Skip to main content

Adakah yang tahu kota ini?! Tampaknya tak seorang pun mengingatnya, dan sesuatu yang mengerikan mungkin telah menimpanya.

original story by Malmto
--> Malmto's YouTube Channel
[ permit ]

Ternyata pernah ada sebuah kota di sebelah utara Swedia yang bernama Korona, tapi entah bagaimana kami semua melupakannya. Aku seorang polisi yang bertugas di Kalix, sebuah kota yang dekat dengan lokasi Korona yang hilang seharusnya berada. Di tempat itu, tak ada tanda keberadaan sebuah kota—hanya hutan lebat—tapi sesuatu yang berhubungan dengan keluargaku membuatku yakin tempat itu benar-benar ada.

Seluruh dunia melupakannya begitu saja... Aku tak bisa membayangkan bagaimana dan kenapa, tapi itu satu-satunya kesimpulan yang bisa kudapat. Bagiku, semua itu bermula saat dua orang pemetik bluberi asal Rumania datang ke kantor kecilku untuk melaporkan sesuatu yang mereka temukan jauh di kedalaman hutan. Mereka tak lancar berbahasa Swedia ataupun Inggris untuk menjelaskan apa tepatnya yang mereka temukan, tapi langsung jelas bagiku bahwa apa pun itu telah membuat mereka ketakutan. Dari yang kupahami, tampaknya berhubungan dengan mayat manusia. Akhirnya, setelah mendatangkan penerjemah dari kota, rupanya mereka menemukan mayat seorang anak-anak, tak lebih dari 10 tahun.

Mereka memimpin aku dan dua rekanku—diikuti oleh ambulans—menuju lokasi mereka menemukan si anak. Matahari terbenam di balik kabut tebal saat kami tiba di sana. Aku menyulut rokok saat kami meninggalkan jalan utama dan berjalan masuk ke dalam hutan, tempat lokasi si anak seharusnya berada. Aku merasa sedikit tak nyaman berurusan dengan mayat anak-anak, tapi aku pernah menangani kasus seperti ini—beberapa kecelakaan mobil—dan tidak merasa begitu terpengaruh. Ini hanya pekerjaan serupa, atau begitulah kupikir.

Para orang Rumania itu berhenti saat kami mulai dekat dan menolak untuk pergi lebih jauh. Ada kepanikan di mata mereka, yang lebih besar dari yang kukira meski dalam kejadian seperti ini. Salah satu rekanku tinggal bersama mereka sementara sisanya melanjutkan. Tak lama kami tiba di sebuah batu raksasa yang sudah ada di sana sejak lapisan es menyelimuti Eropa selama zaman es. Rekanku berjalan mengitarinya dan beberapa saat kemudian dia kembali sambil berlari, pucat seakan baru melihat setan. Dia membungkuk dan muntah tepat di hadapanku.

“Itu...” dia berkata. “Di sisi lainnya... Sialan.”

Aku tidak bertanya lagi, aku cuma berangkat untuk memeriksanya sendiri dengan paramedis mengikuti di belakangku. Apa yang kami temukan di sisi lain batu... tak wajar. Separuh tubuh si anak—seorang gadis kecil berambut pirang—menyatu dengan batu itu seakan dia sedang menembusnya sebagai hantu lalu mendadak dia berubah menjadi manusia sebelum sempat keluar dari dalam batu. Atau, seperti yang diingat rekanku, itu seperti dia diteleportasikan ke dalam batu. Tatapan mati dan sedih si gadis yang mengarah ke hutan seperti menceritakan tragedi yang tak diketahui oleh manusia hidup. Petugas medis cepat-cepat menyingkir dari tatapan matanya dalam diam, ngeri dengan takdir yang harus dijalani si gadis kecil, tapi aku tak bisa mengalihkan pandangan. Aku bukan orang yang percaya takhayul, tapi pengalaman ini membuatku meragukan segala yang kupercayai sebelumnya.

Maksudku tak cuma karena cara ganjil si gadis kehilangan nyawanya, setengah tertelan oleh batu... Ada sesuatu yang lain pada si gadis. Sesuatu yang membuatku merasa kosong, seakan sepotong jiwaku tercabik dariku meninggalkan lubang kosong di dadaku yang dengan cepat terisi oleh kesedihan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Itu perasaan yang tak menyenangkan, dan semakin parah oleh fakta aneh bahwa sebagian kecil diriku merasa mengenali gadis ini. Aku tak tahu dari mana... Wajahnya seperti ingatan samar dari sebuah mimpi yang baru saja terlupa.

Kami menguasai diri dan mulai berdiskusi, berusaha mencari penjelasan masuk akal tanpa hasil, sementara para petugas medis mendekati jasadnya. Aku berusaha memusatkan pikiran pada fakta yang sulit dipercaya sementara kami menginvestigasi TKP. Gadis itu mengenakan jaket pink. Di salah satu sakunya, kami menemukan bunga berwarna aneh—warnanya sangat eksotis menyerupai sayap kumbang—dan kartu perpustakaan kuning dengan sebuah teks yang membuat kami bingung. “Perpustakaan Kota Korona,” begitu tertulis.

Si gadis juga sudah menuliskan namanya di kartu. Saat aku melihatnya, duniaku mulai berputar. “Isabella Lexelius” tertulis dengan tulisan tangan anak-anak.

“Bukankah ini nama belakangmu, Sir?” tanya salah satu rekanku.

“Ini... ini...” aku tak tahu apa yang harus dikatakan atau yang kupikirkan.

“Apa kau mengenalnya?”

“Aku... aku tak tahu... Tidak... tidak, aku belum pernah melihatnya. Ini pasti cuma kebetulan.”

“Kebetulan yang sangat besar, Sir.”

Aku tidak membalasnya.

“Ada sesuatu pada tanahnya,” salah satu petugas medis berkata.

Pada genangan darah di bawah si gadis, ada sebuah buku catatan. Pasti terjatuh dari tangannya. Aku mengambil dan membukanya. Halamannya tertutup oleh tulisan kecil, dengan tulisan tangan yang berbeda dari si gadis.

“Sir!” salah satu petugas medis berkata. “Kita harus membawa beberapa alat untuk memotongnya.”

“Ya,” aku berkata tanpa sadar.

“Ada satu hal lagi,” kata si petugas medis.

Aku memasukkan bukunya ke dalam kantong barang bukti. “Apa?”

“Ada terlalu banyak darah.” Petugas medis menunjuk ke tanah.

“Apa maksudmu ada terlalu banyak darah?” aku bertanya.

“Di bawah batu, Sir,” petugas medis menjelaskan. “Mustahil semua darah itu berasal dari seorang anak-anak.”

Hening, kemudian aku berkata:

“Kita akan kembali dengan alat-alat yang lebih memadai.”

Sehari kemudian, kami berhasil memisahkan baian atas tubuh si gadis dan membawanya ke kamar mayat untuk diperiksa. Kami juga mencoba mengangkat batu itu dengan bantuan derek, tapi batunya tak bergerak sedikitpun. Jadi kami menggali lubang di bawahnya dan tak menemukan bagian tubuh lain. Yang bisa kami lakukan hari itu adalah mengambil sampel darah sebanyak yang kami bisa.

Selama pemeriksaan jenazahnya, aku membawa buku catatan itu. Isinya adalah kisah dari kota Korona. Aku meyakinkan diri itu hanya fiksi—cerita gila yang ditulis oleh pria yang mungkin membunuh si gadis—hingga beberapa minggu lalu saat forensik menghubungiku.

Aku masih sulit memercayainya, tapi mereka berkata cuma itu satu-satunya kesimpulan. Mereka menguji DNA si gadis dan membandingkannya dengan milikku karena nama belakangku. Itu ideku, karena aku tak ingin orang berpikiran macam-macam. Kami tak mengira itu akan menunjukkan sesuatu, tapi ternyata sebaliknya... Si gadis usia sepuluh tahunan itu, Isabella, adalah putriku. Aku yakin itu mustahil. Sepuluh tahun lalu aku tinggal bersama mantan istriku dan tak pernah berselingkuh dan tentu saja tak punya anak bersamanya. Kami tinggal bersama selama kurang lebih lima tahun, jadi aku tak tahu jika dia punya bayi pada kurun waktu itu. Dan tentu saja, tak ada yang keliru dengan hasil uji lab-nya.

Di bawah ini adalah transkrip dari buku catatan itu. Aku mengetiknya di sini dengan harapan seseorang akan ada yang mengingat kota Korona atau barangkali pernah tinggal di sana. Tolong hubungi aku jika kau punya informasi.

Ini yang ada di dalam buku catatan:

Namaku adalah Helena Fredriksson. Lima tahun yang lalu aku adalah orang yang berbeda. Aku lebih muda saat itu, tak hanya dari pikiran tapi dari semangat juga. Ada kebahagiaan di kehidupanku dan aku punya harapan dan impian. Semuanya lenyap sekarang... Aku tak punya banyak waktu untuk menuliskannya, tapi aku akan berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada kami—pada seluruh masyarakat kami—sebaik yang kubisa.

Peristiwa itu, seingat kami, terjadi pada 9 Juli 2013. Aku datang ke Korona untuk menjemput keponakanku—Isabella—untuk pergi ke pembukaan The Red Grove, wahana hiburan kota yang baru. Itu akan menjadi salah satu yang terbesar di Swedia dan Isabella sudah memohon pada orangtuanya untuk pergi saat pembukaan, tapi keduanya tak ada yang bisa karena harus bekerja. Jadi mereka menghubungiku dan memintaku mengantarnya untuk mereka. Aku adalah orang yang biasa mereka tuju saat mereka butuh bantuan dengan Isabella, satu-satunya yang mereka percaya. Betapa aku tak mengharapkan itu sekarang, karena apa yang telah terjadi.

Kami datang cukup awal, beberapa jam sebelum pembukaan, agar tak perlu antri seharian untuk masuk. Cuacanya luar biasa. Turun hujan di pagi hari sebelumnya, jadi kami sedikit khawatir, tapi saat kami tiba di kota sudah tak ada mendung di langit.

Isabella tak berhenti ngoceh soal betapa serunya hari yang akan kami lewati, dan aku senang melihatnya begitu bahagia. Butuh lebih lama dari yang diperkirakan untuk tiba di wahana bermain karena jalan utama ditutup untuk parade militer. Itu tidak terlalu mengganggu kami, malah melambungkan suasana perayaan ke udara. Untuk menghindari parade, kami harus naik bus menuju pusat kota, alun-alun Freyja, dan dari sana kami harus naik subway menuju kawasan bisnis Yellow Neutral—gedung pencakar langit tertinggi di Swedia. Kami sudah bisa berjalan kaki menuju The Red Grove dari sana.

Ada orang di mana-mana. Ternyata kebanyakan dari mereka naik ferry melewati sungai yang tidak kutahu sebelumnya. Artinya kami tetap akan mengantri. Isabella tak keberatan, tapi aku tahu dia akan segera lapar, dan aku khawatir itu akan merusak suasana hatinya. Untungnya, ada pria yang berkeliling menjual hotdog di antrian. Aku membeli hotdog dan soda untuk Isabella. Orangtuanya tak akan suka jika aku membelikannya junk food, tapi di hari seperti ini kurasa mereka akan maklum. Si pria juga menjual balon merah untuk anak-anak. Isabella bilang dia ingin satu. Aku berusaha menjelaskan padanya bahwa dia akan membawanya berkeliling seharian dan bahwa akan ada lebih banyak balon di dalam nanti, tapi dia tak mendengarkan. Dengan enggan, kubelikan dia balon juga.

Sampai saat itu, tak ada yang tahu bahwa seluruh hidup semua orang akan berubah dalam hitungan menit.

Isabella tak sengaja melepaskan balonnya. Aku takut itu akan membuatnya sedih, tapi tampaknya itu tak terlalu mengganggunya. Kami mengamati saat balonnya naik ke udara dan menjauh. Tak lama hanya tinggal titik merah di langit biru luas. Lalu, tiba-tiba, balon itu lenyap.

“Ke mana perginya?” tanya Isabella.

Aku tak bisa menjelaskan. Balon itu menghilang begitu saja.

“Aku tak tahu,” jawabku. “Mungkin meletus?”

Tapi sesuatu—firasat tak nyaman yang tak bisa kujelaskan—membuatku meragukannya. Kemudian, hanya beberapa menit kemudian, angin kuat bertiup dari segala penjuru. Membawa bau yang mengingatkanku pada sesuatu yang busuk.

“Iihhh,” kata Isabella sementara rambut putihnya tertiup angin. “Bau apa ini?”

Aku menggenggam tangannya lebih erat. “Aku tak tahu,” kataku.

Orang-orang melihat berkeliling, kebingungan, dan suara riang mereka berubah cemas. Sesuatu telah terjadi, tapi tak ada yang tahu apa. Sirine bergaung di kejauhan, tampaknya datang dari kawasan bisnis.

“Ya Tuhan,” seorang wanita berkata dan menunjuk ke arah gedung. “Puncak gedungnya hilang!”

Itu tak sulit untuk dilihat, tapi dia benar. Puncak gedung tertinggi telah hilang seakan dipotong oleh pisau. Isabella terlalu pendek untuk melihatnya, tapi dia tahu ada yang tak beres dari wajah setiap orang dan dia menjadi takut.

“Kurasa kita harus pergi dari sini,” kataku, bergerak sepenuhnya karena insting. “Kurasa ini tak aman.”

Isabella menangis. “Tapi pembukaannya, apa kita...”

“Kita kembali lagi nanti, sayang,” kataku saat berjalan menjauhi keramaian bersamanya. Salah satu ferry sudah mau berangkat. Kami dengan cepat naik. Beberapa yang lain bergabung dengan kami, tapi sebagian besar orang menetap dengan harapan segalanya akan pulih. Isabella menangis, tapi dia tak marah. Saat ferry perlahan meninggalkan kawasan pejalan kaki di tepi sungai, keributan terjadi di antara kerumunan yang kembali ke daratan. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi, tapi mendadak semua orang menjerit ketakutan dan berusaha berlari ke air. Mereka jelas melarikan diri dari sesuatu, tapi aku tak bisa melihat itu apa. Yang kulihat hanya orang-orang saling injak sementara mereka berusaha melompat ke air dan berenang pergi. Itu pemandangan yang mengerikan, dan aku senang Isabella tak cukup tinggi untuk melihat dari balik pembatas.

Berikutnya, sirine keadaan darurat mulai menyerukan suara mengerikan dari bencana yang akan terjadi. Semua orang bertanya dan tak ada yang menjawab. Sebagian besar orang yang kudengar berpikir mungkin kami mendapat serangan, entah dari teroris atau Rusia.

Aku mengambil ponselku untuk menghubungi kakakku, tapi tak ada sinyal. Aku juga mencoba dengan ponsel Isabella dan tak beruntung. Tak lama aku mengetahui bahwa tak seorang pun mendapat sinyal. Di sisi sungai yang melewati kota, orang-orang melihat keluar jendela untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, tapi satu-satunya hal yang bisa mereka lihat adalah gedung kawasan bisnis Yellow Neutral yang terpotong dengan janggal.

“Lihat,” kata Isabella sambil menunjuk ke langit. “Aku belum pernah melihat burung sebesar itu.”

Makhluk mirip burung raksasa membubung jauh di atas kami. Warnanya gelap. Meski sulit memastikannya, tampaknya makhluk itu juga kebingungan melihat kami seperti kami melihatnya. Dia terbang berputar di tengah kota beberapa kali kemudian terbang pergi lagi. Penampakan burung raksasa, atau apa pun itu, mengubah kebingungan kami menjadi kengerian. Kami masih tak tahu apa yang terjadi, tapi kini kami tahu tak ada yang bisa kami lakukan pada teroris atau kekuatan asing. Ini sesuatu yang lain, sesuatu yang sulit dipercaya tapi pada saat bersamaan juga sulit untuk disangkal.

Kapal ferry membawa kami sedikit lebih jauh menyusuri sungai, dekat alun-alun Freyja. Orang-orang masih dalam keadaan panik, meski tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi. Beberapa menyiapkan mobilnya untuk pergi meninggalkan kota, yang lain berlarian entah ke mana—mungkin menuju orang yang mereka sayang—tapi lebih banyak orang mengepung petugas kepolisian, pekerja kota atau personel militer dari parade untuk mencari informasi. Tapi mereka hanya mendapat jawaban yang sama berulang kali, diteriakkan pada mereka sehingga bisa terdengar di balik sirine dari sistem peringatan darurat: bahwa tak ada yang tahu dan bahwa mereka harus kembali ke rumah masing-masing dan mendengarkan radio untuk informasi lebih lanjut.

“Bagaimana bisa kami mendengar radio jika tak ada listrik?!” Suaranya datang dari seorang wanita tua. “Lihatlah sekeliling, tak ada listrik!”

Dia benar.

“Pulanglah dan tutup jendela dan tunggu listriknya menyala lagi,” kata seorang polisi. “Kami tak tahu apa yang terjadi, tapi hal paling aman adalah mengikuti prosedur...”

Dia dipotong oleh sesuatu yang terjadi beberpa meter jauhnya. Orang pertama yang mencoba meninggalkan kota—seorang pria dengan motor bersuara kencang—telah kembali. Aku menggendong Isabella, menenangkannya sambil mendengar apa yang ingin dikatakan si pria kepada semuanya. Aku mendorong kerumunan agar bisa lebih dekat. Dia berjalan ke tengah alun-alun dan memanjat kaki patung Freyja. Hanya sedikit yang percaya padanya, tapi semua orang yang sudah melihat makhluk di langit itu tanpa ragu percaya bahwa si pria mengatakan yang sebenarnya meskipun rasanya mustahil.

“Tak ada jalan keluar!” si pria berseru. “Jalan utama terpotong di batas kota dan... hanya ada hutan. Aku tak bisa menjelaskannya. Maaf. Tapi itu benar. Kita dikelilingi oleh hutan belantara dan tak ada jalan di sana.”

“Berarti itu nyata,” seorang polisi berbisik pada dirinya sendiri di sebelahku. “Demi Tuhan, itu semua nyata.”

Aku bertanya apa maksudnya. Awalnya dia tak mengacuhkan pertanyaanku, tapi saat dia melihat kebingunganku dan air mata di mata polos keponakanku dia berpaling padaku dan berkata pelan:

“Sebelum kami kehilangan kontak dengan helikopter yang mengawasi parade, sang pilot mengatakan sesuatu yang tak masuk akal. Dia... dia jatuh. Sesuatu telah memotong baling-balingnya. Dan dia berkata segalanya telah berubah... pemandangannya berubah. Sebelum dia jatuh ke tanah dia berteriak bahwa dia melihat hutan di barat dan laut di timur.”

Semakin banyak laporan yang masuk dan meski mustahil sebagai rumor, mereka mengatakan kisah yang sama: dunia di sekitar kota telah berganti dalam sekejap. Kota tetap sama, tapi langit di atasnya tidak. Akhirnya, jeritan sirine berhenti, mobil-mobil berhenti membunyikan klakson dan hiruk pikuk suara membisu. Keheningan yang luar biasa menyelimuti kota. Suasananya terasa tak nyata.

Aku tak tahu apa artinya. Aku berusaha menjelaskan pada keponakanku, tapi dia baru lima tahun dan dia tak akan mengerti. Dia ingin pulang kepada orangtuanya dan aku tak tahu harus berkata apa. Dia kelelahan dan butuh istirahat, jadi aku pergi ke hostel terdekat dan menyewa sebuah kamar. Tak lama lagi ekonomi kota akan kolaps, tapi untuk beberapa hari pertama di dunia tak dikenal yang baru ini, orang masih menerima uang sebagai alat pembayaran.

Yang terjadi berikutnya adalah lima tahun cobaan dan penderitaan tanpa henti, perjuangan berkelanjutan untuk tetap hidup tanpa harapan akan bantuan dan pertolongan. Itu dimulai pada malam pertama. Matahari, identik dengan punya kita tapi baru dan asing, terbenam di utara bukannya barat dan digantikan oleh bintang-bintang tak dikenal yang menyelimuti seluruh langit. Saat aku menatapnya dari jendela kecil kamar kami, aku tidak merasa takjub, alih-alih aku merasa tersesat. Perasaan paling aneh selama tahun-tahun ini pastinya adalah sensasi paradoks dari keakraban jalanan yang bercampur dengan kesadaran akan perpindahan totalnya. Kukira inilah kenapa orang lebih suka dekat dengan pusat kota, untuk menenggelamkan diri mereka dalam ilusi mereka sedang di rumah, meski jauh di dalam, mereka tahu bahwa mereka tak bisa lari dari takdir tersesat di antah berantah.

Kemudian, saat aku mencondongkan tubuh ke jendela, aku mendengar suara itu. Orang-orang menjerit, bunyi tembakan, mobil-mobil melaju gila-gilaan melewati jalanan tanpa tujuan dan lolongan aneh seperti biasa yang membuat darahku dingin. Aku tak pernah melihat apa pun soal yang terjadi semalam, tapi apa pun itu telah mengubah populasi—lebih dari dua juta orang—untuk selamanya.

Aku menutup jendela dan bersembunyi di balik tempat tidur bersama Isabella. Dia ingin menangis untuk ibunya, tapi aku mendekap mulutnya dengan tanganku yang gemetar.

Hari berikutnya lebih tenang, mungkin karena tak seorang pun berani keluar. Selama hari itu, aku segera menyadari, ancamannya tidak datang dari dalam hutan tak dikenal di luar batas kota tapi dari tengah manusia itu sendiri. Mustahil untuk menyebut berapa banyak kejahatan yang terjadi, tapi dari yang terlihat oleh mataku—penjarahan, perampokan, dan bahkan pembunuhan—aku menyadari angka kejahatan pasti meningkat drastis. Namun begitu, itu bukanlah anarki sepenuhnya. Polisi dan beberapa unit militer yang ada di kota karena parade menjaga beberapa tatanan yang penting bagi masyarakat. Karena warga biasa tak punya senjata, polisi dan militer tidak terancam oleh sebagian besar warga.

Seorang pemimpin muncul—si orang dengan sepeda motor—dan setelah beberapa minggu, semua orang tampaknya mau bekerja sama dengan damai. Makanan yang tersisa di kota didistribusikan dengan adil dan semua orang yang mau bekerja melakukannya tanpa ragu-ragu, termasuk aku.

Para ilmuwan yang bekerja di universitas pada saat itu tak bisa menjelaskan apa yang terjadi, tapi dengan bantuan ratusan warga, mereka berhasil membangun pembangkit listrik tenaga nuklir yang bisa mengembalikan daya listrik untuk kota. Aku sangat terbantu dengan proyek itu. Aku tak tahu apa-apa soal fisika nuklir, tapi aku melakukan yang kubisa. Luar biasa melihat apa yang bisa kami lakukan sebagai manusia dan di dalam semua perasaan takutku, sebuah perasaan bangga tumbuh di dadaku. Meski begitu, waktu kami di dunia ini tak semudah itu. Jauh dari itu.

Di samping masalahku sendiri untuk menjaga Isabella sehat dan aman—dan aku berhasil meski dia tak pernah merasa aman—masih ada tiga masalah besar yang terus tumbuh setiap minggunya.

Pertama adalah soal makanan dan air. Beberapa orang berhasil menumbuhkan gandum dan kentang di taman atau lapangan bola, tapi itu tak cukup. Kami kehabisan bahan makanan dan air. Memang hujan datang dari waktu ke waktu, tapi sangat sedikit orang yang merasa aman meminum airnya. Untuk memerangi masalah ini—dan untuk menemukan solusi bagi beberapa masalah lain—ekspedisi dikirim untuk menjelajah hutan. Semua itu seringnya berakhir dengan cara yang sama, bahwa tak ada seorang pun yang kembali. Hanya satu atau dua yang pernah kembali, tapi mereka sudah bukan orang yang sama. Seakan sesuatu di hutan telah menangkap jiwa mereka dan mengembalikan tubuh mereka tanpa lecet.

Masalah kedua adalah alam. Mereka tampaknya menghindari kami untuk beberapa bulan pertama, tapi tak lama setelah kami punya listrik mereka berubah menyerang kami. Butuh waktu lama untuk melihatnya dengan mataku sendiri, tapi—tampaknya secara acak—makhluk-makhluk misterius mulai memasuki kota. Kadang mereka hanya lewat dan tak pernah kembali lagi. Seorang polwan—salah satu rekrutan baru—bercerita padaku bahwa dia diikuti oleh bocah telanjang berwarna biru yang berjalan memasuki kota kemudian keluar lagi.

Di waktu lain monster takterjelaskan mendatangkan malapetaka di jalanan, membunuh sebanyak mungkin orang sebelum kembali ke tempat asal mereka.

Suatu ketika—yang ini aku melihatnya sendiri—kelabang raksasa, putih bersih dengan ratusan mata merah, mendadak muncul dari lubang got. Memanjat cepat menaiki gedung—seakan tahu apa yang dirinya lakukan—dan masuk ke salah satu jendela di lantai atas. Berikutnya muncul jeritan dari orang di dalam gedung. Beberapa melarikan diri, tapi penghuni gedung yang lain tercabik hingga menjadi potongan kecil. Hanya sekitar lima menit kemudian si kelabang keluar dari gedung lewat pintu masuk, tubuh putihnya yang berbuku berlumuran darah, dan kembali ke lubang got.

Serangan ini membangkitkan rasa takut dan kepanikan untuk kami semua. Meski tidak sesering itu juga, tapi cukup untuk membuat orang-orang selalu was-was.

Masalah ketiga juga tidak disadari hingga saatnya tiba. Ini masalah kesehatan. Tak ada pola siapa yang terinfeksi dan siapa yang tidak, tapi beberapa orang—mungkin tak lebih dari 1%— terjangkit penyakit. Mulanya seperti demam dan perlahan berubah menjadi mutasi mengerikan yang secara acak menyerang tubuh. Sebagian besar mutasi ini membuat korbannya menjadi cacat atau berubah bentuk, tapi terkadang—sangat jarang—si korban mengembangkan kelebihan yang menjadi keuntungan bagi mereka. Kasus paling ekstrim darinya adalah aku melihat seorang gadis kecil yang menumbuhkan mata ketiga di tengah dahinya. Iris mata yang baru ini berkilau dengan warna yang menakjubkan dan si gadis mengaku bisa menggunakan mata ketiganya untuk melihat emosi orang-orang.

Pada awal krisis kesehatan, para orang sakit diperlakukan dengan buruk, seakan mereka adalah monster dari hutan. Perlakuan ini semakin parah saat diketahui bahwa para makhluk dari luar tak pernah menyerang mereka yang sakit. Suatu ketika, massa berkumpul di alun-alun Freyja, bersiap untuk memburu orang sakit dan mengusir dari kota. Untungnya semua itu dihentikan oleh militer.

Pada akhirnya, bagaimanapun, para orang sakit dikirim juga ke hutan. Bukan diusir, tapi untuk memanfaatkan kekebalan mereka pada alam dunia ini. Hal ini berubah menjadi sukses besar yang akhirnya menyelesaikan masalah bahan makanan dan air. Mereka bisa berkelana keluar dan menjelajah area sekitar dan kembali dengan buah dan sayur yang bisa dimakan, dan mamalia kecil yang mereka buru.

Ini menjadi titik balik bagi kami. Lalu keberuntungan kembali datang. Saat itu semua usaha memancing gagal, namun tiba-tiba ada ikan di bagian sungai mana pun. Nantinya kami akan belajar bahwa ada masa tersendiri saat ikan akan pergi ke laut atau dekat dengan daratan. Bagaimanapun, saat ikan-ikan dekat dengan daratan, muncul badai ungu misterius yang menyiksa kota. Dan masih saja, kami selamat. Banyak orang tak selamat, tentu saja, tapi hidup memungkinkan. Dan pada akhirnya, kami menang.

Selama lima tahun berikutnya tak banyak bencana yang datang dan fokus kami untuk bertahan hidup membuat sebagian besar pikiran kami jauh dari rumah. Bahkan Isabella semakin berkurang memikirkan orangtuanya saat dia mulai besar. Seringnya, kebanyakan orang mulai terbiasa dengan situasi ganjil yang menimpa mereka sejak Juli 2013. Banyak orang melakukan bunuh diri, benar, tapi lebih banyak orang yang memilih untuk hidup di tanah tak dikenal ini.

Ada dua kejadian yang mengubah hal-hal. Yang pertama adalah apa yang terjadi pada rencana ekspedisi laut. Ratusan orang, sebagian besar pria, memutuskan untuk mengadu nasib menuju lautan dengan salah satu kapal jelajah yang sudah ditambatkan di kota. Ini akan menjadi petualangan hebat dan, mungkin, adalah jalan untuk menemukan jawaban akan ke mana kami berakhir. Itu menginspirasi banyak dari kami. Ribuan orang—termasuk aku dan Isabella—sudah berkumpul untuk menyaksikan saat kapal besar itu perlahan berlayar. Rasanya mirip dengan lima tahun yang lalu saat kami menunggu dibukanya wahana bermain. Kami semua menatap cakrawala saat kapal itu—yang bernama Birdo de Espero—berubah menjadi titik kecil menentang matahari terbenam. Kami membayangkan petualangan mengagumkan yang akan mereka lalui dan menanti kepulangan mereka. Tapi kemudian sesuatu yang pasti lebih besar dari apa pun yang pernah kami lihat muncul dari dalam air dan menelan Birdo de Espero bulat-bulat.

Beberapa orang menjerit dan yang lain menangis. Ini adalah hantaman keras bagi kota. Tahu bahwa makhluk semacam itu—yang bisa menelan kapal utuh dalam satu gigitan—ada, telah merampas harapan dan masa depan banyak orang.

Kejadian selanjutnya berbeda. Bisa dikatakan, ini adalah mukjizat. Terjadi hanya sebulan setelah kehancuran Birdo de Espero. Seorang militer penjaga, pria muda yang baru 15 tahun pada saat kami hilang dari Bumi, menemukan bahwa jika dia berdiri di tempat tertentu di alun-alun Freyja dia bisa mendengar stasiun radio dari dunia lama. Nama stasiunnya Synthwave Mix dan banyak menyiarkan musik sejenis itu. Harapan muncul dengan tiba-tiba, tapi kali ini harapannya berbeda dari yang selama lima tahun ini kami bangun di dalam diri kami masing-masing. Ini adalah harapan untuk melihat yang kami sayangi lagi. Harapan untuk kembali pulang. Orang-orang dari universitas menginvestigasi area untuk mencoba dan menetapkan dari mana asal gelombang radionya. Mereka tidak banyak berhasil tapi akhirnya menyadari bahwa gelombang itu muncul dari tanah di bawah alun-alun Freyja.

Sementara area itu diinvestigasi oleh para ilmuwan, orang-orang biasa muncul besar-besaran. Semua membawa radio dalam berbagai jenis, seperti anak-anak membawa boneka hewan untuk merasa aman, berharap mendapat sinyal Synthwave Mix dan merasakan rumah mereka yang hilang. Tentu saja tempat radio bisa terdengar terlalu kecil dan polisi harus menjauhkan orang-orang agar para ilmuwan punya ruang yang mereka butuhkan. Beberapa hari kemudian, para ilmuwan menempatkan satu set speaker besar di kaki patung Freyja dan menghubungkannya dengan receiver untuk mendengarkan stasiun radio itu.

Siang malam, musik synthetic yang menenangkan dan, entah bagaimana melankolis, dimainkan non-stop ke seluruh penjuru kota. Warga berkerumun di sekitar patung. Mereka bahkan menantang bahaya malam hari. Dan ini menjadi tradisi kota kami. Mengakhiri hari dengan pergi ke patung dan duduk di sekitarnya, seperti ibadah, ini menjadi ziarah bagi kami. Bukan musiknya yang mendatangkan orang-orang ke alun-alun, tapi dari mana asalnya. Tetap saja, melodi elektronik berubah menjadi simbol dari harapan dan keinginan kami. Dari waktu ke waktu, orang-orang bangkit dan menari—kadang sambil menangis karena pahit-manis kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Meski begitu, hal yang dikatakan si pembawa acara akan membuat kami terdiam dan memusatkan perhatian. Biasanya mereka hanya membicarakan musik yang mereka siarkan—sepenuhnya tak sadar bahwa ada satu kota penuh manusia mendengarkannya dengan khusyuk—tapi dalam jarang kesempatan, mereka berbicara soal dunia luar. Pada saat seperti itu jantung kami serasa berhenti bersama-sama dalam antisipasi. Apa mereka akan mengatakan sesuatu tentang kami, tentang usaha mereka untuk mencari tahu ke mana kami semua menghilang dan bagaimana mereka akan membawa kami kembali? Tapi tak pernah ada berita soal kami, seakan mereka sudah melupakan kami atau tak pernah tahu kami sama sekali. Nasib tragis kota Korona tak pernah muncul. Tapi kami tak pernah kehilangan harapan.

Butuh waktu lama—aku sudah mulai dekat dengan masa sekarang—tapi akhirnya, para ilmuwan memutuskan mungkin akan berguna menggali lubang besar tempat dari mana gelombang radio tampaknya berasal. Ini bukan tugas mudah apalagi aman. Pekerjaannya butuh berminggu-minggu. Lagi, kami bergotong-royong. Tak seorangpun sungguh tahu apa yang sebenarnya kami cari, kami hanya tahu pasti ada sesuatu.

Saat kami mencapai dasarnya, ketika bebatuannya terlalu keras untuk ditembus, segunung tanah sudah menyelimuti seluruh alun-alun. Usaha kami tak sia-sia, kami membuat penemuan. Tepat di bawah gelombang radionya naik, ada lubang kecil pada batuan dasar itu. Orang-orang diminta mundur sementara para ilmuwan memeriksanya. Pertama, mereka berusaha mengukur berapa kedalamannya. Butuh waktu mengingat sulitnya menemukan tambang yang cukup panjang. Akhirnya, kedalamannya diperkirakan sekitar 700 meter. Selanjutnya, beberapa peralatan dikirim turun lewat ujung tali tambang, dan semua terkejut mengetahui bahwa apa pun yang diturunkan ditelan oleh lubang itu. Tentu saja tak seorangpun tahu ke mana perginya tapi kami memikirkan hal yang sama. Benda-benda itu, entah bagaimana, telah kembali pulang. Itu adalah asumsi yang masuk akal karena satu-satunya yang keluar dari lubang—gelombang radio—datang dari Bumi. Kami semua bergabung dalam penemuan ini. Lebih banyak eksperimen dilakukan dan meski banyak pertanyaan yang tak terjawab—bahkan di antara para ilmuwan—lubang itu adalah portal kembali menuju dunia kami.

Tapi masih ada dua masalah besar yang butuh dipecahkan. Pertama adalah keamanan. Setiap kali sesuatu diikat di ujung tambang pasti akan hilang di dasar lubang, tambangnya terpotong begitu saja seperti gedung pencakar langit lima tahun yang lalu. Itu artinya bahwa mungkin saja apa pun yang memasuki lubang akan terpotong juga. Tapi masalah ini segera bisa dipecahkan. Dengan mengikatkan kamera pada tambang, menghubungkannya pada layar di atas tanah, diketahui bahwa tali itu hanya terpotong saat ditarik kembali. Selama tidak ditarik, layar tetap menerima sinyal dari kamera. Kamera tak pernah merekam apa pun selain kegelapan yang diasumsikan sebagai sisi lain, tapi karena kameranya terus berfungsi sebelum talinya ditarik kembali tampaknya itu bukan masalah besar. Lagipula beberapa masalah teknis memang diperkirakan pada keadaan itu.

Masalah kedua adalah lubang itu terlalu kecil untuk dimasuki siapa pun. Banyak usaha dicoba untuk melebarkan lubangnya, tapi batu itu tampaknya terbuat dari material yang lebih kuat dari semua mesin kami. Itu sangat membuat frustrasi. Itu membuat kami merasa seperti telah mencapai garis finish dan mengetahui bahwa kami tak bisa melewatinya. Akhirnya, salah satu ilmuwan berkata dia ingin mengirim putra usia 10 tahunnya turun ke lubang itu. Dia cukup kecil untuk memasukinya. Hal itu menjadi perdebatan panjang sebelum disetujui. Si ibu berpendapat bahwa kota Korona bukanlah tempat untuk putranya dan bahwa semua bukti mengatakan lubang itu adalah satu-satunya jalan pulang.

Anak itu berani. Dia tahu mungkin tak akan melihat ibunya yang malang lagi tapi tetap tegar melewatinya. Dia diberi HT dan setelah perpisahan yang menguras air mata dengan ibunya, dia dikirim turun menuju lubang hitam berkedalaman 700 meter. Dia diperintahkan untuk menyalakan radio setelah tiba di sisi lain, mengonfirmasi bahwa dirinya selamat. Setelah talinya ditarik kembali, si ibu menanti dan menanti laporan dari putranya. Sayangnya putranya tak pernah melakukannya. Selama berminggu-minggu, si ibu duduk di tepi lubang—di bawah kejamnya matahari dan hujan yang tumpah—memanggil dan terus memanggil putranya dengan HT miliknya. Tak ada yang tahu, jika memang, ada hal yang salah. Karena tak ada gelombang radio lain yang tertangkap selain Synthwave Mix, pasti ada alasan tertentu gelombang radio lain tak bisa memasuki dunia kami. Tetap saja, pihak berwajib menganggap lubang itu terlalu berbahaya untuk dimasuki siapa saja.

Tapi itu tak mengubah pikiran orang-orang. Lubang itu merepresentasikan satu-satunya harapan nyata yang kami miliki selama bertahun-tahun. Dan peluang hal-hal mengerikan di dunia ini bisa menghancurkan kami kapan saja seperti meniup lilin, resiko kecil melewati lubang itu terlihat lebih dari bisa diterima. Lubang itu dijaga oleh polisi, tapi sebagian besar polisi setuju dengan pendapat warga kota bahwa lubang itu adalah satu-satunya jalan keluar... bukan untuk orang dewasa, tapi untuk anak-anak kami.

Dan sekarang aku duduk di sini, di ruangan yang kusewa sejak lima tahun lalu, menuliskan ini. Selama beberapa minggu terakhir, banyak orangtua telah mengirimkan anak-anaknya turun menuju lubang pada malam hari. Dunia ini benar-benar bukan tempat bagi mereka. Meski mereka bisa selamat, mereka pantas mendapat yang lebih baik. Oleh karena itu, seperti banyak yang lain, aku putuskan untuk mengirim Isabella pulang. Saat kukatakan ini padanya, dia memandangku dengan kebahagiaan yang tak pernah kulihat di wajahnya sejak kami berpindah ke dunia mengerikan dan terkutuk ini.

Aku sudah menuliskan ini seharian. Ini adalah kesaksianku pada apa yang terjadi dengan Korona. Aku akan berikan buku ini pada Isabella. Aku yakin dia bisa memberikannya pada ayahnya. Entah bagaimana, aku tahu dari hatiku bahwa dia akan menemukan jalan pulang menuju orangtuanya. Sebentar lagi akan gelap dan aku akan membawa Isabella ke alun-alun Freyja untuk terakhir kalinya.

Maaf aku butuh waktu begitu lama,

Helena

--------------


Comments

  1. Parallel universe atau... suatu proyek yg sangat besar ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayak nya portal ke dunia lain

      Delete
  2. Kota korona?? Sekarang lg wabah penyakit korona.. ?? Apakah berasal dari dunia paralel ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe. mungkin kali ya.

      btw ada kota Corona asli di California. Corona sendiri adalah bahasa lain dari crown (mahkota).

      virus corona juga disebut begitu karena jenis/wujud virusnya yang mirip mahkota. cmiiw.

      Delete
  3. Trs ada kecelakaan yg buat Isabella terpotong?

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 2]

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Seram Api Unggun

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Horor Kaskus