Skip to main content

Muséum National d’Histoire Naturelle

Diterjemahkan dari salah satu bab novel All the Light We Cannot See karya Anthony Doerr


MARIE-Laure LeBlanc adalah anak jangkung dan berbintik usia enam tahun di Paris dengan penglihatan yang memburuk cepat ketika ayahnya mengirimnya ikut tur anak-anak di museum tempatnya bekerja. Pemandunya adalah penjaga tua berpunggung bungkuk yang nyaris tak lebih tinggi dari anak-anak itu sendiri. Dia mengetukkan ujung tongkat berjalannya ke lantai untuk mendapat perhatian, kemudian memimpin selusin kewajibannya menyeberangi kebun menuju galeri.

Anak-anak menonton para insinyur menggunakan katrol untuk mengangkat tulang paha dinosaurus yang telah memfosil. Mereka melihat boneka jerapah di dalam sebuah lemari, kulit belang menghiasi punggungnya. Mereka mengintip ke dalam laci taxidermist yang penuh dengan bulu dan kuku dan bola mata kaca; mereka membalik-balik halaman herbarium berusia dua ratus tahun yang berhiaskan anggrek dan aster dan rempah-rempah.

Akhirnya mereka mendaki enam belas anak tangga menuju Galeri Mineralogi. Sang pemandu memperlihatkan pada mereka batu akik dari Brasil dan batu kecubung ungu dan sebuah meteorit dalam sebuah tumpuan yang dia klaim setua tata surya. Kemudian dia memimpin mereka menuruni tangga berputar selebar satu orang dan melewati beberapa koridor lalu berhenti di luar sebuah pintu besi dengan satu lubang kunci. “Akhir dari tur,” dia berkata.

Seorang gadis berkata, “Tapi apa yang ada di sana?”

“Di balik pintu ini adalah pintu lain yang terkunci, sedikit lebih kecil.”

“Dan ada apa di baliknya?”

“Pintu terkunci ketiga, juga lebih kecil.”

“Ada apa di baliknya?”

“Pintu keempat, dan kelima, dan terus sampai kau tiba di pintu ketiga belas, pintu kecil yang terkunci tak lebih besar dari sepatu.”

Anak-anak mencondongkan tubuh ke depan. “Setelah itu?”

“Di balik pintu ketiga belas”—sang pemandu melambaikan salah satu tangan keriputnya—“adalah Mustika Api.”

Bingung. Gelisah.

“Ayolah. Kalian tak pernah dengar Mustika Api?”

Anak-anak menggelengkan kepala mereka. Marie-Laure mengerling ke atas pada bohlam-bohlam telanjang yang tergantung setiap tiga meter di langit-langit; setiap lampu memancarkan halo sewarna pelangi yang berputar di penglihatannya.

Sang pemandu menggantung tongkatnya pada pergelangan tangan dan menggosokkan kedua telapak tangannya. “Ini kisah yang panjang. Kalian mau dengar sebuah kisah panjang?”

Mereka mengangguk.

Sang pemandu membersihkan tenggorokannya. “Berabad yang lalu, di sebuah tempat yang sekarang bernama Kalimantan, seorang pangeran mengambil sebuah batu biru dari sebuah sungai yang mengering karena dia pikir itu cantik. Tetapi dalam perjalanan pulang ke istananya, sang pangeran diserang oleh seorang pria berkuda dan tertikam pada jantungnya.”

“Tertikam jantungnya?”

“Apa ini kisah nyata?”

Seorang anak laki-laki berkata, “Hush.”

“Si pencuri mengambil cincinnya, kudanya, semuanya. Tetapi karena batu biru kecil itu tergenggam di tangan sang pangeran, si pencuri tidak melihatnya. Dan sang pangeran yang sekarat berhasil merangkak pulang. Kemudian dia tak sadarkan diri selama sepuluh hari. Pada hari kesepuluh, membuat perawatnya terkejut, dia bangkit, membuka tangannya, dan di sanalah batu itu.

“Dokter sang sultan berkata itu adalah sebuah mukjizat, bahwa sang pangeran seharusnya tak selamat oleh luka separah itu. Sang perawat bilang batu itu pasti punya kekuatan menyembuhkan. Ahli perhiasan sang sultan mengatakan hal yang berbeda: dia bilang batu itu adalah berlian mentah terbesar yang pernah dilihat siapa pun. Pemahat batu mereka yang paling berbakat membutuhkan delapan puluh hari untuk memotongnya, dan ketika dia selesai, batu itu biru cemerlang, sebiru lautan tropis, namun dengan sentuhan merah pada pusatnya, seperti nyala api di tengah setetes air. Sang sultan menyematkan berlian itu pada sebuah mahkota untuk sang pangeran, konon agar ketika sang pangeran muda duduk di singgasananya dan matahari menerpanya, dia akan menjadi begitu menyilaukan hingga para tamu tak dapat membedakan sosoknya dan sang cahaya itu sendiri.”

“Dan kau yakin ini kisah nyata?” tanya seorang gadis.

“Hush,” kata si anak laki-laki.

“Batu itu kemudian dikenal dengan nama Mustika Api. Beberapa percaya sang pangeran adalah dewa, bahwa selama dia memiliki batu itu, dia tak akan bisa terbunuh. Tetapi hal ganjil mulai terjadi: semakin lama sang pangeran mengenakan mahkotanya, semakin buruk peruntungannya. Dalam satu bulan, dia kehilangan seorang saudara karena tenggalam dan satu saudara lagi karena gigitan ular. Dalam enam bulan, ayahnya meninggal karena sakit. Untuk membuatnya semakin parah, mata-mata kerajaan melaporkan bahwa ada pasukan besar yang sedang berkumpul di timur.

“Sang pangeran memanggil semua penasihat ayahnya. Semua berkata bahwa dia harus bersiap untuk perang, semua kecuali satu, seorang pendeta, yang berkata telah mendapat mimpi. Dalam mimpinya sang Dewi Bumi mengatakan bahwa dia membuat Mustika Api sebagai hadiah untuk kekasihya, sang Dewa Laut, dan mengirim perhiasan itu padanya melewati sungai. Tetapi saat sungai mengering, dan sang pangeran mengambilnya, sang dewi pun murka. Dia mengutuk batu itu dan siapa pun yang menyimpannya.”

Semua anak mencondongkan tubuh ke depan, Marie-Laure mengikuti mereka.

“Begini kutukan itu: sang pemilik batu akan hidup abadi, namun selama dia memilikinya, kemalangan akan menimpa semua yang dia kasihi satu per satu bagai hujan yang tak reda.”

“Hidup abadi?”

“Tetapi jika sang pemilik melemparkan berlian itu ke dalam lautan, dan dengan demikian mengantarkannya pada pemilik yang sah, sang dewi akan mengangkat kutukan itu. Jadi sang pangeran, yang sekarang menjadi sultan, memikirkannya selama tiga hari tiga malam dan akhirnya membuat keputusan bahwa dia akan menyimpan batu itu. Batu itu telah menyelamatkan hidupnya; dia percaya batu itu membuatnya tak terkalahkan. Dia memotong lidah di mulut sang pendeta.”

“Aw,” kata anak laki-laki yang paling muda.

“Kesalahan besar,” kata si gadis yang paling jangkung.

“Para penyerang datang,” lanjut sang penjaga, “dan menghancurkan istana, dan membunuh siapa saja yang mereka temukan, dan sang pangeran tak pernah terlihat lagi, dan selama dua ratus tahun tak ada yang mendengar lagi tentang Mustika Api. Beberapa berkata batu itu sudah dipotong lagi menjadi banyak bagian kecil; yang lain berkata sang pangeran masih membawa batu itu, bahwa dia di Jepang atau jika tidak di Persia, bahwa dia menjadi seorang petani sederhana, bahwa dia tak pernah terlihat menua.

“Maka begitulah batu itu hilang dari sejarah. Hingga suatu hari, ketika seorang saudagar berlian asal Perancis, dalam sebuah perjalanan menuju Tambang Golconda di India, diperlihatkan sebuah berlian besar berpotongan pir. Seratus tiga puluh tiga karat. Kejernihan yang nyaris sempurna. Sebesar telur merpati, dia menulis, dan sebiru lautan, namun dengan nyala merah di tengahnya. Dia membuatkan cetakan untuk berlian itu dan mengirimnya ke seorang duke penggila berlian di Lorraine, memperingatkan akan rumor kutukan. Tetapi sang duke sangat menginginkan berlian itu. Jadi sang saudagar membawanya ke Eropa, dan sang duke menyematkannya pada pucuk sebuah tongkat berjalan dan membawanya ke mana pun.”

“Uh-oh.”

“Dalam sebulan, sang duchess terkena sebuah penyakit tenggorokan. Dua pelayan kesukaan mereka jatuh dari atap dan mematahkan leher mereka. Kemudian satu-satunya putra sang duke tewas karena kecelakaan motor. Semua orang bilang sang duke sendiri tak pernah lebih baik, dia menjadi takut untuk keluar rumah, takut menerima tamu. Akhirnya dia yakin bahwa batu itu adalah Mustika Api yang terkena kutukan dan dia meminta sang raja untuk menyimpannya di museum dengan syarat harus terkunci di kedalaman dengan ruangan khusus dan ruangan itu tak boleh dibuka untuk dua ratus tahun lamanya.”

“Dan?”

“Dan seratus sembilan puluh enam tahun sudah berlalu.”

Semua anak masih terdiam. Beberapa menghitung dengan jari mereka. Kemudian mereka mengangkat tangan bersama-sama. “Bisakah kita melihatnya?”

“Tidak.”

“Bahkan cuma membuka pintu pertama?”

“Tidak.”

“Pernahkah kau melihatnya?”

“Aku belum pernah melihatnya.”

“Jadi dari mana kau tahu itu benar-benar ada di sana?”

“Kau harus percaya pada kisahnya.”

“Berapa harga berlian itu, Monsieur? Bisakah untuk membeli Menara Eiffel?”

“Sebuah berlian sebesar dan selangka itu mungkin bisa untuk membeli lima Menara Eiffel.”

Terkesiap.

“Semua pintu itu agar pencuri tak bisa masuk?”

“Mungkin,” kata sang pemandu, mengedipkan mata, “semua pintu itu untuk menahan kutukannya agar tak mengenai kalian.”

Anak-anak berubah diam. Dua atau tiga anak mundur satu langkah.

Marie-Laure mencopot kacamatanya, dan dunia menjadi tak berbentuk. “Kenapa,” dia bertanya, “tidak ambil saja berliannya dan melemparnya ke lautan?”

Sang penjaga melihat padanya. Anak-anak lain melihat padanya. “Kapan terakhir kali,” salah satu anak laki-laki tertua berkata, “kau melihat seseorang melempar lima Menara Eiffel ke dalam laut?”

Gelak tawa meledak. Marie-Laure cemberut. Itu cuma pintu besi dengan lubang kunci kuningan.

Tur berakhir dan anak-anak membubarkan diri dan Marie-Laure kembali ke Galeri Utama bersama ayahnya. “Apa kau bersenang-senang, ma chérie?”

Burung pipit rumahan cokelat kecil menukik dari kasau dan mendarat di ubin di depannya. Marie-Laure membuka telapak tangannya. Si burung pipit memiringkan kepalanya, menimbang. Kemudian terbang pergi.

Satu bulan kemudian dia buta.


Comments

  1. Itu maksudnya apa? Sang pemandu itu adalah ayah dari Marie-Laure? Dan hubungannya dengan burung Pipit? Terus siapa yang buta dan kenapa dia bisa buta?

    ReplyDelete
  2. Okay,menurut saya, Marie-Laure buta karena penglihatannya sudah buruk dari awal. Kebutaan inilah inti cerita All the lights we cannot see, Ini ada di bab 3.

    ReplyDelete
  3. Efek kutukannya tembus dari pintu ke-13. Membuat Marie-Laure yg sebelumnya berpengelihatan buruk menjadi buta.
    #cmiiw

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Cerita Horor Kaskus

4 Cerita Horor Tokyo

Catatan Atas Awan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]