Skip to main content

Tumor Misterius

from Book of Horror comic by Takaminato Motosuke
transcript by radenbagio


Seorang perawat menemukan salah satu pasiennya terbunuh degan kondisi perut terkoyak dan organ dalamnya hilang. Sang dokter yang menanganinya pun dijadikan tersangka.

**
Di dalam ruang interogasi polisi.
“Ini korban yang bernama Kiso. Usianya 31 tahun,” sang detektif memperlihatkan selembar foto pria yang terbaring di atas tempat tidur. Di seberang mejanya duduk sang dokter yang hanya bisa menundukkan kepala. “Dia masuk ke klinik anda dengan keluhan aritmia (detak jantung abnormal) dan kemudian kondisinya menjadi semakin parah. Setengah tahun terakhir dia berada dalam kondisi vegetatif. Tidak bisa bicara, tidak bisa melihat, bahkan tidak bisa berdiri. Asumsi kami, bahkan dia juga tidak bisa merasa ataupun berpikir. Dia tidak bisa melakukan apa-apa sendirian. Apa alasan anda membunuh orang seperti itu?”

Sang detektif menunggu jawaban, tetapi sang dokter hanya duduk diam di atas kursinya, tangan bertaut di atas meja dan wajah memandang lantai seperti sedang berdoa, tidak mengangkat muka sedikitpun untuk menatap sang detektif.

“Dokter. Anda juga membawa sebagian perut almarhum,” sang detektif meneruskan. “Menurut penjelasan dokter otopsi, prosesnya sangat kasar, seperti hampir merobek semua bagiannya. Untuk apa anda melakukan semua itu? Kemana anda membawa bagian yang anda ambil?”

Sang dokter tetap menunduk, nyaris tak bergerak, menyembunyikan wajahnya dari sang detektif.

Akhirnya sebuah suara keluar.

“Dengarkan baik-baik,” kata sang dokter, tetap pada posisi duduknya. “Akan kuceritakan semuanya.”

**

Setengah tahun setelah Kiso berada dalam kondisi vegetatif, kelelahan makin jelas tergambar di raut wajah istrinya yang setia menunggui. Pemeriksaan tidak ada artinya, hanya sekedar formalitas. Hanya formalitas untuk memenuhi prosedur rumah sakit.

Sampai hari itu tiba...

Aku sedang memeriksa denyutnya ketika kudengar suara itu lewat stetoskop di telingaku.

“Hei Pak Dokter! Terima kasih anda sudah datang memeriksa setiap hari!”

Aku mengira itu hanya khayalanku, tapi aku benar-benar mendengar suara itu dengan jelas seakan dibisikkan di telingaku.

“Tapi hari ini anda tidak akan bosan. Karena setiap hari aku akan menceritakan kisah-kisah yang menarik.”

Aku melepas stetoskopku dan bertanya pada istrinya yang memandang dengan wajah letihnya yang biasa. “Apa... apa ada sesuatu yang berubah?”

“Tidak,” kata istrinya. “Anu... ada apa ya?”

“Tidak... tidak ada apa-apa. Jaga diri anda, Bu.”

Aku dan perawat pergi meninggalkan ruang itu. Tapi suara itu terus ada dalam pikiranku. Suara apa itu tadi?

Keesokan harinya aku dan perawat kembali melakukan pemeriksaan rutin.

Aku menggeser stetoskopku ke beberapa bagian tubuhnya. Tapi suara itu tak ada. Kurasa yang kemarin itu hanya salah dengar.

“Selamat pagi Pak Dokter.” Aku tersentak karena suara itu benar-benar muncul. “Pak, aku tahu lho. Waktu itu kondisinya memburuk dan anda terburu-buru melakukan pertolongan. Anda menimpakan kesalahan pada suster perawat, tapi aku dengar lho. Itu bukan kesalahan suster. Itu memang instruksi anda untuk memberi injeksi almaril 60 mg, jumlah yang lebih dari cukup untuk membuat manusia jatuh ke dalam kondisi vegetatif. Anda terlambat menyadarinya ya? Ini aku, Kiso, yang anda buat jatuh dalam kondisi vegetatif.”

Tak bisa menahan lebih lama lagi, akhirnya kuputuskan untuk melakukan endoskopi (pemeriksaan bagian tubuh yang berongga menggunakan endoskop—semacam kamera kecil). Istrinya sempat curiga, tapi kami meyakinkan bahwa ini hanya pemeriksaan biasa.

Suaranya berasal dari dalam perut, jadi aku memeriksanya. Dan di dalam perutnya aku menemukan semacam tumor. Tapi setelah melihatnya secara keseluruhan, hawa dingin merambati tengkukku. Karena yang kutemukan itu adalah tumor berwajah manusia! Di dalam perutnya!

Setelah itu, setiap kali aku datang, tumor di dalam perut Kiso terus bicara. Tentang kesalahanku yang menyebabkan Kiso jatuh ke dalam kondisi vegetatif. Tentang sikapku yang menimpakan kesalahan pada suster yang masih muda itu. Bukan hal yang menyenangkan, tapi aku juga tak ingin kesusahan. Bagaimanapun juga Kiso adalah pasienku. Selain aku, tidak ada orang yang mendengar suara itu.

Akan tetapi, suatu hari...

“Pindah rumah sakit? Mulai besok? Kenapa anda mengambil keputusan seperti itu?”

“Aku tidak bisa mengatakan alasannya,” kata sang istri. “Tapi keputusanku sudah bulat.”

“Ah, begini, Bu Kiso—“

“Keputusanku sudah bulat.”

Aku tidak menyangka situasi menjadi segawat ini.

Malamnya, ketika tak ada satu orang pun yang melihat, aku mendatangi kamar Kiso.

“Kamu pasti bilang sesuatu pada Bu Kiso kan?”

“Tidak kok,” kata tumor itu. “Pasti akhirnya dia menyadari sesuatu yang aneh. Menyadari tindak-tanduk anda yang aneh. Yah, keputusan yang tepat. Di rumah sakit yang baru nanti, aku bisa mengatakan semua yang kuketahui.”

“Siapa yang mau percaya pada tumor yang bentuknya seperti monster?” gertakku.

“Aku tidak peduli apakah mereka akan percaya atau tidak. Hanya saja, sebagian besar orang pasti ingin melihat tumor berwajah manusia seperti aku. Kalau misalnya aku bisa masuk TV, aku akan bicara banyak. Soal anda, Pak Dokter.”

Saat itulah, tanpa berpikir lagi, kurobek perut Kiso dengan pisau di tanganku.

**

“Detektif, dari tadi anda tidak bicara sepatah pun. Apa anda mendengar semua ceritaku tadi?”

“De... dengar! Aku dengar.”

Cih! Jadi ini kasus yang pelakunya tak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dan membuat cerita gila agar dirinya dianggap gila, pikir sang detektif.

“Lalu, akhirnya, kemana anda membawanya?” sang detektif kembali bertanya, memandang puncak kepala sang dokter. “Kemana anda membawa organ perut yang anda ambil?”

“Dari sini, ceritanya akan semakin menarik,” tutur sang dokter. “Awalnya aku berencana membakar tumor itu entah di suatu tempat. Tapi setelah kuambil dan kubawa tumor itu, situasi berubah rumit karena kemunculan seorang perawat. Tak ingin ketahuan, aku memasukkan tumor itu ke mulutku. Memakannya. Menelannya bulat-bulat.

Sang detektif tak bisa berkata apa-apa. Entah harus menganggap dokter ini gila atau bagaimana. Dia menunggu sang dokter kembali bicara, tak melepaskan pandangan dari sang dokter yang kini bergerak pelan. Lalu, tiba-tiba...

BRUK!

Sang dokter nyaris ambruk ke atas meja. Dia mengangkat kepala dengan kaget dan melihat sekitar dengan bingung. “Ah... maaf, aku ketiduran,” katanya, menegakkan posisi duduknya. “Ada apa, Pak Detektif?”

Sang detektif hanya terpaku dengan mata yang semakin lebar. Karena suara sang dokter yang sekarang berbeda dengan suara yang tadi bercerita padanya.


Comments

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

4 Cerita Horor Tokyo