Skip to main content

Dia Bilang Bau Kematian Membuatnya Bernafsu

by lifeisstrangemetoo
[ permit ]

Hal terbaik dalam hidup itu terdiri dari lima huruf.

Cinta, kawin, dan bebas.

Ini adalah cerita tentang kata kedua di daftar itu, tapi kata pertama menjadi tamu kemudian.

Dia bernama Marla dan dia adalah sebuah mahakarya. Tidak seperti patung Yunani; lebih seperti boneka seks kelas satu. Itu mungkin terdengar seperti ejekan, tapi kenyataannya tidak. Marla memang tidak sempurna, tapi dia sempurna untuk versi dirinya sendiri. Dalam hidup, hanya itu yang bisa dicita-citakan semua orang.

Aku melihatnya pertama kali saat dia merokok di luar gedung seni kampus kami, tampak sedang bosan dengan kehidupan.

“Aku keluar.” Dia berkata tidak pada siapa-siapa begitu dia selesai. Dia mengamatiku naik-turun seperti sedang menilai sebuah mobil.

“Aku mau menyedot kemaluanmu demi satu batang rokok.” Dia berkata.

Aku terbatuk begitu keras hingga nyaris menelan rokokku sendiri. Aku memberinya satu batang dengan alamiah. Malam harinya, setelah dia selesai mengisap kemaluanku, dia menyalakan dari satu pak di tasnya. Begitulah dirinya. Aku tak pernah mengerti Marla, aku cuma senang bersama dirinya. Jadi ketika aku tahu dia bukan mahasiswa di kampus, harusnya aku tak terkejut. Tapi aku terkejut.

“Aku cuma tak mengerti,” kataku. “Kenapa kau nongkrong di sini?”

Dia mengangkat bahu.

“Tapi—“ kalimatku terpotong saat jemari panjangnya turun ke dalam celanaku, dan dia mulai berlutut. Saat Marla tak mau bicara tentang sesuatu dia selalu memastikan mulutnya sedang dipakai untuk hal lainnya. Dan Marla tak terlalu banyak bicara.

Di penghujung hari bersamanya, kemaluanku akan punya lebih banyak lipstik dibanding seorang gadis cabe-cabean.

Tapi jalan tercepat menuju hati seorang pria adalah juga jalan tercepat untuk membuatnya kehilangan setengah sel otaknya. Oleh karena itu, aku melewatkan banyak peringatan bahaya soal Marla yang harusnya kusadari.

Seperti bahwa aku tak pernah melihatnya makan atau minum. Dia selalu saja sudah kenyang, atau sedang tak nafsu makan.

Atau bahwa dia tak pernah tidur. Setiap kali dia menginap setelah kami bercinta sore harinya, dia hanya akan berbaring di ranjang dan menatap langit-langit. Aku pernah terbangun di tengah malam dan menemukan dia menatap lekat wajahku, dengan pandangan tak terjelaskan yang lebih mirip rasa lapar.

Keyakinanku bahwa ada yang salah dengan Marla semakin kuat saat aku menemukan kartu SIM miliknya. Kartu itu keluar dari tasnya yang hanya dia lempar begitu saja di atas meja.

Itu adalah foto Marla, serupa dengan dirinya yang sekarang, tapi tahun pembuatannya adalah 1979. Bagaimana bisa seseorang tak menua seharipun selama 30 tahun?

Dia memergokiku dan menyambarnya dari tanganku.

“Suka kartu SIM palsuku?” katanya, melempar rambutnya dan merabakan tangannya ke dadaku.

“Marla, bagaim—ouh.”

Dia melayaniku dengan keras, dan segera saja aku sudah di atas meja dan dia di atasku.

”Kau keparat sakit, kau tahu itu kan?” dia berbisik di telingaku, pinggulnya memutar dengan ritmis.

Aku kehilangan semuanya dan lupa soal kartu SIM.

Kami sudah bersama selama 6 bulan saat misteri mulai terurai.

“Marla,” aku memulai, sementara kepalanya naik turun di selangkanganku, “apakah kita eksklusif?”

Dia sengaja membuat suara saat menarik mulutnya dari diriku.

“Kenapa?” dia bertanya. “Kau ingin bercinta dengan gadis lain?”

“Apa? Tidak, aku cuma ingin tahu apakah aku satu-satunya yang kau, uh...”

“Setubuhi?”

“Yeah, setubuhi.”

“Ya,” dia menjawab, kembali meluncurkan mulutnya ke batangku hingga bibirnya menyentuh dasarnya.

“Tapi ke mana kau di waktu lain?” aku bertanya.

Dia menarik dirinya dariku lagi.

“Aku punya urusan yang harus diselesaikan,” dia berkata tak jelas.

“Urusan apa?”

“Urusan.” Dia berkata datar. “Kau mau aku selesaikan ini atau tidak?”

“Oh, uh, ya.”

Marla nyengir jahat dan kepalanya mulai naik turun lagi dengan semangat baru.

Aku tahu seharusnya aku tidak mengikuti Marla, harusnya aku sudah cukup senang kemaluanku diisap. Tetapi kadang rasa penasaran mengalahkan kesadaran kita. Yah, rasa penasaranku nyaris membunuhku.

Tempat pertama kuikuti yang didatangi Marla adalah kamar mandi. Dia masuk ke kamar mandi tunggal untuk orang berkebutuhan khusus di gedung seni, dan aku mendengar kunci menceklik di belakangnya. Lalu lewat pintu aku mendengar tak salah lagi suara orang muntah, diikuti oleh siraman air. Apakah Marla mengidap bulimia? Itu tak terlihat dari Marla yang aku kenal.

Aku bersembunyi di sudut, kemudian masuk untuk menyelidiki begitu dia pergi. Dia sudah memuntahkan sebagian besar ke toilet, tapi di sekitar pinggirannya aku menemukan tetesan kecil darah.

Apa yang sedang terjadi? Pikirku.

Kemudian Marla pergi ke rumah sakit, aku mengikutinya saat dia mengunjungi puluhan pasien, kebanyakan dari mereka dalam kondisi di ambang kematian. Setiap kali setelahnya dia akan mencari kamar mandi yang sepi dan muntah. Setiap kalinya akan ada tetes darah di dudukannya. Aku mulai khawatir dengan kesehatannya. Rasanya tak mungkin seseorang bisa memuntahkan darah sebanyak itu dan masih hidup.

Akhirnya aku mengikuti Marla hingga sampai ke gang kecil sepi.

Apa yang dia lakukan di sini? Pikirku.

Tetapi dia hanya berdiri di sana, tak bergerak. Kemudian—

“Aku tahu kau mengikutiku.” Dia berkata. “Kau boleh keluar dari dinding itu.”

Aku melangkah keluar dan dia berbalik menghadapku.

“Dari mana kau tahu?”

“Aku bisa mencium baumu, bodoh.”

“Mencium bauku?”

“Oh ya. Aku bisa menciummu dari jarak satu mil. Itulah caraku menemukanmu. Kau pikir aku tak bisa mencium baumu saat kau tepat di belakangku?”

Aku mengendus ketiakku. Bauku baik-baik saja.

“Kau ini bicara apa?” aku berkata.

“Baumu seperti kematian,” dia berkata, memandangku dengan lapar. “Kau keparat sakit.”

“Bicaramu tak masuk akal. Bagaimana mungkin aku sakit?”

Marla mengangkat bahu.

“Tanyalah doktermu. Apa peduliku?”

“Apa?”

“Kau masih tak mengerti? Aku memakan penyakitmu. Itu yang kulakukan.”

Sudah jelas bahwa Marla kehilangan akal sehat.

Kami berpisah setelah itu, tapi sesuatu di dalam kepalaku terus merundungiku. Bagaimana jika aku benar-benar sakit? Aku pergi ke dokter hanya untuk memastikan. Setelah hasil tes darahku keluar aku mendapat panggilan mendesak yang memintaku segera datang sesegera mungkin. Aku tahu di pertemuan itu bahwa menurut estimasi aku harusnya sudah mati 3 bulan yang lalu. Tes MRI menunjukkan bahwa kanker itu, yang jenisnya langka dan agresif, sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Dalam beberapa hari aku tak akan bisa lagi berjalan dan mungkin saja duduk. Tamat riwayatku.

Aku menghubungi Marla, hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku memberitahunya rumah sakit tempatku dirawat saat dia memotong kalimatku.

“Aku tahu di mana kau,” dia berkata. “Aku bisa mencium baumu.”

Dia datang tepat 5 menit kemudian. Dia menarik gorden di seputar tempat tidur dan mulai melucuti celanaku. Aku menghargai semangatnya, tapi tak mungkin aku bisa mengumpulkan tenaga untuk ereksi. Tetapi aku salah; segera saja kepalanya sudah naik turun di selangkanganku. Aku jatuh tertidur setelahnya, seperti yang selalu terjadi. Aku terbangun karena suara orang muntah dan siraman air, dan dengan terkejut aku merasa sehat wal afiat.

Marla muncul dari kamar mandi dan duduk di kaki tempat tidurku, mengoleskan kembali lipstiknya.

“Sebagian besar vampir mencuri hidup.” Dia menjelaskan. “Aku mencuri penyakit. Tapi aku harus membuang bagian buruknya. Itulah asal muntahku.”

“Aku tak mengerti,” kataku. “Kau bisa membuatku tetap hidup dengan mengisap penisku?”

“Apa?” dia berkata terkejut. “Tidak, tentu saja tidak. Aku mengisap penyakitnya bersamaan dengan darahmu saat kau tertidur. Aku hanya mengisap penismu karena bau kematian membuatku bernafsu.”

“Oh.”

“Yeah...” Marla memandang langit-langit. “Mau rokok?”

“Oke.”

Aku bersama Marla sejak saat itu, dan kami membuat bingung setiap dokter yang kami temui. Dia masih tak bertambah tua, dan aku masih tak kunjung mati. Aku lulus kuliah, kami menikah dan pindah ke apartemen kecil di sebelah sebuah rumah sakit, di mana dia akan mengunjungi pasien untuk makan.

Hal terbaik dalam hidup itu terdiri dari lima huruf, “Marla” punya lima huruf.

Tapi Marla bilang “hisap” juga punya lima huruf.


Comments

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Cerita Seram Api Unggun

Cerita Horor Kaskus

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Cerita para petugas kamar mayat & pemakaman