Skip to main content

Cerita Perkemahan

by vital_dual
[ permit ]

Selama beberapa tahun aku adalah pembimbing kemping di sebuah perkemahan semalam di Muskokas. Aku menyukainya lebih dari pekerjaan manapun yang pernah kumiliki, melupakan bayarannya yang tak tentu, peserta yang menjengkelkan, hari panjang dan malam yang pendek, makanan parah, dst. Karena aku bisa menceritakan kisah seram sebanyak yang kuinginkan. Tak ada yang lebih baik dari berkumpul di sekitar api unggun yang mulai padam bersama anak-anak SMP yang minta cerita paling seram, paling berdarah-darah yang kutahu. Dan kuceritakan semua pada mereka: babysitter dan patung badut seram; sopir dan pegawai pom hantu; wanita dan anjing penjilat.

Aku menyimpan cerita paling seram untuk perjalanan malam yang akan kami tempuh menuju Algonquin Park—untuk yang bukan orang Kanada, itu adalah taman nasional besar di tengah Ontario, yang terentang seluas 8.000 kilometer persegi—ketika siangnya kami habiskan untuk berkano di danau alami dan malamnya di api unggun, bernyanyi dan membuat s’mores dan menjadi orang yang paling berisik dalam radius bermil-mil jauhnya. Begitu anak-anak mulai diam, kuceritakan pada mereka kisah pengintip di kedalaman hutan dengan wajah yang begitu menyeramkan hingga membuat korbannya lumpuh ketakutan, atau kelompok pekemah yang memutuskan untuk menghabiskan malam di seberang danau dari bekas (ATAU MASIH?) sebuah rumah sakit jiwa.

Khusus malam ini, aku menghentikan cerita di sana, sekali lagi menekankan bahwa semua itu nyata, dan menyuruh semua peserta untuk menuju tenda. Itu adalah hari yang melelahkan, dan tak ada satupun dari keenam anak itu yang bersemangat begadang. Rekan pendampingku juga mengakhiri kegiatannya, meninggalkanku sendirian di atas gelondongan kayu dekat api yang hampir padam. Aku mengambil napas dalam, menghirup udara beraroma pinus segar dan memandang ke danau. Bulan separuh terpantul di air yang seperti kaca, dan di sisi lain aku bisa melihat tebing yang menjulang, naik setinggi beberapa ratus kaki. Aku memikirkan apakah sebaiknya kami berkano ke sana, memanjat beberapa puluh kaki, dan melakukan lompat-tebing. Direktur kemping akan membunuhku jika kami melakukannya. Jika dia mengetahuinya.

Sebuah pergerakan di puncak tebing tertangkap oleh mataku. Ada cahaya kecil yang terombang-ambing di puncak. Awalnya kukira itu bintang, tapi dia lebih besar dan bercahaya emas. Dia lalu mundur perlahan dalam sebuah lengkung kecil. Seraya aku bangkit dan mengamatinya, cahaya lain muncul di sebelahnya, bersinar di puncak tebing. Lalu muncul yang lain lagi. Dan lagi. Dan beberapa lagi.

Perutku anjlok ke kakiku. Aku menyambar tasku dan mengeluarkan kamera digital, lalu membidik orb kecil itu dengan fungsi zoom. Kuhitung mereka. Dan kuhitung lagi.

“Oh, sial.”

Secepat kilat aku berlari ke tenda. “Hei, semua? Bangun. Kita harus pergi.”

Ada pergerakan di tenda, lalu kudapati tujuh kepala yang kebingungan mengamatiku. Rekan pembimbingku menampilkan campuran antara cemas dan marah. “Aku tak suka ini,” lanjutku, “tapi langit kelihatan tak bersahabat. Akan ada badai besar yang datang. Jika terjebak, perjalanan kita akan kacau.”

“Kau serius?” Laura, rekan pembimbingku, bertanya. “Kita di tengah-tengah hutan. Mau pergi ke mana kita?”

Aku menarik peta dan senter dari tasku. “Ada pos ranger beberapa kilometer di sebelah selatan.” Aku menelusuri jalur dengan jariku. Syukurlah. “Kita bisa tiba di sana dalam beberapa jam.”

Para peserta mengerang. “Tak bisakah kita pergi pagi saja?”

“Tidak!” aku berteriak, suaraku bergaung ke seberang danau. Aku memelankannya. “Ayolah, mari berkemas dan pergi. Akan kuceritakan kisah lagi di perjalanan.” Aku tersenyum, meski dapat kurasakan tubuhku gemetar. “Ini cerita terbaikku.”

Kelihatannya itu berhasil membuat mereka bergerak, dan dalam sepuluh menit tendanya sudah dikemas dan kami mulai berjalan masuk ke hutan, hanya dengan senter kecil sebagai pemandu kami. Saat aku sudah yakin kami berjalan dengan kecepatan tetap, aku biarkan diriku bersantai dan mulai menceritakan dongeng api unggun favoritku:

Berabad sebelum pendatang dari Eropa menemukan jalan kemari, negara ini dihuni oleh para Bangsa Pertama. Mereka melakukan perjalanan dari Kanada Barat, mengikuti pola migrasi binatang besar seperti banteng dan bison. Sampai akhirnya mereka tiba di Ontario, di mana mereka berpencar menjadi kelompok yang lebih kecil, masing-masing mencari tanah untuk diklaim menjadi miliknya.

Menurut legenda, terdapatlah kelompok ini, yang terdiri dari sekitar dua puluh pria, wanita dan anak-anak, yang telah berkelana melewati area ini dalam pencarian untuk menemukan tempat tinggal. Saat itu belum juga akhir Oktober, saat cuaca berubah menjadi yang terburuk. Dan saat kelompok tersebut berjalan mengelilingi danau, sebuah badai salju ganas menghantam. Dalam hitungan jam, kelompok itu sudah mendapati diri dalam salju yang membutakan dan temperatur di bawah nol. Pakaian yang mereka kenakan dibuat untuk musim gugur, bukan cuaca semacam ini, dan belum ada jaket Bulu Angsa Kanada pada waktu itu. Namun mereka terus berjalan. Mereka tak punya pilihan lain.

Malam sudah turun saat mereka tiba di bibir tebing, yang menjulang di atas danau yang dingin dan berombak. Tak ada yang menghentikan kelompok ini—mereka akan mati jika tidak berhasil melewati tebing. Tapi dengan kegelapan yang ada, dan salju yang turun makin keras, hampir tak mungkin untuk bisa melihat. Jadi salah satu tetua mendapat ide. Dengan minyak tanah terakhir yang mereka miliki, dia menyulut lentera untuk masing-masing pengelana untuk mereka bawa di depan mereka, bukan agar bisa melihat tebing, tapi agar mereka bisa melihat siapa yang ada di depan mereka, sehingga mereka bisa saling mengikuti untuk melewati tebing curam itu.

Dengan pria terkuat yang memimpin mereka, kelompok itu mulai berjalan melewati tebing. Salju beku dan basah tertumpah ke setiap tulang mereka. Angin keras meniup setiap kulit mereka yang terbuka kedinginan, mengancam untuk menjatuhkan mereka ke bebatuan. Jalur mereka tak lebih dari beberapa kaki saja lebarnya, dan bisa terpelesat sewaktu-waktu meski dengan sepatu hiking terbaik sekalipun, apalagi hanya sepatu buatan tangan. Pelan—dengan susah payah—mereka terus menaiki tebing, berdoa apa pun yang ada di sisi seberang bisa melindungi mereka dari badai hebat ini.

Mereka sudah setengah jalan, ratusan kaki di atas danau, dan tentu itu tak terlihat oleh mereka. Yang dapat mereka lihat di badai membutakan itu hanya lentera di depan, bagai suar yang membimbing langkah mereka. Jika cahayanya naik, mereka naik. Jika turun, mereka turun. Semua pengelana itu sudah kelelahan, dan tak ada yang mereka pedulikan selain orb yang bersinar beberapa kaki di depan mereka.

Tak ada kemewahan untuk si pemimpin. Dia bergerak dengan buta, merasakan tebing dengan tangannya yang bebas, sedang tangannya pun sudah beku sehingga dia tak bisa merasakan apa pun. Saat jalur berbelok lagi, dia salah langkah dan kehilangan pijakan, sementara hembusan angin meniup punggungnya. Dia langsung mencari tempat berpegang, tapi jarinya yang beku tak mendapatkan apa pun. Dengan jerit mengerikan, dia terlepas dari tebing dan jatuh ke danau hitam beku.

Tentu saja yang lain tidak melihatnya terjatuh. Yang mereka lihat hanya nyala orb yang jatuh dan menghilang dalam kegelapan. Tak ada waktu untuk berduka. Mereka terus melanjutkan, tapi badai semakin memburuk. Setelah beberapa menit, salah satu anak, yang tubuhnya tak mampu menahan dingin, jatuh, lenteranya menyala hingga gelombang air memadamkannya. Anggota lain, yang melihat hal itu, kehilangan keseimbangan dan jatuh. Pola seperti ini terus berlanjut sampai hanya beberapa orang yang tersisa, meraba dalam kegelapan, mengikuti cahaya di depan.

Sekeras apa pun mereka berusaha, tebing tetap tak kenal ampun. Sisa orang tinggal empat. Kemudian tiga. Dan dua. Lalu tinggal satu orang tersisa, yang menurut legenda, dia mengutuk bumi ketika kakinya terpeleset dan dia terjun ratusan kaki ke bawah, lentera miliknya menjadi yang terakhir padam.

“Dari dua puluh anggota yang berusaha melintasi terbing,” aku mengakhiri, “tak ada satu pun yang selamat. Menurut cerita, kadang, pada kondisi yang tepat, kau bisa melihat orb-orb di tebing, simbol para pengelana yang hilang dan tak pernah menemukan rumah mereka.”

Begitu cerita berakhir, meninggalkan keheningan mencekam bagi para peserta, aku melihat cahaya di depan. Gelombang kelegaan mengguyurku. Kami mempercepat langkah dan menemukan pos ranger sibuk beraktifitas, dengan setengah lusin orang berlalu-lalang, memuat truk dan berteriak ke radio. Angin mulai bertiup dan aku mendengar gemuruh di kejauhan.

“Hei! Kau, Nak!” Seorang pria besar, kekar dengan jenggot dan kumis lebat menghampiri kami. “Naik ke truk! Kita tak punya waktu!”

Aku dan Laura memimpin anak-anak ke salah satu truk pick-up. “Ada apa?” aku menanyai si pria.

“Kau tak dengar?” Hembusan angin lagi. “Ada badai besar menuju kemari. Sudah ada angin puyuh yang turun. Kita harus mengeluarkan semua orang dari sini. Ayo!”

Kami semua memanjat ke bak truk. Aku menjatuhkan diri, merasa seperti baru saja ditonjok di perut. Si ranger naik ke depan dan kami berangkat ke jalanan kasar. Kepalaku berputar. Ini tak mungkin...

“Bagaimana...” Laura menyelip di sampingku, menjaga suaranya tetap pelan. “Bagaimana kau bisa tahu kita harus pergi dari sini?”

Aku memandangnya. Wajahku serasa kosong tanpa darah. “Aku melihat cahayanya.”

“Apa? Tidak. Tidak!” Dia tergagap, lalu menguasai diri. “Berapa banyak?”

Aku menarik napas dalam. “Delapan.”

Dia melihat berkeliling ke semua peserta, yang sekarang bersandar satu dan yang lainnya, tertidur di jalanan yang tak rata. “Itu artinya kita semua. Oh, Tuhan...”

Aku mengangguk dan bersandar padanya. Laura sudah mendengar kisah para pengelana sebelumnya, dan dia tahu bahwa aku tidak menceritakan bagian kunci. Cahaya itu nyata, tapi mereka tak pernah acak. Jika mereka bersinar—berayun maju-mundur dalam garis lengkung kecil—itu karena mereka menyampaikan pesan. Sebuah peringatan.

Satu cahaya akan menyala, untuk satu orang yang akan tewas.


Comments

  1. Ini berarti mereka masih belum selamat? Atau mereka udah selamat karena si aku cepat tanggap?

    ReplyDelete
  2. selamat gan. kalo gak selamat siapa yang nulis ceritanya? haha

    mereka selamat karena ternyata dongeng yang selama ini selalu diceritakan si aku buat nakut2in peserta kemah benar-benar terjadi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Cerita Seram Api Unggun

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Episode 'Junji Ito Maniac: Japanese Tales of the Macabre' terfavorit versi saya