Skip to main content

Aku dan istriku menemukan pintu di tengah hutan

by lifeisstrangemetoo
[ permit ]

“Apa-apaan?”---

“Ada apa, sayang?” suara istriku memanggil dari belakangku.

“Sebuah pintu.”

Dia tertawa.

“Apa kau habis pakai ganja? Kita sedang di tengah hutan, bagaimana bisa ada—oh, uh.”

Karen berhenti saat melihatnya, dan kami berdiri bersisihan memandangnya, sebuah pintu kayu tua menempel di sisi bukit di tengah antah berantah.

“Kadang kau menemukan hal yang sangat gila di tengah ekspedisi, benar sayang?” dia nyengir. “Haruskah kita ketuk?”

Aku menggelengkan kepala.

“Aku tak yakin mau bertemu dengan jenis orang yang tinggal di dalam bukit.”

“Oh ayolah.” Karen meninju bahuku. “Di mana jiwa bertualangmu?”

Karen melangkah ke pintu dan mengetuk sopan.

“Halo, saya mencari Mr. Beard, Mr. Tree Beard?”

Aku terkikik sambil menggelengkan kepala. Karen tak pernah membuatku lupa pada hal kecil darinya yang membuatku jatuh cinta. Dia berbalik padaku dengan pura-pura kecewa.

“Kurasa tak ada orang di rumah, sayang,” katanya.

“Baiklah, ayo.” Kataku. “Kita sudah dapat cukup jamur, ayo cari tempat yang bagus.”

“Kau serius? Ya Tuhan, aku menikah dengan pria paling membosankan di alam semesta! Kita harus masuk ke dalam!”

“Bagaimana jika seseorang tinggal di sana?”

“Bagaimana jika ada orang tinggal di dalam bukit di tengah hutan? Kurasa orang yang membangun rumahnya di bawah tanah hutan akan mengerti jika kita mau berbagi ganja dengannya.”

“Kau berasumsi hanya karena dia tinggal di bukit berarti dia menghisap ganja? Entahlah, Karen, itu cukup rasis.”

“Rasis? Kepada siapa?”

“Orang pohon, tentu saja. Siapa lagi?”

Karen tertawa dan meninju bahuku lagi. Aku pura-pura kesakitan, meski aku suka saat dia melakukannya.

“Baiklah,” akhirnya aku setuju. “Lagipula, jika aku tidak menghindari akal sehat, aku tak akan menikahimu.”

“Kau lucu sekali. Setelah kuusir dari rumah mungkin kau bisa tinggal bersama Mr. Tree Beard di hutan sini.”

Aku tertawa dan mencoba kenopnya. Pintunya tak terkunci. Begitu kami mendorongnya terbuka kami disambut oleh aroma lumut lembab. Ruangan di dalam gelap gulita, tapi tampaknya sepenuhnya terbuat dari batu, bukannya tanah seperti yang kami duga.

“Tunggu sebentar,” kataku, melepas ransel ke lantai dan meraba isinya mencari senter.

Aku menyalakannya dan memindai dinding.

“Apa-apaan ini...”

Dindingnya penuh dengan ukiran tak masuk akal. Itu mengingatkanku pada saat kami mempelajari hieroglif Mesir di sekolah.

“Apa ini? Wingdings?” Karen berkelakar.

Aku tak menjawab. Mendadak aku mendapat perasaan sedang diawasi. Aku mengayunkan senternya ke dinding belakang, untuk menemukan bahwa ternyata tak ada dinding belakang. Gang itu berlanjut dan melandai turun hingga cahaya senter berakhir di langit-langit 9 meter jauhnya.

“Karen, kurasa kita harus—”

“Tunggu, apa itu?”

Karen menunjuk ke titik gelap di lantai, dan aku mengarahkan senterku untuk menyinarinya. Itu semacam cairan hitam.

“Oli motor?” aku bercanda. Tapi Karen tak sedang bercanda. Dia berlutut untuk melihat genangan itu.

“Ini darah, Danny,” katanya. “Dan lihat, ini mengarah turun.”

Aku menaikkan senter. Dia benar, ada jejak darah yang mengarah semakin dalam ke gua.

“Mungkin cuma darah binatang,” kataku. “Kita harus pergi.” Tapi Karen sudah mengikat rambutnya seperti saat sedang bekerja. Dia menangkupkan tangan ke mulut.

“Halo!” dia memanggil. Aku mendengar panggilannya menggema menuruni ruangan, yang pasti lebih luas daripada yang kami kira. “Ada orang di sana?”

Hening. Tapi kemudian, suara yang nyaris tak terdengar menjawab.

...t-tolong...

Suaranya seperti terdengar dari dalam gua. Saat aku mendengarnya seluruh rambut di leherku berdiri dan ada perasaan ciut di dadaku. Setiap inderaku menyuruhku segera pergi dari tempat ini.

“Karen, itu bisa jadi sebuah jebakan,” kataku. “Ayo panggil saja ranger hutan dan kita pergi dari sini.”

“Seseorang sedang terluka di bawah sana, Danny.” Dia berkata tegas. Tapi kemudian ekspresinya melunak. “Maaf, sayang, ini resikonya saat kau memutuskan untuk menikahi perawat.”

Aku mendesah. Aku tahu tak ada yang bisa menghentikan Karen saat dia sudah meniatkan sesuatu, tapi aku tetap menggenggam erat senterku saat kami berjalan turun menyusuri gang.

Jejak darahnya semakin tebal sementara kami semakin dalam memasuki gua. Siapapun itu dia pasti sudah kehilangan banyak darah di ruang depan. Tapi jika dia terluka, kenapa dia harus mundur semakin jauh ke dalam gua? Kenapa tidak keluar saja di mana dia punya kesempatan ditemukan? Ini tak masuk akal.

Udara bertambah panas dan lembap sementara kami semakin jauh menuruni lereng curam, kemudian bau tajam jamur menyerang hidung kami. Aku terbatuk saat menghirup udara yang mengerikan. Dari mana semua debu ini berasal? Bagian gua yang lebih dalam sudah merekah terbuka oleh akar yang menggali jalan menembus batuan.

“Tempat apa ini?” aku berbisik pada Karen.

“Mungkin semacam bunker keselamatan sementara?” dia menerka. Dia menangkupkan tangan ke mulut lagi. “HALO-O!”

Teriakannya menggema turun. “Jika kau bisa mendengar kami tenanglah! Kami akan mengeluarkanmu ke tempat aman!”

“...t-tolong...”

Suaranya sedikit lebih keras kali ini. Kukira kami pasti sudah semakin dekat. Tapi perasaan jijik yang kurasakan saat mendengar suaranya hanya semakin parah. Apa Karen tak merasakannya?

Saat kami masuk semakin dalam kami menemukan jejak darahnya berakhir. Ada jejak darah panjang di lantai. Seakan seseorang baru saja diseret di lantai ketika sedang pendarahan hebat. Kemudian tiba-tiba berhenti. Tak ada setetespun setelah itu. Dinding gua sekarang hampir sepenuhnya tertutup oleh akar, dan bernapas sangat sulit karena udara semakin panas dan lebih banyak lagi debu.

“...t-tolong...”

Suaranya sangat dekat sekarang, dan aku bisa mendengarnya lebih jelas. Suaranya terdengar aneh, berat dan serak, seperti tiruan kasar dari suara manusia. Lantainya sekarang menjadi begitu curam hingga mustahil untuk berjalan lebih jauh tanpa jatuh ke dalam apa-hanya-Tuhan-yang-tahu.

“Bagaimanapun caranya kita harus turun menolongnya.” Karen mendesah. Dia pasti lebih kesulitan bernapas di udara panas dan debu tebal daripada aku.

“Aku mengerti,” kataku. “Kau mundurlah.”

Aku menarik keluar tambang yang kami bawa untuk keadaan darurat dan mengikatkannya ke akar tebal yang bermunculan menembus dinding gua. Aku menyentaknya beberapa kali untuk memastikannya aman, sebelum mengikatkan ujung satunya di sekitar pinggangku. Aku tak pernah punya keinginan pulang sebesar itu, tapi aku tahu Karen tak mungkin pergi tanpa membereskan ini. Aku mulai memanjat turun dengan hati-hati, membungkuk dan menggerakkan senter ke sekitar untuk memeriksa keadaan tanpa tergelincir dan jatuh. Aku bisa melihat garis samar seorang pria di kegelapan, dan aku mengayunkan cahaya senter ke arahnya.

Darahku berubah dingin.

“Karen... lari.”

“Apa?”

“LARI!”

Napasku habis saat tambangnya menyentakku. Kuharap itu Karen yang menarikku, tapi aku tahu itu bukan dirinya. Dia tidak sekuat itu. Aku mendarat keras di lantai, dan talinya terus menarikku mundur.

“Danny, ada-apa—“

“LARI SAJA!”

Dia mulai mundur saat akar di dinding mulai bergerak, perlahan mengular menuju kami. Aku memotong tambang dengan pisau sakuku dan melompat maju berlari, menarik Karen bersamaku. Dia tak mungkin ragu-ragu jika melihat apa yang kulihat. Di dasar gua ada seorang pria yang tergantung di atas tanah pada jaring akar raksasa yang menggeliat dan meluncur menembusnya. Tonjolan kecil bergerak naik melewati akar dari tubuhnya yang mati dan layu, satu akar masuk ke tenggorokannya dan berpilin setiap kali dia memanggil bantuan. Tanaman itu menggunakan pita suaranya seperti boneka.

Kami meninggalkan senter dan ransel peralatan kami di gua saat berlari menuju pintu keluar dalam kegelapan total, tersedak dan terbatuk setiap udara gua yang lembap dan berdebu mengisi paru-paru kami. Aku bisa merasakan diriku tersandung akar yang tidak ada di sana saat kami masuk. Aku merasakan tarikan di tanganku saat Karen terjatuh, dan kami berdua jatuh ke atas akar yang menggeliat yang mulai melingkar di perut kami dan mulai menyeret kami mundur. Aku mulai memotong mereka dengan putus asa menggunakan pisau sakuku. Akarnya mundur saat aku menyerang mereka, dan aku bisa membebaskan kakiku. Aku menarik tangan Karen, tapi akarnya lebih kuat.

“Tinggalkan aku!” dia berseru padaku.

“Sial tidak!” aku menyabet membabi buta ke kakinya, dan terdengar bunyi gedebuk. Aku mengayunkan selusin kali lagi, tak sengaja menyabet kakinya satu kali sebelum dia cukup longgar untuk membebaskan diri.

Kami terus berlari menuju pintu, dan aku bisa merasakan udara semakin dingin dan segar, dan lantai mulai rata. Kami hampir berhasil. Aku bisa melihat garis tepi di sekitar pintu sekarang. Kami berlari dengan kekuatan penuh ke arahnya, memantul-mantul di tanah. Aku bergegas. Tolong terbukalah. Aku menyambar kenobnya dan menyentaknya, dan semburan udara segar dan sinar matahari masuk ke dalam gua. Aku menyambar lengan Karen dan setengah menyeretnya melewati pintu yang terbuka sebelum jatuh kelelahan di tanah.

“Kita berhasil.” Aku megap-megap. Dadaku naik-turun saat aku berbaring pada punggungku, terbatuk debu dari udara gua.

“Yeah.” Karen merah padam karena kelelahan, tangan dan kakinya penuh luka gores. Aku tak membayangkan diriku lebih baik darinya.

“Apa-apaan itu tadi?” aku berkata kehabisan napas, berdiri dengan kakiku.

Karen menggelengkan kepalanya.

“Aku tak tahu... tapi ayo pergi dari sini.”

Aku membantu Karen berdiri, dan kami berdiri di sana, terengah dan terbatuk dengan tangan di lutut. Karen terbatuk sesuatu ke tangannya.

“Danny” katanya, menunjukkannya padaku.

Itu adalah daun kecil. Aku melihat wajahnya saat sulur hijau kecil mulai menyebar dan bergulung di bawah kulitnya, dan aku menyadari dengan ngeri bahwa apa yang kami hirup tadi bukanlah debu.

Itu adalah spora.


Comments

  1. Tipikal film horror, ada yg mencurigakan bukannya kabur malah penasaran. Akhirnya celaka sendiri. Tapi justru itu serunya

    ReplyDelete
  2. Jika spora terhirup, apa artinya tumbuhan tsb tumbuh di dalam tubuh? hii...

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Cerita Horor Kaskus

4 Cerita Horor Tokyo

Catatan Atas Awan

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara