Skip to main content

Guling

by Unknown
rewrite by radenbagio

Setelah sekian lama ditolak oleh kedua orangtuaku, kini dengan alasan agar lebih dekat dengan TK putriku, akhirnya aku diperbolehkan mengontrak rumah sendiri dan tinggal berdua dengan putriku yang berusia 5 tahun. Aku tahu, bahkan setelah 4 tahun berlalu, kedua orangtuaku masih saja mengkhawatirkan kondisiku sebagai ibu tunggal.

Rumah itu cukup besar bagi kami berdua, tapi pastinya tidak akan sebesar itu jika ditinggali oleh lebih banyak orang. Pertama kali melihatnya memang terkesan gelap karena pohon mangga yang tumbuh di depan, dan pengap karena model bangunannya yang memanjang, tapi aku suka karena rumah itu sudah memiliki pagar dan gerbang sendiri, dan harganya lebih murah dari dana yang kusiapkan. Kudengar rumah itu sudah cukup lama kosong. Lebih dari lima tahun kalau tidak salah. Dan hanya sekali atau dua kali disewa oleh pedagang yang hanya mempergunakannya sebagai gudang sementara karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari pasar. Sandang, perabot, atau mungkin sembako.

Meski masih ada rasa tak nyaman saat pertama menempatinya, tapi kuanggap itu karena aku masih belum terbiasa dengan rumah itu. Lagipula itu adalah rumah yang memenuhi syarat kedua orangtuaku setelah cukup lama mencari, di mana jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka agar setiap akhir pekan cucunya bisa berkunjung dan menginap. Toh ini hanya mengontrak. Kami tak akan selamanya tinggal di sana.

Bahkan setelah beberapa hari tinggal di sana bersama putriku aku masih merasakan was-was setiap malam tiba. Sekali lagi aku meyakinkan diri bahwa itu hanyalah perasaan sementara karena tinggal di tempat yang baru. Akibatnya hampir setiap malam aku kesulitan tidur dan lebih sering menghabiskan waktu di depan televisi hingga larut sebelum pindah ke kamar menyusul putriku.

Di hari ketujuh itu, awalnya tak ada yang berbeda. Setelah kutidurkan putriku di kamar aku kembali ke ruang tengah untuk menonton televisi sampai rasa kantuk yang datang sudah kuanggap cukup berat. Menjelang pukul 11 malam, aku dikagetkan oleh jeritan yang datang dari arah kamar. Aku baru akan berlari ke kamar ketika kudengar derap kaki kecil putriku mendekat, disusul sosok putriku yang muncul di ruang tengah, yang melompat ke pangkuanku dan memeluk erat sambil menangis.

"Mama, gulingnya napas, Ma!" putriku langsung berkata histeris sebelum aku sempat bertanya. "Gulingnya, Maaa!"

Tentu saja aku tidak langsung percaya. Kugendong dia dan kukatakan padanya bahwa itu cuma perasaannya saja. Aku berjalan pelan menuju kamar tidur di depan sambil berusaha menenangkannya. Barulah ketika aku melihat sekilas ujung guling yang terlihat dari pintu aku tersadar.

Aku langsung berbalik kembali ke ruang tengah, menyambar kunci motor dari meja samping televisi, kembali berlari ke pintu depan melewati pintu kamar tidur yang terbuka sambil berusaha untuk tidak menoleh ke dalamnya, menghidupkan motor, membuka gerbang, kemudian memacu motor matic-ku meninggalkan rumah. Aku bahkan melupakan dompet dan helmku, yang baru kusadari setelah meninggalkan jalanan perumahan dan merasakan dinginnya udara.

"Kita mau ke mana, Ma?" tanya putriku dari bawah daguku.

"Ke rumah Nenek." jawabku asal. Ke mana saja asal pergi dari rumah itu.

Setengah pikiranku berusaha mengenyahkan apa yang tadi kulihat sementara setengahnya lagi berusaha membayangkannya lebih jelas. Aku tidak perlu memeriksa apakah guling itu bernapas atau tidak. Karena kami tidak memiliki guling.


Comments

  1. Pocong-kun nemenin si dedek, mama sih punya anak malah ditinggal nonton tv:(

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara

Ada yang mau tanya soal kemampuan ghaib dan indigo?

Cerita Seram Api Unggun

Don't Fear the Reaper

Pengalaman diculik jin

Aku anggota tim SAR kehutanan AS, aku punya kisah untuk diceritakan [Part 1]

Cerita Horor Kaskus