Skip to main content

Aku pertama bertemu kakakku saat usia 10 tahun

original story by ecrowe
--> visit website: http://edwincrowe.com/
[ permit ]


Itu adalah hal yang aneh, suatu hari aku adalah anak semata wayang, dan di hari berikutnya aku punya kakak laki-laki. Dia baru satu hari datang dan langsung menempati kamarku sementara aku harus tidur di basement.

Dia datang mengenakan mantel hujan besar. Aku ingat tetesan air yang menempel di permukaannya saat dia membungkuk menawarkan tangannya padaku. Aku berlari ke balik kaki ibuku dan berdiam di sana. Dia tersenyum dan mundur. Ibuku meminta maaf atas sikapku dan begitulah.

Setelah beberapa hari sudah jelas bahwa dia adalah favorit orangtuaku. Aku punya banyak masalah dan aku tahu aku adalah kekecewaan bagi mereka. Aku mengunjungi therapist dua kali seminggu, meski aku tak banyak bicara. Aku tak pernah bicara. Kukira itulah masalah utamaku. Aku baik-baik saja. Orangtuaku berpikir sebaliknya.

Suatu hari kakak baruku turun ke kamarku dan memberiku perlengkapan lukis bekas dan kanvas. Aku mengabaikannya, marah karena dia telah merampas dariku. Dia tak berkata apa-apa, malahan, dia memasang sandaran kanvas dan mulai melukis. Dia luar biasa. Aku melihat dengan terpesona ketika dalam beberapa menit dia telah menggambar sesuatu yang tak bisa kubayangkan bisa keluar dari kuas. Dia selesai melukis sebuah pintu. Pintunya terlihat tak asing tapi aku tak yakin. Dia memberesi perlengkapan dan kembali naik. Aku mengamati lukisannya selama berminggu-minggu. Lalu suatu hari, aku putuskan untuk mencoba sendiri.

Awalnya aku sangat parah, tapi ketika bulan mulai bergulir aku semakin baik dan baik. Aku masih tidak memiliki kepercayaan diri untuk bicara dengan kakakku, tapi sejak saat itu dia sering masuk ke basement dan melihat apa yang kulukis. Dia menonton dengan nostalgia di matanya. Dia akan menangis. Aku akan bersembunyi di balik sofa dan melihatnya menilai karyaku.

“Teruskan,” dia berkata dengan nada menenangkan. Rambut di belakang leherku berdiri dan aku merasakan kehangatan menyala di sekitarku, sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Jadi aku melanjutkan melukis.

Ketika aku mulai remaja, kakakku semakin jarang muncul, tapi lukisanku sudah sebagus lukisan yang dia tunjukkan padaku pertama kali.  Aku sungguh ingin dia melihat apa yang kuciptakan. Lagipula ini semua karena dirinya.

Suatu hari aku menunggu, di ruang tengah. Aku mengintip dari jendela, menunggunya pulang. Saat dia datang, aku melompat dari kursiku dan berlari ke pintu untuk menyambutnya. Dia melangkah mundur, seakan tak mau memelukku.

“Lihat apa yang kulukis,” aku berkata padanya.

Orangtuaku tampak terkejut. Meski aku sudah enam belas, aku masih jarang bicara.

Aku berlari ke pintu basement.

“Kurasa kau harus mengikutinya,” ibuku berkata pada kakakku.

Rasanya aku menunggu selama satu jam, hingga kakakku berjalan menuruni tangga. Aku hampir bisa melihat wajahnya di bawah tudung jaketnya yang mengilap.

“Bagaimana menurutmu?” aku bertanya.

Dia melangkah ke dalam cahaya, mempelajari lukisannya. Air mata bergulir di matanya. Aku menaruh tangan ke mulutku.

“Ini sangat indah,” dia berkata pelan, dan mulai menangis.

Tak tahan, aku berlari ke arahnya dan memeluknya.

“Terima kasih sudah mengajariku,” kataku.

Kemudian aku merasakan tubuhnya berayun, aku berusaha menahannya, tapi cengkeramanku tidak cukup kuat. Dia jatuh, membenturkan kepalanya ke sisi mejaku dan ke lantai.



Bulan-bulan berikutnya adalah yang terburuk di hidupku. Kakakku meninggal. Dengan sejarah kejiwaanku, aku dikirim ke rumah sakit mental. Mereka bilang aku sudah berencana untuk membunuh kakakku. Aku tidak merencanakannya. Aku bersumpah. Dia terjatuh.

Mereka bilang mungkin itu efek samping dari pengobatan yang kujalani atau memang dari kejiwaanku.

Setelah melewati banyak sesi bersama psikiater, aku diberi akses untuk menggunakan peralatan lukis. Sejujurnya, itu tidak terlalu buruk. Aku melihat orangtuaku satu kali seminggu dan aku bisa melukis. Aku sangat memikirkan kakakku. Aku memikirkan gambar yang dia lukis untukku, yang pintu itu. Aku berusaha keras mengingatnya, dan lagi dan lagi aku mencoba melukisnya. Setiap kali aku akan berdiri dan memandanginya. Ada yang salah dan aku tak pernah tahu apa itu. Hingga suatu hari, aku mengetahuinya.

Itulah saat aku menyadarinya. Itu adalah lukisan pintu depan rumah kami. Aku jelas melihatnya di depan mataku.

Aku mengintipnya dari beberapa sudut yang berbeda. Aku mengingat semuanya. Aku mulai melukis semua detail kecilnya. Ruangan mulai terasa dingin, jadi aku mengenakan jaketku.

Aku menaruh catnya di sakuku saat selesai dan menatap dengan kagum.

Hampir seperti pintu nyata.

Aku memandangnya dan menangis. Aku tak akan melihat pintu depan ini untuk waktu yang lama, mungkin selamanya. Itu membuatku takut. Semakin lama aku menatapnya, semakin lama aku berharap untuk bisa berdiri saja di luarnya. Mengetuknya. Menunggu orangtuaku menjawab.

Aku berpura-pura sedang berdiri di luar. Untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan aku merasa bebas. Aku membayangkan angin bertiup sementara hujan turun. Aku membayangkan mengulurkan tangan dan memutar kenopnya.

Aku memejamkan mata dan mengulurkan tangan.

Aku bisa merasakan hujan di keningku. Aku bisa merasakan dinginnya udara. Aku bisa mendengar air menampar jaketku.

Aku membuka mata.

Aku di sana. Di luar rumah orangtuaku.

Aku panik untuk sesaat, lalu nyaris otomatis, aku berjalan menuju pintu.

Aku mengetuk.

Kurasa aku pasti sedang bermimpi.

Kemudian pintu terbuka. Ibuku berdiri di sana.

“Ada yang bisa dibantu?” dia bertanya.

“Mum, ini putramu.”

Dia berusaha menutup pintu. Aku mengganjalkan kakiku.

“Tolong, dengarkan aku.”

Dia menatap mataku. Dia mengenalinya, dia tahu aku mengatakan yang sejujurnya.

“Ayo masuklah,” dia berkata, kebingungan.

Aku melihat bocah kecil di ruang tengah. Aku berlutut untuk bicara padanya. Dia berlari ke belakang kaki ibunya. Aku tersenyum, teringat diriku sendiri melakukannya.

Aku meraba sakuku, merasakan peralatan lukisku di sana. Aku tahu apa yang harus kulakukan.


Comments

  1. Jadi dia sama kakaknya itu 1 orang yang sama?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trus ini apa sebenernya, de javu atw time travel??

      Delete
  2. Plotnya kaya film baskin

    Dia kecelakaan gara" ada sekelebat bayangan lewat, dan ternyata sekelebat bayangan itu dia sendiri

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus