Skip to main content

Putraku sudah 15 tahun hilang. Semalam dia kembali.

original story by Summerisle_Apples
[ permit ]

Putraku Thomas menghilang pada 30 November 2004. Usianya 12 dan dia sedang bermain bola di halaman depan saat menghilang begitu saja dari muka bumi.

Tak ada perhatian dari media untuk Thomas, meski aku sudah melakukan segalanya untuk mencari perhatian. Dia tidak di usia “lucu”, dan meski orang berpura-pura simpatik, aku mendengar lebih dari satu orang di kota kecil kami bergosip mungkin saja Thomas melarikan diri. Kami bukanlah keluarga yang terus-terusan stabil, jika perlu diketahui. Di kota kecil seperti ini, semua orang terikat pada gosip negatif yang bisa mereka dapat. Seperti di masa lalu.

Benar bahwasanya aku dan suamiku, Dylan, terlibat cek-cok beberapa jam sebelum Thomas hilang. Dan aku malu mengatakan bahwa mungkin dia mendengar teriakan kami dari luar—benturan bola pada dinding rumah semakin keras dan murka ketika perdebatan kami meningkat. Saat polisi yang kami beri laporan Thomas menghilang mendengar kami sering terlibat cek-cok sebelumnya, aku melihat sorot matanya berhenti. Pergi dari rumah, dia pikir. Hanya anak yang pergi dari rumah seperti biasanya.

Beberapa minggu pencarian panik dari kami, polisi tiba-tiba menjadi tertarik. Tapi bukti yang mungkin bisa mereka kumpulkan sudah lama hilang. Tak ada jejak Thomas yang ditemukan.

Aku selalu menyalakan lampu depan untuk Thomas, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Aku tak pernah menyerah mencari, semua energiku kukerahkan untuknya. Hidupku untuk mencari Thomas. Pekerjaan, teman, dan hobi runtuh satu per satu. Mulanya Dylan simpatik, dan perdebatan kami mereda untuk sementara.

Di akhir tahun pertama, aku mulai menyadari hatinya sudah tidak sungguh-sungguh mencari lagi. Ketika peringatan tahun kedua berjalan, dia mulai memberitahuku untuk “akhiri saja”, “lupakan”, dan “berhenti bersikap bodoh”. Aku mengusirnya keluar. Dia tak membantah. Aku tak pernah merasa begitu sepi.

Aku mulai tidur bersama Old Ted, mainan yang sangat disayangi Thomas saat masih kecil. Dia membawanya kemana saja dan sangat menyukai bulunya yang banyak, sebelum dengan malu-malu memberikannya padaku di usia sepuluh. “Mungkin kau mau merawatnya,” dia berkata, menghindari mataku. Aku berusaha untuk tidak tertawa dan menaruh Old Ted di dasar laci untuk diamankan. Siapa yang tahu bahwa jimat masa kecilnya akan begitu penting menemaniku pada ratusan malam sepi saat aku menangis hingga tertidur, sangat merindukan putraku benar-benar menyakitkan.

Semalam berangin dan awalnya kukira aku membayangkan ada yang mengetuk pintu. Ketukannya semakin keras dan kencang. Saat itu jam 10 malam, hampir waktunya aku tidur, dan aku sangat kesal ada yang mengganggu di jam seperti itu.

Pintu mengayun terbuka, dan di sanalah dia. Sayangku Thomas yang mengagumkan. Sudah dewasa! Butuh waktu lama untuk menyampaikan informasi ke otakku yang tak percaya.

“Hai, Mum,” dia berkata. Suaranya dalam dan dewasa sekarang, tapi masih pintar seperti biasanya.

Aku jatuh ke dalam pelukannya. Emosiku terlalu luar biasa untuk mengatakan sesuatu: aku hanya mendesah dan menangis di bahunya. Dia setengah memeluk, setengah membawaku ke kursi terdekat dan mendudukkanku. Aku memandang wajahnya, menelusuri keajaibannya. Tubuhnya sudah berisi dan dia bahkan berjanggut sekarang, tapi tak ada keraguan lagi—inilah putraku.

“Aku merindukanmu! Aku sangat, sangat, merindukanmu, sayang!”

Dia meringis lagi, dan mengangguk ke tanganku.

“Aku bisa melihatnya.”

Baru kusadari bahwa aku masih membawa Old Ted.

“Tapi sayang—dari mana saja kau? Apa yang terjadi? Kukira kau sudah tewas—kukira ada keparat yang menculikmu.”

Thomas menggelengkan kepala.

“Akan ada waktu untuk menjelaskan itu semua. Di mana ayah?”

Aku menelan ludah dan berpikir bagaimana cara menjelaskannya. Aku sudah tak bicara pada Dylan bertahun-tahun lamanya.

“Dia tak di sini.”

“Mum, bisakah kau membawanya ke sini? Aku benar-benar ingin melihatnya.”

Bagaimana bisa aku menolaknya? Aku menelepon Dylan, berharap dia masih memakai nomornya yang dulu. Dengan lega, panggilannya terhubung dan dia menjawab. Kubilang aku butuh dia sekarang juga: darurat. Gerutuannya membuatku kesal—keraguan bisa menjauhkanku dari putraku—tapi akhirnya dia mengalah.

Sementara kami menunggu, aku bicara pada Thomas, 15 tahun hal yang ingin kuucapkan tertumpah. Kapan saja aku beralih ke topik dari mana saja dia, apa yang membuatnya kembali dan pergi, dia diam dan bilang semua akan dijelaskan nanti. Aku takut akan membuatnya pergi lagi, jadi aku menyerah. Kami banyak membicarakan soal sepupunya dan teman-teman sekolah. Dia menganggap lucu aku membiarkan lampu menyala setiap malam, tapi dengan cara tersendiri dia memandang ke arah lain saat aku membicarakannya, aku tahu dia tersentuh.

Dylan muncul setelah beberapa menit, mengeluh soal aku “memanggilnya di jam sekonyol ini” dan kenapa aku begitu “histeris”. Aku tak menjawab; aku tak bisa merangkai kata. Aku hanya menyambar lengannya dan menariknya ke ruang santai.

Aku belum pernah melihat seseorang berhenti begitu mendadak dan total. Dylan terlihat seperti mendapat sengatan listrik. Thomas tidak mendatanginya. Itu reuni teraneh yang pernah kulihat.

“Halo, Dad,” kata Thomas. Suaranya terasa lebih keras.

“Mustahil,” Dylan bergumam, akhirnya.

“Ini dia, Dylan!” aku menangis, merasakan air mata bahagia menyengat mataku lagi. “Ini Thomas kita!”

“Jangan konyol, Martha,” Dylan membentakku. “Ini bukan dia.”

Aku mundur. Bagaimana bisa dia melihat pria ini, yang jelas putra kami, dan tidak mengenalinya?

“Dengar—aku tak tahu siapa kau,” Dylan menggeram ke arah Thomas, melangkah ke dalan jangkauannya, “Aku tak tahu apa kau menginginkan uang, atau perhatian, atau yang lain. Tapi aku ingin kau keluar dari rumah ini sekarang juga dan jangan kembali lagi. Kau bukan anak kami.”

Thomas berdiri di tempatnya. Dia enam inchi lebih jangkung dari ayahnya sekarang, dan lebih kokoh.

“Oh ya? Apa yang membuatmu begitu yakin, Dad?”

Mereka saling pandang, saling ukur.

“Kenapa tidak beritahu ibu kenapa kau yakin aku bukan anakmu?” Thomas menantang.

Aku kebingungan. Yang kutahu hanya sensasi ngeri yang kini tumbuh di dalam perutku.

“Apa maksudnya, Dylan? Bisakah salah satu dari kalian katakan yang sedang terjadi?”

Dylan menarik napas dan menutup mata. Dia berhenti selama rasanya seabad.

“Maafkan aku, Martha.”

Ini pertama kalinya aku mendengar Dylan meminta maaf selama dua puluh tahun mengenalnya. Aku nyaris akan menangkupkan tanganku ke mulutnya, menghentikannya mengatakan apa yang ingin dia katakan selanjutnya. Aku tak mengira akan sanggup mendengarnya.

“Itu adalah aku. Aku yang melakukannya. Aku membunuh Thomas di hari dia menghilang. Aku... mencekiknya. Dan mayatnya di dalam danau.”

Keheningan yang mematikan menimpa ruangan. Aku merasakan degup jantungku bertalu di telingaku. Setiap malam kuhabiskan dengan menangis, terisak di lengan suamiku—semua berkejaran di mataku saat itu juga. Kukira aku mau muntah.

“Cuma itu, Dad?” Thomas mencemooh. “Kau tak mau memberitahu sebabnya? Kukira tidak. Setelah sekian tahun, kau tetap saja pengecut. Itu sebabnya kau membunuhku, bukan? Tak ingin aku bilang pada orang-orang apa yang sudah kau lakukan padaku selama tahun-tahun dahulu? Bajingan cabul. Kebebasanmu, reputasi, kehidupanmu—aku pengorbanan yang layak, agar kau bisa hidup seakan semuanya normal.”

Dylan tak menjawab. Dia hanya menundukkan kepala.

Aku tak ingat telah menyambar lampu berat dari meja kopi. Aku tak ingat menghantamkannya, sekuat tenaga, mengenai bagian bawah kepala Dylan. Aku tak ingat buntutnya yang seketika. Aku hanya ingat menjatuhkan lampu berlumur darah ke lantai dan memandang ke mayat Dylan yang mengalirkan darah pelan, separuh kepalanya hilang. Seluruh tubuhku gemetar.

Aku menutup muka dan terisak. Thomas—atau siapapun kembarannya ini—memegangku.

“Siapa—kau?” aku tergagap dari tangisan putus asaku.

“Aku Thomas, Mum. Sumpah.”

Aku percaya padanya karena itu yang kuinginkan. Memikirkan penjelasan lain mustahil. Mungkin Dylan cuma mengira telah membunuhnya, dan Thomas selamat dan pergi memulai hidup baru?

Ada dua sekop di garasi. Butuh 2 jam bagi aku dan Thomas untuk menggali sebuah liang dangkal—dia kokoh dan kuat, dan menggali dengan cepat. Kami tidak bicara sementara menggotong mayatnya, atau saat kami menurunkannya ke dalam liang. Aku meludah ke mayatnya sebelum kami mengisinya lagi. Ketika kami berhasil menyelesaikannya, waktu sudah hampir subuh.

Thomas memandangku dengan sedih.

“Aku ingin Ibu mengantarku ke suatu tempat,” dia berkata pelan. Aku mengangguk.

Dia mengarahkanku ke danau di pinggiran kota. Kami duduk diam selama beberapa saat.

“Ini tempat dia membawaku,” kata Thomas.

Aku menurunkan kepala ke kemudi dan mulai menangis. Kupikir aku akan kehabisan air mata. Tangan Thomas di punggungku untuk sesaat—dan kemudian hilang. Aku mengangkat kepala. Kursi penumpang di sampingku kosong. Aku sudah setengah-menduga ini, tapi rasanya hatiku seperti dirobek untuk kedua kalinya.

Ketika aku berkendara pulang sendirian, kesedihanku diganti oleh sesuatu yang lebih baik: sebuah rencana. Aku akan menjual rumahku. Aku akan menggunakan uangnya untuk membayar tim untuk mengeruk danau. Mereka akan menemukan jasadnya, tentu saja, dan aku akan memberinya pemakaman yang layak.

Begitu selesai, aku akan bergabung dengan putraku. Tak ada lagi yang tersisa bagiku di dunia ini dan yang kuinginkan hanyalah Thomas. Kuharap yang kulakukan membuatnya bangga. Sementara aku duduk di sini, memeluk Teddy Tua dan memikirkan kami akan bersatu lagi dengan layak di akhir bulan, aku tak bisa lebih bahagia lagi.

***

Comments

  1. Finally, sudah update. Mantengin blog ini setiap dini hari dan berharap segera update xD

    ReplyDelete
  2. Btw itu bapaknya juga melakukan kekerasan seksual kah? Sepertinya iya.

    ReplyDelete
  3. @pembunuh cahaya
    Wih sama, tiap hari mantengin terus berharap post tiap hari wkwkw

    ReplyDelete
  4. mantap bang saya tunggu lanjutannya

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus