya bergetar, dan tubuhku di citra itu mengejang. Oh. Tidak. Ini sungguh menyakitkan. Tak ada apa pun yang lebih menyakitkan. Rasanya begitu mengerikan hingga pikiranku tak bisa langsung mencernanya.

Ketika pandanganku berguncag dan api membakar setiap syaraf di tubuhku, aku bisa melihat bayangan siluet-cahaya parasit itu menggeliat di kepalaku seakan dia berbagi rasa sakit yang sama denganku. Dia punya cakar—enam cakar di badannya yang mirip kadal di bawah tubuh-lintahnya—dan cakar itu menyayatku dalam usahanya untuk tetap menempel.

Listrik itu membuat ingatanku menyembur.

Senyum Mar adalah yang paling depan, menyala cerah di depan api hangat sementara salju turun di jendela di belakangnya. Batas dari kenangan itu mulai terang, dan aku menyadari bahwa hidupku adalah satu pengalaman yang terus menerus direntangkan—dan hanya kesadaran akan hal itu yang difragmentasikan oleh iblis yang berpesta di punggungku.

Aku tak pernah ada untuk kelahiran putraku. Aku melompat ke waktu sekitar itu berulang kali, tapi tak pernah menjalaninya. Untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangan Mar dan ada di sana untuknya.

Tidak. Tidak! Momen itu telah berubah halus menjadi aku menggenggam tangannya saat dia terbaring di kasur rumah sakit untuk alasan yang sama sekali berbeda. Jangan ini! Tuhan, kenapa? Tanpa belas kasih membuatku mengingat ini. Aku runtuh dalam air mata saat para perawat bergegas memasuki ruangan. Aku tak ingin tahu. Aku tak ingin mengalaminya. Aku sudah melihat semua bagian baik, tapi aku tak ingin bagian buruknya—akhir tak terelakkan yang akan terjadi suatu hari nanti.

Ini tak sepadan. Ini mencemari. Semua sukacita dikembalikan menjadi sepuluh ribu kali lipat penderitaan.

Api di tubuh dan otakku melonjak menjadi siksaan putih, dan aku menjerit.

Jeritanku luntur menjadi teriakan kaget saat mesin dan listrik dan kursi menghilang. Salju sudah tak lagi turun di sekitar hidupku; aku sedang di hutan di siang cerah suatu musim panas.

Oh Tuhan.

Aku berbalik untuk melihat makhluk itu mendekatiku. Itu sama artinya dengan ketiadaan makna; kekosongan realitas yang sama.  Aku merangkak maju, sama seperti sebelumnya—tapi, kali ini, dia mendesis kemudian menjauh. Aku berdiri, tercengang karena menjadi muda lagi dan terbebas dari si parasit. Cucuku akhirnya menyelesaikannya! Dia membuatku jadi makanan yang tak enak, jadi sang predator pikiran dan jiwa telah pergi dan mencari makanan lain.

Aku kembali ke rumah dengan linglung.

Dan saat aku sedang duduk di sana mencerna semua yang terjadi, telepon berdering. Aku memandangnya dengan terpesona sekaligus sedih. Aku tahu siapa itu. Itu adalah Marjorie, menghubungi untuk pertama kalinya untuk alasan sepele yang dia akui tiga puluh tahun kemudian bahwa dia melakukannya hanya karena ingan bicara padaku.

Tapi yang dapat kulihat hanya dirinya yang terbaring sekarat di rumah sakit. Itu akan menjadi akhir dalam rasa sakit yang tak terucap dan kesendirian. Aku akan menjadi seorang pria tua, duduk sendirian di rumah kosong, belahan jiwanya telah lama pergi sebelum dirinya. Dan di akhir semua ini, satu-satunya yang kumiliki adalah: duduk dan menyaksikan salju berjatuhan.

Tapi untuk sekarang, terima kasih untuk cucuku, aku bisa memiliki kenanganku. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang, tak peduli bagaimana akhirnya.

Dalam satu dorongan hati, aku mengangkat telepon. Dengan senyuman, aku bertanya, “Hai, siapa ini?”

Meski aku sudah tahu siapa.


Comments

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Seram Api Unggun

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Cerita Horor Kaskus

Catatan Atas Awan

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?