Skip to main content

Dandelion

by chellperry

Pertama kali melihat Bret, usiaku 19 tahun. Aku mendapat kerja sebagai penjaga di Dave’s Storage Unit. Tugasku adalah mencegah pencuri dan gelandangan mengganggu 40 unit sewa yang berderet rapi dalam 5 bangunan di tengah pusat Atlanta dan membantu pelanggan ketika kehilangan kombinasi kunci mereka. Itu bukan tempat yang aman untuk bekerja shift malam di kota, tapi tampaknya itu pekerjaan yang mudah dan jamnya pas dengan jadwal kuliahku. Aku training dua shift siang, kemudian datang lagi hari Kamis itu jam 22.00 untuk shift sendirianku. Atau begitulah kupikir.

Aku tiba 10 menit lebih awal. Seorang pemuda dengan kaus Fall Out Boy duduk di salah satu meja bermain Solitaire dan seorang gadis dengan rambut pirang panjang menyandarkan kaki di sisi lainnya, topi bisbol diturunkan menutupi wajahnya.

“Hai,” kataku, saat si pemuda mengangkat muka. “Aku Jason. Penjaga baru.”

“Aku Tom,” dia menjawab, dan mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel. “Cukup sepi sejauh ini. Semoga beruntung. Hal gila biasanya muncul saat malam.”

Si gadis melepas topinya dan menatapku. Dia tipe cewek cantik yang akan membuat cowok terhenti. Mata hijau besar, bibir penuh, kulit tanpa cacat... aku sadar tengah menatapnya lalu mengulum sebuah ‘Hai,’ ke arahnya. Matanya melebar dan dia mengedikkan kepala sebagai balasan.

Tom memandangku, alisnya terangkat. “Yeah... jadi, semua kunci ada di laci atas lemari arsip itu, bersamaan dengan master daftar kombinasi kunci. Jangan beri siapa pun akses kecuali mereka menunjukkan dua form tanda pengenal dan kau membuat salinannya. Mereka akan memecatmu jika kau tak mematuhi itu. Dan itu harus nama yang terdaftar di kontrak, bukan pacarnya, atau istrinya. Ada yang nyaris dipecat gara-gara membiarkan seorang istri masuk dan dia pergi dengan koleksi prangko suaminya di tengah-tengah proses cerai.”

“Itu dia sendiri,” si gadis berkata, dan menunjuk pada Tom. Tom mengabaikannya, sudah berjalan ke pintu.

“Sampai ketemu, aku tak akan mau jika jadi kau,” dia berkata. “Shift malam menjengkelkan.”

Si gadis mengacungkan jari tengah dan aku tertawa. Tom memberiku pandangan yang tak bisa kuartikan, namun kemudian dia memberiku lambaian setengah hati dan menutup pintu di belakangnya.

Aku menatap barisan monitor kemudian si gadis. Dia tidak mengalihkan pandangan dariku dan aku merasa canggung dan merona di bawah tatapannya.

“Aku Jason,” aku berkata lagi, dan mendadak merasa seperti orang bodoh.

“Bret,” dia berkata, dan bersandar kembali ke kursinya. “Senang punya seseorang untuk diajak bicara.”

“Bagaimana dengan Tom?” aku bertanya, duduk di kursi yang dia tinggalkan.

Si gadis menggelengkan kepala. “Dia mesin.”

“Jadi... kau shift dua atau tiga? Kukira aku kerja sendirian.”

Dia mengangkat bahu. “Kapan pun mereka membutuhkanku.”

Kukira mereka memanggilnya untuk mengawasi personel baru, dan dia tak mau bilang bahwa dia mengasuhku. Lucu, karena awalnya dia sangat dingin, tapi ternyata dia cerewet dan aku senang mendengarnya. Ketika sudah jam 4 pagi aku merasa seperti sudah lama mengenalnya, hanya dengan satu kali klik atau lebih dengan obrolan yang bisa dilakukan seseorang selama waktu itu. Kami membicarakan segalanya, dari masa kecil hingga politik. Kupikir aku sudah jatuh cinta padanya.

Dia melihatku meregangkan otot dan berkata, “Kau mau keluar? Kita bisa berjalan berkeliling.”

Angin dingin berembus, namun dia tak tampak menyadarinya. Aku tak bisa berhenti mencuri pandang ke arahnya sementara dia berjalan. Celana jins pudar, sepatu lecet, kaus hitam dan jaket army. Mungkin aku punya pakaian yang sama di lemariku, tapi ketika dia kenakan, bahkan yang biasa saja terlihat cantik.

Kami berjalan di deretan gudang pertama dan mulai masuk ke baris dua ketika dia berhenti dan menyentuh dandelion kuning terang yang menyembul melalui retakan trotoar dengan ujung sepatunya. “Mereka bunga kesukaanku.”

Aku tertawa. “Mereka cuma rumput.”

Dia tersenyum. “Mereka bukan rumput. Mereka harapan. Pernahkah kau meniup satu dan membuat permohonan? Dan meskipun mereka kuning—itu warna favoritku. Warna yang membahagiakan, si kecil penuh harapan.”

Itu membuatku ikut tersenyum. Aku tak pernah berpikiran seperti itu. Terlalu banyak gadis yang kukenal tampaknya hanya tertarik pada hal materialis, dan Bret bisa menemukan keindahan bahkan dalam bunga kecil ini. Aku terpikat.

Ketika kami sampai pada deret keempat, dia berhenti. Wajahnya tercubit oleh ekspresi suram saat dia berkata, “Aku tak mau berjalan di barisan ini.”

“Kenapa?” aku bertanya, kaget dengan tatapan di matanya.

“Nomor 27. Membuatku takut.”

Itu adalah pintu ketiga, dan terlihat persis dengan dua yang sebelumnya. Aku tak mengerti, namun aku ingin dia tersenyum lagi. “Kalau begitu kita lewati deretan ini.”

Kami selesai melewati deret terakhir. Mesin penjual minuman berdiri di ujungnya dan aku bertanya apa dia ingin minum. Dia menggeleng saat aku memasukkan koin seperempat dolar ke dalam lubang.

Telepon umum yang tak pernah kusadari keberadaannya berdering nyaring, membuatku melompat. Aku menertawai diri sendiri dan melirik padanya. Ekspresi Bret melenyapkan senyumanku. Dia terlihat ketakutan.

“Jangan diangkat!” dia berseru. “Jangan pernah mengangkatnya!”

Aku ternganga padanya, tak mengerti. “Aku—aku tak—ada apa?”

Dia tak menjawab. Dia mulai berjalan cepat kembali ke kantor. Aku mengejarnya, kembalian dan minuman ringanku ketinggalan.

“Telepon itu berdering setiap pagi jam 04.17,” dia berkata, saat aku membukakan pintu untuknya. “Saat kau menjawabnya hanya ada suara angin, atau semacam desisan. Itu membuatku takut.”

“Mungkin peralatan otomatis. Salah sambung atau semacamnya, tapi itu di set di auto-program.”

Dia melihat padaku dan bertanya, “Kau percaya hantu, Jason?”

“Kau pikir yang menelepon adalah hantu?”

“Jangan bercanda!” bentaknya.

“Maaf,” aku mengangkat tangan tanda menyerah. “Apa aku percaya hantu? Yah, aku belum pernah melihatnya—“ Dia membuat suara mengejek, dan aku bilang, “—tapi aku tak mau mengingkari mereka. Nenekku percaya hantu. Dia bilang dia punya ‘penglihatan’ dan bersumpah bahwa beberapa orang di keluarga kami bisa melihat mereka. Ada yang bisa melihat masa depan juga. Dia sangat pintar, wanita yang logis.”

Sedikit tenang, Bret duduk di meja. “Jadi menurutmu semua orang berubah menjadi hantu saat mereka mati? Atau pindah ke suatu tempat? Kenapa ada yang terjebak di sini?”

Aku mengangkat bahu. “Kepentingan yang belum selesai? Kematian mengenaskan? Entahlah. Menurutmu?”

Dia berhenti sebentar sebelum menjawab. “Mungkin karena kepentingan belum selesai. Mungkin... mungkin karena tak ada hal lainnya.”

Kemudahan dalam percakapan kami sebelumnya lenyap. Dia terlihat gelisah. Tertekan. Tak peduli apa pun yang kubicarakan, dia terlihat teralihkan. Ketika Abe, pria tua di shift pertama muncul untuk membebaskan kami, dia keluar pintu tanpa berpamitan. Aku mengucap selamat pagi buru-buru pada Abe dan berlari mengejarnya.

Aku nyaris kehilangan dia, tapi kemudian aku melihat kepalanya saat dia naik kereta. Sudah lama sejak aku punya kartu pas MARTA, jadi aku harus merogoh tarif $2,5. Dia mengerutkan alis saat aku duduk di sampingnya di kursi belakang, dan aku menyadari mungkin aku terlihat seperti pria penguntit yang mengerikan. Sudah terlambat, aku tak ingin membuatnya marah. Aku sangat suka gadis ini.

“Apa yang kau lakukan?” dia bertanya, dan sudah mau lari, tapi kereta sudah bergerak maju.

“Sepertinya aku membuatmu marah jadi aku minta maaf.”

Dia melihat ke wanita tua yang duduk di deretan sebelah, yang sedang menatap kami. Bret menggelengkan kepala, seakan berkata tak apa-apa, tapi si wanita berdiri dan pindah ke kursi depan.

“Bukan kau,” kata Bret. “Tapi aku tak mau membicarakannya.”

“Kalau begitu kita bicarakan dandelion,” kataku. “Mereka bunga kesukaanku yang baru. Sepertimu, cantik dan ajaib.”

Meskipun garing, dia tertawa, dan percakapan kami kembali mengalir seperti sebelum dering telepon semalam. Hingga perhentian berikutnya paling tidak.

Seorang pria gundul lamban dengan mata seperti manik-manik naik dan mengambil tempat duduk beberapa baris di depan kami. Aku melihat Bret berubah kaku, meski pria itu tak memberi perhatian pada kami. Tatapannya tertuju pada gadis latin yang duduk di tengah, yang sedang memainkan smartphonenya.

Di sisa perjalanan, Bret tak pernah mengalihkan pandang dari sang pria. Padahal sang pria tak terlihat ingin memandangnya, aku tak mengerti apa yang dia takutkan.

“Ini perhentianku,” dia berkata, dan berdiri. Si gadis berambut gelap juga berdiri.

“Bret,” kataku. “Uh, di mana kita? Aku harus kembali ke tempat motorku.”

Dia tertawa, ketegangan menguap dari wajahnya. “Kau cowok gila. Keretanya akan tiba di tempat awal enam perhentian lagi. Sampai ketemu nanti malam.”

Dia melambai dan berjalan maju, mengambil jarak lebar dari si pria. Untuk sesaat, pria itu terlihat akan mengikuti si dua gadis, dan aku bersiap untuk melakukannya juga, agar Bret merasa aman, namun si pria hanya duduk di sana.

Bret sudah di sana saat aku tiba malam harinya. Dia tertawa saat melihat buket kecil dandelion di tanganku. Alis Tom terangkat. Dia membuka mulut, kemudian menutupnya lagi. Dia pergi dengan sangat cepat.

“Kukira orang itu tak menyukaiku,” kataku.

Bret melambaikan tangan tak acuh saat kutaruh dandelion di air. “Dia tidak suka siapa pun. Dan terima kasih untuk bunganya. Mereka cantik.”

Begitu juga kau, batinku, tapi tak punya keberanian untuk mengucapkannya.

Aku tak ingin mengungkit si pria gundul di kereta. Aku tak suka ketegangan itu, tatapan menyeramkan yang Bret perlihatkan pagi tadi. Namun aku terkejut karena malah dia yang mengungkitnya.

“Pria tadi jahat,” dia berkata. “Tolong jangan tanya dari mana aku tahu. Aku takut dia berniat mencelakai gadis itu dan aku tak tahu cara menghentikannya.”

Perutku terasa jatuh. “Bret... apa dia menyakitimu? Kita harus menghubungi polisi.”

Dia ragu-ragu untuk waktu lama seakan ingin setuju, tetapi dia berkata, “Tidak. Entahlah. Aku tak bisa mengingat, dan aku takut mengingat-ingat. Teleponnya membuatku teringat sesuatu tapi aku menyingkirkannya. Lagipula, sekarang ini bukan soal diriku. Ini soal gadis itu.” Dia mengambil napas dalam. “Kita bicarakan nanti. Aku tak mau memikirkannya sekarang.”

“Aku mencari tahu soal dandelion di sela-sela kelas tadi,” kataku. “Orang di tahun 1800-an biasa meniupnya setelah berbenih. Jika semua benihnya tertiup berarti orang yang kau sayangi punya perasaan yang sama denganmu.” Aku menggelengkan kepala dan memberinya tatapan tajam. “Mungkin kau belum menyadarinya, tapi kupikir kau jatuh cinta padaku.”

Dia tertawa, panjang dan keras dan aku nyengir, senang melihatnya ceria lagi. Kemudian dia berubah sedih. “Kuharap aku bertemu denganmu sejak dulu, Jason.”

“Memangnya kenapa kalau sekarang?” aku bertanya, dengan keberanian yang bukan milikku. “Kau belum menikah, kan?”

Dia menggelengkan kepala. “Belum, tapi aku tak seperti yang kau pikirkan. Ada banyak hal buruk, Jason. Aku tak ingin menjelaskannya, karena aku sangat menyukaimu.”

“Kau seorang gadis cantik dengan selera bunga yang aneh. Pikirkan berapa banyak uang yang kuhemat saat Hari Valentine jika kau jadi pacarku.”

Dia tertawa lagi. “Teruslah bicara padaku. Aku sudah jarang bicara dengan orang sekarang, dan kau sangat lucu. Ceritakan soal motornya. Aku senang kau berhasil kembali.”

“Sebenarnya aku tak kembali pagi tadi,” aku mengakui sambil tertawa. “Aku turun dari kereta dan naik Uber ke tempatku, lalu nebeng ke kampus. Kembali naik kereta saat berangkat kerja tadi. Aku berharap bisa bertemu denganmu.” Aku melihat pria menyeramkan itu, tapi aku tak memberitahunya. “Ayo keluar, kutunjukkan padamu.”

Dia berjalan memutari motor itu, menelusurkan jemarinya pada cat biru yang berkilau. “Cantik,” dia berkata, “tapi aku tak menyukai hal semacam ini. Mereka akan membuatmu terbunuh.”

“Aku berharap bisa mengajakmu berkeliling kapan-kapan.”

Dia memberi lirikan yang terlihat seperti berkata ‘tidak’, namun berkata, “Kita lihat nanti.”

Semua baik-baik saja hingga telepon mulai berdering jam 04.17. Aku melihat wajahnya berubah dengan ekspresi takut yang sama dan bertanya-tanya apa yang pernah menimpanya, dan apakah berhubungan dengan pria menakutkan itu.

Sekitar waktu datangnya penjaga shift siang, dia menyinggung si pria di kereta. “Aku tak tahu bagaimana, tapi aku punya firasat dia akan melakukan sesuatu pada gadis itu. Aku tak suka meminta, karena kau harus tidur dan ke kampus, tapi... maukah kau naik kereta bersamaku lagi?”

“Tentu saja,” kataku.

Abe muncul jam 6 tepat. “Selamat pagi, sayang!” dia berkata, menjatuhkan ranselnya ke kursi.

“Selamat pagi, Abe,” kata Bret. Padaku, dia berkata, “Aku suka pria tua itu.”

Aku mengobrol dengannya sebentar. Bret bergerak ke pintu dan aku berpamitan pada Abe, ingin menyusul, saat dia memanggil, “Hei!”

Wajah tuanya memucat saat aku berpaling. Dia menunjuk dengan jemari gemetar pada cangkir gabus yang terisi dandelion. “Dari mana ini?”

Pandangan matanya membuatku takut. Aku tak yakin apa yang sedang terjadi.

“A—aku mengambilnya untuk Bret.”

Wajah si pria tua mengendur dengan syok. “Kau kenal Bret? Kau pernah bertemu dengannya?”

“Ap—“ aku berputar untuk melihat Bret. Dia mengulurkan tangan dengan memohon. Air mata menuruni wajahnya. Untuk pertama kalinya, aku sadar dia mengenakan baju yang sama dengan kemarin.

“Maaf, Jason. Aku tak—aku tak tahu apa yang harus dikatakan. Jason?”Abe bertanya, lebih keras. “Aku tanya, apa kau pernah bertemu Bret?”

Aku tak bisa melepaskan pandangan dari Bret.

“Rupanya nenekmu bukan satu-satunya yang punya kelebihan,” kata Bret, berjalan melewati pintu. Saat kubilang, melewati pintu, maksudku dia lewat menembusnya. Sebuah logam padat, pintu yang tertutup. Aku tak bisa bergerak, tak bisa bicara.

Akhirnya aku setengah terjatuh dari kursi. Aku mendengar Abe berbicara, tapi rasanya dia seperti bicara dari terowongan. Rasanya seperti selamanya sebelum aku bisa fokus padanya.

Tak ada yang bisa kulakukan agar aku tak terdengar gila, jadi aku tak keberatan menerima kenyataan yang ada. “Apa kau tak melihatnya, baru saja, saat masuk kemari?”

Dia menggelengkan kepala, matanya yang basah melebar.

Aku bercerita padanya soal kami yang bekerja bersama, soal beberapa hal yang dia ceritakan. Bahkan soal dering telepon aneh. Saat aku selesai dia hanya menatapku.

“Sejujurnya, aku tak tahu harus percaya padamu atau menghubungi polisi,” katanya.

Aku mengangguk. Pernyataan yang masuk akal. Aku tak tahu apa yang akan kupikirkan jika jadi dia. “Dia bilang kau dulunya polisi, sebelum istrimu sakit.” Ake menatapnya. “Dia bilang kau adalah alasan dia suka dandelion. Kau bilang padanya betapa istrimu mencintai bunga itu, dan bagaimana kau menghias kamarnya di rumah sakit dengan bunga itu saat dia meninggal. Bret bilang itu adalah hal paling romantis yang pernah dia dengar.”

Abe duduk dengan berat di kursi. “Aku yang bercerita padanya. Bisakah kau deskripsikan dia untukku?”

Aku menurutinya, hingga ke sepatunya yang lecet-lecet, dan Abe mengangguk. Kemudian dia meraih laci dan mengeluarkan selembar gambar. Itu adalah Bret, tentu saja, tapi dalam poster ORANG HILANG. Pakaian yang dideskripsikan sebagai yang terakhir terlihat dia kenakan adalah yang kulihat dia kenakan.

“Dia hilang saat bekerja di shiftnya di sini, enam bulan lalu. Aku datang dan tempat ini terbuka lebar. Ada banyak darah di telepon umum itu. Polisi tak pernah mendapat petunjuk.”

Aku menunjuk ke jajaran monitor. Salah satunya menunjukkan mesin penjual minuman dan telepon umum. “Bagaimana dengan kamera pengawas?”

“Dipasang setelah kejadian. Karena dia. Sedikit terlambat.” Dia mencondongkan tubuh ke depan, memberiku pandangan keras. “Aku menyayangi gadis itu. Dia seperti anakku sendiri. Aku membawakan dia dandelion. Aku tak percaya hantu, tapi aku melihat wajahmu pagi ini. Aku percaya bahwa kau melihatnya, atau kau memang gila dan merasa melihatnya. Tapi jika begitu aku tak tahu dari mana kau bisa tahu beberapa hal itu. Aku dan Bret bekerja bersama, sebelum kami kekurangan personel dan dia pindah ke shift malam. Kukira dia sudah bercerita padamu, dan aku menceritakan soal dandelion sebelum dia menghilang. Kau bisa saja orang gila yang menculiknya, tapi kupikir tak mungkin. Aku tak mengerti kenapa dia mau bercerita semacam itu pada orang yang mau menyakitinya. Jika kau melihatnya lagi, tanyakan berapa biaya mencari pengantin online.”

“Apa?” aku merasa seperti jatuh ke lubang kelinci lagi. Tak ada yang masuk akal. Aku bertanya-tanya apa mungkin sedang bermimpi.

“Lakukan saja,” kata Abe. “Sekarang pulanglah. Kau terlihat kacau.”

Baru ketika aku berjalan ke parkiran aku ingat janjiku untuk naik kereta bersamanya. Aku memikirkan Bret dan gadis latin itu. Bahkan aku tak masuk kuliah dan berbaring di kasur memikirkan mereka seharian.

Saat aku berangkat kerja malam itu, Tom adalah satu-satunya yang di sana. Meski aku masih merasa terguncang dan takut, aku berharap Bret akan duduk di sana. Rupanya Abe tak memberi tahu Tom apa-apa, karena dia memperlakukanku dengan tak acuh seperti biasanya. Rasanya aneh mengingat dia dan Bret tak pernah bicara dan berinteraksi sama sekali. Dan aku sama sekali tak menyadarinya.

Jam 4 pagi aku merasa mulai sedikit gila, jadi aku melompat dan berjalan mengelilingi bangunan gudang. Aku berbelok di sudut terakhir dan berjalan menembus Bret.

Aku menjerit seperti gadis kecil. Dia terkikik dan mendekap mulutnya. “Maafkan aku, Jason—“

“Apa kau nyata?” tuntutku. “Apa aku gila?”

“Kukira aku nyata,” dia menjawab. “Dulu paling tidak. Aku tahu kedengarannya seperti bohong, tapi aku tak banyak mengingat.” Dia mengangguk ke arah telepon umum. “Aku teringat telepon itu berdering. Kupikir dia menggunakannya untuk membuatku lengah. Aku menjawabnya dan dia memukulku dengan sesuatu. Kupikir—“ Dia mencubit batang hidungnya. “Kupikir dia akan membunuh gadis di kereta itu. Mungkin aku harus menolongnya.”

Tiba-tiba dia mengayunkan tunju ke lenganku dan menembusnya. Aku ternganga kaget.

“Hentikan itu!”

Melupakan segalanya, dia tertawa. “Cuma ingin memastikan. Aku tak tahu bagaimana caraku menghentikannya jika dia tak bisa melihatku dan aku tak bisa menyentuhnya.” Dia mengedipkan mata. “Sisi baiknya, kuduga kau terlihat seperti orang gila di kamera pengawas sekarang.”

Aku merengut padanya, lalu sesuatu terpikir olehku. Aku memeriksa ponselku. Jam 4.20. “Hei, teleponnya tak berdering.”

Dia menatapnya dengan takut. “Apa artinya itu? Kita di jalur yang benar, atau kita kehabisan waktu?”

Aku tak punya jawaban.

Pagi berikutnya saat Abe masuk, dia memberiku pandangan waspada dan berkata, “Apa dia di sini sekarang?”

Aku mengangguk dan menunjuk ke kursi dan diduduki Bret. “Bret, berapa biaya mencari pengantin online?”

Bret tertawa. “Katakan padanya, ‘tanya saja Ernie.’”

Aku memberitahu Abe dan mata hitamnya berair.

“Bret, apa yang terjadi padamu?” dia bertanya.

“Dia tak bisa ingat tapi kami sedang berusaha mencari tahu,” aku berkata.

“Katakan padanya Maggie masih mengunjunginya. Aku pernah melihatnya di dekatnya. Dia punya gadis kecil yang dia panggil Bumblebee bersamanya,” tambah Bret.

Aku sampaikan pada Abe dan tangisannya pecah. Ketika dia akhirnya bicara, suaranya tercekat. “Tak ada orang hidup yang tahu itu. Bumblebee adalah putri kami. Dia meninggal pada 1974. Aku tak pernah membicarakannya lagi sejak saat itu.”

“Jason, keretanya,” kata Bret, dan aku bilang pada Abe kami harus pergi.

“Semoga berhasil, Nak,” dia berkata.

Saat kami naik ke kereta, gadis itu sudah di sana. Si pria gundul naik dari pemberhentian yang sama dengan sebelumnya. Sekali lagi perhatiannya tertuju pada si gadis, dan sekali lagi perhatian si gadis tertuju pada ponselnya.

Aku tak punya senjata dan pria ini dua kali lipat lebih besar dariku, tapi saat kupikirkan dia menyakiti Bret, atau gadis asing ini, kupikir aku bisa mengalahkannya dengan adrenalin murni. Lagipula kami akan segera tahu sekarang, karena kali ini, saat si gadis berdiri, si pria juga berdiri.

Itu masih pagi, jadi belum banyak orang di luar. Kami mengikuti mereka, berusaha agar tak terlihat.

Si gadis berhenti di luar pintu depan sebuah toko dan merogoh dompetnya mencari kunci. Itulah pengalih perhatian yang ditunggu si pria. Dia menyerang si gadis seperti banteng.

Mengerikan melihat bagaimana dia menangkapnya dan menyeretnya masuk gang. Aku berlari membabi-buta masuk gang di belakangnya. Dia sudah menjepit si gadis di dinding, tangan gemuknya di leher si gadis.

“Hei!” aku berteriak. “Hei! Lepaskan dia!”

Si gadis masih memegang kuncinya di tangan. Saat si penyerang kaget melihatku, si gadis mengayunkan tangannya mengenai kepala si pria dengan gerakan ganas. Dia melenceng dari mata si penyerang, tapi kunci itu menusuk pipinya. Si gadis merenggutnya keras, membuat wajah si pria robek.

Dengan lenguhan marah, si pria menjatuhkannya dan memegang pipinya yang hancur. Darah terciprat di antara jemarinya dan dia berlari ke arahku. Aku membuat terjangan putus asa pada kakinya, tapi dia melewatiku—lurus menuju truk Meko’s Milk yang melaju.

Aku akan mendengar bunyi benturan itu di kepalaku seumur hidup. Suara gedebuk, retak, dan gilasan. Tapi aku senang. Dia tak akan menyakiti gadis lagi.

Bret menghilang. Aku sangat merindukannya dan berharap setiap hari bahwa dia akan kembali muncul. Aku menyadari itu hal yang egois kemudian aku cuma berharap agar dia beristirahat dengan damai. Tak ada makam untuk didatangi, jadi kadang aku mengumpulkan sedikit buket dandelion dan menaruhnya di kantor, atau di apartemenku. Hal kecil yang membahagiakan dan penuh harapan...

Empat bulan setelah insiden dengan Edward Culpepper (itu namanya—aku mengikuti beritanya dengan giat di surat kabar), aku mendapat sedikit lembur, membantu Abe mengurusi barang konsumen nakal.

“Kelihatannya kita akan membersihkan unit #27 dan #38,” dia berkata. “Tidak membayar biaya sewa.” Dia melempar salinan kontrak di meja depanku dan aku membeku. Wajah Edward Culpepper menatapku dari fotokopi SIM-nya. Penyewa unit #27.

Abe melihat wajahku dan bertanya, “Jason? Kau baik-baik saja?”

“Itu dia,” kataku. “Itu pria yang membunuh Bret.”

Aku tak tahu kenapa aku tak pernah memikirkannya. Rasa takutnya pada unit itu. Sekarang masuk akal. Aku memberitahu Abe dan pria tua itu bergerak lebih cepat dariku saat kami mengambil kombinasi untuk kuncinya.

Butuh waktu lama, karena unit itu terisi dengan perabot lama dan berkardus-kardus sampah, tapi di belakang, kami menemukan drum logam. Di lantai di sampingnya adalah jaket army Bret.

Abe mencengkeram lenganku. “Kita tak akan membukanya. Kita hubungi polisi sekarang, kau mengerti?”

Aku membiarkan dia menarikku keluar, karena aku juga tak ingin melihat Bret seperti itu.

Jasad Bret akhirnya diistirahatkan. Atas izin ibunya Bret (dan juga penjaga makam agar tak mencabutnya), aku dan Abe melakukan pekerjaan kebun di makamnya pada musim semi. Dandelion kuning sekarang menyelimutinya, terlihat cantik dan cerah seperti gadis yang mereka abadikan. Kupikir Bret akan senang.

Lima atau enam tahun berlalu. Aku lulus kuliah, mendapat pekerjaan sungguhan, jatuh cinta dan putus beberapa kali, tapi aku tak pernah benar-benar berhenti melupakannya. Setiap kali aku melihat dandelion putih, aku mengambilnya dan membuat permohonan. Saat sedang dekat, aku mengunjungi makamnya dan memastikan dia masih punya hal kecil yang menceriakan.

Suatu hari, aku mengendarai motorku di dekat Nashville, menikmati hari cerah musim panas. Kupikir si sopir Camaro tidak melihatku saat dia banting stir berganti jalur untuk menyalip truk kontainer.

Aku terbang ke udara dan jatuh, menghantam tanah dengan gemuruh yang meremukkan tulang. Aku terbaring di sana, sadar akan suara dan cahaya, tapi tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan hal lain juga, kecuali panas cahaya matahari di wajahku.

Aku kebingungan, tapi kupikir aku di jalur hijau. Terbaring di rerumputan, tentu saja, karena ada dandelion putih dan bulat beberapa inchi dari hidungku. Kegelapan menyusup dari sudut pandanganku. Aku tak bisa meniupnya, tapi aku tetap membuat permohonan, kemudian pingsan.

Saat tersadar, aku masih tak bisa bergerak, tapi aku merasakan sesuatu. Terutama, aku merasakan seseorang hadir di sampingku. Aku menengadah untuk melihat Bret mendorongku dengan ujung sepatunya.

“Kau akan berbaring di sana seharian?” dia bertanya, lalu mengulurkan tangan.

Dengan terkejut, tanganku terbuka untuk meraih tangannya dan tidak tembus. Dia terasa padat. Nyata. Aku bertanya-tanya mungkin aku sedang di rumah sakit dan ini adalah efek obat bius. Tetapi cahaya matahari terasa cukup nyata. Aku bahkan membaui karet gosong. Aku membiarkan dia menarikku, dan aku berdiri di sana untuk beberapa saat, goyah. Aku melihat motorku beberapa meter jauhnya, remuk.

“Ugh,” kataku. “Mungkin sebaiknya aku tak bergerak dulu sebelum paramedis datang.”

Dia mengernyit. “Yah, soal itu...” Dia menunjuk ke tanah di sampingku.

Rasanya tak nyata melihat tubuhku yang rusak terbaring di sana, menatap kosong ke langit.

“Oh,” kataku. “Aduh.”

Bret menggelengkan kepala. “Sudah kubilang benda itu akan membunuhmu.”

“Jadi... sekarang apa?” aku bertanya. “Apa akan ada cahaya terang yang akan kita lewati atau apa?”

“Kau santai sekali. Itu yang kusuka darimu.” Dia mengangkat bahu. “Jika ada sesuatu yang harus kita lewati, aku belum menemukannya. Mungkin hanya ada kita.”

“Mungkin ini keinginanku,” kataku, dan dia mengangkat alis.

“Aku membuat permohonan sebelum pingsan—atau mati, terserah.”

Dia mengerutkan alisnya. “Oh, ya? Itukah sebabnya aku di sini? Apa permohonannya?”

“Hanya satu permohonan untuk seribu kalinya. Kau parah sekali membalas pesan gaibmu.” Aku menggenggam tangannya dan membuatnya menghadap padaku. “Maaf. Aku masih harus belajar untuk ngegombal.”

Dia melambaikan tangan tak acuh. “Amatir. Tapi katakan, apa permohonanmu?”

“Yang selalu kuminta adalah—bahwa aku akan melihatmu suatu hari nanti, dan melakukan ini,” kataku, kemudian menciumnya.

Aku tak yakin berapa lama kami berdiri seperti itu, berciuman dan saling berpegangan tangan sementara sirine menjerit dan lalu lintas mendesing di sisi lain jalur hijau.

Akhirnya kami mulai berjalan. Aku tak tahu ke mana kami menuju. Tak peduli. Yang kutahu adalah aku bersamanya.

“Jadi,” kataku. “Siapa itu Ernie dan ada apa dengan biaya jadi pengantin online?”

Sebelum dia memberitahuku, kejang parah menghimpit tubuhku dan aku merasa diriku ditarik mundur. Bret mengerutkan alis, mata hijaunya mendadak sedih.

“Ini belum waktumu,” dia berkata. “Berhenti melawannya.”

Aku tak mau pergi. Aku ingin tetap bersamanya.

Tetapi tarikannya menjadi hisapan hingga aku tak punya pilihan selain terbanting ke belakang.

Aku berkedip dan melihat seorang petugas ambulans berdiri di sampingku.

“Sudah sadar kau,” dia berkata saat mengangkat tandu yang entah sejak kapan kutempati.

Mereka menaikkanku ke helikopter. Aku melihat Bret berdiri di samping bahunya. Sebatang dandelion di tangannya.

“Tak apa-apa, Jason,” dia berkata. “Beberapa hal pantas untuk dinanti.”

Kemudian dia meniup dandelion itu, membuat permohonan.


Comments

Post Populer

Cerita Horor Kaskus

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Catatan Atas Awan

Menunggu rumah kosong

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]

Kisah Uwa Jenta

Gang soang