Skip to main content

Aku membelikan keponakanku “mainan” telepon 10 tahun lalu. Seseorang bicara padanya melaluinya.

original story by LawstonSpace
[ permit ]

Tak ada cara yang pintar untuk memulai cerita ini jadi kurasa aku akan memulai dengan di mana aku membeli telepon itu. Aku bekerja untuk sebuah perusahaan yang tak akan kusebutkan dan aku cukup sering bepergian. Pada tahun itu adalah pertama kalinya aku bisa datang ke pesta ultah keponakanku, Spencer. Dia akan berumur 6 tahun. Aku sudah menelepon beberapa hari sebelumnya untuk memberikan kabar itu. Dia sangat bahagia dan tak percaya bahwa paman Barry-nya akan datang ke pestanya.

Masalahnya adalah aku harus memberinya sesuatu. Dia tidak seperti anak kebanyakan. Dia punya ketertarikan lebih pada barang-barang kuno. Kau tahu, barang-barang antik seperti lukisan tua, lampu, meja, sebutkan saja. Jika kutunjukkan padamu foto dinding kamarnya kau pasti akan mengira itu foto dinding kedai Cracker Barrel.

Aku tidak terlalu ingat namanya tapi aku ingat tanda di jendelanya berbunyi ‘Hadiah untuk segala kesempatan!’

Dari atas pintu masuk, yang bisa kulihat adalah banyak barang yang tersebar malas di seluruh ruangan. Terlihat seperti toko barang antik tapi aku melihat banyak mainan modern dan pernak-pernik di sana. Setelah beberapa saat, seorang wanita paruh baya dengan kaca mata ungu besar muncul dari balik konter.

“Halo, sayang!” Dia menyapa dengan logat selatan yang hangat. “Apa yang bisa kubantu hari ini?”

Aku menjelaskan padanya apa yang kucari. Dia memandangku dengan ingin tahu sementara aku bicara tapi tampaknya dia tak mengerti apa yang kukatakan. Kemudian, saat aku selesai, dia membuat ekspresi menimbang dan minta diri untuk ke ruang belakang. Setelah sekitar 3 menit dia kembali dengan sesuatu di bawah lengannya. Dia menaruh di konter apa yang tampaknya sebuah telepon rotari tua, mungkin dari tahun 60-an.

“Kami kadang menerima donasi. Biasanya kau harus masuk dulu tapi seseorang meninggalkan ini di depan pintu kami sekitar 6 bulan yang lalu,” dia memberitahuku. “Ayahku suka barang kuno dan bersikeras untuk menyimpannya di kantor belakang miliknya. Sayangnya dia meninggal Maret lalu, tapi aku senang bisa menyingkirkan ini. Membuatku sedih saat melihatnya.”

Dia tak hanya ingin menyingkirkannya, dia juga memberikannya padaku secara cuma-cuma. Aku merasa sangat senang karena tampaknya itu hadiah yang sempurna untuk Spencer. Kau bisa melihat kabel tuanya dirobek di belakangnya dan barang itu penuh debu, noda dan goresan di seluruh permukaannya.

Untuk Spencer, itu adalah sebuah kesempurnaan.

Aku ingat dia melompat dengan riang saat kuberikan padanya. Dia memeluknya di dadanya dan bilang bahwa itu adalah hadiah terbaik di seluruh dunia. Bahkan kakakku, Jack, menepuk punggungku dan memberi selamat karena kerja bagusku. Aku merasa cukup lega karena bahkan orangtuanya saja kesulitan menemukan barang yang tepat, dan bagi keponakanku, aku sudah memukul paku tepat di kepalanya... andai saja aku tahu...

Saat aku pergi untuk perjalanan berikutnya, belum ada yang terjadi. Aku mendapat telepon sekitar dua minggu setelahnya. Jack bilang bahwa Spencer punya teman imajiner bernama Billy yang bicara dengannya lewat telepon yang kuberikan. Aku tertawa karena tak mungkin orang bisa menghubungi telepon itu, tapi Jack tidak sependapat denganku.

“Itulah reaksi pertamaku,” dia berkata. “Tapi kemarin, sesuatu yang sangat ganjil terjadi. Dia bertanya pada kami apakah aku dan Lyla akan bercerai. Barry, kami tak pernah mengajarinya kata-kata itu. Tentu saja kami bilang tidak kemudian dia bilang bagaimana dia bisa tahu karena kami benar-benar hampir bercerai tepat sebelum Lyla hamil. Dari mana dia tahu itu?”

Aku diam untuk sesaat dan mendengarkan suara napas cemas saudaraku.

“Apa yang dia katakan saat kau bertanya bagaimana dia bisa tahu?”

Aku tahu jawabannya tapi tetap saja tak mudah mendengarnya.

“Dia bilang Billy yang memberitahunya.”

Meski ini kejadian yang mengkhawatirkan aku mencoba meyakinkannya bahwa mungkin dia pernah memberitahunya. Maksudku, hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal. Gagasan bahwa ada seseorang yang bicara padanya lewat telepon berusia 60 tahun yang tidak terhubung adalah gila. Kita tak bisa tahu kan... atau bisakah?

Pendeknya begitulah kisahnya. Selama bertahun-tahun, kutambahkan, aku akan mendapat telepon panik dari Jack soal banyak hal yang “Billy” katakan pada Spencer. Dia tahu banyak detail soal kencan pertama orangtuanya, dengan siapa mereka sebelumnya dan bahkan hal-hal yang dia tahu seakan dirinya sudah dewasa. Jack hanya akan tercengang tapi menganggap dirinya pernah memberitahu Spencer dan lupa, atau mungkin Lyla yang memberitahu. Hal yang membuat Jack dan Lyla tidak melakukan apa-apa adalah bahwa, melupakan keanehannya, hal itu tidak menyakiti Spencer. Semua itu berubah saat Spencer masuk SMP.

Dia menyimpan teleponnya di kamarnya sepanjang waktu, tepat di meja malamnya. Dia mulai menutup diri dari teman-temannya dan tidak banyak bicara dengan orangtuanya. Setiap kali mereka mencoba berhubungan, mereka hanya mendapat jawaban satu kata dan pandangan buang muka. Aku punya firasat sesuatu sedang terjadi saat teleponku berdering jam 3 pagi. Jack sedang berteriak padaku untuk segera ke rumah sakit dan dia akan menjelaskan segalanya di sana. Sepanjang perjalanan, aku bisa merasakan isi perutku bertambah berat. Rasanya seperti aku mau muntah.

Saat aku berjalan melewati pintu depan aku bisa melihat Lyla di ruang tunggu. Saat aku mendekatinya, aku langsung tahu bahwa dia sedang menangis. Sebelum aku mengatakan apa-apa, dia memberi gestur ke arah kamar mandi.

“Di sana,” dia berkata, suaranya bergetar. “Tolong, Barry... tolong.”

Aku masuk dan melihat Spencer berdiri di depan dinding, Jack hanya beberapa senti dari wajahnya.

“Jika kau bilang ‘Billy’ sekali lagi, Spencer, aku akan kehilangan akal sehatku. Jadi katakan sekali lagi dari mana kau tahu,” kata Jack.

Begitu kehadiranku disadari, Spencer menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari ayahnya dan berlari keluar pintu. Jack mengejarnya tapi aku menyambarnya.

“Apa yang terjadi? Kenapa kita di sini?” kataku.

Awalnya dia hanya berteriak soal betapa kesalnya dia dengan Spencer dan telepon itu. Bahwa semua itu tidak memberikan apa-apa kecuali masalah selama bertahun-tahun ini dan dia ingin menyingkirkannya. Barulah ketika dia selesai dan tenang aku mendapat jawaban yang jelas.

Sekitar jam 2 pagi Spencer berlari menuju pintu kamar mereka dengan keringat dan air mata menuruni wajahnya. Dia bilang bahwa Billy memberitahunya jika bibinya, Erica, jatuh terkena pisau dan berdarah di lantai. Dia tahu di kamar mana Erica, bagaimana dia jatuh, berpa lama dia di sana dan bahkan apa penyebab jatuhnya. Dia terpeleset genangan air yang lupa dia bersihkan saat sedang memotong sayuran. Mereka menemukannya tak sadarkan diri di dapur, seperti yang Spencer katakan. Bukannya menemukannya selamat, mereka menemukannya sudah tidak bertahan. Dia diumumkan meninggal jam 3.45 pagi, 5 Juni 2014.

Minggu-minggu berikutnya benar-benar tidak menyenangkan bagi keluarga kakakku. Aku mengambil cuti untuk membantu tapi kurasa aku tak bisa berbuat banyak. Kebanyakan aku hanya menemani mereka dan berusaha mendekati Spencer. Aku merasa dia membenciku lebih dari siapa pun karena akulah orang yang membawa telepon itu. Setelah beberapa waktu mereka memutuskan untuk membawanya ke dokter untuk scan otak. Lyla punya sepupu yang menderita Schizoprenia dan berpikir mungkin Spencer cukup malang punya penyakit itu juga. Setelah beberapa tes, tak ada yang ditemukan. Dia diberi beberapa obat anxiety yang memang membantu, tapi tak cukup.

Dan kemudian... kehidupan berjalan senormal mungkin. Spencer akhirnya menghentikan pengobatannya karena menurut Jack dan Lyla mereka tak lihat ada perbedaan. Mereka tak pernah menemukan kekacauan lagi, tapi ada hari-hari di mana mereka nyaris ingin mendobrak pintunya agar dia mau bersekolah. Dia tak punya teman, tak pernah berkencan dengan gadis. Bahkan saat dia masuk ke SMA, perilakunya nyaris tak berubah. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku akan bicara padanya begitu mendapat kesempatan, dan aku akan menjadi orang yang menyelamatkannya dari kondisi ini.

Sayangnya aku tak pernah mendapat kesempatan itu.

Panggilan terakhir yang kudapat soal keponakanku datang seminggu yang lalu. Kalian tak perlu medengar detail panggilannya, tapi inilah yang kutahu.

Jack sedang mengalami salah satu ‘Spencer tak mau sekolah hari ini’ dan mendobrak pintunya. Saat dia masuk, Spencer sudah tergantung di bawah bingkai pintu lemarinya, ikat pinggang melingkari lehernya. Tergenggam di tinju kanannya adalah selembar kertas. Tergores dengan amarah oleh tinta merah tertulis:

Aku mendengarnya di dalam kepalaku sekarang. Dia mengikutiku ke mana pun aku pergi. Maafkan aku.

Teleponnya juga ikut hilang.

Di pemakaman, aku mencoba untuk bicara dengan kakakku dan istrinya tapi mereka tidak punya banyak kata untuk diucapkan. Lagipula, akulah orang yang memberinya benda yang memulai semua ini. Aku memutuskan untuk pergi dan berharap bahwa suatu hari mereka akan mengampuniku.

Aku tahu kau mungkin berpikir alasan aku menulis ini karena apa yang telah kuceritakan sejauh ini. Ini mungkin membingungkan tapi... bukan itu masalahnya. Semua ini adalah soal apa yang terjadi semalam.

Begitu aku pulang kemarin, sebuah paket tergeletak di teras depanku. Aku mengambilnya dan membawanya ke meja dapur. Tak ada alamat pengirim. Penasaran, aku membukanya dan hampir menjerit saat kulihat isinya.

Telepon itu.

Ada sebuah amplop juga yang bertuliskan ‘To: Barry’.

Aku membukanya dan mengeluarkan selembar kertas notebook darinya. Jantungku ada di tenggorokan saat aku mulai membaca.

”Dear, Barry

Aku ingin kau tahu bahwa aku tak menyalahkanmu untuk apa yang telah kau berikan padaku 10 tahun lalu. Tak ada yang tahu apa yang bisa diperbuat benda itu. Aku minta maaf untuk apa yang kulakukan tapi tolong izinkan aku menjelaskan dan mungkin kau akan mengerti sementara orangtuaku tidak. Dengan begitu aku ingin ini menjadi rahasia di antara kita. Dari pertama aku mendengar suara Billy, aku sudah dikutuk untuk takdir ini. Itu sudah jelas bagiku sejak dulu. Aku tak tahu kapan datangnya tapi saat aku mendengar suaranya di keramaian sekitar satu tahun lalu, aku tahu sudah tak lama lagi. Awalnya, kukira Billy baik. Memberitahuku rahasia kotor kecil yang disembunyikan ayah dan ibu dariku.

Di malam saat dia memberitahuku soal bibi Erica adalah saat aku tahu. Itu tidak sesederhana memberitahuku apa yang terjadi. Dia memberitahuku bahwa salah satu sanakku akan mati dan aku mulai menerka-nerka dengan jijik melawan kata hatiku. Aku terlalu lama merangkai puzzlenya dan dia mati karenaku.

Setelah itu, Billy hanya memberitahuku hal-hal soal pembunuh berantai, bencana alam atau tragedi nasional. Mungkin aku bisa memberitahumu nama-nama semua korban kapal Titanic. Dia suka membisikkannya padaku saat aku tidur. Hari ini rasanya berbeda. Aku memegang kendali dan mengakhiri ini semua untuk kita semua. Saat aku mulai menulis ini dia membayangiku berkata bahwa aku adalah pengecut dan tak akan bisa melakukannya, tapi kemudian dia melihat bahwa aku serius. Aku sudah menyiapkan ikat pinggangku. Dia berkata sebelum aku melakukan ini, bahwa dia ingin kau menjadi pemilik baru dari telepon ini.

Pilihanku adalah untuk menghancurkannya tapi aku masih tak tahu apa yang bisa dia lakukan jadi aku tidak akan melawan keinginannya, terutama jika itu akan berakibat pada orang lain selain diriku. Dia bilang kau hanya perlu mengangkatnya dan mendengarnya sekali dan kau tak perlu melakukan hal lainnya lagi. Kutinggalkan pilihan ini untukmu. Maafkan aku, Barry. Aku sungguh menyesal – Spencer”

Dengan air mata di mataku aku menaruh suratnya perlahan di meja. Aku melihat ke telepon itu dan hawa dingin menuruni punggungku.

Ini bodoh, aku berkata pada diri sendiri. Ini cuma sebuah telepon.

Dengan enggan aku menaruh tanganku di atasnya. Sesuatu mendatangiku dan aku langsung mengangkat teleponnya ke telingaku dan benar-benar terlompat saat mendengar nada tunggu. Aku mengangkatnya untuk memeriksa apakah ada colokan atau baterainya tapi tak ada tutup untuk tempat baterai dan kabelnya masih terputus. Meskipun punya, kabel itu pastinya masih di dalam kardus. Nada tunggunya bersuara normal selama 10 detik sebelum aku bisa mendengar sayup-sayup suara yang semakin nyaring. Suaranya akhirnya semakin pelan dan saat aku bisa mendengar suara lainnya rambut di tanganku berdiri.

Setelah beberapa detik, nada tunggunya akhirnya hilang sepenuhnya digantikan oleh suara Spencer yang menjerit dan menangis tanpa kendali.

Bersamaan dengannya adalah suara derak dan kobaran api.


Comments

  1. Jadi, billy itu pemilik telpon sebelumnya alias bapaknya pemilik toko itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. sepertinya lebih cocok kalau billy memang iblis jahat dari dunia lain dan mengganggu manusia lewat telepon tua.

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Post Populer

Cerita Horor Kaskus

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Catatan Atas Awan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Menunggu rumah kosong