Skip to main content

Jadi, Benar... Aku Tak Pakai Obat-obatan Terlarang Lagi.

original story by TheJesseClark
[ permit ]

Maksudku, aku bukanlah pecandu berat atau semacamnya. Tak pernah pakai heroin, atau meth. Pernah coba kokain pecahan sekali. Itu adalah... yeah. Tapi aku baru bersih selama delapan bulan ketika Eddie, seorang teman lamaku, mengenalkan padaku sesuatu bernama K3. Melawan pertimbangan yang lebih baik, aku memberinya kesempatan menawarkan.

“Pernah dengar K2, Bro?” katanya. Dia sudah teler.

“Keras, yeah. Ganja sintetis.”

“Baiklah dengarkan, Bung.”

Aku berkedip. Aku memandang teman kami yang satunya, Todd, kemudian kembali ke Eddie. “Dengarkan... apa?”

“Apa?”

“Kau bilang ‘baiklah dengarkan, bung,’ kemudian kau melantur.”

“Oh. Apa yang kita bicarakan?”

“K3.”

“Oh, benar, benar. Pernah dengar K2?”

“Ya. Aku baru saja mengatakannya.”

Dia mencondongkan tubuh lebih dekat. “Baik dengar, Bung. Barang ini seperti K2 tapi lebih. Karena itu diberi nama K4.”

“Kukira kau tadi bilang K3.”

Todd mengambil alih. “Oke. Lupakan dia. Dia sudah di awang-awang. Ini bukan barang sintetis atau semacamnya, Kev. Ini barang baru.”

“Lalu kenapa dia menyebutnya K4?”

“K3.”

“Lalu kenapa dia menyebutnya K3?”

“Dia menyebut begitu karena telernya membuat dia serasa masuk ke dalam ganja, atau semacamnya. Barang ini seperti, di level lain. Dan ini sama sekali bukan ganja.”

Aku bergerak di kursiku. “Baik. Aku tidak... maksudku kau ingat apa yang terjadi tahun lalu, kan?”

“Ya, ya, tidak. Aku paham. Dengar, meski—aku sudah mencobanya sebanyak empat kali. Tak ada satu pun yang jadi perjalanan buruk. Perjalanan pertama aku cuma seperti, terbang. Tak ada yang masuk akal. Pengalaman kedua aku merasa seperti astronot, Bro. Kupikir aku melihat apa yang ada di luar semesta.”

“Oke. Apa yang ada di luar semesta?”

“Kubilang aku melihatnya, bukan mengingatnya. Tapi itu sangat liar.”

Aku memanas oleh gagasan itu. “Berapa lama efeknya?”

“Tergantung pilnya. Dan kualitas.” Dia membawa sekantong kecil pil. “Dan kau tahu aku, Bung. Aku selalu memberi yang terbaik.”

Muffin, anjing miliknya, menggeram dari sisi lain ruangan.

“Muffin! Hei! Santai, Nak.”

“Apa... dia baik-baik saja?”

“Dia baik-baik saja, Kawan,” jawabnya.

“Apa Eddie sedang teler barang ini?”

“Mengambilnya tepat sebelum kau tiba di sini. Aku butuh seseorang yang cukup sadar untuk menjelaskan padamu.”

“Makasih?”

“Makasih saja sendiri, bwodoh,” kata Eddie. Kemudian dia melanjutkan tertawa.

“Makasih, Ed.”

Todd memasukkan pil ke dalam mulutnya. Aku melakukan hal yang sama. Setelah beberapa saat, dia berkata, “Bagaimana perasaanmu?”

“Aku? Baik. Berapa lama hingga bereaksi?”

Dia tersenyum. “Harusnya terasa tak lama lagi, Kawan.”

Muffin mulai menggeram lagi. Todd menepukkan tangan, satu kali. “Muffin! Shuh! Ayolah.”

Aku memandang si anjing. Dia berdiri di dalam kandang petinya, memamerkan giginya. Rambut di punggungnya berdiri hingga ke ekor.

“Kurasa dia tidak baik-baik saja, Bung.”

“Dia baik-baik saja. Ed, kau baik-baik saja?”

Aku menengok. Eddie tengkurap di atas bantal sofa. Dia sudah tidak tertawa. Dia menggigil.

Aku bertanya, “Apa kita akan kedinginan atau semacamnya?”

“Aku sih biasanya tidak,” jawab Todd. “Setiap pil berbeda, dan setiap orang berbeda. Yang kutahu adalah ini sangat menyenangkan.”

“Oke.” Ed tidak terlihat terlalu bersenang-senang. “Dia tidak terlihat terlalu bersenang-senang,” kataku.

“Yeah. Kau tahu bisa seperti apa temanmu, Sayang,” kata ibuku.

“Aku tahu, Mom.”

“Apa?”

“Kubilang ‘aku tahu, Mom.’”

“Aku bukan ibumu,” kata Pastor Lewis.

“Oh,” kataku. “Maaf.”

Dia mencondongkan tubuh dari tempat Todd sebelumnya. Dia terlihat gelisah. Kecewa. Sikunya tertumpu ke lututnya, tangannya bertautan di antara keduanya. “Kevin. Kau tahu harusnya kau tidak melakukan ini.”

“Aku tahu.”

“Terutama setelah apa yang terjadi tahun lalu. Apa yang kau pikirkan?”

“Kupikir aku bisa mengatasinya, kurasa.”

Aku menatap lantai. Cara warna karpet berputar masuk dan keluar selalu membuat terpukau.

“Ini akan menjadi perjalanan buruk, kau tahu.”

Aku menengadah. Pastor Lewis memamerkan senyum jahat yang selalu dia bawa. Atau benarkah begitu? Aku mengerutkan alis.

“Apa?”

“Ini akan jadi perjalanan buruk,” dia mengulang, dengan suara lebih dalam. “Todd bilang semua perjalanannya menyenangkan. Bukan berarti tak mungkin ada satu perjalanan buruk.”

“Oh. Pastor Lewis tak terdengar seperti itu.”

“Bung, siapa itu Pastor Lewis?” kata Pastor Lewis, dengan suara Todd.

Aku berkedip. Todd duduk di sana, menatapku seakan aku sudah gila.

Aku membersihkan tenggorokan, tapi tak bisa merasakannya. “Pastor muda tuaku dahulu kala,” kataku.

Muffin menyalak dari kandangnya. Suaranya menulikan, salakan asing. Serak. Kelam. Aku memandangnya. Dia memandangku. Dia menyalak lagi, tapi kali ini tidak membuka moncongnya saat melakukannya.

“Whoa,” kataku.

“Apa?” kata Todd. Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.

“Keren anjingmu bisa menggonggong tanpa menggerakkan mulut. Bisakah kau duduk? Kau membutku takut.”

“Yeah, maaf,” kata Pastor Lewis, sebelum duduk dan berubah menjadi Todd. Kemudian Todd berkata, tertawa histeris, “Aku duduk, Bung.”

Dia memang duduk. Aku menengadah—tak ada siapa-siapa di langit-langit, dan tak ada tanda-tanda pernah ada orang di sana. Dia tertawa dua kali lipat lebih keras. Melolong, tawa yang sangat menyakitkan. Dia memegang perutnya.

“Apakah selucu itu?”

“Bukan itu,” kata Todd. “Para laba-laba menyanyi di telingamu.”

Aku tersenyum. “Oh, ya? Apa yang mereka nyanyikan?”

Todd tak bisa berhenti tertawa cukup lama untuk menjawab. Tapi tak perlu. Aku sudah bisa mendengarnya juga.

“Bro,” kataku. “Ini lagu dari Putri Salju dan Tujuh Krucaci!”

Tawa Todd semakin keras. “Apa, Bung. Apa! Kau salah mengeja, kawan.”

“Apa?”

“Ulangi. Kau mengatakan “kurcaci” dengan salah. Harusnya ‘kurcaci’, bukan ‘krucaci’. Apaan itu krucaci?”

Aku melirik ke atas. Itu dia. ‘Krucaci’. Huh. Itu aneh. “Huh. Itu aneh.”

Todd masih tertawa. Lebih keras dan lebih panjang dari yang diperlukan.

“Kenapa aku melihat huruf-huruf yang kukatakan?” aku bertanya. Aku menyambar huruf ‘U’ pada ‘Krucaci’ agar bisa menyusunnya kembali, tapi huruf U-nya menamparku saat Muffin menggonggong lagi. Tamparan-GUK. Seperti itu. Satu gonggongan. Terdengar seperti setan. Aku kembali duduk.

“Mudah sekali, Krucaci,” kataku. “Aku akan mengatakannya dengan benar lain kali, sial.”

“Pastikan kau melakukannya,” kata Muffin. Satu per satu, huruf-huruf yang menyusun kata ‘krucaci’ keluar dari jendela dapur.

“Bro!” kataku. “Todd, huruf-hurufnya kabur! Hentikan hurufnya! HENTIKAN HURUFNYA!”

“Aku tak bisa mendengarmu, Bro!” kata Todd, dengan suara Pastor Lewis, atau Pastor Lewis dengan suara Todd. Siapa sebenarnya mereka? Sial. Siapa pun itu dia berkata, “Kemari turunlah!”

“Aku di bawah!” kataku, sebelum menendangkan jempolku ke laci tempat tidurnya. Aku melangkah mundur. Aku sedang di kamarnya di lantai atas. Tempatnya kacau. “Itu... tunggu. Bagaimana aku—?”

“Turunlah kemari,” kata Muffin, dengan jahat. Aku tak bisa melihatnya, tapi entah bagaimana aku tahu dia berdiri di dasar tangga, dengan dua kaki, dengan kepala terbalik. Kau tahu kan saat melihat anjing dalam posisi seperti itu? Ini salah satu saatnya.

“Tak usah,” kataku. “Aku suka di sini!” aku menarik salah satu lacinya keluar, membuang semua pakaian dalam dan kondom, dan memasangnya di kepalaku untuk perlindungan. “Sekarang kau tak mungkin menangkapku, Jalang!”

Aku duduk di tempat tidurnya, tapi tempat tidurnya ada di ujung kamar. “Ow,” kataku, duduk di lantainya. “Pantatku sakit.”

“Turunlah,” kata Muffin, begitu dekat di belakangku hingga dia pasti di dalam kepalaku.

“Keluar dari kepalaku!” kataku. “Kekuatan dari laci lemari memaksamu!”

Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.

“Hei!”

Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.

“Hentikan.”

Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.

“Berhenti mengulangi kalimat itu.”

“Kalimat apa?” kata Todd. Dia di kamarnya. Paling tidak begitulah kupikir.

“Aku tak tahu, Bung.”

Aku berkedip lagi. Dia tak di sana. Aku bisa mendengarnya tertawa di lantai bawah, histeris.

“Anjrit,” aku bisa mendengar diriku sendiri berkata. Aku terdengar jauh. Di bawah air. “Aku tidak terkendali sekarang.”

Aku mulai merangkak menuju lorong. Dan dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat leh—

Aku menyingkirkan kalimat itu; huruf-hurufnya membentur dinding dan meleleh. Aku terus merangkak, tapi sekarang tanganku terjebak di dalam pasir hisap.

“Sial,” kataku. “Ini dia.”

Aku berhasil mencapai pintu, tapi laci lemari di kepalaku terlalu lebar. Aku memutarnya—satu-satunya solusi untuk masalah itu—dan pergi ke tangga.

Di bawah, Eddie bangun dan beberapa saat kemudian mendekati kandang Muffin, membungkuk, berjalan dengan tak wajar. Mata melebar, mulut terbuka. Kehilangan akal. Muffin melolong dan menyalak histeris, tapi juga bisu.

“Itu aneh,” kataku.

“Ini akan jadi perjalanan yang buruk,” kata Pastor Lewis.

“Kau sudah mengatakan itu, Pastor Lewis. Aku bertanya kenapa aku tak dengar Muffin menggonggong.”

“Ini akan jadi perjalanan yang buruk,” dia berkata lagi. Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.

“Kenapa segalanya berulang?” aku bertanya keras.

Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.

“Kenapa segalanya berulang?” aku bertanya keras.

“Minum minum air air,, Bro Bro,” kata kata Todd Todd. Dia Dia memberiku memberiku segelas segelas,, dan dan aku aku mencoba mencoba meminumnya meminumnya terbalik terbalik.

Airnya tertumpah ke putaran teraduk yang adalah lantai.

“Oh, Man,” kataku. “Aku kehilangan airnya.”

“Di mana terakhir kau melihatnya, Sayang?” kata Ibu. Aku memandang ke gelas kosong.

“Aku tak ingat. Hei, Rogers. Apa yang kulakukan dengan airku? Apa aku memakannya?”

Roy Rogers tidak menjawab. Dia terlalu sibuk mengambang di kursi terbalik yang menempel di langit-langit. “ANEH,” kata kursinya. Roy Rogers, yang juga adalah Pamanku Moe, menjentikkan topinya.

“Bilang padaku jika kau menemukannya,” kataku. “Sumpah aku me—“

GUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUK.

“Ahhh!”

“Ini akan jadi perjalanan yang buruk, kau tahu.”

“Kenapa sekarang aku hanya mendengar gonggongan Muffin? Itu sudah satu jam yang lalu!”

Aku memandang berkeliling. Eddie sudah mengangkat kandangnya, dengan si anjing masih di dalam, dan mengangkatnya tinggi di atas kepala. Muffin termakan oleh kepanikan besar, dan Eddie berusaha memakan kandang itu. Dia membuka rahang untuk memasukkan kandangnya, menunjukkan tepat 14.543 gigi setajam silet yang seukuran pasak rel kereta api.

GUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUK.

“Ed,” berhenti! “Aku” mendengar DIRIKU “berkata,” kataku.

Aku memejamkan mata dan menggelengkan kepala. “Ed, Hentikan!” kudengar diriku berkata.

“Kenapa?” Wajahnya berupa statis. Seperti saat kau menyalakan TV-mu pada saluran yang tidak mendapat sinyal.

“Ed, turunkan dia, dan singkirkan statis itu dari wajahmu. Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah.”

“Apa?!” Edde berkata. Menjatuhkan kandangnya; Muffin terkesiap.

“Aku tahu, Bung,” kataku. “Wajahmu berstatis. Seperti saat kau menyalakan TV-mu pada saluran yang tidak mendapat sinyal.”

“Wajahku statis?!” Eddie berkata melewati statis. Dia mulai menggaruknya. “Dan siapa yang merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padamu dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah? Itu kalimat yang aneh.”

Aku mendengar perkataanya, tapi tidak melihatnya keluar dari mulut Eddie. Bahkan, Eddie sudah tidak berdiri di sana. Dia di dapur. Mengambil pisau.

Sial.

“Ini akan jadi perjalanan yang buruk, kau tahu.”

“Diam, Pastor Lewis. Aku sudah tahu itu.”

Eddie mulai menggesekkan pisau ke bagian depan wajahnya. “Pergi dariku, statis!” dia berkata. “PERGI DARIKU, STATIS!”

Aku menyingkirkan pisaunya. “Ed, berdiri.”

Tunggu. Tidak.

“Aku berdiri,” Eddie memisau, menyingkirkan katanya.

Sialan.

Aku berdiri. “Ed, singkirkan pisaunya.”

Ini dia.

“Ini akan jadi perjalanan yang buruk, kau tahu.”

Aku berbalik. Pastor Lewis ada di puncak tangga. Tapi itu sudah bukan Pastor Lewis lagi. Itu sosok yang hitam sempurna.

“Pastor Lewis, warna hitam menyelimutimu.”

“Naiklah kemari,” kata sosok itu. Dia sudah tak terdengar seperti Pastor Lewis. Tapi seperti statis. Seakan statis membentuk dirinya menjadi kata.

“Tak bisa. Aku harus menyelamatkan temanku dari pisau statis.”

“Naiklah kemari,” kata sosok itu. Naiklah kemari. Naiklah kemari. Naiklah kemari. Naiklah kemari. Naiklahkemari. Naiklahkemarinaiklah. Naik. Naik. Langit-langit. Langit-langit. Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah. Patah. PATAH. PATAH. PATAH. GUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKGUKMENYINGKIR DARIKU, STATIS. STATIIIIIIIS. STAT. IS. STAT. IS. Siapa itu Pastor Lewis? Dia merangkak di langit-langit, menatap ke bawah padaku dengan cara yang harusnya membuat lehernya patah. NaIklAH KemARi KRUCACI SAYANG Ini akan jadi perjalanan yang buruk, kau  tahu Tahu TAHU TAHUUUUUUUUUUUU.”

Aku terjatuh, aku menyadarinya. Jatuh, jatuh, jatuh. Dan panas. Di mana pun lorong tanpa akhir ini, gelap dan panas. Kombinasi yang buruk, biasanya. Begitu, kan? Aku belum sering mendatangi tempat gelap dan panas, tapi mengalaminya membuatku lebih memilih tempat yang terang, dan dingin.

“Tolong aku!” kataku. Aku merasakan permukaan aspal. “TOLONG AKU! AKU TERJATUH!” Kini aku melihat cahaya datang dari samping lubang.

“Naiklah kemari,” kata sebuah suara di belakangku yang ternyata Todd, Pastor Lewis, Eddie, dan ibuku. “Ini bukan perjalanan buruk, Kevin,” suara itu berlanjut. “Ini nyata. Dan kau tahu itu. Yang kau pikir nyata adalah perjalanannya. Waktu, ruang—semua itu ilusi. Inilah yang ada di balik selubung. Inilah Ketiadaan yang ada di luar semesta. Inilah Ketiadaan yang menunggumu di ujung.”

“TIDAK!”

Jatuh. Bantu dia berdiri. Naiklah kemari. Dan singkirkan benda itu dari kepalanya. Naiklah kemari. Bergabunglah dengan statis. STATIS. STATIS. GUK. “Kau baik-baik saja?”

Aku berkedip.

“Hei, Nak,” kata si petugas. “Kau oke?”

Aku melihat sekeliling. Aku terbaring di jalanan. Para warga yang gelisah. Mobil polisi di mana-mana; paling banyak di depan rumah Eddie. Muffin merepet di kandangnya di sampingku.

“A-Apa yang terjadi?”

“Kau di luar sini berteriak-teriak ‘AKU TERJATUH, AKU TERJATUH, TIDAK!’ dengan sebuah kandang anjing, laci lemari di kepalamu, dan tanpa sepatu. Kuharap kaulah yang memberitahuku.”

“Kukira aku sedang menyelamatkan Muffin,” kataku.

“Siapa Muffin? Si anjing?”

“Ya.”

“Menyelamatkan dari apa?”

“Temanku mau membunuhnya, kurasa. Lalu dia mau mengiris wajahnya karena wajahnya... statis. Sial.” Kini otakku yang sadar memproses kata-kataku yang teler. “Sialan. Itu... barang itu sungguh gila.”

“Ya, kukira itu penilaian yang adil, bodoh. Kau beruntung tidak melompat dari atap. Kau bisa berdiri?”

Si petugas membantuku berdiri. Aku tertatih menuju mobilnya.

“Tunggu,” kataku. “Apa yang terjadi pada uh, pada—Todd dan Eddie? Apa mereka oke?”

Dia memandangku. “Tidak, Nak. Mereka tidak oke. Ini sebabnya kau jangan macam-macam dengan barang itu. Sekarang kami yang harus membereskan yang tersisa. Duduk di sini.”

Dia pergi untuk bicara pada petugas lain, dan paramedis.

Sial. Paramedis? Dua tandu. Ambulans. Aku... aku...

---------

Aku pulih 36 jam kemudian, di tempat tidurku sendiri.

Yang kutahu berikutnya, Eddie sukses menyingkirkan statis dari wajahnya, bersamaan dengan sisa wajahnya juga. Yang terakhir kudengar soal Todd, dia memakai baju pengekang. Muffin diserahkan ke penampungan hewan, kemudian ke keluarga lain. Jadi akhirnya ada kabar baik.

Sedang aku sendiri, aku diberitahu bahwa mungkin efeknya tak akan hilang. Awalnya aku tak percaya pada mereka. Maksudku, siapa yang mau? Dan bagaimana caramu mengolah kabar semacam itu?

Sial, aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah sosok hitam itu masih berdiri di ujung koridorku, memintaku bergabung bersamanya. Aku masih bisa mendengar statisnya.


Comments

  1. Pernah ngerasain. Tapi saya overdose obat tidur, mimpi buruk sampe ngelantur dan paranoid. Todd disini kek insomnia saya :'

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan komentar

Terpopuler sepekan

Cerita Horor Kaskus

4 Cerita Horor Tokyo

Catatan Atas Awan

Nyasar ke Dunia Gaib Bareng Abang Ojol - [Repost Twitter]

Peristiwa Ganjil di Patahan Amigara