Skip to main content

Zollverein

Diterjemahkan dari salah satu bab novel All the Light We Cannot See karya Anthony Doerr [2]


WERNER Pfennig tumbuh besar di timur laut tiga ratus mil dari Paris di sebuah tempat bernama Zollverein: sebuah kompleks pertambangan batu bara seluas seribu enam ratus hektar di luar Essen, Jerman. Itu adalah negeri baja, negeri antrasit, tempat yang penuh dengan liang. Cerobong asap mengepul dan lokomotif menggelinding bolak-balik pada kanal-kanal tinggi dan pepohonan tanpa daun berdiri di atas tumpukan ampas bijih seperti tangan tulang yang menggali dari dunia bawah.

Werner dan adik perempuannya, Jutta, dibesarkan di Asrama Anak, panti asuhan dua lantai yang terbuat dari bata-arang di Viktoriastrasse yang kamar-kamarnya dihuni oleh batuk anak-anak penyakitan dan tangisan bayi dan koper bobrok peninggalan orangtua yang telah mati: gaun bertambal, perangkat makan yang sudah bernoda, foto hitam putih pudar sang ayah yang tertelan tambang.

Tahun awal Werner adalah yang paling buruk. Orang-orang ribut berebut kerja di luar gerbang Zollverein, dan telur ayam dijual seharga dua juta reichmark sebutir, dan demam rematik mengintai Asrama Anak seperti serigala. Tak ada mentega ataupun daging. Buah tinggallah kenangan. Di beberapa malam, selama bulan-bulan terburuk, semua direktris asrama terpaksa memberi makan selusin penjaganya dengan kue yang terbuat dari tepung mustard dan air.

Tetapi Werner usia tujuh tahun tak tampak risau. Tubuhnya di bawah ukuran normal dan telinganya mencuat dan dia bicara dengan suara tinggi yang manis; putih rambutnya membuat orang-orang terhenti. Seperti salju, susu, kapur. Warna dari ketiadaan warna. Setiap pagi dia mengikat tali sepatunya, melipat koran ke dalam mantelnya untuk menyekat udara dingin, dan mulai menyelidiki dunia. Dia menangkap kepingan salju, berudu, katak yang berhibernasi; dia merayu pembuat roti untuk roti-roti yang tak terjual; dia biasa muncul di dapur dengan susu segar untuk para bayi. Dia membuat hal-hal lain juga: kotak kertas, pesawat kertas, perahu mainan dengan kemudi yang berfungsi.

Setiap beberapa hari dia akan mengagetkan sang direktris dengan beberapa pertanyaan tak terjawab: “Kenapa kita cegukan, Frau Elena?”

Atau: “Jika bulan sangat besar, Frau Elena, kenapa bisa terlihat begitu kecil?”

Atau: “Frau Elena, apa lebah tahu dirinya akan mati jika dia menyengat seseorang?”

Frau Elena adalah biarawati Protestan asal Alsace yang lebih menyukai anak-anak daripada menjadi pengawas. Dia menyanyikan lagu rakyat Perancis dalam falsetto melengking, sangat lemah pada anggur, dan biasa tertidur sambil berdiri. Di beberapa malam dia membiarkan anak-anak tidur larut sementara dia menceritakan pada mereka dengan bahasa Perancis tentang masa gadisnya yang hidup nyaman di pegunungan, salju sedalam 1,8 meter di atap rumah, penyeru kota dan anak sungai berkabut di tengah udara dingin dan kebun anggur yang bertabur butiran beku: sebuah dunia dalam lagu-lagu Natal.

“Bisakah orang tuli mendengar jantung mereka sendiri, Frau Elena?”

“Kenapa lem tidak menempel di dalam botol, Frau Elena?”

Dia akan tertawa. Dia akan mengacak rambut Werner; dia akan berbisik, “Mereka bilang kau terlalu kecil, Werner, bahwa kau dari antah berantah, bahwa kau tak seharusnya punya mimpi besar. Tapi aku percaya padamu. Kupikir kau akan melakukan hal hebat.” Kemudian dia akan mengirimnya ke pondok kecil yang Werner klaim sebagai miliknya sendiri di loteng, terjepit di bawah jendela atap.

Terkadang dia dan Jutta menggambar. Adik perempuannya menyelinap ke pondok Werner, dan bersama-sama mereka akan tengkurap di atas perut mereka dan mengoperkan sebatang pensil bergantian. Jutta, meski dua tahun lebih muda, adalah yang lebih berbakat. Dia paling suka menggambar Paris, sebuah kota yang pernah dia lihat lewat sebuah foto, di belakang sampul salah satu novel roman Frau Elena: atap-atap mansard, blok apartemen yang berkabut, kisi besi sebuah menara di kejauhan. Dia menggambar sebuah gedung pencakar langit yang memutar, jembatan rumit, kerumunan orang di samping sungai.

Di hari lain, pada jam-jam setelah pelajaran, Werner akan menarik adik perempuannya melewati kompleks tambang dengan sebuah kereta yang dia rakit dari barang-barang buangan. Mereka berderak menuruni jalur kerikil, melewati pondok-pondok dan tong api unggun, melewati para penambang yang berbaring setelah seharian berjongkok di atas peti, tak bergerak bagai patung. Salah satu roda akan terlepas dan Werner akan meringkuk dengan sabar di sampingnya, memasang kembali bautnya. Di sekitar mereka, sosok-sosok pekerja shift kedua bergerak menuju gudang sementara pekerja shift pertama bergerak pulang, membungkuk, kelaparan, hidung membiru, wajah mereka seperti tengkorak hitam di bawah helm mereka. “Halo,” Werner akan mencicit, “selamat sore,” tetapi para penambang biasanya akan terpincang lewat tanpa menjawab, mungkin bahkan tanpa melihatnya, mata mereka terhalang, keruntuhan ekonomi Jerman menjulang di atas mereka seperti mesin giling.

Werner dan Jutta memindai melewati timbunan debu hitam yang berkelip; mereka mendaki gunungan mesin berkarat. Mereka mencabut beri dari semak-semak dan dandelion dari tanah. Terkadang mereka berhasil menemukan kupasan kentang atau kepala wortel di tempat sampah; di sore lain mereka mengumpulkan kertas untuk digambari, atau pasta gigi bekas di mana endapan terakhirnya bisa diremas keluar untuk dikeringkan menjadi kapur. Sesekali Werner akan menarik Jutta sejauh mungkin hingga ke pintu masuk Pit Nine, bagian terluas pertambangan, berbalut kebisingan, menyala seperti pemantik di tengah perapian gas, sebuah lift batu bara lima lantai mendekam di atasnya, kabel-kabel berayun, palu berdentang, pria-pria berteriak, seluruh lipatan dan gelombang industri terentang menuju kejauhan di segala sisi, dan mereka melihat kereta-kereta batu bara menggelinding naik dari dalam bumi dan para penambang dimuntahkan dari gudang dengan ember makan siang mereka menuju mulut lift seperti serangga menuju lampu perangkap.

“Di bawah sana,” Werner berbisik pada adiknya. “Di sanalah Ayah mati.”

Dan ketika malam turun, Werner menarik Jutta kecil tanpa kata melewati lingkungan kecil Zollverein, dua anak berambut salju di dasar negeri jelaga, membawa harta remeh mereka menuju Viktoriastrasse 3, di mana Frau Elena menatap ke dalam tungku batu bara, menyanyikan nina bobo Perancis dengan suara letih, satu balita menyentak tali apronnya sementara yang lain melolong di lengannya.


Comments

  1. Mksudnya gmana ini ?

    ReplyDelete
  2. Saya sulit menangkap maksud dari dua cerita terakhir yang diposting, setting yang tidak bisa saya bayangkan, serta frasa-frasa yang tidak lazim saya temukan. Otak saya yang tidak mampu, sih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Pengalaman diculik jin

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Cerita Seram Api Unggun

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]