Skip to main content

Padang Kucing

from original comic by Takaminato Motosuke (Book of Horror)
transcript by radenbagio


Karena suatu sebab, suamiku tidak bisa bergerak. Dan ini adalah cerita tentangnya.



Wanita tua itu diam di hadapan si lelaki. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu yang dipenuhi foto sang wanita bersama anjing kesayangannya.

“Sudah pasti tidak,” si pria berkata dengan mata terpejam, sebuah sabuk anjing tergenggam di tangannya. “Begitu kata Nowa. Dia bilang seluruh waktu yang dia habiskan bersama anda adalah kenangan yang indah.”

“Nowa...” si wanita tua berkata dengan suara bergetar. Kemudian wajahnya menunduk dan dia mulai menangis. “Maaf saya telah memperlihatkan sikap yang tidak pantas.”

Aku sudah menyalakan mesinnya, pikir si pria sementara mengintip dari balik kelopaknya yang setengah terpejam. Sekarang akan kubuat dia lebih berurai air mata.

“Saat masih kecil dia pernah pingsan saat berjalan-jalan dan sekarat,” si pria cenayang meneruskan.

“I-iya, pernah,” si wanita menjawab, tampak kaget. “Dia keracunan pestisida saat melewati sawah di sekitar sini.”

Wanita itu pasti terkejut saat si cenayang menyampaikan kejadian di masa lalunya dengan tepat. Dia akan berpikir ‘Ternyata orang ini sungguhan’. Padahal kejadian itu pernah ditulis di blog putrinya.

“Lama sebelum dia sembuh, anda terus berada di sampingnya dan merawatnya. Nowa sangat berterima kasih akan hal itu,” kata si cenayang. “Dan dia sangat bahagia ketika anda memiliki toko sendiri.”

“Nowa...”

“Dia berkata begini, ‘karena kita telah terpisah jauh, kau tidak bisa lagi membelai kepalaku ataupun memelukku. Walau begitu aku terus menyayangimu. Untuk seterusnya pun akan tetap begitu. Akan tetap menyayangimu’”.

Mendengar itu tangisan si wanita tua semakin menjadi-jadi. Wajahnya terbenam di tangannya sementara isakannya menggerung parau. Si cenayang hanya bisa memandangnya sambil berkata dalam hati, sepertinya aku sudah membuatnya bahagia.

Beberapa waktu kemudian si cenayang sudah tiba di jalanan dengan setumpuk uang di dalam sebuah amplop. Dia tersenyum tipis saat mengintip isinya dan menghitung jumlah yang barusan dia dapat.

Itu tetaplah bukan pekerjaan yang mudah. Kau butuh kemampuan akting yang bagus serta kemampuan mencari informasi klien di internet dalam waktu singkat dari waktu permintaan hingga waktu kunjungan tiba. Si pria cenayang selalu berpikir dirinya adalah seorang entertainer. Karena bagaimanapun pekerjaannya adalah menghibur orang-orang yang kesusahan.

“Paman.”

Si cenayang tersentak dan mencari sumber suara. Lalu ditemukannya seorang bocah laki-laki yang mendadak muncul di sampingnya, usianya pasti tak lebih dari 7 tahun.

“Ada apa?” tanya si cenayang, malas.

“Aku lihat apa yang paman lakukan di rumah Ayano-chan tadi,” kata si bocah. “Tolong, biarkan aku bicara dengan roh An.”

Si cenayang mendesah.

“Maaf, itu mustahil,” jawabnya. “Sekali melakukannya tubuhku akan lelah sekali. Aku harus tidur paling tidak sebulan.”

“Bukankah barusan paman berjalan tegap!” si anak menaikkan suara.

“Lama-lama aku lelah tahu!” jawab si cenayang. “Begitu sampai rumah aku akan sempoyongan.” Sebuah taksi mendekat. Si cenayang menyetopnya. “Taksi! Begitulah. Lain kali saja, ya.”

Si cenayang pun pergi dengan taksi itu.

Sampai di tujuan, taksi berhenti dan si canayang melangkah keluar. Belum genap dua meter melangkah sudah ada suara yang memanggilnya. “Yang ini juga, Pak.”

“Eh?” Itu seorang sopir taksi yang berbeda. Dia sedikit kebingungan, lalu dari balik kaki si sopir munculla si bocah yang tadi.

“Katanya anda yang akan membayar.”

“Y-yang benar saja! Aku tidak kenal anak itu!”

“Apa katamu?” si sopir memberi pandangan mengerikan. “KAU TIDAK MAU BAYAR TAKSI?” dia berteriak hingga orang-orang di sekitar menoleh dengan tertarik.

“Eh, itu orang yang bisa memanggil arwah.”

“Iya aku melihatnya di internet.”

“Ba-baiklah, aku akan bayar. Tidak usah teriak-teriak!” si pria segera menghentikan si sopir yang sudah akan membuka mulut lagi.

Anak itu terus mengikutinya kemanapun dia pergi, menggenggam ujung jaket si cenayang dengan tatapan memohon. Tidak ingin membiarkannya pergi.

“Tolonglah,” kata si anak lagi saat mereka duduk di sebuah bangku taman. Lalu dia mulai bercerita. “An itu kucing hitam yang sudah ada di rumah sejak aku belum lahir. Kami selalu bersama seperti saudara. Karena makanan kami berbeda dia makan di bawah meja. Tapi kami mandi bersama. Dan dia selalu tidur di sampingku.”

Si pria tak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan sambil memikirkan cara agar bisa lepas dari si bocah.

“Pagi hari ketika aku bangun biasanya An masih tidur, jadi setiap pagi aku membangunkannya,” si bocah melanjutkan ceritanya. “Kemudian, suatu ketika An mendadak tidak sehat. Kami pergi ke dokter dan katanya penyakitnya parah. Untuk sementara mama melarangku tidur bersamanya. An sudah tidak bisa pergi ke toilet sendirian. Sejak saat itu An tidur sendirian di dalam kain yang diletakkan di sudut ruang tengah. Setiap pagi aku akan mendatanginya dan mengucapkan selamat pagi untuknya. Tapi kali ini dia tak pernah menjawabku. An tidak mau makan. Minum pun tidak mau. Dia hanya tidur seharian.

“Suatu pagi beberapa hari kemudian, ibuku menemukan An hilang dari dalam kain tempatnya tidur. Ternyata An sudah berada di tempat tidurku. Dia tidur di sampingku. Aku mengucapkan lagi selamat pagi untuknya. Tapi An tidak menjawab. Dia sudah tidak bergerak lagi.” Si bocah menunduk. “An itu sebenarnya tidak bisa bergerak lagi, jadi dia memaksakan diri berjalan ke tempat tidurku. Kemudian aku jadi berpikir kenapa An melakukannya. Apa dia kesepian? Apa dia ketakutan? Aku tidak tahu, makanya aku jadi menderita.”

Si pria melenguh dengan malas saat si bocah mengakhiri ceritanya.

“Baiklah, di bagian itu saja tidak apa-apa, ya,” kata si pria. “Di malam terakhir.”

“Iya, tidak apa-apa!”

Si bocah kemudian menyerahkan kalung kecil yang sebelumnya milik An. “Ini yang selalu kubawa.”

“Ini saja sudah cukup,” kata si pria. “Duduk di sana.”

Mereka duduk berhadapan. Si pria di atas bangku sementara si bocah bersila di jalanan di bawah. Si pria memejamkan mata dan berkonsentrasi pada kalung kecil di tangannya. Orang-orang berlalu-lalang. Suara mobil berseliweran.

Cring!

Si pria menggoyangkan lonceng di kalung si kucing.

“Terdengar,” dia berkata masih dengan mata terpejam, seperti akting yang selama ini selalu dia lakukan. “Malam itu An mendatangi tempat tidurmu bukan karena kesepian atau karena ketakutan. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal padamu yang sangat dia sayangi. Dia ingin mati disampingmu yang sangat dia sayangi.”

“An!”

Dasar bodoh. Kenapa aku malah melayani bocah dengan gratis begini. “Dia juga tidak melupakan kue yang kau berikan diam-diam saat malam.” Wah, bakat entertainerku mengagumkan. “Selamanya aku akan mengawasimu dari surga.”

“PEMBOHONG!” si bocah tiba-tiba berteriak. “Bohong! Kau tidak melakukannya dengan serius! An itu menderita kencing batu jadi dia sama sekali tidak boleh makan makanan manusia. Jahat! Lakukanlah dengan sungguh-sungguh!”

Ya, ampun. Kenapa kucing saja sampai terkena penyakit merepotkan begitu sih.

“Benar. Itu tadi pura-pura,” kata si cenayang. “Aku tidak bisa menggunakan kekuatan itu jika tidak yakin orang yang memintaku serius 100%. Keseriusan orang dewasa dinilai dengan uang, seberapa besar mereka mau membayar. Kau bagaimana? Anak-anak tidak bisa bayar pakai uang. Aku tidak tahu apa kau serius atau tidak.”

“Aku serius!”

“Buktikan.” Si pria kemudian menunjuk sebuah gedung tinggi tak jauh dari taman itu. “Gedung itu. Naiklah sampai atap dengan tangga. Ingat, dengan tangga. Kembalilah setelah mengikat sapu tangan ini di mana pun kau mau, maka aku akan percaya. Itu kalau kau benar-benar serius.”

Tanpa berkata lagi si bocah langsung berlari menuju gedung yang ditunjuk. Sapu tangan si cenayang tergenggam di tangannya.

Begitu si anak lenyap dari pandangan si cenayang segera pergi meninggalkan tempat itu.

**

Sebelum pulang si cenayang sempat mampir ke tempat hiburan untuk memanjakan diri. Minum bir ditemani gadis-gadis cantik pilihannya. Dia tidak menghabiskan seluruh uangnya. Dia masih cukup waras. Bahkan dia sudah meninggalkan tempat itu sebelum semakin mabuk. Uangnya sudah tidak sebanyak tadi, tapi itu tetap akan membuat istrinya senang.

Di tengah jalan, tanpa diduga, seorang laki-laki menghadangnya. Laki-laki dewasa. Dari wajahnya saja sudah terlihat laki-laki ini tidak punya niat baik.

“Halo,” sapa laki-laki itu. “Aku mencarimu.”

“Siapa kau?” tanya si cenayang.

“Kali ini aku mengincarmu,” si laki-laki tak menjawab pertanyaannya. “Saat ini kau populer di internet, sebagai seorang cenayang spesialis binatang yang bisa membuat orang berbicara dengan peliharaan mereka yang sudah mati. Iklan pun sudah mulai melirikmu. Jadi sebentar lagi kau akan jadi ‘orang sukses’.”

“Hmm... aku masih tidak mengerti arah pembicaraanmu.”

Sama seperti sebelumnya, sosok kecil muncul lagi dari balik si laki-laki. Si bocah kucing tadi.

“Aku melihat semuanya,” si laki-laki mengancam. “Kau jahat sekali padanya. Dia masih kecil lho. Anak ini mati-matian naik sampai atap agar janjinya terpenuhi. Tapi kau yang harusnya menunggu malah lari dan main-main ke klub kabaret. Haduh, jahatnya.”

“Oh, begitu,” si cenayang mulai paham. “Jadi kau minta berapa?”

“Sementara ini 5 juta,” jawab si laki-laki. “Cenayang palsu.”

“BUKAN PALSU!” si bocah tiba-tiba berteriak. “Orang ini bukan cenayang palsu. Neneknya Ayano-chan saja bilang begitu. Aku juga berpikir begitu. Aku tidak tahu kenapa kau berpikir begitu, tapi dia pasti bukan cenayang palsu.”

“Dasar bocah!” Untuk sesaat laki-laki itu seperti akan menampar si bocah, namun di luar dugaan dia malah mundur dan pergi meninggalkan mereka. “Ya sudah. Kalau begitu pembicaraan ini tak bisa dilanjutkan. Aku pergi.”

Si cenayang dan si bocah berdiri diam, memandang laki-laki tadi menjauh dan hilang ditelan kegelapan.

Jadi aku sudah diselamatkan anak ini, batin si cenayang.

“Nak, siapa namamu?” dia bertanya.

“Ryota.”

“Oh. Kemarilah, Ryota.”

Mereka kembali ke taman. Seperti sebelumnya si canayang duduk di bangku sementara Ryota si bocah berdiri di hadapannya.

“Diam, ya,” perintah si cenayang.

“Iya.”

Si cenayang kembali diam, menundukkan kepala, tampak berkonsentrasi penuh. Ryota yang tak tahu harus berbuat apa mulai gelisah karena kini muncul banyak kucing yang mendesis dan mengintip dari balik semak dan pagar taman.

Ryota hampir melompat ketika si cenayang mendadak mengangkat muka dan kedua matanya berubah menjadi seperti mata kucing.

“UWAA!”

Dia sudah akan berlari, namun si cenayang sudah lebih dulu mencengkeram puncak kepalanya dan seketika itu juga Ryota hanya melihat kegelapan.

Ryota... RYOTA...

Apa ini? Ryota kebingungan karena mendengar suara itu bergaung di dalam kepalanya.

Ryota, ini aku...

“An!” seru Ryota. “An, kau pasti marah karena malam itu, ya? Aku malah tidur pulas saat perpisahan kita. Payah.”

Tidak. Malam itu aku tahu aku tidak akan bertahan lagi. Jadi aku ingin di samping Ryota untuk terakhir kali. Begitu saja aku sudah puas.

“An! Maafkan aku!”

Dengar, Ryota. Kucing yang telah lama hidup bersama manusia seperti kami tidak bisa masuk ke surga kucing. Karena sudah bersama dalam waktu yang lama, sebagian hati kami sudah mendekati manusia.

Kami bisa masuk ke surga manusia. Tapi jika kami masuk ada hal aneh terjadi.

“Apa yang terjadi?”

Kami jadi mengantuk. Sangat-sangat mengantuk. Kemudian sebelum benar-benar tertidur, kami akan berkumpul di suatu tempat. Yaitu ‘Padang Kucing’.

Kemudian Ryota melihat padang itu. Sebuah padang rumput luas dengan cahaya matahari lembut dengan kucing-kucing yang tertidur damai yang tak terhitung jumlahnya.

Di sanalah akhirnya kami bisa tidur. Sampai kapan pun. Terus tertidur.

Aku pun saat ini sedang tertidur. Tapi kenapa aku bisa bicara dengan Ryota? Ini sangat aneh.

“Apakah kau akan tetap begitu?”

Kini Ryota berjalan di antara kucing-kucing itu.

Di padang kucing tidak hanya ada kucing yang tertidur. Manusia juga ada. Biasanya ada beberapa orang yang mondar-mandir. Memeriksa wajah kucing satu per satu.

Satu per satu kucing dalam jangkauan pandangannya.

Walau masih lama, suatu ketika Ryota akan melakukan hal yang sama.

Ryota kini berlari di antara kucing-kucing itu.

Mencari dari banyaknya kucing yang ada.

Dan menemukanku.

Ryota berhenti. Tepat di hadapannya adalah seekor kucing hitam yang tengah tertidur pulas. Kucing hitam yang sudah sangat dia kenal.

“An...”

Ryota mengulurkan tangan. Itu bukan tangannya. Tangan ini sudah tua dan berkeriput. Tapi Ryota tak memedulikannya. Dia mengelus kucing itu.

“An,” panggilnya dengan suara terisak. “An. Katakan selamat pagi, An. Katakan selamat pagi, An...”

Kucing hitam itu akhirnya mengangkat kepalanya.

“Meoong.”

Suatu ketika kau pasti akan membangunkanku. Setelah itu kita akan terus bersama selamanya. Selamanya.

Selamanya.

Ryota membuka mata dan terbangun di tengah taman. Kalung An tergeletak di hadapannya.

Pria cenayang itu sudah pergi.


Aku berjalan mencari di taman itu, sesuai yang dikatakan suamiku. Setelah beberapa menit mencari akhirnya aku mendengar sesuatu.

“Di sini,” sebuah suara memanggil lemah, datang dari balik semak-semak. Ternyata benar itu suamiku.

“Kenapa tiba-tiba minta jemput?”

“Maaf keadaanku begini,” wajah suamiku terlihat sangat letih. Aku seperti tahu yang baru saja terjadi. “Pinjamkan pundakmu. Aku tidak bisa jalan.”

“Kau melakukan ‘itu’ lagi?”

“Permintaan mendadak, mau bagaimana lagi,” jawab suamiku. “Maaf. Tolong batalkan pekerjaan sebulan ke depan.”

Suamiku kini sedang memulihkan diri dan tidak bisa bergerak.

Hal itu karena pekerjaannya.


Comments

  1. dia beneran cenayang 😱😱😱
    gak nyangka..

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 4]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Sumatera Barat [Repost Kaskus]