Skip to main content

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Dari manga asli The Enigma of Amigara Fault oleh Junji Ito
Transkrip oleh radenbagio

ilustrasi oleh Robert Ruse

Belum lama ini terjadi gempa bumi besar di prefektur H. Beberapa kota dan desa hancur karenanya. Setelah gempa tersebut, sebuah patahan terbentuk di dekat pusat gempa di sebelah utara lereng Gunung Amigara. Patahan itu dalam dan berkilometer panjangnya. Dan itu adalah pertanda yang menjadi awal mula insiden ganjil ini.

Owaki menyusuri jalanan pegunungan berbatu itu. Barisan pepohonan dan rumah-rumah penduduk sudah tertinggal jauh di belakangnya. Dia akan mendatangi daerah pegunungan yang jauh dari permukiman. Dia berhenti ketika kelelahan, melihat keadaan sekitar sambil meregangkan punggung, kemudian mencocokkan keadaan sekitarnya dengan peta yang dia bawa.

Aku masih di Gunung Amigara? Katanya dalam hati begitu melihat kecocokan keadaan alam di sekitarnya dengan peta. Tapi aku belum melihat apa pun.

Saat itulah dia melihat sosok lain berjalan tak jauh darinya. Ada seorang pendaki lain, seorang gadis dengan rambut hitam panjang berjalan sendirian beberapa puluh meter darinya.

“Hei!” panggil Owaki. “Di sini!”

Gadis itu menoleh dan berhenti saat melihatnya. Si pemuda bergegas mendatanginya.

“Aku Owaki, siapa namamu?” Owaki bertanya.

“Aku Yoshida,” jawab si gadis dengan nada datar. Nyaris tanpa antusias. Dia punya rambut hitam lurus yang sangat rapi, sangat berbeda dengan rambut Owaki yang sedikit gondrong dan tak terurus.

“Jadi kau juga mencari patahan itu?” Owaki berkata, dan mereka mulai berjalan bersama. “Kupikir karena itulah kau kemari. Maksudku, jangan tersinggung, pendaki wanita, seorang diri.”

“Aku melihatnya di TV, dan itu membuatku resah,” kata Yoshida. “Saat aku melihatnya, aku tahu aku harus mendatanginya.”

“Sungguh? Sama dong denganku,” timpal Owaki. “Sangat misterius, ya. Ini adalah keajaiban alam. Menarik perhatian seluruh negeri—tidak, seluruh dunia terpaku melihatnya.”

Yoshida tetap diam. Hanya berjalan konstan memandang jalanan batu di bawah kakinya.

Beberapa saat kemudian Owaki mendengar suara dengung manusia.

“Kau mendengar sesuatu?” Dia menoleh, yakin sekali mendengar suara keramaian dari sebuah tempat. “Itu pasti mereka. Ayo ke sana! Aku yakin kita sudah dekat ke patahan.”

Owaki memimpin. Berjalan lebih cepat mengkuti arah datangnya suara. Setelah jalur berakhir mereka sampai pada tanah terbuka dengan pemandangan dinding batu yang menjulang. Itulah patahan yang baru saja terbentuk karena gempa. Dan yang membuat semua ini heboh adalah adanya lubang-lubang berbentuk manusia pada dinding patahan itu. Berbagai postur siluet tubuh berjajar, pria dan wanita, anak-anak mau pun dewasa, menganga pada permukaan dinding batu. Menjadi terowongan janggal yang masuk ke tengah gunung.

Sebelum gempa, semua itu ada di bawah tanah. Gempa membuat ribuan lubang berbentuk manusia itu muncul ke permukaan.

ilustrasi oleh Junji Ito

“Ini persis seperti di TV,” Owaki ternganga melihat pemandangan di depan matanya. “Tapi terasa jauh lebih kuat. Lihat, mereka memeriksa lubang-lubang itu.” Dia menunjuk orang-orang berseragam dan berhelm yang sedang sibuk di depan lubang dengan alat ukur dan peralatan lainnya. “Mungkin para peneliti dari Universitas.”

Seorang peneliti sedang memasukkan fiber scope ke salah satu lubang.

“Bahkan fiber scope 30 meter tak sanggup mencapai ujungnya,” kata peneliti tersebut. “Menurut Anda sedalam apa lubang ini, Profesor?”

“Tampaknya lubang ini melengkung masuk ke dalam gunung,” kata sang Profesor sambil berpikir. “Bagaimanapun tak mungkin lubang ini terjadi secara alamiah. Seseorang pasti menggalinya dari dalam. Tapi bagaimana caranya kau menggali dengan bentuk seperti ini menembus batuan padat?”

“Harusnya ada semacam pintu masuk ke dalam sana,” kata si peneliti muda. “Tapi tak ada yang menemukan hal semacam itu.”

“Kupikir pintu masuknya tertutup oleh tanah selama bertahun-tahun lamanya,” kata Profesor. “Sebesar daya yang telah menutupi lubang-lubang ini. Jika benar begitu maka lubang-lubang ini pasti peninggalan kuno. Tapi siapa yang punya teknologi untuk membuatnya. Dan untuk tujuan apa?”

Sementara itu Yoshida dan Owaki terus berjalan menelusuri dinding penuh lubang itu.

“Yoshida, hati-hati,” Owaki memperingatkan dari belakangnya. “Permukaannya curam.”

Yoshida berlaku semakin aneh setelah sampai di tempat itu. Dia masih tetap diam, dan kini matanya memindai setiap lubang yang ada di sana seakan sedang mencari sesuatu.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Owaki. “Kau seperti sedang mencari sesuatu.”

“Aku melihatnya di TV,” Yoshida menjawab.

“Apa yang kau lihat?”

“Aku... aku melihatnya di TV,” Yoshida mengulang terbata. “Aku yakin telah melihatnya... salah satu lubang ini. Aku cuma melihat sekelebat di TV. Jadi aku kemari untuk memastikan. Tapi ternyata ada banyak sekali lubang, aku tak tahu ada di mana.”

“Lalu, apa yang membuat lubang ini berbeda?”

“Lubang itu,” kata Yoshida, “berbentuk diriku.”

“Apa?”

“Persis dengan siluetku. Tidak--lebih dari itu,” kata Yoshida. “Lubang itu adalah diriku. Lubang itu berasal dariku. Sungguh, aku bersumpah!”

“Bicara apa kau?” Owaki kebingungan mendengarnya. “Lubang-lubang ini pasti sudah ribuan tahun umurnya. Bagaimana mungkin itu berasal dari dirimu?”

“Aku tidak bercanda!” Yoshida tiba-tiba meledak. “Aku tahu itu adalah diriku! Dan itu tak harus masuk akal!”

Sebelum Owaki sempat memikirkan balasan, sebuah suara lain sudah menyahut dari belakang.

“Jadi kau juga, ya.”

Owaki menoleh. Seorang pria kurus yang lebih tua beberapa tahun dari mereka berdua muncul.

“Aku juga merasakannya... setelah melihatnya di TV,” kata pria itu. “Aku kemari untuk mencari lubangku.”

“Dan kau adalah...”

“Namaku Nakagaki,” jawab si pria kurus. “Ini fenomena yang luar biasa. Sebagian dari kita kemari karena alasan yang sama. Kita mencari lubang masing-masing.” Dia melihat ke kerumunan warga yang terpencar di tempat itu. Setelah kembali menatap Owaki dan Yoshida dia berkata, “Dan aku sudah menemukan lubangku.”

Nakagaki membawa Owaki dan Yoshida mendatangi salah satu lubang tak jauh dari sana.

“Ini dia,” katanya di hadapan sebuah lubang. Memang sekilas lubang itu seperti siluet Nakagaki. Dari siluetnya yang kurus hingga belahan rambutnya, segalanya tampak identik. “Hmm, kau sepertinya tak percaya padaku.” Dia melirik Owaki. “Yah, aku tak menyalahkanmu. Kalau begitu aku akan membuktikan jika itu benar lubangku. Perhatikan.”

Nakagaki mulai menanggalkan pakaiannya satu per satu, menampakkan tulang iganya yang menonjol dan kulitnya yang nyaris menempel ke tulang, meninggalkan hanya sehelai celana dalam yang masih menempel di pinggul kecilnya.

Nakagaki berdiri menghadap lubangnya, memposisikan tubuhnya sesuai siluet lubang dan berjalan masuk. Untuk sesaat lubang itu terlihat seperti bayang-bayang Nakagaki.

Owaki dan Yoshida terpaku untuk sesaat ketika melihat Nakagaki melangkah masuk dan membuktikan betapa presisinya lubang itu dengan tubuh Nakagaki. Seperti sebuah mainan plastik yang masuk ke dalam cetakannya.

“Hei! HEI!” Owaki berteriak saat dia lihat Nakagaki malah berjalan masuk semakin dalam ke dalam lubang. “HEI! KEMBALI! ITU BERBAHAYA! YA TUHAN, KEMBALI!”

Tapi Nakagaki semakin jauh masuk hingga akhirnya hilang dari pandangan Owaki dan Yoshida. Keduanya hanya memandang lubang gelap itu dengan wajah pucat sementara orang-orang mulai berdatangan karena mendengar teriakan Owaki.

“Tak bisa dipercaya! Orang itu—dia—” Owaki memberitahu orang-orang yang baru saja datang. “Dia masuk begitu saja ke dalam lubang. Bagaimana jika dia tak bisa keluar?”

Semakin banyak orang mendatangi lubang tempat Nakagaki menghilang. Bergantian meneriakkan namanya. Namun Nakagaki tak pernah kembali.

Para peneliti dari universitas datang dan ikut membantu dengan memasukkan fiber scope mereka, namun hingga tiga puluh meter jauhnya—jarak maksimal alat itu—tak ditemukan tanda-tanda keberadaan Nakagaki.

“Dia pasti sudah pergi lebih jauh dari itu,” gumam sang Profesor.

“Ini keadaan darurat! Kita harus melakukan sesuatu!” seru salah seorang pengunjung.

“Cepat hubungi tim SAR!” seru pengunjung lain.

Dalam beberapa jam lokasi itu menjadi berkali lipat lebih ramai. Stasiun TV menyiarkan berita menghebohkan itu. Tim SAR akhirnya tiba. Salah seorang anggotanya yang berperawakan paling mendekati Nakagaki mencoba masuk ke dalam lubang namun harus kembali setelah masuk tak lebih dari lima meter jauhnya.

Malam akhirnya turun dan masih tak ada tanda dari pria yang masuk ke dalam lubang.

Owaki sudah mendirikan tenda dan kini sedang berbaring di dalam kantung tidurnya. Berusaha memejamkan mata sementara pikirannya sibuk memikirkan nasib Nakagaki. Dia pasti sudah gila hingga masuk ke lubang itu.

Ketika akhirnya berhasil tertidur, dia mendapatkan sebuah mimpi buruk.

Di dalam mimpinya dia menjadi Nakagaki. Dia sepenuhnya terjepit dalam lubang batu yang gelap gulita, ratusan meter jauhnya dari mulut gua, jauh di bawah gunung batu yang kokoh. Dia sudah tak bisa bergerak sedikitpun. Tubuhnya terkunci. Gempa pasti sudah mengubah bentuk lubang itu sehingga dia tak bisa berjalan lebih jauh lagi. Sama halnya dia tak bisa berjalan kembali ke belakang. Dia tersangkut di sana...

ARGGGHHHH...

Siapa saja...

TOLONG AKU!!!

Owaki terbangun dengan kaget. Bersyukur menyadari semua itu hanya mimpi buruk. Cahaya matahari sudah menyinari tendanya.

Apakah Nakagaki masih telanjang dan menggeliat di dalam sana? Atau mungkin dia sudah berhasil diselamatkan?

Owaki bangun dan keluar dari tendanya, ingin segera mencari tahu kabar terbaru. Dia dikagetkan dengan kemunculan Yoshida yang sudah berdiri di depan pintu tendanya. Sepertinya gadis itu sudah lama berdiri di sana. Wajahnya lebih pucat dari kemarin. Seakan ada pikiran yang sedang dia sembunyikan.

“Hai, kau sudah bangun?” sapa Owaki. “Bagaimana kabar Nakagaki?”

“Dia belum ditemukan,” jawab Yoshida lemah. Setelah agak lama akhirnya dia menambahkan. “Owaki, maukah kau ikut denganku? Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”

“Apa itu?” Owaki penasaran sekaligus khawatir.

“Aku menemukannya,” kata Yoshida. “Aku menemukan lubangku.”

Owaki tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya menurut ketika Yoshida berjalan memimpin. Terseok menuruni jalanan landai penuh guguran batu dengan dirinya mengikuti di belakang.

“Ternyata jauh di kaki patahan,” Yoshida memberitahu seraya berjalan hati-hati mencari pegangan agar tak terpeleset. “Pantas aku tak bisa menemukannya.”

Beberapa menit kemudian Owaki tiba di hadapan lubang yang ingin ditunjukkan Yoshida.

“Itu... mirip denganmu,” Owaki berkomentar, memandang lubang berbentuk siluet wanita berambut panjang yang persis dengan sosok Yoshida.

“Itu sangat persis denganku,” Yoshida berkata lemah.

Mendadak Yoshida mengejang di tempatnya berdiri. Owaki mengira dia terkena serangan jantung.

“Yoshida! Kau tak apa-apa?” Owaki segera menangkap tubuhnya. “Kenapa kau gemetar?”

“Aku takut... aku sangat takut...” Yoshida tergagap. “Ini terowonganku... Mereka menggalinya untukku... Itu lubang untuk kumasuki. Sudah menungguku selama ini di bawah tanah untuk kumasuki. Dan saat aku masuk, aku akan terjebak di dalam lubang ini! Aku takut...”

**

Sudah sehari terhitung sejak pria yang masuk ke dalam lubang menghilang tanpa jejak. Dan ketika orang-orang masih berkumpul di patahan Amigara untuk memuaskan rasa penasaran mereka, seorang pemuda lain yang hanya mengenakan celana dalam tampak sedang memanjat di antara lubang-lubang di dinding.

“Hei lihat!” seseorang berseru, menunjuk ke arah pemuda berkacamata dan tanpa baju yang sedang berusaha naik itu. “Apa yang anak itu lakukan?”

Pemuda itu sudah cukup tinggi memanjat sehingga tak bisa diraih.

“Hei apa yang kau lakukan?” seru salah seorang petugas SAR. “Turun kemari sebelum dirimu terluka!”

Si pemuda sudah mencapai salah satu lubang yang terletak paling tidak sepuluh meter dari atas tanah.

“Ini lubangku!” seru si pemuda dari atas, kini memasukkan satu kaki dan tangan ke dalam lubang, bergelantungan. “Ini dibuat untukku! Aku harus masuk! Sampaikan selamat tinggal untuk ibuku!”

“H-Hei!”

Tapi si pemuda sudah melempar kacamatanya dan masuk ke dalam lubang yang segera menelan tubuhnya dengan sempurna.

“Berhenti! Seseorang tolong hentikan dia!”

“Ini gila! Bisa-bisa yang lain akan ikut masuk ke dalam lubang!”

Benar saja, tak berselang lama, orang-orang dari titik-titik lain di patahan itu mulai berseru.

“Lihat di sana!” seru seseorang di bawah. “Seseorang baru saja masuk!”

“Di sini juga!” seru suara lain dari titik yang berbeda.

“Cepat! Keluarkan mereka!”

**

“TIDAK! TIDAK!”

“YOSHIDA!”

“AKU AKAN MASUK KE LUBANG ITU! AKU AKAN MASUK KE SANA! AKU AKAN MATI DI DALAM SANA!”

“Yoshida! Dengarkan aku,” Owaki berusaha menenangkan. “Jangan khawatir. Kau akan baik-baik saja.”

Perlahan-lahan Yoshida mulai tenang, namun napasnya masih tak teratur dan kengerian belum pergi dari wajahnya.

“Ini gawat,” kata Yoshida lirih. “Lihatlah ke sana. Dia menganga padaku! Siluetku berkata ‘Masuklah. Masukilah aku.’ Itu yang dia katakan!” dia mulai histeris lagi. “OH TUHAN! AKU TAKUT! AKU TAKUT!”

“Kendalikan dirimu!” Owaki berusaha memikirkan cara. “Baiklah. Jika kau takut aku akan menolongmu.”

Owaki segera mengambil batuan dari sekitarnya dan mulai mengisi lubang itu.

“Aku akan menutup lubang ini. Lihatlah.”

Sementara Yoshida masih merepet ketakutan Owaki bergerak cepat mengisi lubang itu dengan batu-batu dan kerikil yang ada di sana.

“Lihat. Kau sudah aman sekarang.”

Owaki berhasil menutup lubang itu dengan batuan tanpa menyisakan celah sedikitpun. Tapi itu masih belum cukup untuk menghilangkan kengerian Yoshida.

Hingga malam tiba Yoshida masih di dalam tenda Owaki. Meski dia sudah tenang namun teror itu masih belum pergi dari wajahnya.

“Kau tak ingin kembali ke tendamu?” tanya Owaki.

“Tidak. Aku takut sendirian.”

“Jangan khawatir,” Owaki kembali menghibur. “Aku akan di sini bersamamu.”

“Aku selalu sendirian sejak kecil,” Yoshida berkisah. “Orangtuaku tak memedulikanku. Begitu juga teman-temanku.”

“Itu dia, Yoshida. Kau takut pada lubang itu karena kau kesepian,” ujar Owaki. “Tak ada yang lebih kesepian dibanding lubang itu. Tak ada yang perlu kau khawatirkan sekarang. Aku bersamamu.”

“Benarkah?” Untuk pertama kalinya Yoshida mengangkat wajah dan memandang Owaki penuh arti.

“Ya.” Owaki membalas. Kemudian memeluk dan menciumnya.

**

Malam itu Owaki mendapat mimpi buruk lagi. Dia sedang berada jauh di masa lampau. Dia telah berbuat kejahatan besar dan akan menerima hukuman karenanya. Sebenarnya itu lebih tepat disebut hukuman mati. Di sepanjang dinding tebing ada tak terhitung lubang untuk menghukum para kriminal di masa sebelumnya.

Ketika seseorang berbuat kejahatan sebesar dirinya, orang-orang di masa lampau akan menggali lubang berbentuk manusia. Kini lubang berbentuk siluet dirinya sudah disiapkan. Dan dia harus berjalan memasuki lubang itu...

Dia merasakan batu dingin menekan seluruh tubuhnya. Menggesek kulitnya dengan lemah. Dia tak punya pilihan selain terus maju. Menuju klaustrofobia yang mengelilinginya. Lubangnya telah dibuat sedemikian rupa sehingga kau tak bisa kembali. Dia bergeser sedikit demi sedikit, sangat pelan, merasakan dinding batu menggerus kulitnya sementara dia bergerak maju dengan setiap senti pergerakan yang dia lakukan...

Waktu terus berlalu. Dia terus bergerak, menyusuri terowongan dirinya. Hingga pada suatu waktu, dia merasakan sentakan pada lehernya. Membuatnya ngeri, bagian yang menjadi tempat lehernya kini semakin memanjang dan terus memanjang. Memaksa lehernya ikut memanjang, memanjang, hingga pasti sudah terputus sekarang...

UNNHHHHHHH....

Tidak.

Tak hanya lehernya. Tapi lengan, kaki, dan torsonya juga.

Lubang itu memanjang ke segala penjuru. Membuat lengan, kaki, dan torsonya memanjang, terentang, terpuntir, mengikuti bentuk terowongan yang harus dia lalui. Tapi dia tak bisa berhenti. Dia tak bisa kembali. Dia harus terus maju...

Terowongan batu itu kini menjepitnya, membuat seluruh tubuhnya kesakitan, melipat kulit-kulitnya, mematahkan tulang-tulangnya, tapi entah bagaimana dia tak bisa kembali mundur. Dia hanya bisa terus maju...

DRRR... DRRR... DRRR...

GYAAGHHH!

Siapa saja! Siapa saja! Tolong aku!

Tolonggg...

Owaki terbangun dengan kaget.

Mimpi buruk lagi...

Dia menoleh ke sebelahnya, tempat Yoshida harusnya berada. Tapi Yoshida tak ada di sana.

“Oh, tidak.”

Owaki segera bangun, mengambil senter dan keluar. Firasatnya buruk. Dia segera menuju tempat lubang itu berada.

Di kaki patahan Cahaya senter di tangannya menerangi lubang yang kini sudah kembali menganga. Batuan yang dia gunakan untuk menyumpalnya sudah disingkirkan. Dan di hadapan lubang itu teronggok sepotong baju dan celana jins yang dia kenali sebagai milik Yoshida.

“YOSHIDA!” Owaki berseru ke dalam lubang. “KEMBALIII! YOSHIDAAA!”

Dia menyorotkan senter ke dalam terowongan. Namun hanya ada kegelapan di dalamnya. Tak ada tanda-tanda keberadaan si gadis.

“Sialan!” Owaki jatuh berlutut di depan lubang Yoshida. “Kenapa kau lakukan ini. Kenapa...”

Putus asa, dia tidak meninggalkan lubang itu. Dia terduduk sambil menangis di sana untuk waktu yang lama. Mengharapkan entah apa dia sendiri pun tak tahu. Dan ketika lengah, senter yang menyala di tangannya terlepas, menggelinding lebih jauh lagi ke bawah. Dia mengikuti cahaya senter itu memantul di permukaan batuan dan akhirnya berhenti. Cahayanya yang bulat kini menyorot pada sebuah lubang yang berbentuk sosok pemuda dengan rambut yang sudah sangat dia kenali.

Lubang miliknya.

Owaki bangkit dan mendatangi lubang itu. Benar itu lubang miliknya. Siluet itu persis dirinya. Dan ketika dia memandang pada kedalamannya yang gulita, dia mendengar lubang itu memanggilnya. Mengundangnya. Lubang yang telah sekian lama menunggunya. Lubang yang dibuat untuknya.

Tanpa berpikir Owaki menanggalkan baju dan celananya.

Dan berjalan masuk ke lubang batu miliknya.

**

BEBERAPA BULAN KEMUDIAN

“Profesor, di sini, Profesor!” si peneliti muda berseru. “Sesuai dengan informasi yang kita terima dari pemanjat itu. Ada patahan di sisi lain gunung!”

Profesor berhenti mengamati patahan baru yang dia temukan.

“Hmm. Aku cukup yakin ini juga terbentuk karena gempa,” ujarnya. “Tapi berbeda dari yang di sisi lain, yang ini cukup kecil. Ah! Coba lihat ini.”

Profesor menunjuk dinding tebing yang juga memiliki banyak lubang.

“Ada lubang-lubang juga, tapi tidak berbentuk manusia. Tidak jelas ini bentuk apa...”

Lubang itu hanya berbentuk celah-celah yang bercabang. Sama seperti lubang di seberang, lubang-lubang itu juga tak terhitung jumlahnya.

“Entah apakah ini terhubung dengan lubang di sisi lain,” gumam Profesor.

“Saya akan memeriksanya.”

Si peneliti muda mendekat ke salah satu celah dan menyorotinya dengan senter. Dalam beberapa detik dia langsung berteriak ketakutan.

“Profesor, s-saya melihat sesuatu! Di dalam celah! Ada yang datang! Dia bergerak perlahan menuju kemari!”

DRRR... DRRR... DRRR...

ilustrasi oleh papuruikazuchi


Comments

  1. Mau nanya gan, buat blog itu apakah harus beli domain dan byar per tahunnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. gratis gan kalau masih pakai alamat blogspot. bayar kalau mau ganti domain pakai .com dkk (diilangin blogspotnya). harga tergantung pihak ke-3/penyedia jasa domainnya.

      Delete
    2. Saya kira harus bayar gan, lumayan mungkin nanti kalau gabut saya akan memulai nge-blog hehehe.. btw blog ada AdSense juga gan?

      Delete
    3. betul gan, blog bisa didaftarin adsense juga. segera bikin aja gan, makin tua umur blog makin bagus. :)

      Delete
    4. Berarti buat lewat blogspot terus gak harus beli domain ya gan

      Delete
    5. iya tinggal buka aja blogger.com. kalau udah punya gmail/akun gogel langsung kedaftar ntar. tinggal ngisi alamat blog, pilih tema, dll.

      Delete
    6. Oke, terimakasih gan

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Post Populer

Cerita Horor Kaskus

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Catatan Atas Awan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Menunggu rumah kosong