Skip to main content

Pekerjaanku tak biasa. Bayarannya bagus, tapi aku benci suara rintihan yang menyertainya.

original story by P. F. McGrail

--> FB: https://www.facebook.com/P-F-McGrail-181784199029462/
--> Reddit: https://www.reddit.com/r/ByfelsDisciple/
--> buy the books: https://www.amazon.com/gp/product/B07YRWZX87/
permit ]


“Jadi,” aku berkuak, mengabaikan kernyitannya pada suara serakku, “kau takut suamimu yang sudah mati menghantuimu saat kau bercinta dengan pria lain?”

Aku mengisap rokokku panjang, kemudian berhati-hati untuk mengembuskan asapnya cukup jauh darinya agar tak terlihat kasar. Dia tidak mundur, yang artinya dia menganggap aku punya banyak hal untuk ditawarkan.

Makhluk kecil manis, dia. Hampir 30 tahun, meski kupikir usia modifikasi dadanya sekitar 3 tahun. Penampilannya yang menawan berasal dari menghindari kerja keras sepanjang hidupnya. Aku mungkin sama menariknya 25 tahun yang lalu jika yang kutekuni adalah kesombongan dan kebodohan.

Gadis ini terawat.

Ekspresinya membeku untuk sesaat. Aku menyadarinya.

“Tidak,” dia berkata malu-malu, “ini bukan seperti itu.” Dia menatapku dengan mata melebar untuk mendapatkan simpati. Aku menyadarinya.

“Hanya saja...” dia menggigit bibir. “Raymond sudah tiada selama satu bulan—tapi kurasa dia tidak sepenuhnya tiada, kau tahu? Aku ingin tahu apakah aku harus menganggapnya ada atau...” dia mencucurkan air mata. “Bermula dari hal-hal kecil. Sweater kesukaannya akan tergantung di lemari, tapi pagi harinya, sweaternya tergeletak di lantai kamar tidur. Bukan masalah besar, kau tahu?” Dia melihat berkeliling mencari-cari, meski tak ada seorang pun di ruang terbuka itu selain kami berdua.

Seakan merasakan pikiranku, Sopochles menyenggol rokku. Aku meraih ke bawah dan menggaruk telinganya tanpa mengalihkan mata dari klienku. Dia menatap balik padaku melewati uap yang menari berputar dari cerat teko.

“Tapi kemudian,” desahnya, merona merah muda, “Aku akan, ah, di saat intim-“

“Masturbasi, atau bercinta?” tanyaku blak-blakan.

Wajah merah mudanya dengan cepat berubah merah. “Um, yang pertama. Aku tiba-tiba mendengar gedoran pintu kamarku. Dan akan hilang setiap kali aku menghentikan ... apa yang kulakukan.”

"Apa yang membuatmu berpikir itu suamimu yang sudah mati?" Aku mendesaknya, meremukkan rokokku dan menyalakan yang baru.

Dia menatap meja. “Dia akan terus menggangguku. Bahkan jika itu bukan ... tentang sesuatu yang nakal." Dia menatapku dengan putus asa. "Rasanya itu seperti dia. Apakah itu masuk akal?” Dia menggigit bibirnya lagi. Aku melihatnya. "Tapi yang terburuk adalah semalam. Itulah yang membuatku memutuskan bahwa sudah waktunya untuk berbicara dengan... profesional."

Ya Tuhan, jeda kecilnya dan rona wajah yang lucu itu menjengkelkan. Aku benar-benar ingin menamparnya.

"Jelaskan," aku meminta dengan berani sebelum mengambil isapan pertama.

Tarikan rokok yang panjang benar-benar membuat orang merasa diperhatikan. Siapa namanya? Cindy? Dia tampak seperti Cindy. Tapi Cindy ini selalu terpencar dari pikiranku selama beberapa detik kepulan sensual pertama itu. Pada saat-saat itu, aku merasa sangat mampu.

"Tadi malam—"

Aku terbatuk. Kembali pada realita. "Dengar, Cindy—"

"Anne-Samantha."

"Kamu pasti telah nge-jill ribuan kali dalam hidupmu—"

"Maaf ...‘nge-jill’?"

"Apakah kau seorang Jack dari pinggang ke bawah?"

Dia meletakkan tangan kecil mungil tepat di mulutnya. "Oh ... ya ampun, tidak. Aku sepenuhnya Jill, kukira."

Aku mendengus. "Jadi, apa bedanya dengan nge-jill sekarang?"

Matanya membelalak lagi, tapi aku sudah lama belajar untuk menekan dorongan ingin menampar. "Ketika aku sendirian di tempat tidur, aku mendengar napas. Hanya ketika sedang sendirian. Aku tak mungkin keliru."

"Seberapa keras usahamu mendengarnya?" Tanyaku tajam.

Dia menjatuhkan tangan dari wajahnya. "Napas ini datang dari ruangan sebelah."

Aku menatapnya tidak berkedip. Dia membalas.

Aku akhirnya berbalik ketika sebatang abu jatuh dari rokokku ke atas meja. "Ini," aku menawarkan, menuangkan secangkir teh dari ceret. Aku meletakkan tanganku di atas gambar anggur dan lavender untuk menahannya seimbang. "Minumlah."

Dia mengambilnya dengan patuh, meniupnya, lalu menyeruput dan meringis. "Terlalu panas?" Tanyaku tajam.

"Terlalu pahit," dia menjawab dingin.

"Sayang sekali," aku mengakhiri. "Minumlah semuanya jika ingin melihat apa yang ada di sisi lain."

Dia menghirup ketika aku berkata. "Kau sudah memberitahuku bahwa Raymond sudah sebulan tiada. Kau patah hati, tetapi kau tidak dapat melupakannya jika dia masih di sini. Syok itu mengerikan, bukan? Tabrak lari saat dia menyeberang jalan tepat di depan rumahmu sendiri. Saat-saat terburuk dalam hidupmu ketika berlari melewati rumah, tahu apa yang ada di luar sebelum kau melihatnya. Harapan adalah yang terburuk, karena kau tahu bahwa tubuh suamimulah yang akan hancur dan tergeletak di jalan. Tapi bagian terkecil dari dirimu berharap itu tidak benar, dan harapan itu membuatnya jauh lebih menyakitkan. Kau menemukannya di timbunan darah tepat di luar halaman depanmu, dan masa depan yang kau bayangkan terkuras habis seperti darah melalui jari-jari. Dan tepat pada saat itu, berlutut di tengah jalan jam 19:13, kau menyadari bahwa hidupmu telah berubah untuk selamanya ke jalur yang berbeda dari yang dipilih orang lain.” Aku mengisap rokok dengan agresif dan menekan ke depan. "Matahari terbenam saat kau memegang tangannya yang sudah dingin, dan kau menyadari bahwa itu akan menjadi matahari terbenam pertama yang kau habiskan dengan mengetahui bahwa dia sudah mati, dan bahwa sejak saat itu kau akan mengakhiri setiap hari dengan pemikiran itu di dalam benakmu."

Dia memucat. "Aku tak pernah memberitahumu itu di saat matahari terbenam. Aku bahkan tak pernah mengatakan itu kecelakaan mobil. ”

Aku menyipitkan mataku menatapnya. "Rasa bersalah itu lebih dari yang kau harapkan, karena sebagian dari dirimu sebenarnya peduli pada Raymond. Ya, dia sudah tua, dan membosankan, ya Tuhan, kau tidak akan pernah membiarkannya melupakannya. Tapi dia merasa sangat rapuh ketika kau menghancurkan tulang punggungnya dengan mobil sehingga amarah terasa tidak masuk akal saat itu." Aku meniupkan asap melalui lubang hidungku. "Dia tahu itu kau, Cindy. Kau memarkir mobil ke jalan masuk dan membilas darah begitu cepat sehingga tidak ada yang terpikir untuk memeriksanya sebagai bukti. Tapi dia tahu, dan ketika dia terbaring sekarat, tidak mampu bicara melalui paru-parunya yang hancur, dia menatapmu tanpa kebencian, kedengkian, atau dendam. Itu kebingungan yang sederhana, Cindy. Raymond tak pernah menganggap kau melakukannya demi uang. Pikirannya yang sekarat bertanya-tanya apa yang membuatnya jadi suami yang buruk, dan dia merasa bersalah karena tidak tahu sebabnya."

Matanya berkilauan dengan air mata yang kuyakini asli, tapi aku tak peduli.

Cangkir tehnya kosong.

"Aku sangat berhati-hati," bisiknya dalam frekuensi yang tepat di bawah 'hanya anjing yang bisa mendengarnya'.

Aku memutar mataku. "Tidak, kau tidak hati-hati, Sayang. Orang-orang hanya bodoh, dan itulah satu-satunya alasan kau lolos dengan semuanya sejauh ini. Sungguh, memasukkan $ 619.138 tunai ke dalam koper sama saja mencari masalah. ”

Rahangnya ternganga kaget. "Bagaimana bisa kau tahu?"

Aku mengembuskan satu asap panjang terakhir dari rokok. "Jika aku berada di posisimu, Sayang, aku akan jauh lebih khawatir soal seberapa banyak oleander beracun yang baru saja kau minum bersama tehmu."

Dia membanting tangannya di atas meja dan meraih ujungnya dengan sangat keras sehingga cangkir kosong itu bergoyang-goyang di atas tatakannya. "Apa yang kau perbuat padaku?"

Aku menarik puntung rokok dari bibirku dan melumatnya di cangkir kosongnya. "Berdamailah dengan entah Tuhan atau iblis yang menunggu hatimu," jawabku datar. Lalu aku berbalik untuk melihat ke arah serambi pada hantu yang hanya bisa kulihat.

Raymond berantakan sekali. Tulang belakangnya yang hancur tidak punya harapan untuk menahan tubuhnya tetap tegak, sehingga setiap anggota badan yang lemas jatuh ke sudut-sudut yang tidak wajar. Mata air darah hitam keluar dari bibir putih dan hidungnya. Isi perutnya menonjol keluar dari perutnya seperti daging sapi yang diremas di antara jari-jarinya yang kotor, dan ususnya menggantung ke tanah seperti tautan sosis.

Dia menatap jandanya yang masih muda.

Atau, harus kukatakan, satu mata yang tidak meletus seperti agar-agar yang menatap.

Aku benar-benar berpikir bahwa Cindy akan terkejut jika tahu suaminya ada di sana.

Sebaliknya, perempuan itu fokus padaku. "Berapa lama ... kapan akan bereaksi?" Dia bertanya dengan nada membatu.

"Sebentar lagi, Sayang," kataku sambil lalu, menyalakan sebatang rokok lagi.

Raymond mendengus. Dia tidak banyak bicara, dengan lidah terkulai tanpa daya di tempat rahangnya yang hilang seharusnya berada.

"Oh, dan satu lagi, Sayang." Aku mencondongkan tubuh ke depan dan dengan lembut meletakkan telapak tanganku di atas meja. "Raymond ingin memberitahumu bahwa kematian benar-benar menyakitkan."

Dia membeku. Di belakangnya, meskipun tidak punya mulut, aku bersumpah bahwa Raymond sedang tersenyum.

Kejangnya mulai setelah itu, tetapi tidak berhenti untuk waktu yang lama.

Apa kau tahu seberapa jauh busa mulut bisa menyemprot ketika seorang wanita sekarat tidak berhenti meronta-ronta?

Aku hampir merasa sedih untuknya ketika kusadari betapa sulitnya dia berusaha menangis.

Itu adalah pekerjaan yang sangat sulit saat tenggorokanmu tengah tertutup.

Saat itulah Raymond melenggang ke badannya yang gelisah, berlutut, dan dengan lembut menyerempetkan ujung jarinya yang mati di pipinya. Dia menatap penuh gairah ke matanya, dan untuk sesaat, kurasa istrinya melihatnya.

Lalu wanita itu pergi.

Sang mayat hantu menangkap pemandangan itu selama beberapa saat sebelum aku memotongnya dengan suara berdehem keras.

"A-hem." Dia menatapku dengan matanya yang berfungsi. Lembab. “Aku menghargai instruksimu yang jelas soal cara menemukan kopornya. Jika semuanya seperti yang dijanjikan, tagihan akan diselesaikan. "

Dia mendengus dan melambaikan tangannya yang lemas dan lemah ke tubuh istrinya yang sudah meninggal.

"Dia? Aku akan meninggalkannya di halaman belakang rumahmu. Aku sudah menyelipkan tanaman oleander ke kebun di salah satu kunjungan malamku. Mereka tidak biasa di sini di Alabama, dan mereka akan menjelaskan kematian 'tidak sengaja' dengan baik." Aku mengerutkan hidungku. "Dan aku harus bilang, aku berterima kasih karena tak perlu lagi menyelinap ke rumahmu setiap malam untuk menakuti penyihir kecil kejam ini. Erangan masturbasinya membuatku muntah, dan aku benci merangkak melalui jendela. Aku sudah tidak lima puluh tahun lagi, kau tahu." Aku menarik napas dalam-dalam dari udara yang bercampur nikotin.

Dia mendengus lagi, menggantung lengannya yang tidak responsif di atas wanita yang sudah mati itu sekali lagi.

"Hmmm?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang tulus ketika aku mendekati mayat itu. "Ada yang lain?"

Dia bergetar lebih bersemangat, menyemprotkan kabut halus darah hantu ke wajah ungu wanita itu.

"Oh, astaga," bisikku.

Aku membungkuk dan mencabut cincin dari tangan karet wanita itu.

"Pasti ada dua lusin berlian di sini!" Aku berseru. Lalu aku menyelipkannya ke jari tengah.

Sangat pas.

"Ya, terima kasih banyak, aku menerima tip untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik, kau pria baik."

Kali ini aku tahu Raymond sedang tersenyum.

Dan aku juga.

Namaku Patricia Barnes, dan aku pembunuh bayaran bagi hantu yang hanya aku bisa melihat.

***

Comments

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus