Skip to main content

Perjalanan Astral

transkrip dari manga asli Book of Horror oleh Takaminato Motosuke


Sejak kecil aku punya sedikit masalah dengan tubuhku. Kadang ada anak-anak yang punya masalah sendi bahu atau lengannya mudah terlepas, tapi dalam kasusku rohku yang mudah terlepas. Aku menyadari itu beberapa saat sebelum masuk SD.

Saat itu aku tengah berlarian di dalam rumah dengan penuh semangat.

“Hei, Shinya! Jangan lari-larian begitu, nanti kamu jatuh!” ibuku yang sedang menyetrika di ruang tengah berseru mengingatkan.

Seperti doa, tak berapa lama aku terjatuh dengan cukup keras.

“Tuh, kan. Dasar!” kudengar ibuku mengomel.

“Aduh,” aku berdiri dengan susah payah. Dan ketika akhirnya berhasil, aku sangat kaget karena aku melihat tubuhku sendiri yang tergeletak di atas lantai.

“Shinya, kau tidak apa-apa?” ibuku yang heran karena tak kunjung ada suara mulai berdiri dan mencariku. “Apa kamu terluka?”

Dan aku hanya menonton saat ibuku tiba dan melihat tubuhku yang tergeletak di atas lantai.

“Shinya! Kamu kenapa, Shinya!” aku melihat ibuku mengguncangkan tubuhku itu. Lalu dia memeriksa napasku. “Oh, tidak! Kenapa kau tidak bernapas? SHINYA! SHINYA!”

Dan aku masih mematung di samping ibuku yang menangis memeluk tubuhku yang di lantai. Aku ingin kabur karena takut melihat ibu yang meraung-raung seperti itu, tapi aku tak bisa. Ada keinginan untuk kembali ke tubuhku. Tapi yang paling utama, aku ingin menenangkan ibuku.

Tanpa berpikir lagi aku segera bergegas meloncat ke arah tubuhku yang tak tak bergerak dalam pelukan ibuku.

“Ibu,” akhirnya aku berkata pelan. “Ibu, aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa, ibu.”

“Shinya!” Dan ibuku menangis lebih keras.

Setelah itu kadang-kadang rohku terlepas dari tubuhku. Waktu SD aku sering dikira pingsan saat upacara pagi, atau ketiduran saat sedang belajar di kelas. Dan sekarang, orang-orang melihatku sebagai mahasiswa miskin yang sakit-sakitan.

Hari itu aku sedang berjalan kaki pulang. Saat sedang menyeberang jalan, aku kurang berkonsentrasi, dan mendadak saja sebuah truk pengangkut sedang meluncur ke arahku. Saking dekatnya hingga aku tak sanggup menghindar dan hanya pasrah saja. Tapi truk itu melaju begitu saja menembus tubuhku. Aku tak apa-apa.

Ah, gawat. Rupanya rohku terlepas lagi dari tubuhku. Sial. Di mana tubuhku sekarang?

Ketika aku dalam kondisi roh, berpindah tempat menjadi sangat mudah. Dengan memikirkan sebuah tempat, maka aku akan langsung tiba di sana dalam sekejap mata. Akan tetapi, semakin lama rohku meninggalkan tubuhku, suasana hatiku semakin tidak stabil. Insting untuk segera kembali ke tubuhku semakin kuat.

Aku terus berpindah ke tempat-tempat yang kupikir kusinggahi sebelumnya, menyusuri jalanan yang kulalui sebelumnya, dan belum menemukan tubuhku. Aku berpindah ke sebuah bus kota dan akhirnya di sanalah kutemukan tubuhku, duduk di kursi paling belakang. Sedang terjatuh maju seperti boneka yang bersandar pada kursi di depannya. Seorang bapak-bapak dengan baju kantoran sedang berusaha membangunkanku. Namun ketika aku sedang berjalan mendekatinya aku melihat sebuah bayangan hitam seperti asap datang, turun dari atap bus, dan aku yakin melihat seraut wajah di tengah asap itu, dan sebelum bisa mencegahnya asap itu sudah masuk ke dalam tubuhku.

“Hei, anak muda, kau sakit?” tanya si bapak-bapak kantoran.

Tubuhku mendadak bangkit berdiri. Tubuhku diambil alih oleh bayangan hitam barusan!

Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya mengamati dengan kebingungan saat tubuhku menekan bel dan berjalan menuju pintu depan, hendak turun dari bus.

“Hei, tunggu!” panggil si sopir. “Uangnya belum. Bayar dong! Dasar mahasiswa bodoh!”

Tubuhku berhenti di tengah pintu, berbalik mendatangi si sopir, kemudian menendang kepalanya. Tak sampai di situ, dia kemudian meninju wajah si sopir dengan membabi-buta sampai darah muncrat ke segala arah. Dan tubuhku tertawa terbahak-bahak saat melakukannya.

Para penumpang terlihat ketakutan. Sambil masih terbahak-bahak tubuhku kemudian berlari keluar.

“Dasar brengsek.”

Aku berlari mengejarnya. Saat dia masuk ke taman aku berhasil mengambil jalan pintas dan menghadangnya. Dia bisa melihatku. Dia berhenti ketika melihatku, masih dengan ekspresi tersenyum bahagia.

“Berani sekali kau mengacau dengan tubuh orang lain!” kataku. “Ayo keluar dari tubuhku!”

Aku menabrakkan diri ke tubuhku, tapi rohku hanya menabrak tubuhku seperti menabrak benda padat. Aku tak bisa menembusnya. Aku tak bisa memasuki tubuhku.

Dan dia, entah setan mana yang telah mengambil alih tubuhku, kembali tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan berjalan meninggalkanku.

Aku tak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa mengikutinya. Tanpa tubuhku, aku bahkan tak sanggup meggerakkan sehelai daun pun.

Aku membuntuti tubuhku yang berjalan-jalan berkeliling kota, tampak sangat menikmatinya. Kemudian tubuhku masuk ke dalam swalayan. Dan kulihat dia membeli sebuah pisau...

Apa yang ingin dia lakukan?

Kini dia kembali berjalan. Kali ini dia mendatangi sebuah taman bermain yang ramai dengan anak-anak. Dia langsung berjalan menuju toilet. Aku menunggunya di luar. Tapi dia lama sekali tidak segera keluar.

Apa yang dilakukannya di sana?

Dan sebuah kesadaran membuatku lemas. Sejak tadi sudah ada empat anak yang masuk dan tidak seorangpun anak terlihat keluar. Saking takutnya aku sampai tak sanggup masuk ke dalam bangunan toilet tersebut.

“Ren! Ren!” seorang guru penjaga terlihat memanggil salah satu muridnya.

“Tadi Ren pergi ke toilet, Bu,” seorang anak memberi tahu. “Tapi belum kembali sampai sekarang.”

“Mana juga belum kembali,” seorang anak lain menambahkan.

Guru itu segera memanggil dua rekannya. Tiga wanita itu sekarang berjalan mendekati bangunan toilet dengan takut-takut. Dan ketika melongok ke dalamnya ketiganya langsung menjerit keras.

**

Polisi akhirnya datang. Tubuhku sudah keluar dari dalam toilet dengan berlumur darah dan dibekuk polisi tanpa perlawanan.

“Itu ya pelakunya?”

“Masih muda ya.”

Warga mulai berdatangan dan asik membicarakan yang terjadi. Melihat dengan penasaran tubuhku yang sudah dimasukkan ke dalam mobil polisi dan dijaga dua orang polisi. Dan ketika aku bertatap mata dengan tubuhku itu, aku melihatnya sekali lagi tersenyum. Kali ini senyum seringai yang begitu jahat. Detik berikutnya kepalaku terjatuh dan bayangan hitam itu melayang pergi meninggalkan tubuhku, menembus atap mobil polisi dan menghilang di udara.

Setelahnya aku tak dapat lagi menahan insting yang begitu kuat untuk segera kembali ke tubuhku.

“Hei, angkat kepalamu, bajingan,” kudengar polisi di sebelahku membangunkanku. Aku sudah di dalam mobil sekarang.

Aku sudah kembali ke tubuhku. Tubuh yang dilabeli sebagai pembunuh psikopat.

Dalam sidang, aku diputuskan menerima hukuman mati. Para terpidana mati tidak menempati penjara biasa. Mereka ditempatkan di sebuah sel khusus, menunggu datangnya saat eksekusi. Sudah setahun sejak aku datang kemari.

Malam itu aku tidur di selku. Dan seperti biasa aku membebaskan rohku agar bisa berjalan-jalan ke halaman luar.

“Hei, kau kemari untuk mencari udara segar ya?” sapa salah seorang tahanan. Satu dari tiga orang yang sedang duduk di rerumputan di luar pagar penjara.

Yang mengejutkan, ada beberapa orang terpidana mati yang memiliki kondisi yang sama denganku. Sejak kecil roh mereka mudah terpisah dari tubuh. Kami semua dijatuhi hukuman mati karena kejahatan yang dilakukan oleh sesosok arwah jahat. Di dunia ini tidak ada cara untuk membuktikan bahwa kami tak bersalah. Mereka semua sudah menyerah.

“Hei, Shinya, ada cara menyenangkan untuk melepaskan penat. Kau mau ikut?” tanya salah satu roh temanku.

“Hm, boleh saja.”

Dalam sekejap mata mereka membawaku tiba di sebuah gang tengah kota.

“Mau apa di tempat seperti ini?”

“Ah, yang itu boleh juga.” dia tak menjawab pertanyaanku.

Aku melihat apa yang dia maksud. Ada seorang pegawai yang sedang mabuk dan tertidur di jalanan.

“Memang kenapa pemabuk itu?”

“Ah, lihat saja.”

Temanku mendatangi pemabuk itu kemudian memasuki tubuhnya. Menguasainya.

Pemabuk itu bangun, berjalan menuju tempat sampah terdekat, dan menemukan sebuah pecahan botol. Dia kemudian berjalan lebih jauh, menuju jalanan, hingga akhirnya menemukan sebuah mobil patroli dengan seorang polisi yang sedang duduk di dalamnya. Dia berbasa-basi singkat dengan si polisi, lalu dalam serangan mendadak menyerang polisi itu dengan pecahan botol di tangannya. Dia menarik polisi itu keluar dari mobilnya dan membiarkannya terkapar dengan darah mengucur dari lehernya.

Aku segera bergegas ketika kulihat temanku dengan tubuh si pegawai mabuk masuk ke dalam mobil polisi. Aku berpindah masuk ke dalam mobil.

“Hei, hentikan! Apa maksudnya ini?” tanyaku.

“Tenang saja, tenang,” balas temanku. “Tuh lihat ke depan.”

BRUAKKK.

Dia baru saja menabrak seorang pejalan kaki.

“HEI, JANGAN!” aku berteriak.

“Masih belum selesai! Selanjutnya!” katanya sambil terbahak-bahak.

Kini ada seorang wanita dengan sepeda kayuh di depan. Temanku menginjak pedal gas dan tanpa ragu menabrak wanita itu. Kurasakan ada yang tersangkut di bawah mobil kami, membuat laju kami sedikit kesulitan. Tapi temanku tak berhenti.

“Bagaimana? Lega kan rasanya?” tanya temanku.

Kini aku mengerti, siapa sosok yang telah berbuat kejahatan dengan mempergunakan tubuhku. Mereka adalah orang-orang yang punya kondisi sama denganku. Yang sekarang juga berada di posisi yang sama denganku. Rasa kaget karena pengetahuan baru ini begitu luar biasa. Tapi daya tarik ‘cara melepas penat’ yang ada di depan mata ini jauh lebih kuat.

“Bagaimana?” temanku menoleh ke arahku. “Kau mau coba?”

Aku hanya diam menatap kosong jalanan di depan. Kemudian menjawab. “Iya.”

Sepeda dan tubuh wanita itu belum berhenti berderak-derak di bawah mobil kami.


Comments

Terpopuler sepekan

Cerita Seram Api Unggun

Pengalaman diculik jin

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Catatan Atas Awan

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?