Skip to main content

Untuk pria di bawah rumahku.

original story by thayeryan

--> visit website: https://www.thayeryan.com
[ permit ]


Terima kasih. Terima kasih banyak.

Aku tinggal di rumah peternakan kecil seluas 102 meter persegi. Aku sudah tinggal di sini selama 7 tahun dan tak pernah memiliki keluhan, sampai tahun lalu.

Aku dan istriku selalu bercanda bahwa rumah kami dihantui. Segala sesuatunya selalu bergerak atau menghilang sepenuhnya dari tempat terakhir mereka ditinggalkan.

“Kau punya ingatan yang mengerikan,” kata istriku, menyalahkanku saat ada sesuatu yang hilang.

“Saat kau kehilangan sesuatu, itu ulah hantu, tapi saat aku mengalaminya, aku yang bodoh?”

Beberapa argumen bodoh dimulai karena peristiwa gaib yang terjadi ini.

Istriku percaya hantu itu tinggal di ruang bawah tanah kami, mengaku bahwa saat dia ke sana untuk mencuci, hantu itu mengawasinya.

“Aku bisa merasakannya!” Dia mencoba meyakinkanku. Aku tak tahu seberapa benar dia.

Saat itu hari Minggu malam yang gelap. Bukan hanya kegelapan “sudah larut”, tetapi kegelapan yang mengerikan, tanpa bintang, yang gulita.

Akhir pekan kami hampir berakhir dan pikiran kami mulai beralih untuk bekerja besok pagi. Kami tidak bisa kurang siap lagi menghadapi kekacauan yang akan segera datang.

Istriku sedang berbaring di sofa, membaca buku di bawah selimut sepenuhnya, salah satu dari banyak kebiasaannya yang menyenangkan.

“Aku selalu melakukannya saat masih anak-anak dan itu mengingatkanku rasanya menjadi muda,” katanya padaku sambil tersenyum, ketika aku pertama kali memergokinya melakukan itu sebelum kami menikah.

Aku sedang di depan laptopku, mempersiapkan tenggat yang kusiapkan untuk minggu yang akan datang.

Dari bawah selimutnya yang hanya beberapa meter dari sofa, aku mendengar suara istriku memintaku melakukan sesuatu.

“Sayang...”

Aku menggosok mataku dan memandangi selimut yang bergerak ketika dia mengintip dari bawahnya.

“Ya?” tanyaku.

“Apa kau mau mengambilkan cucian dari mesin pengering?”

Aku mendesah. Aku tahu dia telah menakuti dirinya sendiri dengan apa pun yang dia baca, dan sekarang dia tidak akan turun ke basement karena hal itu.

“Baik,” kataku, kesal dengan ketidaknyamanan kecil tapi diam-diam senang bisa menjauh dari komputerku.

“Aku mencintaimu.”

Aku bisa mendengar kata-katanya keluar dari bibirnya yang tersenyum.

“Aku juga mencintaimu, sayang.” Aku menutupi wajahnya lagi dengan selimut.

Aku mulai berjalan ke basement, menyalakan tombol lampu di atas tangga dan perlahan-lahan berjalan menuruni tangga kayu yang berderit.

Ruang bawah tanah selalu lebih dingin 10 derajat atau lebih daripada bagian rumah yang lain, kenyataan yang tidak meringankan ketakutan istriku untuk sendirian di dalamnya.

Ruangan itu benar-benar belum selesai dengan lantai semen dan balok kayu terbuka di dinding. Aku bermaksud menyelesaikannya saat sudah punya uang, tapi hari itu belum tiba.

Pengeringnya mati dengan lampu hijau berkedip, menandakan pekerjaan sudah selesai. Aku membuka pintu dan mulai mengangkat pakaian dalam pelukan besar dua tangan ke dalam keranjang.

Sebelum selesai aku mendengar sesuatu muncul, diikuti oleh suara kayu yang menghantam beton. Jantungku melompat. Setakut yang kurasakan, aku tahu aku tak bisa membenarkan ketakutan istriku terhadap jiwa-jiwa terkutuk yang menjulang di ruang bawah tanah kami. Aku menguasai diri kemudian berjalan ke sudut dinding menuju ruangan kosong lain dari mana suara itu berasal.

Di bagian dalam dinding, dekat dengan langit-langit, ada ruang seperti terowongan yang sekarang menganga gelap yang terdiri dari tanah dan, di beberapa titik, struktur penopang rumah.

Di lantai semen yang keras adalah sepotong kayu yang sebelumnya menutup kolong rumah itu.

“Bagaimana bisa jatuh?” aku bertanya pada diriku sendiri.

Aku mempertimbangkan, pada saat itu, untuk mengambil palu dan paku guna menutup lubang itu lagi. Tapi ketika aku berdiri di bagian kecil ruang bawah tanah yang jarang kudatangi, aku merasakan sesuatu. Aku merasakan seseorang. Sensasi seseorang mengawasiku yang tak bisa disangkal lagi. Aku belum merasakannya selama kunjunganku ke basement sebelumnya, namun, menurut pembelaan istriku, dia lebih sering mencuci daripada aku.

Aku berdiri di sana, tak bergerak ketika melihat ke kolong rumah gelap yang tak kutahu ada.

“Halo?” panggilku, berharap istriku tidak mendengar.

“Ryan!” dia berteriak dari lantai atas, suaranya teredam oleh lantai papan yang memisahkan kami. Dia tidak pernah menggunakan namaku seperti itu kecuali untuk hal serius.

Aku memalingkan mataku dari palung dalam dan berlari menaiki tangga secepat tubuhku bisa.

“Apa yang terjadi?” kataku, terengah-engah dan melihat sekeliling ruang tamu.

Selimut di sofa sudah kosong sekarang.

“Sayang, jangan main-main—aku bisa tersandung tangga sialan itu.”

Tak ada apa-apa. Aku tak pernah tahu dia bisa jadi orang iseng, atau penyelinap, jika butuh sebutan lain.

Aku menuju ke kamar tidur kami yang dekat dengan bagian belakang rumah. Lampunya mati dan aku tidak membawa teleponku. Aku berjalan masuk dan hanya bisa melihat tempat tidur berantakan kami diterangi oleh cahaya yang nyaris tidak bisa merangkak dari ruang tengah.

“Christina?”

Saat itulah mereka membuat diri mereka terlihat.

Seorang pria mencengkeram leherku dari belakang. Aku berjuang sebisa mungkin, keterkejutan dan teror mengalir deras di nadiku.

Dia mengencangkan cengkeramannya saat aku melingkarkan jariku di kusen pintu. Dia telah mengarahkan perlawanan kami ke lorong dan aku melawan. Ketika kupikir akhirnya aku berhasil melepaskan genggamannya, orang kedua mendekati kami dan membenturkan kepalaku ke dinding.

Aku bisa merasakan darah membasahi wajahku perlahan. Penglihatanku memudar sekarang dan keterampilan motorikku turun dua tingkat.

Dalam diam mereka menggiring tubuhku kembali ke tangga ruang bawah tanah dan melemparkanku ke bawah.

“Christina...” aku nyaris tidak bisa mengucapkan namanya dengan bibirku saat aku mengotori beton dengan darahku. Aku coba mengangkat diriku sendiri tetapi rasa sakit menjalari lenganku dan aku menyadari bahwa aku telah mematahkan beberapa jariku.

Aku mengangkat kepalaku dan menyaksikan 3 sosok berjalan menuruni tangga ruang bawah tanah di belakangku. Yang terakhir memegang lengan istriku. Dia diikat seperti rusa buruan dan tidak dapat berbicara melalui lakban yang melilit beberapa kali di kepalanya.

“Bajingan—bajingan kalian,” aku berhasil berucap.

Mereka menjatuhkannya dengan sembarangan ke lantai dengan bunyi gedebuk. Aku menggelengkan kepala dan merasakan air mata memenuhi mataku.

Salah satu pria mendekatiku dan meraih kakiku sebelum menyeretku lebih dekat dengan istriku di tengah ruang bawah tanah.

Aku mencoba menatap matanya. Mereka memukulnya terlalu keras dan sekarang dia hampir tidak sadar.

“Tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja,” aku bergumam pelan melalui air mataku, bahkan tak yakin dia bisa mendengarku.

Di belakang kami, ketiga lelaki itu telah berkumpul, diam-diam saling berbisik ketika mereka menarik perbekalan dari sebuah tas olahraga.

Kekuatanku telah meninggalkanku sepenuhnya. Aku yakin telah mematahkan kakiku juga seperti jariku, dan cedera kepalaku membuatku sulit untuk memahami segala sesuatu. Aku menggeser tanganku yang masih berfungsi ke wajahku dan menghapus darah dan air mata dari mataku.

Para pria itu telah berpencar dan mulai membuat bentuk di lantai di sekitarku dan istriku dengan cat semprot. Mereka memenuhi ruangan dengan rune aneh seperti simbol-simbol sebelum menyalakan lilin.

“Apa ini?” aku berteriak melalui rasa sakitku. Orang-orang tidak terpengaruh dan terus menyelesaikan proses itu.

Aku mendengar gerutuan yang tertahan dari sisiku. Aku menggeliat dan melihat istriku kembali berkedip menuju kesadaran.

“Ssst, tak apa-apa,” kataku, putus asa dan panik. Aku menyaksikan air mata jatuh dari pipinya ke tanah yang dingin.

Tendangan keras ke tulang rusukku menarikku dari kesadaran, dan aku bisa mendengar istriku merintih dari balik lakban.

Orang-orang itu tertawa. Tawa sadis terkutuk sementara mereka bergantian menendang aku dan istriku yang berbaring tak berdaya di lantai. Aku bisa mendengarnya terengah kehabisan udara, dan tiba-tiba rasa sakitku tidak lagi berarti.

Ketika mereka akhirnya lelah, aku berjuang untuk mendengarkan saat mereka membisikkan sesuatu tentang pengorbanan.

Aku harus mengakhirinya. Penderitaannya. Aku tak sanggup melihatnya kesakitan—tersedak dan menangis dalam genangan buatannya sendiri. Kilas balik datang seperti dalam cerita dan film. Dia sangat cantik pada hari pertama kami bertemu. Sarkastik tapi cepat untuk meminta maaf jika dia pikir membuatmu tersinggung. Dia suka tertawa dan hidup untuk menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Lembut dan tanpa pamrih.

Ada perubahan dalam sikap penyerang kami. Sebelumnya semua tampak bermain-main, tapi kini mereka lebih serius.

Salah satu dari mereka mendekati Christina dengan pisau kecil di tangan.

“Melalui rasa sakit, melalui penderitaan, kami memanggilmu.” Suaranya berbicara, memecah keheningan panjang mereka.

Aku tidak bisa menonton ketika dia membungkuk di atas istriku, air mata tanpa suara mengalir dari matanya.

“Tolong ...” kataku, putus asa meminta bantuan-Nya.

Dan kemudian, dia datang. Dari sudut basement, sesosok aneh menyeret kaki muncul dalam pandangan. Dia tampak kurus dan telanjang, namun penglihatan buramku gagal menangkap gambarannnya dengan lebih rinci.

Para pria terpaku dengan ritual bengis yang mereka lakukan, dan pria itu hilang tanpa diketahui.

Aku tidak memerlukan penglihatan bagus untuk menyadari seberapa kilat refleksnya. Aku menahan keinginan untuk berkedip ketika dia melucuti pisau lelaki itu, dan memotong jakunnya.

Pria lainnya berdiri kaget dan ragu untuk bereaksi.

Ketika salah satu dari mereka akhirnya berani membalas, orang itu mendapati dirinya jadi yang pertama menghadap tanah dengan luka tusukan merobek tungkainya, membuatnya tak mampu berjalan.

Orang ketiga jelas mendapat syok berat. Dia berusaha melarikan diri ke tangga, tetapi pria telanjang itu menangkapnya dengan cepat dan dengan ganas menyerang wajahnya.

Aku tak dapat memahami apa yang sedang terjadi. Istriku masih merintih, tapi bisa melihat semuanya dengan jelas sepertiku.

Si pria telanjang berdiri dengan kakinya, berlumuran darah, dan menggenggam pisau. Dia mendekatiku perlahan, membalikkanku pada punggungku untuk menghadapnya.

Kini aku bisa melihat bahwa dia nyaris tidak terlihat seperti manusia sama sekali. Lengan dan kakinya tertutupi oleh apa yang pastinya adalah paparan tanah selama bertahun-tahun, dan matanya bersinar seperti kucing dalam gelap.

Aku mencoba lagi untuk mengusap mataku ketika dia mengulurkan tangannya. Dia menggenggam mata pisaunya sekarang, mengarahkan padaku gagangnya.

Aku menerimanya.

Dia mengangkatku berdiri dan mengarahkanku pada orang kedua yang dia buat tak dapat berjalan.

“Tidak! Tolong!” Dia berkata, gemetar.

Kata-kata itu sama berartinya bagiku beberapa menit sebelumnya.

Aku tak akan mengatakan di sini apa yang terjadi selanjutnya. Aku tak bisa. Tetapi keesokan paginya, setelah banyak pertimbangan, polisi dan beberapa ambulans mengiringi 3 mayat meninggalkan tanahku.

Aku dan istriku diberkati. Harusnya kami tidak hidup, namun di sinilah kami, setahun kemudian. Istriku hamil sekarang dan kami tak sabar menunggu keluarga kami tumbuh dari 3 menjadi 4.

Aku masih belum tahu banyak tentang pria di bawah rumahku. Dia menghormati batas kami dan kami menghormati batasnya. Apa yang kami tahu sekarang adalah dia suka makanan goreng. Tidak banyak yang bisa kau lakukan untuk mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah menyelamatkan hidup seluruh keluargamu, tapi kupikir seember ayam goreng setiap malam adalah awal yang baik.

Dari keluarga kami untuk keluargamu. Tetap jaga keamanan.


Comments

Terpopuler sepekan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Seram Api Unggun

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]